10 December 2007

Hari Ini Kamu Pergi Kemana?

Hari ini kamu pergi kemana?, ke sekolah lalu pulangnya nongkrong di mall, bukan untuk belanja hanya cucimata saja?, atau pergi ke kampus : kuliah sebentar lalu makan di kantin, merokok, bercanda dengan teman-temanmu dan pulangnya mampir dulu ke warnet buka-buka friendster lalu kasih testi atau comment temen-temen dunia mayamu?. Atau mungkin kamu pergi kerja, menghabiskan delapan jam di depan computer dan meja, lalu tiba waktunya pulang dan temanmu ngajak nonton, kemudian film habis dan kamu akhirnya benar-benar pulang kelelahan : buka sepatu, ganti baju, cuci muka, cuci kaki lalu tidur menghempaskan tubuhmu di kasur itu?. Atau mungkin pergi ke tempat-tempat yang tidak aku ketahui, karena aku tidak berhak mengetahuinya?. Sementara kamu pergi, hari ini aku tidak kemana-mana. Diam saja di kamar. Duduk saja di depan layar monitor yang merangkap dengan televisi itu.

Sudah lama aku tidak menulis, jadi tidak enak rasanya. Inginnya setiap hari membuat lima tulisan, tapi ternyata melahirkan tulisan tidak semudah yang dibayangkan. Ingin rasanya aku produktif, tapi kenyataannya aku lebih sering pasif. Dan pelan-pelan aku mulai menulis lagi, memindahkan yang dipikirkan, dibayangkan, dirasakan, dan dialami ke dalam layar putih ini.

Lalu sekali-kali layar monitor berganti dengan tayangan televisi. Hari ini aku memilih TVRI, menonton siaran langsung SEA GAMES ke 24 di Thailand. Itu atlet Indonesia tengah berjuang meraih medali untuk bangsanya. Dua atlet pencak silat lolos ke final. Di bulutangkis, tunggal putri Indonesia mengalahkan Thailand, tapi entah babak apa?. Kata presenter nanti sore akan berlangsung final bulutangkis beregu putra dan putri, dan juga final pencak silat, ah semoga saja mereka, atlet Indonesia itu meraih medali emas. Lalu di akhir acara ditampilkan perolehan medali sementara seluruh kontingen, dan Indonesia masih terpuruk di urutan ke enam, di bawah Thailand, Vietnam, Singapura, Filipina dan Malaysia. Entah kenapa perasaan saya jadi tak enak. Semacam keprihatinan, semacam kesedihan. Ah, semoga saja para atlet itu tidak patah semangat dengan kenyataan ini. Kemudian saya menulis lagi, merampungkan satu judul yang hampir selesai.

Setelah selesai menulis saya tetap saja di kamar, membaca koran yang dibeli teman saya beberapa hari ke belakang. Di edisi 8 desember 2007, dimuat berita-berita dengan judul seperti ini :

  1. “Pembangunan Manusia ; Ketika Indonesia Semakin Tenggelam”
  2. “Distribusi BBM Subsidi Belum Tepat Sasaran ; Masyarakat Lebih Percaya kepada SPBU Asing”
  3. “Perbatasan RI ; Pembeli Kena Pungutan, Pasar Tradisional Sepi”
  4. “Pelayanan ; Sekitar 400 Puskesmas Terancam Tanpa Dokter”
  5. “Muatan Tertahan di Palembang ; Harga Bawang Merah di Jambi Rp 25.000 Per Kilogram”

Dan masih banyak lagi berita yang lain. Entah kenapa perasaan saya jadi tak enak. Tapi saya bersyukur, karena di edisi berikutnya yaitu 9 desember 2007, saya membaca berita ini : Dari arena SEA GAMES ke 24 Thailand ; “Indonesia Tambah Enam Emas”. Lalu koran itu saya simpan. Dan saya menulis lagi.

Sekitar jam tiga sore saya pergi mandi, tapi ternyata sabun mandi dan pasta gigi telah habis. Dan pergilah saya keluar kamar, pergi belanja ke warung kecil di pinggir jalan raya setelah melewati bangunan sekolah dasar. Pulangnya hujan turun cukup lebat, terpaksa saya menunggu sampai reda. Waktu hampir menunjukkan pukul empat sore, ketika saya berlari kecil menembus rintik hujan kembali ke kost-an. Tak sengaja saya melihat tiang bendera di depan sekolah dasar itu. Kain benderanya basah kuyup kena hujan, tapi warnanya tidak berubah, tetap merah-putih seperti dulu. [ ]

Kamu Masih Misteri

Perempuan itu sedang sibuk mengajar di depan kelas. Belum terlalu siang waktu itu. Murid-muridnya dengan serius memperhatikan apa yang diucapkannya, tapi ada juga beberapa yang melamun, ada juga yang mengganggu teman sebangkunya bahkan ada yang terkantuk-kantuk, mungkin semalam kurang tidur. Dia, perempuan itu dengan sabar melaksanakan tugasnya, mendidik anak-anak itu dengan penuh kasih sayang. Mengajar di Sekolah Dasar (SD) mempunyai citarasa tersendiri dibanding mengajar di level pendidikan yang lebih tinggi, karena usia SD selain sedang jernih-jernihnya menyerap ilmu juga masih belum bisa lepas dari perhatian seorang ibu. Dan dia menjalaninya, karena dia menikmatinya. Perempuan itu mungkin saja kamu, seseorang yang suatu saat akan aku cintai. Perempuan itu tidak mustahil adalah kamu, calon istriku.

Di halaman depan sebuah rumah yang teduh, perempuan itu sedang menyapu daun-daun yang berguguran. Dia baru saja selesai memasak di dapur, sambil menunggu suaminya pulang dia menyapu halaman. Rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar kebun bunganya yang mungil, dia cabuti sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Burung-burung yang hinggap di dahan pohon rambutan, menemaninya sambil berebut mencari makan dari dahan satu ke dahan yang lain. Perempuan itu suatu saat akan mencintaiku dan aku akan mencintainya. Perempuan itu mungkin saja kamu.

Selepas maghrib, hujan belum juga reda bahkan semakin lebat. Langit terus menghitam menutup bintang-bintang dan bulan yang akan keluar. Dia cemas menunggu suaminya yang belum pulang. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, sementara yang dinantinya belum juga datang. Sesekali dia mengintip keluar dari kaca jendela yang basah oleh percikan hujan, lalu duduk lagi di sofa depan televisi. Hatinya sangat tidak tenang. Hp suaminya tak bisa dihubungi, dan suaminya tak menghubungi dia. Sebuah penantian kabar yang cukup menegangkan. Lalu daun pintu terdengar ada yang mengetuk dari luar. Dia langsung meloncat membuka pintu lalu menghambur kepada orang yang berdiri di balik pintu itu. Suaminya basah kuyup kehujanan. Dan angin berhembus kencang. Perempuan yang cemas itu adalah kamu. Suatu saat siapa pun kamu pasti akan aku cintai, dan kamu akan mencintaiku.

Sekarang katanya zaman emansipasi, maka kamu bisa saja seorang dokter, seorang jurnalis, seorang aktivis HAM, seorang karyawan swasta, seseorang yang berwirausaha, seorang penulis buku dan profesi-profesi lain yang padat karya. Tapi jika akhirnya pekerjaan itu menjadikan kamu lupa dan menelantarkan keluarga, maka itu bukan kamu. Bukan seseorang yang akan aku cintai.

Ketergesaan menggapai-gapai hal yang masih misteri akan membawa kita pada suasana yang berwarna, jika hal itu telah ditemui. Bisa gembira, bisa juga kecewa. Tergantung kesesuaian antara harapan dan kenyataan. Mencari dan menggapai-gapai pasangan hidup salah satunya. Coba saja tanya kepada mereka yang telah berkeluarga. Kamu akan temui jawabannya.

Jika hal itu telah dialami, maka yang menjadi kewajiban kita adalah bertanggungjawab terhadap pilihan. Baik-buruknya pasangan hidup adalah pilihan kita, kecuali jika masih hidup dalam keluarga konvensional ala Siti Nurbaya. Maka bagaimana pun dan siapa pun dia, pasangan hidup kita adalah organ yang telah menyatu dengan kehidupan kita. Silahkan bercita-cita. Silahkan berusaha. Tapi jangan jadi pengecut dengan menyakiti pasangan hidup pilihan sendiri. [ ]

09 December 2007

Otokritik

Kata orang-orang hidup adalah sebuah garis yang memanjang dan berakhir pada sebuah ujung. Kalau terus dijalani akan kita dapati garis itu tidak akan pernah kembali pada titik awal. Dia tidak seperti tiket pergi yang akan selalu dibarengi dengan tiket pulang. One way ticket, begitu kata seorang kawan. Orang-orang yang terjerumus pada dunia gelap narkoba, sering diibaratkan pada kondisi ini, artinya mereka tidak bisa atau sangat sulit untuk kembali pada kehidupan mula-mula yang normal. Tapi jika kita renungkan, sebenarnya semua peristiwa selalu begitu, selalu tidak bisa diulang, karena waktu tidak berjalan mundur. Yang ada hanyalah pengulangan kejadian dengan ruang waktu yang berbeda. Jadi penyesalan adalah hanya sebuah konsep rasa yang tidak akan mengubah kejadian dibelakang. Dia menjadi berguna hanya jika perjalanan ke depan menjadi lebih baik dari pada yang telah dialami. Begitulah waktu, dia ajeg, kukuh dengan perjalanannya.

