10 December 2007

Hari Ini Kamu Pergi Kemana?

Hari ini kamu pergi kemana?, ke sekolah lalu pulangnya nongkrong di mall, bukan untuk belanja hanya cucimata saja?, atau pergi ke kampus : kuliah sebentar lalu makan di kantin, merokok, bercanda dengan teman-temanmu dan pulangnya mampir dulu ke warnet buka-buka friendster lalu kasih testi atau comment temen-temen dunia mayamu?. Atau mungkin kamu pergi kerja, menghabiskan delapan jam di depan computer dan meja, lalu tiba waktunya pulang dan temanmu ngajak nonton, kemudian film habis dan kamu akhirnya benar-benar pulang kelelahan : buka sepatu, ganti baju, cuci muka, cuci kaki lalu tidur menghempaskan tubuhmu di kasur itu?. Atau mungkin pergi ke tempat-tempat yang tidak aku ketahui, karena aku tidak berhak mengetahuinya?. Sementara kamu pergi, hari ini aku tidak kemana-mana. Diam saja di kamar. Duduk saja di depan layar monitor yang merangkap dengan televisi itu.

Sudah lama aku tidak menulis, jadi tidak enak rasanya. Inginnya setiap hari membuat lima tulisan, tapi ternyata melahirkan tulisan tidak semudah yang dibayangkan. Ingin rasanya aku produktif, tapi kenyataannya aku lebih sering pasif. Dan pelan-pelan aku mulai menulis lagi, memindahkan yang dipikirkan, dibayangkan, dirasakan, dan dialami ke dalam layar putih ini.

Lalu sekali-kali layar monitor berganti dengan tayangan televisi. Hari ini aku memilih TVRI, menonton siaran langsung SEA GAMES ke 24 di Thailand. Itu atlet Indonesia tengah berjuang meraih medali untuk bangsanya. Dua atlet pencak silat lolos ke final. Di bulutangkis, tunggal putri Indonesia mengalahkan Thailand, tapi entah babak apa?. Kata presenter nanti sore akan berlangsung final bulutangkis beregu putra dan putri, dan juga final pencak silat, ah semoga saja mereka, atlet Indonesia itu meraih medali emas. Lalu di akhir acara ditampilkan perolehan medali sementara seluruh kontingen, dan Indonesia masih terpuruk di urutan ke enam, di bawah Thailand, Vietnam, Singapura, Filipina dan Malaysia. Entah kenapa perasaan saya jadi tak enak. Semacam keprihatinan, semacam kesedihan. Ah, semoga saja para atlet itu tidak patah semangat dengan kenyataan ini. Kemudian saya menulis lagi, merampungkan satu judul yang hampir selesai.

Setelah selesai menulis saya tetap saja di kamar, membaca koran yang dibeli teman saya beberapa hari ke belakang. Di edisi 8 desember 2007, dimuat berita-berita dengan judul seperti ini :

  1. “Pembangunan Manusia ; Ketika Indonesia Semakin Tenggelam”
  2. “Distribusi BBM Subsidi Belum Tepat Sasaran ; Masyarakat Lebih Percaya kepada SPBU Asing”
  3. “Perbatasan RI ; Pembeli Kena Pungutan, Pasar Tradisional Sepi”
  4. “Pelayanan ; Sekitar 400 Puskesmas Terancam Tanpa Dokter”
  5. “Muatan Tertahan di Palembang ; Harga Bawang Merah di Jambi Rp 25.000 Per Kilogram”

Dan masih banyak lagi berita yang lain. Entah kenapa perasaan saya jadi tak enak. Tapi saya bersyukur, karena di edisi berikutnya yaitu 9 desember 2007, saya membaca berita ini : Dari arena SEA GAMES ke 24 Thailand ; “Indonesia Tambah Enam Emas”. Lalu koran itu saya simpan. Dan saya menulis lagi.