Setiap kita pasti punya ujung pemberhentiannya masing-masing, karena setiap kita punya takdir kematiannya juga, entah kapan. Dengan ketidaktahuan yang sangat itu, terkadang kita masih bisa bermain-main dengan waktu. Dengan misteri Tuhan. Sisa jatah hidup itu sering kita lupakan, sebelum akhirnya waktu itu benar-benar datang dan mengingatkan kita. Setiap kita memang begitu. Aku, kamu, kalian dan orang-orang itu memang tak berdaya dengan segala pesona hidup. Pesona yang nikmatnya kita rasakan berbeda-beda. Konsep dosa dan kebajikan sudah terlalu asing buat kita bicarakan dalam medan hidup yang luas, dia hanya sebatas ritual yang kita jadikan sesuatu yang sacral. Sebatas garis vertical hubungan kita dengan Tuhan. Padahal masih kata orang-orang dia itu hadir dalam setiap denyut kehidupan. Dia vertikal sekaligus horizontal. Dia pribadi sekaligus sosial. Dia kontemplasi sekaligus interaksi.

Komitmen memang tidak sebatas dengan Tuhan, tapi juga dengan manusia. Dan komitmen seharusnya tidak kembali pada garis awal ketika komitmen itu belum diikrarkan. Dia harus terus hidup sampai kita tidak lagi hidup. Begitu idealnya. Dan kita selalu berkata : bahwa sangat sulit untuk berada pada kondisi ideal, semacam sikap kalah sebelum berperang. Dan karena kita sepakat bahwa tidak ada kondisi ideal, maka komitmen itu kita ikrarkan untuk kita langgar sendiri. Kemudian konsep selalu butuh visualisasi untuk penggambaran.

Dan inilah visualisasi itu : Wakil rakyat dipilih untuk mengkhianati rakyat, mereka entah mewakili siapa?. Pernikahan dilaksanakan untuk mengkhianati janji masing-masing, suami-istri entah berjanji kepada siapa?. Setiap hari kita bersaksi pada Tuhan dan setiap hari juga kita tidak merasa, bahwa Tuhan tengah menyaksikan, kita entah bersaksi kepada siapa?. Dan kita tidak terganggu dengan itu semua, karena kita sudah sepakat bahwa hidup tidak ada yang ideal. Dan kita berlindung dibalik itu. Sebuah tempat berlindung yang sesungguhnya rapuh. Terus saja begitu. Sementara garis yang memanjang yang tengah kita jalani ini semakin mendekati titik akhir. Kita takkan pernah ingat sebelum titik akhir itu mengingatkan. Dan kita ingat setelah segalanya terlambat. [ ]

Cerita Tentang Cita-cita

Kalau kalian tidak tahu dan tidak mau tahu, biar saya ceritakan di sini saja kawan saya yang satu ini. Orang-orang memanggilnya Irfan, tapi saya lebih senang menyebutnya Uwa, tapi biarlah nama berdiri sendiri terserah bagaimana orang memperlakukannya. Waktu kecil dia tidak punya cita-cita seperti anak-anak kebanyakan. Maka jika dia ditanya tentang cita-cita, jawaban yang keluar adalah kata : “tidak ada”. Entah kenapa, dan biarlah waktu menyimpan semua misterinya.

Beranjak remaja baru dia punya sebuah harapan : “ingin jadi juara kelas”. Dan itu tak terlalu susah untuk mendapatkannya, tapi hanya sampai SMP saja itu berlaku, karena selebihnya adalah kekalahan. Masa SMA bukan sebuah jembatan waktu yang patut dikenang baginya, karena kenyataan telah menyeretnya ke dalam sebuah pencapaian yang nyaris tak ada hasil, nyaris nol besar. Orang-orang berlari saling berebut mengeksekusi kesuksesan akademik, sedangkan dia hanya merenung-renung dan menimbang-nimbang sebuah kecemasan. Kecemasan akan masa depan. Kecemasan yang hampir saja membunuhhya, dan inilah waktu di mana untuk pertama kalinya cita-citanya patah.

Dan orang-orang tidak tahu. Dan orang-orang tidak mau tahu. Maka biarlah saya saja yang tahu.

Lalu menjelang dewasa idelismenya mulai timbul dan menumpuk menemani langkah dan aktivitas, sebelum akhirnya terjerembab dalam kampus abu-abu. Sebenarnya bukan di situ tujuan segala pemikiran dan rencana aktivitasnya, tetapi prestasi akademik harus berbicara lain, dia punya cara sendiri untuk mengkotak-kotak manusia, keinginan dan harapan. Dan inilah patahan kedua dari cita-cutanya yang tidak tercapai.

Biarlah saya saja yang tahu, kalau orang-orang tidak tahu dan tidak mau tahu.

Dan waktu berjalan terus melewati semua kejadian dan kenangan. Dan dia akhirnya lulus membawa segenggam impian dan kenyataan. Garis batas keduanya ternyata berjauhan. Ketika impian membumbung setinggi langit, sedangkan kenyataan masih berjejak di bumi, maka hal inilah yang tidak terlalu mudah untuk dihadapi. Dan dia menghadapinya. Dan dia harus menghadapinya. Mencoba dan akhirnya gagal adalah lebih baik daripada tidak pernah sama sekali. Dan inilah yang aku lihat sekarang pada semesta dirinya.

Desember baru memasuki hari keempat, sebentar lagi hari kelahirannya. Seperti juga kematian, hari kelahiran bukanlah sesuatu yang teramat istimewa untuk dirayakan, dan saya merayakannya dengan menulis ini.

Benar katamu kawan, kesendirian adalah kado terbaik untuk mengenang hari kalahiran. Kesendirian akan menghadirkan keheningan. Hening yang senyap dan padat, lalu menekan ke dalam dan akhirnya akan timbul sebuah titik balik yang mencerahkan. Tapi saya tidak tahu setelah ini, apakah cita-cita itu akan mengalami pencerahan atau sebaliknya akan menghadirkan patahan-patahan baru?. Untuk yang satu ini saya benar-benar tidak tahu.

Apa sesungguhnya yang lebih misteri selain hari yang belum dijalani?. Dan saya tahu dia akan menghadapi semua yang tanda tanya itu. [ ]

Perempuan Wangihujan

Menjejakkan kaki di Bandung, menghirup udaranya dan menikmati semesta kotanya selalu membuatku enggan beranjak. Apalagi kalau hujan. Air yang tumpah dari langit jatuh ke daun lalu diserap akar, semakin membuat kota itu lembab. Hujan selalu saja begitu. Hujan selalu membuatku rindu untuk mendengarkan air beradu dengan bumi.

Seperti pada hujan, begitu juga padamu. Aku rindu. Maka kamu adalah perempuan wangihujan. Jangan protes ya. Sebab kalau protes kecantikanmu tak tertampung. Terlalu cantik soalnya. Tapi kalau kamu mau bilang ini hanya sebuah rayuan, boleh saja. Karena aku lebih senang menyebutnya kejujuran. Dan aku rasa kejujuran dimana-mana sama. Tak menghitamkan yang putih, juga tidak memutihkan yang hitam.

Menikmati Bandung, duduk di atas lantai 3 kost-an, melihat lampu kelap-kelip di utara sambil sesekali menghirup kopi panas menghadirkan satu nuansa. Sayang, kamu perempuan wangihujan tidak ada.

Menikmati Bandung, berjalan di Purnawarman lalu melahap buku di Gramedia adalah sebuah citarasa. Sayang, kamu perempuan wangihujan tidak ada.

Menikmati Bandung, memanjakan tubuh dengan dinginnya udara di Lembang dan Dago atas selalu membuatku ingin kembali. Sayang, kamu perempuan wangihujan tidak ada.

Menikmati Bandung, nonton di ruangan berpendingin, makan di kakilima, berteduh di taman kota atau sesekali larut di Gazebo pada minggu pagi adalah kesenangan tersembunyi. Sayang, kamu perempuan wangihujan tidak ada.

Dan ketiadaan selalu menyisakan kerinduan. Apalagi Jarak. Dan aku harus bersiasat. Ini hanya masalah strategi. Dimana-mana hidup perlu kerja keras. Lalu aku sadar bahwa aku bisa sedikit menulis. Maka bekerja keraslah aku menulis untuk menepis rindu itu. Aku yakin menulis bisa mengurangi tensinya.

Dan aku yakin ketika aku menulis, kamu perempuan wangihujan masih di situ, di tempat tidurmu. Duduk atau terbaring. Seperti Dee, aku juga iri pada baju tidurmu, handukmu, bantal, seprai apalagi guling. Stop. Aku tak kuat membayangkannya.

Maka kalau malam ini aku mimpi, aku ingin mimpi tidur di sebelahmu. Dan ketika wajah kita berhadapan, pasti aku tak tahan. Tak usah bicara, diam saja. Aku pasti beku.

Atau jika itu tak mungkin, aku ingin mimpi memegang tanganmu. Ada sensasi aneh saat kulit kita bersentuhan. Darahku dan mungkin juga darahmu terasa berdesir. Ada segenggam kenyamanan di situ. Aku bisa merasakan denyut nadimu.

Aku mencintaimu, sangat.....[Published ]

08 December 2007

Aku Ingin Menjadi Cinta

Tanggal, bulan dan tahun berapa kamu lahir?. Berapa pendapatanmu?. Berapa usiamu?. Berapa harga handphonemu?. Berapa jumlah sepatu dan celana jeansmu?. Berapa orang selingkuhanmu?. Berapa kali kamu pacaran?. Berapa orang mantan pacarmu?. Berapa jumlah uang di kantongmu?. Berapa jumlah saldo di ATM-mu?. Berapa lama waktu yang harus ditempuh dari rumah ke kantormu?. Berapa lama kamu menganggur?. Berapa kali dalam sehari kamu meninggalkan sholat?. Berapa kali dalam sebulan kamu bisa melaksanakan sholat shubuh?. Berapa kali kamu membentak orang tuamu?. Berapa kali kamu disakiti oleh orang yang kamu cintai?. Berapa tahun kamu menyelesaikan kuliah?.

Usia berapa kamu akan menikah?. Barapa batang rokok yang kamu habiskan dalam sehari?. Berapa buku yang pernah kamu baca?. Berapa tulisan yang kamu hasilkan dalam sebulan?. Berapa kali kamu ML dengan pacar atau selingkuhanmu?. Berapa kali kamu pura-pura orgasme?. Berapa kali kamu menyakiti orang-orang yang diam-diam mencintaimu?. Berapa orang pahlawan yang benar-benar jadi pahlawan bagimu?. Berapa orang manusia yang pernah kamu campakkan?. Berapa orang manusia yang benar-banar kamu benci?. Berapa jumlah utang dan piutangmu?. Berapa orang manusia yang ingin kamu bunuh?. Berapa orang jumlah anak yang kamu inginkan?. Berapa liter ASI yang telah kamu habiskan?. Usia berapa pertama kali kamu mimpi basah?. Berapa kilometer jarak yang telah kamu tempuh dengan motor?. Berapa kali kamu sakit sepanjang hidupmu?.

Berapa kali kamu “berdamai” dengan polisi?. Berapa kali kamu merasa kecewa?. Berapa kali kamu merasa terpuruk?. Berapa kali kamu merasa pintar? Berapa kali kamu merasa cantik?. Berapa kali kamu merasa bisa menaklukkan pria?. Berapa kali kamu menggugurkan kandungan dalam rahimmu?. Berapa kali kamu membuang sperma dalam rahim wanita lalu meninggalkannya?. Berapa kali kamu marah yang benar-benar marah?. Berapa botol vodka yang pernah kamu minum?. Berapa kali kamu makan tanpa diawali dengan do’a?. Berapa kali kamu melakukan sex kilat di dalam lift, di toilet, di bioskop, di taman kota dan di angkutan kota?. Berapa kali kamu merasa kesepian?. Berapa kali kamu onani?. Berapa kali kamu ikut upacara bendera?. Berapa kali kamu mengintip orang yang sedang mandi?. Berapa kali kamu pindah kerja?.

Berapa kali dalam sehari kamu berdo’a?. Berapa tahun usia adikmu, kakakmu dan orangtuamu?. Berapa kali kamu pergi ke tempat yang kamu benci?. Berapa kali sepanjang hidupmu kamu pergi berziarah ke makam pahlawan?. Berapa kali kamu nonton film porno?. Berapa kali kamu merasa diabaikan oleh Tuhan?. Berapa kali kamu ingin diperhatikan oleh orangtua, oleh istri, oleh selingkuhan, oleh pacar, oleh suami, oleh teman dan oleh Tuhan?. Berapa kali kamu memperhatikan mereka yang aku sebut itu?. Berapa kali kamu merasa terasing dan diasingkan?. Dan usia berapa kamu ingin mati?.

Dan hidup semakin dipenuhi angka-angka. Dan angka-angka semakin mengepung kita. Lalu hidup berjalan terus. Cinta dipatahkan. Kepercayaan dikhianati. Kebenaran dipalsukan. Kesalahan menjadi kenyataan. Cita-cita dan harapan dihancurkan. Kebaikan semakin langka. Kesalahan menjelma menjadi kita. Kebenaran menjadi tidak mutlak. Kesalahan menjadi absolute. Pernikahan disakralkan untuk kemudian kita ludahi. Perceraian di mana-mana, lembaga kehidupan hancur di mana-mana. Anak-anak menjadi gila, pengecut, bajingan, karena itulah warisan orang tua dan lingkungannya. Lembaga pendidikan berubah menjadi ladang perniagaan. Persahabatan menjadi palsu karena dicemari tipu dan nafsu. Negara hanya sebatas legalitas, karena selebihnya adalah omong kosong yang luar biasa. Hiburan di mana-mana, yang stress di mana-mana. Kepalsuan di mana-mana. Yang tumbuh dikerdilkan. Yang kerdil didiamkan. Yang hidup berguguran. Yang mati dibenamkan.

Sejak kapan manusia harus jadi pahlawan?. Sejak kapan manusia pintar berkhianat?. Sejak kapan manusia terus berkompromi dengan system?. Sejak kapan kita menjadi penakut?. Sejak kapan kita menjadi pengecut?. Sejak kapan kita tidak menghargai nilai-nilai?. Sejak kapan manusia terus berputar dalam lingkaran setan?.

Aku ingin menjadi sinyal. Aku ingin menjadi sandi. Aku ingin menjadi watak. Aku ingin menjadi otak.. Aku ingin menjadi hati. Aku ingin menjadi kata-kata. Aku ingin menjadi do’a. Aku ingin menjadi cinta. [ ]

03 November 2007

Mandi

Waktu dia datang, aku seperti biasa tengah duduk di bangku kamarku. Tak ketinggalan sebatang rokok tengah aku hisap. Duduk, menghabiskan waktu sambil merenung, menerawang masa depan menjadi kebiasaan setelah masa kuliah itu. Dan ketika dia mengulang kegiatan itu, dia datang. Selembar senyum khas menyapaku. Dan dia tak berubah. Tetap kurus dan dibalut kulit legam. Sorot matanya tetap seperti dulu, dalam dan berisi, lalu terjadilah pecahnya kerinduan, aku dan dia berangkulan. Menyatukan kembali emosi yang sempat terpisah. Lalu tenggelamlah dalam dialog nilai. Dialog yang sejak dulu sering kami lakukan. Dialog tentang perjuangan, nilai hidup, ideologi, cinta sampai perjuangan menggapai materi. Dialog itu selalu panjang dan hening. Tidak meledak-ledak. Hening, senyap tapi padat. Dua hari dua malam kami mereguk habis segala pembicaraan.

Sampai detik ketika dia harus kembali lagi kepada setapak kecilnya. Setapak kecil yang harus dilaluinya, karena dia telah memilihnya. Sementara aku dihadapkan kembali pada kenyataan yang telah lama menawanku. Kenyataan pahit, mungkin lebih pahit daripada yang dia alami. Aku kembali menjalani hari-hari kosongku dengan langkah tanpa orientasi yang jelas. Hidup tanpa jeda, karena waktu menjadi sangat lama. Lama menunggu kepastian arah. Dan ketika ketika aku menantinya, maka hidup menjadi cepat. Jam seperti kehilangan rem. Semua bergerak sangat cepat. Roda-roda waktu berputar saling menyalip. Sementara orang-orang berlomba saling mendahului keberuntungan. Meninggalkanku yang tercecer di belakang.

Aku dan dia sama-sama tengah sakit keadaan. Waktu belum bergulir ke arah yang kami inginkan. Aku masih di sini. Di tempurungku yang sempit , pengap dan penuh asap. Sementara dia, dengan kondisi belum memenuhi syarat administrasi, harus menyelesaikan akademiknya yang sebenarnya tidak dia harapkan. Sebenarnya dia lebih ingin di sana. Berdiri, berjalan, bernafas dan menyatu dengan alam. Tapi karena sebagian relasi terdekatnya menginginkan hal ini, maka ditempuhlah kenyataan hambar ini. Dia masih beruntung. Setidaknya masih punya pilihan dan masih bisa memilih. Karena kemampuan memilih, walau bagaimanapun dapat mengurangi rasa penat yang memayungi diri.

Dua hari dua malam dia berada di sini. Sebentar memang. Tapi cukup memberikan sedikit ledakan. Ledakan yang membuatku kembali menata ulang selembar peta kehidupan. Khas. Dia memang selalu begitu. Selalu menyodorkan pandangan-pandangan tajamnya. Walaupun memang terkadang terlalu tajam. Dan beberapa saat sebelum dia pergi, dia sempat juga mandi. Sebuah aktivitas langka, setidaknya ketika dia kuliah dulu. Mandi, membersihkan daki dan debu-debu kehidupan yang setiap saat beterbangan. Membedaki muka, menyumbat pernafasan, menggimbalkan rambut, memerihkan mata, membebalkan hati, berdamai dengan sistem, mengaburkan pandangan sekaligus jarak pandang.

Mandi. Memang itu yang harus dilakukan. Menghadirkan kembali kenormalan, agar daki dan debu tidak melembaga dalam fikiran dan jiwa. Dan mandi memang bukan hanya hak badan saja, kerena yang terpenting adalah membersihkan yang di dalam, yang selalu bolak-balik pada kebenaran dan kesalahan, dan itulah kalbu. Dan kewajiban mandi yang kedua menjadi gugur apabila kita tak punya hati. [Published]

Jalan Jurig Jarian

“Buat apa susah-susah bikin skripsi sendiri
Sebab ijazah bagai lampu kristal yang mewah
Ada di ruang tamu hiasan lambang gengsi
Tinggal membeli tenang sajalah.....”

”Traaakh...”, tombol play itu berdiri. Menghentikan musisi kritikus yang tengah bernyanyi, atau tengah sakit gigi.

”Ngapain lu matiin?!”, Joko tidak terima.

”Lu gak tersinggung sama lirik itu?!”.

”Tersinggung?!, sejak kapan lu jadi sensitif?!”

”Sejak gua kuliah!”

”Ah, basi lu!!”, Joko memijit kembali tombol play. Mempersilakan musisi kritikus meneruskan teriakan sakit giginya.

”Eh, lu denger gak sih liriknya?!”