Sekitar jam tiga sore saya pergi mandi, tapi ternyata sabun mandi dan pasta gigi telah habis. Dan pergilah saya keluar kamar, pergi belanja ke warung kecil di pinggir jalan raya setelah melewati bangunan sekolah dasar. Pulangnya hujan turun cukup lebat, terpaksa saya menunggu sampai reda. Waktu hampir menunjukkan pukul empat sore, ketika saya berlari kecil menembus rintik hujan kembali ke kost-an. Tak sengaja saya melihat tiang bendera di depan sekolah dasar itu. Kain benderanya basah kuyup kena hujan, tapi warnanya tidak berubah, tetap merah-putih seperti dulu. [ ]

Kamu Masih Misteri

Perempuan itu sedang sibuk mengajar di depan kelas. Belum terlalu siang waktu itu. Murid-muridnya dengan serius memperhatikan apa yang diucapkannya, tapi ada juga beberapa yang melamun, ada juga yang mengganggu teman sebangkunya bahkan ada yang terkantuk-kantuk, mungkin semalam kurang tidur. Dia, perempuan itu dengan sabar melaksanakan tugasnya, mendidik anak-anak itu dengan penuh kasih sayang. Mengajar di Sekolah Dasar (SD) mempunyai citarasa tersendiri dibanding mengajar di level pendidikan yang lebih tinggi, karena usia SD selain sedang jernih-jernihnya menyerap ilmu juga masih belum bisa lepas dari perhatian seorang ibu. Dan dia menjalaninya, karena dia menikmatinya. Perempuan itu mungkin saja kamu, seseorang yang suatu saat akan aku cintai. Perempuan itu tidak mustahil adalah kamu, calon istriku.

Di halaman depan sebuah rumah yang teduh, perempuan itu sedang menyapu daun-daun yang berguguran. Dia baru saja selesai memasak di dapur, sambil menunggu suaminya pulang dia menyapu halaman. Rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar kebun bunganya yang mungil, dia cabuti sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Burung-burung yang hinggap di dahan pohon rambutan, menemaninya sambil berebut mencari makan dari dahan satu ke dahan yang lain. Perempuan itu suatu saat akan mencintaiku dan aku akan mencintainya. Perempuan itu mungkin saja kamu.

Selepas maghrib, hujan belum juga reda bahkan semakin lebat. Langit terus menghitam menutup bintang-bintang dan bulan yang akan keluar. Dia cemas menunggu suaminya yang belum pulang. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, sementara yang dinantinya belum juga datang. Sesekali dia mengintip keluar dari kaca jendela yang basah oleh percikan hujan, lalu duduk lagi di sofa depan televisi. Hatinya sangat tidak tenang. Hp suaminya tak bisa dihubungi, dan suaminya tak menghubungi dia. Sebuah penantian kabar yang cukup menegangkan. Lalu daun pintu terdengar ada yang mengetuk dari luar. Dia langsung meloncat membuka pintu lalu menghambur kepada orang yang berdiri di balik pintu itu. Suaminya basah kuyup kehujanan. Dan angin berhembus kencang. Perempuan yang cemas itu adalah kamu. Suatu saat siapa pun kamu pasti akan aku cintai, dan kamu akan mencintaiku.

Sekarang katanya zaman emansipasi, maka kamu bisa saja seorang dokter, seorang jurnalis, seorang aktivis HAM, seorang karyawan swasta, seseorang yang berwirausaha, seorang penulis buku dan profesi-profesi lain yang padat karya. Tapi jika akhirnya pekerjaan itu menjadikan kamu lupa dan menelantarkan keluarga, maka itu bukan kamu. Bukan seseorang yang akan aku cintai.

Ketergesaan menggapai-gapai hal yang masih misteri akan membawa kita pada suasana yang berwarna, jika hal itu telah ditemui. Bisa gembira, bisa juga kecewa. Tergantung kesesuaian antara harapan dan kenyataan. Mencari dan menggapai-gapai pasangan hidup salah satunya. Coba saja tanya kepada mereka yang telah berkeluarga. Kamu akan temui jawabannya.

Jika hal itu telah dialami, maka yang menjadi kewajiban kita adalah bertanggungjawab terhadap pilihan. Baik-buruknya pasangan hidup adalah pilihan kita, kecuali jika masih hidup dalam keluarga konvensional ala Siti Nurbaya. Maka bagaimana pun dan siapa pun dia, pasangan hidup kita adalah organ yang telah menyatu dengan kehidupan kita. Silahkan bercita-cita. Silahkan berusaha. Tapi jangan jadi pengecut dengan menyakiti pasangan hidup pilihan sendiri. [ ]

09 December 2007

Otokritik

Kata orang-orang hidup adalah sebuah garis yang memanjang dan berakhir pada sebuah ujung. Kalau terus dijalani akan kita dapati garis itu tidak akan pernah kembali pada titik awal. Dia tidak seperti tiket pergi yang akan selalu dibarengi dengan tiket pulang. One way ticket, begitu kata seorang kawan. Orang-orang yang terjerumus pada dunia gelap narkoba, sering diibaratkan pada kondisi ini, artinya mereka tidak bisa atau sangat sulit untuk kembali pada kehidupan mula-mula yang normal. Tapi jika kita renungkan, sebenarnya semua peristiwa selalu begitu, selalu tidak bisa diulang, karena waktu tidak berjalan mundur. Yang ada hanyalah pengulangan kejadian dengan ruang waktu yang berbeda. Jadi penyesalan adalah hanya sebuah konsep rasa yang tidak akan mengubah kejadian dibelakang. Dia menjadi berguna hanya jika perjalanan ke depan menjadi lebih baik dari pada yang telah dialami. Begitulah waktu, dia ajeg, kukuh dengan perjalanannya.

Setiap kita pasti punya ujung pemberhentiannya masing-masing, karena setiap kita punya takdir kematiannya juga, entah kapan. Dengan ketidaktahuan yang sangat itu, terkadang kita masih bisa bermain-main dengan waktu. Dengan misteri Tuhan. Sisa jatah hidup itu sering kita lupakan, sebelum akhirnya waktu itu benar-benar datang dan mengingatkan kita. Setiap kita memang begitu. Aku, kamu, kalian dan orang-orang itu memang tak berdaya dengan segala pesona hidup. Pesona yang nikmatnya kita rasakan berbeda-beda. Konsep dosa dan kebajikan sudah terlalu asing buat kita bicarakan dalam medan hidup yang luas, dia hanya sebatas ritual yang kita jadikan sesuatu yang sacral. Sebatas garis vertical hubungan kita dengan Tuhan. Padahal masih kata orang-orang dia itu hadir dalam setiap denyut kehidupan. Dia vertikal sekaligus horizontal. Dia pribadi sekaligus sosial. Dia kontemplasi sekaligus interaksi.

Komitmen memang tidak sebatas dengan Tuhan, tapi juga dengan manusia. Dan komitmen seharusnya tidak kembali pada garis awal ketika komitmen itu belum diikrarkan. Dia harus terus hidup sampai kita tidak lagi hidup. Begitu idealnya. Dan kita selalu berkata : bahwa sangat sulit untuk berada pada kondisi ideal, semacam sikap kalah sebelum berperang. Dan karena kita sepakat bahwa tidak ada kondisi ideal, maka komitmen itu kita ikrarkan untuk kita langgar sendiri. Kemudian konsep selalu butuh visualisasi untuk penggambaran.

Dan inilah visualisasi itu : Wakil rakyat dipilih untuk mengkhianati rakyat, mereka entah mewakili siapa?. Pernikahan dilaksanakan untuk mengkhianati janji masing-masing, suami-istri entah berjanji kepada siapa?. Setiap hari kita bersaksi pada Tuhan dan setiap hari juga kita tidak merasa, bahwa Tuhan tengah menyaksikan, kita entah bersaksi kepada siapa?. Dan kita tidak terganggu dengan itu semua, karena kita sudah sepakat bahwa hidup tidak ada yang ideal. Dan kita berlindung dibalik itu. Sebuah tempat berlindung yang sesungguhnya rapuh. Terus saja begitu. Sementara garis yang memanjang yang tengah kita jalani ini semakin mendekati titik akhir. Kita takkan pernah ingat sebelum titik akhir itu mengingatkan. Dan kita ingat setelah segalanya terlambat. [ ]