”Iya gua denger, terus kenapa?!”, Joko mulai bereaksi. Reaksi seperti siap untuk konfrontasi.

”Lu merasa dihina gak sih?!”

”Maksud lu?!”, Joko menurunkan tensinya.

”Gua tahu, lu gak bakalan kayak orang di lirik itu, tapi masa kaum kita disudutkan lu masih terima sih?!”

Joko tak menjawab, dia malah melihat jam tangannya. Sebuah bahasa tubuh yang tak dimengerti lawan bicaranya.

”Lu masuk jam tujuh kan?, udah lewat lima belas menit tuh, ntar lu telat lagi!”, akhirnya bahasa tubuh itu berujung pada pengusiran lawan bicaranya.

Di ujung kamar, lawan bicaranya itu masih sempat berkomentar, ”lu gak peka Jok!!”

”Lu plagiator ya?!”, setengah berteriak Joko memuntahkan kalimat yang terasa pedas di kuping lawan bicaranya, padahal lawan bicaranya itu telah empat langkah meninggalkan kamar Joko.

Tombol play tidak ada lagi yang mengganggu. Musisi kritikus merdeka. Sakit giginya memasuki stadium II.

Lalu Joko bergegas mandi. Parade kotoran yang bersemayam di badan kurusnya dia sweeping dan buang. Lalu busa sabun menjadi tidak putih. Krem. Berlomba menuju lubang pembuangan.

Dan kini tersisalah tubuh kurus di depan cermin. Sambil bersiul, dia menyisir rambutnya. Merapikan setiap centi penampilannya. Hari ini Joko bimbingan skripsi.

***

Pagi itu seperti biasa, Jaja membereskan dagangannya. Di jalan Jurig Jarian dia berdagang. Tumpukan buku dan karya ilmiah minta dirapikan, karena sebentar lagi para pembeli akan datang. Berduyun-duyung, tawar-menawar, transaksi, memberinya rezeki dan memudahkan para pembelinya.

Berangkat dari desa kecil dan hanya menamatkan S dua kali, Jaja merasa pekerjaannya sekarang telah lebih dari cukup untuk menjadi kompensasi dari perjuangannya.

”Mau kerja apa lagi, orang saya cuma lulusan SD sama SMP aja kok!”, begitu jawabnya ketika tetangganya sedikit mengkritik mata pencahariannya itu.

”Yang penting halal, iya toh?!”, Jaja melanjutkan argumentasinya.

”Iya, tapi pekerjaanmu itu melanggar kode etik pendidikan!”

”Alaaah..., mau kode etik pendidikan kek, mau politik kek, saya mah gak ngerti, yang penting mah dapur mesti terus ngebul, biar anak istri saya bisa terus hidup. Lagian yang yang melanggar kode etik kan mereka, bukan saya?!”, Jaja mengeluarkan kata-kata proletar, seperti seorang sosialis yang tengah orasi dengan menjinjing perut korong rakyat atau menuntun seorang anak busung lapar.

”Ya, terserah kamulah!”, tetangganya pergi. Seperti orang kalah perang. Kalah oleh tentara jajahannya. TKO!!.

Dan hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, Jaja kedatangan anak-anak itu. Anak-anak yang sering mengingatkannya pada cita-cita lama yang telah ditimbunnya. Anak-anak yang menyambung hidup keluarganya. Anak-anak yang sering Jaja lihat di jalanan. Meneriakkan aspirasi, membakar kulitnya di bawah terik mentari, memperjuangkan idealisme. Bersama....mereka mengusung daya kritis, intelektual, cita-cita dan harapan. Barikade tentara dan polisi hanyalah hambatan kecil bagi gelombang besar mereka.

Mereka...bergulung, bergemuruh, merontokkan dinding-dinding kekuasaan. Dan mari sekarang kita hiperbola lagi keadaan yang telah hiperbnola itu. Bahkan tembok raksasa Cina pun bisa diruntuhkan sepertinya.

Di tengah kondisi yang bergemuruh itu, Jaja tampil sebagai sang penakluk. Gelombang besar itu tunduk di kiosnya. Segala idealisme diistirahatkan di sana. Titik masa depan telah menggoda gelombang besar itu untuk menggadaikan nama besarnya. Aristokrat mungkin ada, tapi hanya menghiasi dinding luar saja.

”Jurusan apa mas?”, Jaja mencoba mencari tahu identitas si pembeli untuk memudahkan pencariannya,

”Sastra Iblis”

”Ini Mas, ada yang terbaru tahun 2004”

Si pembeli membolak-balik barang itu. Membaca judulnya berulang-ulang.

”Yang lain deh, judulnya gak enak”

Jaja pergi lagi kederetan Sastra Iblis, lalu mengambil tiga buah.

”Yang ini berapa duit?”

”Biasa, enem lima”, Jaja menekankan harga familiar.

”Gak bisa kurang bang?, kata anak-anak biasanya gocap”

”Paling kurang goceng”

”Gocap aja deh, ya?!”

”Lima..lima deh!”, Jaja menawarkan harga tengah.

”Gocap!”

”Udah habis segitu”

Si pembeli kembali membolak-balik barang. Membaca selintas karya ilmiah Sastra Iblis itu. Lalu merogoh kantong dan menghentikan tawar-menawar. Kemudian pergi ke rental komputer, membayar masa depannya. Tanpa bekerja sedikit pun. Kalau pun kerja, paling hanya tawar-menawar harga, tenaganya habis buat demonstrasi.

”Mas, tahun sama judulnya sesuaikan aja, ya!”, instruksi pertama untuk kuli ketik

”Isinya plek sama?”, kuli ketik bertanya.

”Ya..., modif sedikit aja!”, instruksi kedua datang.

”Oke”, kuli ketik faham.

”Ntar sisanya pas gua ambil, ya!”

”Oke”, kuli ketik faham lagi.

Beberapa lembar uang pecahan 10.000 rupiah pindah ke tangan si kuli ketik.

Si pembeli jasa pergi ke kost-an, meninggalkan ketikan masa depannya. Apa pun bisa dibeli. Sistem pasar telah merekontruksi peta pemikirannya. ”Anda butuh uang, saya butuh barang”. Bukankah itu hukum ekonomi yang paling klasik?. Kenapa harus dipermasalahkan?. Bukankah bayangan masa depan sama dengan tiket masuk PTN?. Bisa dibeli. Bisa pakai joki. Apa bedanya beli skripsi, tesis dan disertasi dengan beli terasi?. Tinggal menjentikkan jari, semua bisa diatasi.

Calon pembeli kedua datang. Memilih-milih buku tua. Diambil satu, dibuka lalu disimpan lagi. Ambil satu lagi, dibuka lagi dan disimpan lagi. Pada buku ke-empat, calon pembeli tampak melayangkan pandangan ke seluruh pojok kios. Seperti ada yang dicari.

Jaja menangkap keinginan calon pembeli. Sigap dia ke rak tesis dan mengambilnya tiga buah.

”Nyari ini, mas?”, Jaja mencoba menghentikan pandangan selidik calon pembelinya.

Tesis pertama dilihat sebentar, lalu disimpan. Tesis kedua nasibnya tak jauh beda dengan yang pertama. Yang ketiga lebih sial. Tak disentuh, hanya dilirik saja.

”Ada judul yang lain, bang?”

”Saudara ngambil jurusan apa?”

”Teknik Menangkap Tuyul”

”Sebentar...”

Jaja menuju rak dan mengambil koleksi tesis jurusan Teknik Menangkap Tuyul.

”Ini mas...bagus kayaknya?”

”Wah...buleh juga nih, berapa duit?”

”Cepe”

Si pembeli mengeluarkan dompet dan mengambil uang pecahan 100.000 rupiah satu lembar. Di dompetnya terlihat malu-malu sebuah kartu tanda mahasiswa. Dan di KTM itu fotonya tersenyum cerah. Penuh harapan. Dan dia tidak menutupi mukanya.

”Makasih bang!”

”Yoo...sama-sama!”, Jaja mengibas-ngibaskan uang 100.000 itu. Matahari belum terlalu tinggi. Dia telah mengantongi 155.000 rupiah.

***

Perburuan Pertama :

Telah hampir dua jam Joko duduk di situ. Di ruang tunggu Pembantu Rektor Bidang Pemberdayaan Mahasiswa Ripuh. Purek yang sekaligus dosen pembimbingnya itu sibuk rapat meskipun saat yang dijanjikan telah dua jam berlalu. Waktu yang kelam perlahan seperti membunuhnya. Tik-tak-tik-tak, suara jarum jam menjadi mengerikan. Dan sesekali ucapan : ”sebentar ya de, bapaknya masih rapat”. Mau rokok susah. Masa di ruang Pembantu Rektor merokok?. Apa gak kurang sopan?. Ah...#@$%^&*, Joko mengutuki feodalisme di kampusnya.

Menunggu telah memasuki jam ketiga. Hari itu bimbingan gagal. Dosennya yang Purek itu langsung pulang. Lelah, dibantai rapat panjang.

Perburuan kedua sekaligus terakhir :

”Oke Jok, saya tunggu pukul tiga sore di ruanagan saya!”

”Makasih Pak”

”Ya, sama-sama”

Klik, telpon ditutup. Pak pembimbing melihat jadwal kuliah. Kurikulum Doktor menghilangkan selera makannya. Lama dia duduk termenung sebelum akhirnya bergegas menyambar kunci mobil dan melaju meninggalkan kampus. Rapat dengan pembantu rektor se-kota Siluman Raya telah menunggunya.

Sementara Joko lega, jadwal bimbingan sepertinya tak terganggu lagi.

Bertemu dengan dosen pembimbing seperti menangkap asap. Nyata terlihat, tapi susah ditangkap. Mendingan seperti kentut, walaupun tak terlihat, tapi nyata, dapat dirasakan kehadirannya.

Dan sore itu Joko berharap bertemu kentut, bukannya melihat asap. Tapi sial, harapan tinggal harapan. Jangankan bertemu kentut, melihat asap saja tidak. Sampai jam setengah enam sore asap belum pulang ke kampus. Masih terlibat rapat alot dengan komunitas Purek se-kota Siluman Raya.

***

Sebelas hari setelah gagal menangkap asap, Joko tak pernah lagi menghubunginya. Dia terus saja mengerjakan skripsinya tanpa pembimbing. Mengejar deadline yang tinggal dua minggu lagi. Asap pun sama, tak pernah menghubungi Joko, dia sibuk dengan aktivitasnya, sehingga jangankan menjadi kentut, mempertahankan diri sebagai asap pun kini sulit dicapai, karena dirinya telah berubah menjadi uap. Tak terlihat. Tak terasa. Tapi masih punya nama.

Monitor 14 inci itu terus dipelototi. Huruf-huruf terus memenuhi layar Ms. Word. Tombol delete tak henti-hentinya ditekan, membersihkan tulisan yang salah ketik. Sebuah aktifitas koreksi di dunia pengetikan. Begitu mudah dilakukan. Begitu mudah dibersihkan. Sebuah kesederhanaan proses. Kesederhanaan yang menjadi kompleks di kota Siluman Raya.

Kini Joko memasuki bab IV. Bab hasil dan pembahasan. Di halaman ke-78 dia berhenti. Dia terbentur kebuntuan berfikir. Segala ide dan imajinasi hilang diculik posisi kuldesak otak. Uji kesesuaian antara teori dan hasil penelitian mendorongnya pada kedangkalan berfikir. Dia butuh referensi. Butuh narasumber sekaligus sparing pathner. Saat seperti itulah asap kembali melayang-layang dalam kapasitas memorinya. Asap menjadi sangat dirindukan. Dia dibutuhkan untuk melanjutkan pengetikan agar jangan terhenti di halaman 78.

Joko kemudian membuka Philip Kotler. Mencari penunjuk jalan untuk menambah halaman. Tapi Kotler seperti tengah kering. Tak bisa menjadi mata air inspirasi bagi mahasiswa Pemasaran Dedemit seperti Joko. Kotler pun dipecat lalu Joko memanggil Loudon dan Bitta. Mensiagakan panca inderanya untuk menangkap percikan ide dari buku itu. Tapi sampai siaga 1, Loudon dan Bitta masih sunyi. Jangankan percikan, sumber perciknya pun tidak ada. Loudon dan Bitta bernasib sama. Dipecat dan dilempar mengikuti pendahulunya.

Kini Joko benar-benar rindu asap. Padahal itu salah, karena asap telah berubah menjadi uap.

Tik-tak-tik-tak, jarum jam tak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Winamp terus bersuara, menggantikan tombol play dalam tape recorder. Dan kini memasuki ”Hening Malam”nya band asal Parij Van Java.

”Loh, tumben lu. Udah sadar ya?!”

Joko, si pencari inspirasi terus berfikir.

”Nah gini dong, jangan si musisi kritikus terus!”

Joko tak bergeming.

”....Diiringi deras hujan, kau menjelma dalam angan, biar indah itu semu setidaknya ku bahagia...aku akan tetap menunggu....” , lawan bicara Joko mulai mengisi suara latar pencarian ide.

Tombol keyboard mulai dipijit lagi. Sepercik ide menghampiri Joko.

Lawan bicaranya pergi. Lima menit kemudian dia kembali lagi membawa skripsinya. Memperhatikan Joko yang tengah menyelesaikan skripsi, dia semakin demonstratif. Membuka-buka dan membaca skripsinya.

”Hari gini masih bikin skripsi?!”

Layar Ms. Word memasuki halaman 83, Joko tengah kebanjiran ide.

“Makanya Jok, kalo lu pusing…., ngomong sama gua. Gua bisa bantu lu kok!!”

Kini bukan lagi banjir, tapi tsunami ide Joko meluap. Lelehan ide mengalir di kanal-kanal otaknya.

Sadar yang diajak bicara tidak komunikatif, lawan bicara Joko akhirnya pergi. Dengan ciri khas, sebuah kalimat sempat dia lontarkan di ujung kamar, ”kalo lu buntu, penjual skripsi banyak tuh di jalan Jurig Jarian!!”

Seketika tsunami ide berhenti. Informasi penjual skripsi menghentikan kerja mekanis otaknya. Apalagi jalan Jurig Jarian. Bukankah itu tak jauh dari kampusnya?. Joko berusaha menggerakkan lagi gelombang idenya, namun badai tsunami telah berhenti. Kini kebuntuan kembali menghampirinya.

Layar Ms. Word masih meminta isi. Dia seakan menodong Joko. Dan sebelum layar itu melumatkan fikirannya, Joko mengambil keputusan. Bukankah orang yang bisa mengambil keputusan, bisa memegang kendali nasib?.

Ms. Word ditutup. Winamp dimatikan. Komputer di shut-down. Stabilizer dialihkan ke posisi off. Dia bergegas pergi meninggalkan pesta pemikirannya. Jalan Jurig Jarian tengah menanti.

***

Sebagai salah satu pemain di pasar oligopoli, Jaja lumayan beruntung. Dia menjadi market leader di tengah ketatnya persaingan dengan produk seragam. Mahasiswa, para calon sarjana, calon master bahkan calon doktor tahu kiosnya. Konsumen yang puas dengan barang dagangannya beramai-ramai melakukan testimonial tentang Jaja. Dan terutama tentang barang dagangannya. Maka di tengah keseragaman produk, Jaja berhasil melakukan diferensiasi dengan service di atas rata-rata. Market share buku-buku dan karya ilmiah dia kuasai. Tanpa promosi Above The Line, setiap hari kiosnya tak pernah sepi. Seperti hari ini, seorang bapak setengah baya tengah meneliti barang dagangannya.

”Nyari buku apa pak?”, seperti biasa Jaja membuka pembicaraan, menuju transaksi dengan calon pembeli.

Sang Raja tak bergeming. Tetap saja meneliti barang dagangan. Dia melihat-lihat tumpukan buku ”Pemasaran Siluman Anjing”. Sang Raja?. Ya!!. Bukankah konsumen adalah raja. Bukankah sebaiknya seorang pedagang tak pernah membuka tokonya sampai dia bisa tersenyum. Senyum untuk konsumen. Senyum untuk Sang Raja.

”Hermawan terbaru pak, atau Kasali?”, Jaja kembali memijit tombol on pembicaraan.

Dua nama itu tak menerbitkan selera Sang Raja. Dia masih puasa ngomong. Tombol on salah pijit. Jaja malah menyentuh off.

Jaja gagal. Sebelum transaksi dia diskualifikasi. Lalu jeda sunyi yang panjang menghampiri. Jaja diam membisu. Sang Raja masih puasa ngomong. Lima belas menit kemudian jeda sunyi berakhir.

”Bang, ada disertasi ?”, kini Sang Raja yang memijit tombol on.

”Oh...banyak...banyak, pak!”, jawab Jaja. Dia tak lagi memijit tombol off.

“Bapak mengambil studi apa?”

“Pemasaran Siluman Anjing”

“Oh…ada…ada”

“Yang terbaru, bang!”, Sang Raja benar-benar telah buka puasa.

”Oke...!”

Kini keduanya terlibat aktifitas pembicaraan yang hangat. Jeda sunyi tak menghampirinya lagi. Jaja dan Sang Raja saling lempar kata-kata. Sebuah atraksi ”one-two” yang mengesankan. Dialog ping-pong itu baru terhenti pada titik transaksi. Deal pada harga 140.000 rupiah.

***

BBM naik lagi. Minyak tanah, solar, premium dan premix melambung tinggi. Maka demonstrasi pun bergelombang. Dan kalau mahsiswa langganan Jaja datang ke gedung Istana Negara, maka sopir angkot menempuh jalur klasik. Mogok narik

Trayek yang melewati jalan Jurig Jarian ikut partisipasi. Maka dari kampus, Joko terpaksa jalan kaki. Membantai kaki varisesnya di bawah terik matahari. Ubun-ubun dibiarkan telanjang. Kenaikan BBM melatihnya menikmati kehidupan.

Di kilometer kedua dari kampus, pada belokan ke kiri, sebuah mobil menepi, mendekati Joko. Lalu sebuah kepala terlihat di balik jendela dan memintanya mengakhiri pesta hujan sinar matahari. Joko tak menyangka, sosok yang pernah dirindukannya ketika kebuntuan menyerang pada halaman 78, tiba-tiba muncul di hadapannya. Sesaat dia mematung. Menstabilkan kerusuhan otak dan perasaannya.

”Ayo naik, kenapa kamu berdiri terus?!”, ajakan itu bertepatan dengan meredanya kerusuhan yang munculnya tiba-tiba.

”Kamu mau kemana?”

”jalan Jurig Jarian, pak!”

Yang dipanggil ’pak’ diam. Mulutnya tiba-tiba terkunci. Ada perasaan yang mirip seperti penyesalan. Lalu bertalu-talulah pertanyaan-pertanyaan itu : kenapa dia terlalu sibuk dengan rapatnya?. Kenapa para purek itu terlalu menariknya?. Kini dia merasa dihadapkan pada adegan kritis, adegannya para antagonis : Mahasiswa bimbingannya terjerumus ke jalan Jurig Jarian, sebuah pasar legal yang di blacklist dunia pendididkan kota Siluman Raya. Yang dipanggil ’pak’ menarik nafas panjang dan mengeluarkannya pelan-pelan.