Cerita Tentang Cita-cita

Kalau kalian tidak tahu dan tidak mau tahu, biar saya ceritakan di sini saja kawan saya yang satu ini. Orang-orang memanggilnya Irfan, tapi saya lebih senang menyebutnya Uwa, tapi biarlah nama berdiri sendiri terserah bagaimana orang memperlakukannya. Waktu kecil dia tidak punya cita-cita seperti anak-anak kebanyakan. Maka jika dia ditanya tentang cita-cita, jawaban yang keluar adalah kata : “tidak ada”. Entah kenapa, dan biarlah waktu menyimpan semua misterinya.

Beranjak remaja baru dia punya sebuah harapan : “ingin jadi juara kelas”. Dan itu tak terlalu susah untuk mendapatkannya, tapi hanya sampai SMP saja itu berlaku, karena selebihnya adalah kekalahan. Masa SMA bukan sebuah jembatan waktu yang patut dikenang baginya, karena kenyataan telah menyeretnya ke dalam sebuah pencapaian yang nyaris tak ada hasil, nyaris nol besar. Orang-orang berlari saling berebut mengeksekusi kesuksesan akademik, sedangkan dia hanya merenung-renung dan menimbang-nimbang sebuah kecemasan. Kecemasan akan masa depan. Kecemasan yang hampir saja membunuhhya, dan inilah waktu di mana untuk pertama kalinya cita-citanya patah.

Dan orang-orang tidak tahu. Dan orang-orang tidak mau tahu. Maka biarlah saya saja yang tahu.

Lalu menjelang dewasa idelismenya mulai timbul dan menumpuk menemani langkah dan aktivitas, sebelum akhirnya terjerembab dalam kampus abu-abu. Sebenarnya bukan di situ tujuan segala pemikiran dan rencana aktivitasnya, tetapi prestasi akademik harus berbicara lain, dia punya cara sendiri untuk mengkotak-kotak manusia, keinginan dan harapan. Dan inilah patahan kedua dari cita-cutanya yang tidak tercapai.

Biarlah saya saja yang tahu, kalau orang-orang tidak tahu dan tidak mau tahu.

Dan waktu berjalan terus melewati semua kejadian dan kenangan. Dan dia akhirnya lulus membawa segenggam impian dan kenyataan. Garis batas keduanya ternyata berjauhan. Ketika impian membumbung setinggi langit, sedangkan kenyataan masih berjejak di bumi, maka hal inilah yang tidak terlalu mudah untuk dihadapi. Dan dia menghadapinya. Dan dia harus menghadapinya. Mencoba dan akhirnya gagal adalah lebih baik daripada tidak pernah sama sekali. Dan inilah yang aku lihat sekarang pada semesta dirinya.

Desember baru memasuki hari keempat, sebentar lagi hari kelahirannya. Seperti juga kematian, hari kelahiran bukanlah sesuatu yang teramat istimewa untuk dirayakan, dan saya merayakannya dengan menulis ini.

Benar katamu kawan, kesendirian adalah kado terbaik untuk mengenang hari kalahiran. Kesendirian akan menghadirkan keheningan. Hening yang senyap dan padat, lalu menekan ke dalam dan akhirnya akan timbul sebuah titik balik yang mencerahkan. Tapi saya tidak tahu setelah ini, apakah cita-cita itu akan mengalami pencerahan atau sebaliknya akan menghadirkan patahan-patahan baru?. Untuk yang satu ini saya benar-benar tidak tahu.

Apa sesungguhnya yang lebih misteri selain hari yang belum dijalani?. Dan saya tahu dia akan menghadapi semua yang tanda tanya itu. [ ]

Perempuan Wangihujan

Menjejakkan kaki di Bandung, menghirup udaranya dan menikmati semesta kotanya selalu membuatku enggan beranjak. Apalagi kalau hujan. Air yang tumpah dari langit jatuh ke daun lalu diserap akar, semakin membuat kota itu lembab. Hujan selalu saja begitu. Hujan selalu membuatku rindu untuk mendengarkan air beradu dengan bumi.