”Kamu sering ke jalan Jurig Jarian?”

”Baru kali ini, pak”

Inputan ’baru kali ini’, sedikit menghadirkan tokoh protagonis di benaknya.

Di belokan pertama jalan Jurig Jarian, Joko pamit. Berterimakasih dan meninggalkan yang tadi dia panggil ’pak’. Mobil itu lalu melaju kembali. Dan di belokan ketiga masih di jalan Jurig Jarian, mobil itu kembali memasukkan seorang free raider. Bapak setengah baya masuk. Di tangannya tampak sebuah disertasi.

Yang tadi dipanggil ’pak’ melirik judul dan studinya. ”Pemasaran Siluman Anjing”, nama itu kembali menghilangkan tokoh protagonis dari benaknya. Dua orang setengah baya itu lalu membisu. Masing-masing asyik dengan dunianya. Dunia itu tak bisa dilebur, sebab sebuah big bang akan hadir di sela pertemuannya.

Di kejauhan, Joko memandangi mobil tumpangannya itu. Dia heran, kenapa asap dan temannya bisa akur?. Tapi itu hanya selintas. Lalu dia tersedot daya magnet jalan Jurig Jarian. Kutub selatan jalan Jurig Jarian menarik kutub utara dirinya. Lalu dia pun babak belur dalam transaksi penjiplakan.

Joko tak tahu apa yang terjadi di dalam mobil tumpangannya tadi. Bisu antar orang setengah baya itu semu. Kesunyian yang menyengat. Hawa panas tertahan, sebelum akhirnya meledak.

Di kantong belakang jok depan, pemilik ”Pemasaran Siluman Anjing” menemukan sebuah tesis, sepertinya dari jalan Jurig Jarian.

Asap merah padam. Sepupunya sedang menempuh pasca sarjana di ”Teknik Menangkap Tuyul”.

Sementara tanpa mereka sadari, lagu yang diputar di radio mobil itu sayup-sayup menyanyikan lagu si musisi kritikus :

”Saat wisuda datang dia tersenyum tenang
Tak nampak dosa di pundaknya
Sarjana begini banyaklah di negeri ini
Tiada bedanya dengan roti...”.[]

02 November 2007

Di Depan Gedung Indonesia Menggugat

“Air yang mengalir di sungai akhirnya akan bertemu dengan muara dan selanjutnya bergabung dengan samudera. Setiap muntahan yang keluar harus dibuatkan kanal agar tidak meluap dan membanjiri wilayah lain. Muntahan apa saja. Seperti air, mereka juga harus dialirkan, harus diberi jalan agar bertemu dengan titik yang akan meleburkan muntahan-muntahan itu menjadi terlihat wajar.

Keinginan, hasrat maupun minat yang timbul dalam diri harus dialirkan agar tidak meledak membedaki ketidakwajaran. Seperti perasaan cinta yang selalu melahirkan lagu, puisi, cerita dan film, keinginan untuk menulis pun harus disalurkan. Harus dimuntahan dan dialirkan, karena setiap hasrat yang terpendam akan melahirkan penyakit, walaupun penyakit itu dalam wujud yang paling abstrak sekalipun.

Menulis. Merangkai sukukata menjadi kata. Dan menyambung kata menjadi kalimat adalah sebuah aktivitas yang membebaskan. Rangkaian kalimat itu kemudian berubah menjadi paragraph. Paragraf yang membebaskan. Membebaskan kita dari tumpukan ide dan perasaan yang padat memenuhi otak dan hati. Menulis, seperti hasrat-hasrat yang lain adalah kawah yang bergolak yang harus dialirkan. Dialirkan agar bertemu dengan muara dan menyatu dengan samudera.

Maka ketika aku dihinggapi keinginan menulis sebagai efek dari minat membaca, aku cepat memuntahkan dan mengalirkannya. Seperti kencing ataupun buang hajat yang pada awalnya sangat membebani dan merasa ringan setelah semuanya dibuang, maka menulis pun seperti itu. Lega rasanya ketika melihat kertas penuh diisi tulisan yang pada awalnya sangat membebani. Menulis tak perlu menunggu “panas”. Tak perlu menunggu semangat datang membakar keinginan. Menulislah dalam setiap kesempatan. Bertahan dan bertahanlah. Jangan cepat puas dengan 2 atau 3 paragraf yang dibuat, teruskan saja menulis. Minimal 6 lembar kertas kuarto. Jika menulis diibaratkan menyelam, maka nafas harus panjang dan setelah 6 lembar kertas itu terpenuhi, maka bolehlah mengambil nafas ke permukaan. Kalau tidak begitu kita hanya akan mendapatkan penggalan-penggalan. Awalnya memang berat, tapi selanjutnya justru kita yang akan ketagihan. Kenapa ketagihan?. Karena kita ingin bebas !!. Dan menulis….. sekali lagi adalah sebuah aktivitas pembebasan !!”

Demikian “khotbah” yang disampaikan teman saya siang tadi di kampus. Disela waktu menunggu bus di halte yang penuh dengan coretan vandalisme. Fajar Merah, nama teman saya itu. Orangnya kurus, rambut lurus, kulit sawo busuk, tidak pakai kacamata dan seorang perokok. Ralat : perokok berat. Sehari bisa menghabiskan 2 bungkus rokok. Mirip lokomotif. Maka tak heran gusinya hitam dan giginya berderet rapi kekuning-kuningan. “Khotbah” itu mengalir begitu saja ketika saya bertanya : “kenapa sih kamu suka menulis?”.

Setelah “khotbah”nya itu berhenti, saya bertanya lagi : “apa yang telah kamu tulis?”. Dia tidak menjawab, tapi membuka tas kumuhnya yang berwarna hitam dan mengeluarkan beberapa lembar kertas lusuh berisi tulisan-tulisannya. Tulisan yang sulit aku mengerti. Tapi aku juga enggan menanyakan maksud tulisannya. Tidak penting, begitu pikirku. Lalu aku kembalikan lagi padanya, tapi dia menolak bahkan memberikannya padaku. Dan agar dia tak tersinggung maka aku tidak membuangnya ke tong sampah. Aku masukkan ke dalam tasku. Kemudian bus memisahkan kami. Dia ke utara dan aku ke selatan. Bus kota membawaku pulang ke kost-an sempit ditengah kepadatan penduduk kota yang makin tak ramah.

Jam 9 malam di kost-an sempitku, di bawah cahaya lampu yang kurang terang, aku membaca kembali tulisannya. Diawali menguap 2 kali dan membaca basmalah, aku kemudian mulai membacanya :

“Dari balik jendela yang lembab dan berdebu, aku memandang keluar. Di luar hujan cukup deras. Titik-titik air semakin membesar dan membasahi bumi yang kering dan berdebu. Ranting-ranting kering berjatuhan diterpa angin. Jalanan sepi tak dilewati orang-orang. Orang-orang lebih memilih diam di rumah : nonton tv atau menyalakan api. Wajar saja sebab udara di luar nampaknya semakin dingin dan menggigil.

Aku melihat jam dinding, pukul 4 sore. Ajo, temanku asyik tidur di sofa butut ruang tengah. Rencananya sore itu akau dan Ajo akan pergi ke gedung ”Indonesia Menggugat”. Pameran lukisan tengah digelar di sana, tapi hujan akhirnya menggagalkan rencana kami. Kami bukan pelukis, bukan pula kolektor lukisan. Kami hanya mahasiswa yang suka berjalan. Berjalan?. Ya, kami suka jalan kaki jika pergi jalan-jalan. Bukan hanya jalan-jalan, bahkan ke kampus, ke pasar, ke toko buku dan ke tempat-tempat lainnya pun kami berjalan kaki. Bukan tak punya ongkos untuk membayar kendaraan umum, tidak…..tidak demikian. Kami hanya ingin menikmati perjalanan saja.

Hujan bukannya reda malah makin deras. Kini bahkan disertai guntur yang menggelegar menghadirkan suara alam di kedua telingaku. Langit pun makin gelap. Rencana kami kiamat.

Aku kemudian masuk ke kamar dan menyambar sebuah buku bersampul biru, pengarangnya aku lupa lagi. Yang jelas buku itu adalah sebuah cerita fiktif yang cukup menarik. Menarik menurutku. Menurut suasana hatiku. Sementara jam terus saja berdetak seirama dengan denyut jantungku. Ajo belum bangun, dia masih terlelap dibuai mimpinya. Di halaman tengah buku itu aku menemukan kalimat ini :“Kita bukanlah manusia. Kita hanya binatang yang mencari nilai-nilai kemanusiaan.” Aku berhenti sejenak menimbang-nimbang kalimat itu, lalu meneruskan aktivitas membacaku.

Di dinding kamar aku melihat cecak dan kecoa. Aku tersenyum. Kalau aku binatang berarti aku sama seperti mereka?. Ah, ada-ada saja penulis ini, pikirku.

Menjelang maghrib hujan mulai reda. Lalu setelah adzan, hujan benar-benar reda. Aku teringat kembali niatku untuk mengunjungi ”Indonesia Menggugat”. Kulihat Ajo tak ada di sofa butut, mungkin dia pergi mengambil air. Selang 5 menit dia muncul di kamarku membawa muka lusuhnya dan berkata : “Ayo ke Indonesia Menggugat !”. Aku tak menjawab, hanya melihat jam dinding saja, lalu dia berkata lagi : “pamerannya sampai jam 9 malam !”.

Setelah sholat, kami akhirnya berangkat. Melawan dinginnya malam yang baru saja menjemput senja. Jalanan masih basah. Genangan air memenuhi lobang-lobang jalan yang menganga. Ditemani sebungkus rokok murah kami menembus dinginnya malam yang mulai merayap.

Jalanan mulai ramai lagi. Kendaraan umum dan pribadi berlomba memenuhi jalan yang basah. Lampu-lampu pertokoan mulai menghiasi kota. Asap rokok bertalu-talu menghajar gigiku dan gigi Ajo. Nikmat sekali rasanya asap racun itu. Di sebuah pertigaan aku melihat seekor kucing. Aku tersenyum lagi. Aku teringat diriku yang disamakan dengan binatang.

Perjalanan cukup panjang. Cukup memanjakan kaki kami yang masih kuat. Sekuat tanah dan batu yang kami injak. Perjalanan itu menghabiskan 1 jam. Pukul 19.30 kami sampai di Indonesia Menggugat. Halamannya gelap. Cukup angker. Kami lalu masuk dan ternyata pameran telah selesai. Selama 2 menit aku mencerca Ajo. Mencerca informasinya yang salah. Dia hanya diam. Mirip prasasti yang berdiri di depan gedung itu.

Untuk menghilangkan kekesalan aku kembali merokok. Ajo juga merokok, mencoba berdamai dengan penyesalannya. Sambil duduk dan mengisap rokok, pandangan lurus ke depan. Ke jalan yang cukup padat dilalui kendaraan. Malam semakin gelap memeluk bumi. Pohon besar di depan Indonesia Menggugat terlihat kokoh dengan akarnya yang menonjol keluar.

Setelah rokok habis, kami memutuskan pergi meninggalkan gedung itu. Di pintu gerbang keluar kami membeli rokok 2 batang sebab persediaan telah habis. Di trotoar jalan, masih di depan gedung itu kami duduk lagi dan tentunya sambil mengisap rokok. Dari arah selatan seorang bapak tua tampak berjalan mendekati kami. “Pasti mau pinjam korek api”, begitu pikirku. Ternyata aku salah, dia malah menanyakan apotek yang harga obatnya murah. Lalu aku sebutkan sebuah nama, ternyata bapak itu telah mencobanya : harganya mahal, tak dapat ia jangkau. Sementara katanya anaknya di rumah kesakitan menahan derita. Lalu aku tanyakan berapa kurangnya uang itu, lalu dia menjawab : “15 ribu rupiah”.

Di kantong celana belakangku aku menyimpan 20 ribu. Tapi itu buat ke warnet. Buat chatting dengan “teman lamaku”. Sementara Ajo tak punya uang untuk membantunya. Bapak tua itu semakin kebingungan. Semakin khawatir dengan anaknya. Lalu dia pergi mencari apotek yang murah. Kami memandangnya yang berjalan semakin menjauh. Ada sebuah perasaan yang mirip penyesalan di hatiku. Lalu aku bertanya-tanya : “kenapa aku tak memberikannya?”, “kenapa aku tak membantu bapak tua itu?”. Aku lama tertegun sebelum akhirnya Ajo mengajakku pulang, masih dengan berjalan kaki. Selama perjalanan pulang itu aku masih tetap merasa menyesal.

Di ujung jalan dekat Balai Kota, aku melihat seekor anjing. Aku teringat kalimat di novel yang sore tadi aku baca. Kali ini aku tidak tersenyum.”

Entah tulisannya yang jelek atau memang aku yang bodoh, yang jelas setelah membaca tulisan Fajar Merah itu aku tetap tak mengerti apa maksudnya?. Aku lalu tertidur. Besoknya aku sangat kaget, karena jalanan dipenuhi manusia-manusia berkepala binatang !! [Published]

28 October 2007

Pasca Hujan

Bumi setelah hujan adalah aroma yang menguap dari celah-celah tanah dan bebatuan, menyegarkan yang layu dan menghidupkan yang mati. Tetes-tetes air itu menyapa daun, batang dan ranting, menghadirkan cinta pada setiap bola air yang mengalir di semesta ruang. Lalu kalau ingat masa kecil, air pun jatuh di genting membangunkanku yang mungkin pura-pura tidur. Dan di jendela kamar itu aku berbicara dengan pohon dan rerumputan yang basah, tentang masadepan, cinta dan harapan. Tapi suaraku hanya terdengar di sungai kecil yang mengalir deras, setelah hujan lebat baru berhenti sore itu.

Tanah air setelah hujan adalah ribuan manusia yang antri minta bantuan, karena banjir dan longsor berebut menghadirkan kepiluan. Tanah sudah bosan menyerap air yang berlebihan tanpa ditemani akar, sementara akar entah kemana karena batang terus ditebang. Orang-orang berlomba mencuri kayu di hutan dan pinggiran sungai. Di tebing, di lembah dan di atas rumah mereka sendiri. Pembalakan di mana-mana. Pencuri kecil dan pencuri besar bergentayangan. Dan pencurian besar bisa dilegalkan jika selingkuh dengan birokrasi. Manusia adalah konban bencana sekaligus penyebab bencana. Maka tak heran jika akhir-akhir ini aku kekurangan simpati kepada para korban, sebab solidaritas sosial tidak bisa tumbuh dari konyolnya sistem dan perilaku. Apa bedanya dengan seorang yang mencoba bunuh diri, lalu ketika mau mati malah minta pertolongan. Sebuah harakiri yang kehilangan nyali.

Pemerintah setelah hujan adalah ketidakberdayaan menanggulangi krisis. Subsidi bantuan selalu tersumbat keran birokrasi yang berbelit-belit, lalu ketika media meliput maka letak geografis dan medan yang sulit selalu menjadi kambing hitam. Entah kemana bantuan itu, mungkin numpuk di gudang penyimpanan atau mungkin di kantong-kantong bersafari yang selalu berkhotbah tentang keadilan dan kemakmuran. Ini bukan sebuah prasangka buruk, karena kenyataan terkadang menghadirkan sesuatu yang lebih buruk. Saudara kita sudah terlalu kenyang dengan do’a dan ucapan belasungkawa, maka ketika bantuan datang yang terjadi adalah perebutan sekardus mie instan yang terkadang berujung pada perkelahian, di sini mie instan lebih berharga daripada sepotong do’a.

Jakarta setelah hujan adalah sebuah proses terbentuknya kolam raksasa. Hampir semua jantung kota lumpuh tak berdaya, apalagi manusia-manusia yang berada di bantaran kali. Jika suatu saat ketika banjir datang, cobalah lihat di pintu-pintu air, mungkin diantara sampah yang menggunung itu ada bangkai manusia. Orang-orang mengungsi ke jalan tol yang letaknya lebih tinggi daripada hunian manusia, dan kemacetan di mana-mana...”terhambat di jalan bebas hamabatan”, begitu bunyi sepotong iklan. Konon Jakarta adalah ibukota negara di mana semua kedutaan besar negara sahabat bermukim di sana, tapi aku lebih percaya bahwa mereka mungkin saja memutuskan hubungan diplomatiknya dengan kita gara-gara kasur sang Duta Besar terendam air comberan. Tapi kalian jangan percaya banyolan itu. Siklus banjir besar hampir bersamaan dengan suksesi kepemimpinan kota itu, tapi suksesi tinggal suksesi dan banjir tetap saja tak bisa diatasi.

Bandung setelah hujan adalah migrasi sampah di jalan-jalan kota. Air yang mengalir deras membawanya kemana-mana, ke depan mesjid, ke depan gereja, ke depan balai kota, ke depan pusat perbelanjaan, ke kampus-kampus dan yang lainnya. Kota kembang berangsur berganti nama menjadi kota sampah. Individu masyarakat dan pemerintahnya harus mencari solusi untuk masalah ini. Ini kesalahan bersama.

Sahabatku setelah hujan masih seperti dulu, masih mencintai Indonesia sekaligus ibukotanya, masih mencintai Bandung dengan segenap dinamikanya.

Dan aku setelah hujan pasti terkenang sepotong bait lagu kanak-kanak semasa SD yang sering dinyanyikan teman masa kecilku :

”Waktu hujan turun rintik perlahan Bintang pun menyepi awan menebal Jangan engkau lupa tanah pusaka Tanah tumpah darah Indonesia”.[ ]

Kue Nastar untuk Sahabat Lama

Beberapa tahun ke belakang sebelum aku masuk SMA, kalau lebaran tiba di rumah pasti ada kue nastar. Terlepas dari bentuk aslinya seperti apa, yang jelas kalau di tempatku kue itu berbentuk dua hasil cetakan yang digabungkan oleh selai nanas. Bahan bakunya dari tepung dan mentega, lalu dicetak dalam cetakan yang terbuat dari kayu berbentuk segi panjang yang di ujungnya ada pegangan buat melepaskan adonan dari cetakan itu. Kemudian dipanggang dalam oven lalu direkatkan dengan selai nanas, maka jadilah kue nastar, kue khas lebaran di tempatku. 

Hampir semua tetangga pasti mempunyai kue itu, maka aku dan kawan-kawan masa kecilku di kampung sering berolok-olok: selama masih ada kue nastar, maka lebaran tidak akan berakhir. Maka kalau seseorang bertamu ke tempat kawannya, yang ada adalah sebuah kebosanan melihat jamuan kue nastar. 

Tapi herannya bagiku dan kawan-kawan masa kecilku, kue itu menjadi semacam pembawa kabar gembira bahwa lebaran akan segera tiba. Aku dan kawan-kawan masa kecilku sering menikmatinya di rumah, di pelataran mesjid, di bukit, di pematang sawah, dan di tempat-tempat lain yang memungkinkan untuk bercengkrama dan bercanda. 