Seperti pada hujan, begitu juga padamu. Aku rindu. Maka kamu adalah perempuan wangihujan. Jangan protes ya. Sebab kalau protes kecantikanmu tak tertampung. Terlalu cantik soalnya. Tapi kalau kamu mau bilang ini hanya sebuah rayuan, boleh saja. Karena aku lebih senang menyebutnya kejujuran. Dan aku rasa kejujuran dimana-mana sama. Tak menghitamkan yang putih, juga tidak memutihkan yang hitam.

Menikmati Bandung, duduk di atas lantai 3 kost-an, melihat lampu kelap-kelip di utara sambil sesekali menghirup kopi panas menghadirkan satu nuansa. Sayang, kamu perempuan wangihujan tidak ada.

Menikmati Bandung, berjalan di Purnawarman lalu melahap buku di Gramedia adalah sebuah citarasa. Sayang, kamu perempuan wangihujan tidak ada.

Menikmati Bandung, memanjakan tubuh dengan dinginnya udara di Lembang dan Dago atas selalu membuatku ingin kembali. Sayang, kamu perempuan wangihujan tidak ada.

Menikmati Bandung, nonton di ruangan berpendingin, makan di kakilima, berteduh di taman kota atau sesekali larut di Gazebo pada minggu pagi adalah kesenangan tersembunyi. Sayang, kamu perempuan wangihujan tidak ada.

Dan ketiadaan selalu menyisakan kerinduan. Apalagi Jarak. Dan aku harus bersiasat. Ini hanya masalah strategi. Dimana-mana hidup perlu kerja keras. Lalu aku sadar bahwa aku bisa sedikit menulis. Maka bekerja keraslah aku menulis untuk menepis rindu itu. Aku yakin menulis bisa mengurangi tensinya.

Dan aku yakin ketika aku menulis, kamu perempuan wangihujan masih di situ, di tempat tidurmu. Duduk atau terbaring. Seperti Dee, aku juga iri pada baju tidurmu, handukmu, bantal, seprai apalagi guling. Stop. Aku tak kuat membayangkannya.

Maka kalau malam ini aku mimpi, aku ingin mimpi tidur di sebelahmu. Dan ketika wajah kita berhadapan, pasti aku tak tahan. Tak usah bicara, diam saja. Aku pasti beku.

Atau jika itu tak mungkin, aku ingin mimpi memegang tanganmu. Ada sensasi aneh saat kulit kita bersentuhan. Darahku dan mungkin juga darahmu terasa berdesir. Ada segenggam kenyamanan di situ. Aku bisa merasakan denyut nadimu.

Aku mencintaimu, sangat.....[Published ]

08 December 2007

Aku Ingin Menjadi Cinta

Tanggal, bulan dan tahun berapa kamu lahir?. Berapa pendapatanmu?. Berapa usiamu?. Berapa harga handphonemu?. Berapa jumlah sepatu dan celana jeansmu?. Berapa orang selingkuhanmu?. Berapa kali kamu pacaran?. Berapa orang mantan pacarmu?. Berapa jumlah uang di kantongmu?. Berapa jumlah saldo di ATM-mu?. Berapa lama waktu yang harus ditempuh dari rumah ke kantormu?. Berapa lama kamu menganggur?. Berapa kali dalam sehari kamu meninggalkan sholat?. Berapa kali dalam sebulan kamu bisa melaksanakan sholat shubuh?. Berapa kali kamu membentak orang tuamu?. Berapa kali kamu disakiti oleh orang yang kamu cintai?. Berapa tahun kamu menyelesaikan kuliah?.

Usia berapa kamu akan menikah?. Barapa batang rokok yang kamu habiskan dalam sehari?. Berapa buku yang pernah kamu baca?. Berapa tulisan yang kamu hasilkan dalam sebulan?. Berapa kali kamu ML dengan pacar atau selingkuhanmu?. Berapa kali kamu pura-pura orgasme?. Berapa kali kamu menyakiti orang-orang yang diam-diam mencintaimu?. Berapa orang pahlawan yang benar-benar jadi pahlawan bagimu?. Berapa orang manusia yang pernah kamu campakkan?. Berapa orang manusia yang benar-banar kamu benci?. Berapa jumlah utang dan piutangmu?. Berapa orang manusia yang ingin kamu bunuh?. Berapa orang jumlah anak yang kamu inginkan?. Berapa liter ASI yang telah kamu habiskan?. Usia berapa pertama kali kamu mimpi basah?. Berapa kilometer jarak yang telah kamu tempuh dengan motor?. Berapa kali kamu sakit sepanjang hidupmu?.

Berapa kali kamu “berdamai” dengan polisi?. Berapa kali kamu merasa kecewa?. Berapa kali kamu merasa terpuruk?. Berapa kali kamu merasa pintar? Berapa kali kamu merasa cantik?. Berapa kali kamu merasa bisa menaklukkan pria?. Berapa kali kamu menggugurkan kandungan dalam rahimmu?. Berapa kali kamu membuang sperma dalam rahim wanita lalu meninggalkannya?. Berapa kali kamu marah yang benar-benar marah?. Berapa botol vodka yang pernah kamu minum?. Berapa kali kamu makan tanpa diawali dengan do’a?. Berapa kali kamu melakukan sex kilat di dalam lift, di toilet, di bioskop, di taman kota dan di angkutan kota?. Berapa kali kamu merasa kesepian?. Berapa kali kamu onani?. Berapa kali kamu ikut upacara bendera?. Berapa kali kamu mengintip orang yang sedang mandi?. Berapa kali kamu pindah kerja?.

Berapa kali dalam sehari kamu berdo’a?. Berapa tahun usia adikmu, kakakmu dan orangtuamu?. Berapa kali kamu pergi ke tempat yang kamu benci?. Berapa kali sepanjang hidupmu kamu pergi berziarah ke makam pahlawan?. Berapa kali kamu nonton film porno?. Berapa kali kamu merasa diabaikan oleh Tuhan?. Berapa kali kamu ingin diperhatikan oleh orangtua, oleh istri, oleh selingkuhan, oleh pacar, oleh suami, oleh teman dan oleh Tuhan?. Berapa kali kamu memperhatikan mereka yang aku sebut itu?. Berapa kali kamu merasa terasing dan diasingkan?. Dan usia berapa kamu ingin mati?.

Dan hidup semakin dipenuhi angka-angka. Dan angka-angka semakin mengepung kita. Lalu hidup berjalan terus. Cinta dipatahkan. Kepercayaan dikhianati. Kebenaran dipalsukan. Kesalahan menjadi kenyataan. Cita-cita dan harapan dihancurkan. Kebaikan semakin langka. Kesalahan menjelma menjadi kita. Kebenaran menjadi tidak mutlak. Kesalahan menjadi absolute. Pernikahan disakralkan untuk kemudian kita ludahi. Perceraian di mana-mana, lembaga kehidupan hancur di mana-mana. Anak-anak menjadi gila, pengecut, bajingan, karena itulah warisan orang tua dan lingkungannya. Lembaga pendidikan berubah menjadi ladang perniagaan. Persahabatan menjadi palsu karena dicemari tipu dan nafsu. Negara hanya sebatas legalitas, karena selebihnya adalah omong kosong yang luar biasa. Hiburan di mana-mana, yang stress di mana-mana. Kepalsuan di mana-mana. Yang tumbuh dikerdilkan. Yang kerdil didiamkan. Yang hidup berguguran. Yang mati dibenamkan.

Sejak kapan manusia harus jadi pahlawan?. Sejak kapan manusia pintar berkhianat?. Sejak kapan manusia terus berkompromi dengan system?. Sejak kapan kita menjadi penakut?. Sejak kapan kita menjadi pengecut?. Sejak kapan kita tidak menghargai nilai-nilai?. Sejak kapan manusia terus berputar dalam lingkaran setan?.

Aku ingin menjadi sinyal. Aku ingin menjadi sandi. Aku ingin menjadi watak. Aku ingin menjadi otak.. Aku ingin menjadi hati. Aku ingin menjadi kata-kata. Aku ingin menjadi do’a. Aku ingin menjadi cinta. [ ]