Menyantap kue nastar sambil menikmati indahnya masa kecil: menghitung uang lebaran, membandingkan baju baru dan mengolok-olok kawan. Kue nastar jadi saksi sepenggal perjalanan waktu.

Waktu pun berlalu membawaku dan kawan-kawan masa kecilku ke gerbang hidup yang baru, masing-masing berlari atau berjalan menuju sesuatu yang mungkin sempat dicita-citakan. Selepas SMA lalu aku kuliah, mengaduk-aduk secuil ilmu yang kata para dosen adalah bekal menuju masa depan. 

Lalu kuliah pun selesai, kemudian terseretlah aku ke dalam titian identitas yang terkadang mencemaskan, mirip ketidakpuasan menjalani hidup, atau mungkin penyesalan akan cita-cita yang tak kesampaian, menghitung-hitung pahit-manis hidup yang datang silih berganti. Aku jadi sering kekurangan ”nutrisi”, maka bertumpuklah buku-buku di kamar itu, bergantian mengisi kekosongan jiwa dan perasaan. 

Kerinduan dikejar-kejar tanpa tahu apa yang dirindukan. Terus saja begitu sampai waktu mudik datang lagi membawaku kembali ke kampung. Masih kampung yang itu, kampung yang dulu manis oleh kue nastar dan persahabatan.

2 Syawal 1428 H, selepas sholat maghrib aku bertemu dengan seorang kawan. Lalu ngobrol di pelataran mesjid yang kurang pencahayaan, membicarakan hidupku dan hidupnya, tapi kini tanpa kue nastar, karena telah beberapa tahun kue itu menghilang karena sudah tidak diminati lagi. 

Selepas SMA dia sempat bekerja di Bandung, tapi karena suatu hal yang membuatnya tidak betah, dia pun lalu kembali ke kampung. Kini di sebuah mesjid di bukit dekat rumahnya, dia mendalami kitab-kitab kuning sambil membimbing anak-anak Madrasah Aliyah. Sebuah aktifitas belajar dan mengajar yang romantis aku fikir. 

Di bawah langit malam dan bulan yang menerangi seisi kampung, setiap hari dia membaktikan dirinya untuk kemajuan ilmu agama. ”Ini pilihan hidupku”, katanya. ”Aku tenang hidup begini, tiap hari alhamdulillah bisa merasakan nikmatnya hidup dan mensyukurinya,” lanjut dia. ”Keun wae ku batur disebut pangangguran oge, nu penting urang mah tenang,” masih katanya.

Setengah jam pembicaraan, tiba-tiba seorang kawan datang lagi. Sambil menghisap sebatang rokok dia ikut bergabung, lagi-lagi kue nastar tak ada karena di rumahnya pun kue itu telah hilang, sebuah nosnalgia yang kurang lengkap. 

Kawanku yang ini setiap hari kerja serabutan: terkadang jadi kuli bangunan, jadi calo di terminal, jadi tukang kebun dan terkadang juga jadi ”pak Ogah” di perempatan jalan. Tapi dia kelihatan tidak mengeluh, bahkan cukup senang menjalaninya. ” Ah urang mah gawe naon we nu aya, nu penting mah ulah cicing, pan ceuk Pangeran oge kudu bertebaran di muka bumi”, katanya bersemangat. 

Mereka, teman-temanku itu sangat bersahaja aku fikir. Di tengah kehidupan perekonomian kampung yang pas-pasan, jauh dari pusat kota sehingga cenderung hanya jadi kerak sejarah, informasi kurang bahkan hiburan pun bisa dihitung dengan jari, mereka tak banyak menuntut bahkan lebih banyak mensyukuri.

Pembicaraan yang tidak terlalu lama itu sangat mengesankan buatku, bahkan lebih manis daripada kue nastar yang dulu sempat kami rindukan itu, entah bagi mereka? [ ]

26 September 2007

Sebab setelah kamu


Bagi dunia kau hanya seseorang,

tapi bagi seseorang kau adalah dunianya

(Anjar Anastasia)

Tadi siang aku titipkan catatan ini kepada seorang kawan, biar nanti si perempuan wangihujan mendapatkannya bukan dariku, tapi melalui tangan orang lain. Inilah salah satu cara untuk menghadapinya. Aku tak bisa terus-menerus bertatapan langsung dengannya, karena dia begitu megah dihadapanku. Dan inilah catatan itu :

” Kalau kamu mau pergi, pergi saja...aku tak akan menghalangimu. Tempuh saja jalan yang kamu yakini itu, karena aku pun yakin dengan pilihanmu. Atau mungkin maunya kamu, aku berusaha menghalangi dan menimbulkan sedikit perdebatan agar tercipta kesan dramatis ?, sebelum akhirnya kamu pergi juga. Aku tak berani menerka-nerka, karena salah pengertian selalu menyakitkan. Tapi kalau aku harus jujur, sebenarnya aku tak ingin kamu pergi meninggalkanku sendirian, karena kamu pun tahu bahwa sangat jarang aku menemukan orang yang pengertian, dan kamu adalah salah satu dari yang jarang itu. Aku juga tak ingin mengenang semua yang telah kita jalani, nanti saja kalau kamu telah benar-benar pergi dan mungkin tak kembali.

Aku tak akan mengantarkanmu ke bandara, biar kamu rasakan betapa sunyinya perpisahan yang dilakukan sendirian. Tak ada yang mengucapkan ’selamat jalan’, tak ada peluk cium perpisahan, tak ada do’a-do’a yang menguatkanmu untuk terus berjalan, tak ada lambaian tangan dan tak ada seseorang yang melihat jejek langkahmu yang semakin hilang itu. Nikmati saja perpisahan sendirian, karena akupun sendirian juga menikmatinya disini.

Kalau nanti di tempat barumu terasa sepi dan mungkin ingat aku, hati-hati...karena itu tipuan. Dengan berjalannya waktu, itu semua akan hilang perlahan dan kamu akan benar-benar melupakanku. Nikmati saja hidup barumu. Kehidupan yang kamu impikan itu.

Tapi kalau kamu berubah pikiran dan ingin kembali padaku, datang saja. Aku tak kan menyerah, sebab setelah kamu...aku tak menemukan siapa-siapa. Dan karena pertemuan tak bisa dilakukan sendirian, maka aku akan datang menjemputmu di bandara itu.

Mari sini, datanglah dengan cepat sayang. Aku ada di barisan paling depan para penjemput. Pakai baju biru tak bersepatu, sebab pakai sendal jepit aku lebih nyaman. Tapi kalau ternyata setelah para penjemput hilang, kamu tak juga datang, dan aku hanya menunggu angin, tenang saja...aku tak kan menyerah, sebab setelah kamu...aku tak menemukan siapa-siapa.”

Dan kalau semuanya akan terjadi sesuai dengan rencana, beginilah kira-kira cerita selanjutnya :

Aku bangun lebih pagi, memdahuluimu yang masih terbuai dalam mimpi. Lalu selimut itu aku tutupkan kembali sampai kelehermu, agar udara pagi tidak sanggup membangunkanmu. Kubiarkan saja begitu sampai tibanya waktunya unuk mengeksekusi iman, maka mulailah aku membangunkanmu. Seperti biasa kamu agak susah dibangunkan sebelum akhirnya membuka mata dan menguap beberapa kali. Lalu kita sama-sama sholat. Mendo’akanmu dan mendo’akanku. Mensyukuri hidup yang begiru biru.

Kamu pasti terkejut, karena diam-diam telah aku siapkan sarapan di meja itu. Sekali-kali aku juga ingin memasak, mematangkan cinta terutama. Karena aku percaya bahwa cinta bukan sekedar pemujaan tapi juga pengalaman. Dan pagi itu aku ingin mengalaminya, melakukan semua yang tiap pagi kamu kerjakan. Aku tak ingin menunggunya sampai tiba ulang tahunmu, karena bagiku kamu adalah sesuatu yang harus dirayakan tiap hari. Dunia menemukan miniaturnya di sana, disemesta dirimu. Kalau kamu tak menemukan kata-kata lain untuk semua yang aku tulis ini selain ’rayuan’, tak mengapa...karena kata-kata akan aku istirahatkan di sana.

Dulu kamu begitu menggemaskan kekasih, sekarang lebih. Kamu diam kalau marah, karena tahu kalau aku adalah sumbu yang setiap waktu bisa menyulut ledakan. Kamu tersenyum jika ingin sesuatu, karena merasa akan merepotkanku. Dulu kamu begitu menggemaskan kekasih, sekarang lebih. Kamu adalah waktu dan aku jarum yang mengitarinya. Kamu adalah rumah dan aku penghuninya. Kalau kata Chairil ’hidup hanya menunda kekalahan’, maka kamu si penunda kekalahan itu. Sekali lagi kamu boleh menyebut ini sebagai rayuan. Dan kata-kata kembali akan aku istirahatkan.

Sekotak rahasia hati telah lama aku simpan sejak dulu, dikunci rapat dan kunci itu telah lama aku buang jauh. Kini disepotong waktu ketika kamu mendekat kepadaku, kunci itu datang lagi dan terbukalah kotak rahasia itu. Biarkan saja semuanya terbuka, sampai nanti ketika rambutmu dan rambutku memutih, sebagai pertanda akan berakhirnya waktu. Pegang saja tangan ini senyaman mungkin, sampai nanti salah satu dari kita pergi mendahului untuk menghadap Nya, dan cinta tak kan berakhir oleh kematian.[]