10 February 2009

PEMILU : Saatnya Tebar Pesona

Demam Pemilu. Tulisan ini mengindikasikan itu. Saat partisipasi politik publik meledak, tiba-tiba saja ratusan parpol bermunculan, walaupun yang lolos verifikasi kurang dari setengahnya. Semuanya menyodorkan proposal kepada rakyat, isinya kurang lebih : pilih partai saya, karena partai saya adalah yang paling peduli dan memperhatikan aspirasi rakyat, persis iklan kecap nomor 1. Secara normatif tindakan itu alangkah mulia. Hari gini masih ada orang yang mau memikul beban dan penderitaan rakyat, respon yang timbul mungkin terharu (agak mustahil) atau sedikit senyum pahit. Yang tersenyum pahit kemudian golput, membuang sistem demokrasi yang ditawarkan ke keranjang sampah. Atau mungkin sumpah serapah, mengutuki partai politik dan semesta calegnya. Tapi yang mendukung juga tidak sedikit, lihatlah itu massa parpol membedaki jalan-jalan ibu kota, atau debat terbuka di statiun tv swasta. Mau mendukung atau tidak, semuanya adalah pilihan politik publik, walaupun ada yang resah juga dengan semakin membengkaknya fenomena golput di Indonesia, dengarlah itu MUI mengeluarkan fatwa.

Terlepas dan hiruk-pikuk pro-kontra, hari ini kita mendapati kenyataan bahwa jalan raya, gang, dinding rumah, tiang listrik, pohon, angkutan kota, dan tempat-tempat terbuka lainnya disesaki oleh iklan homogen para caleg dari berbagai partai politik. Muka-muka yang dikondisikan sedemikan rupa (mayoritas tersenyum) menghiasi ruang-ruang publik, bukan menghiasi sebenarnya tapi mengotori. Tempat-tempat umum itu kemudian menjadi tong sampah raksasa yang hadir di sekitar kita. Maksud hati ingin tebar pesona, tapi rakyat meresponnya dengan sinis, bahkan di surat pembaca salah satu koran nasional bertiras ribuan eksemplar, seorang ibu menulis, redaksinya kurang lebih begini : "untung tadi malam di tempat saya hujan deras dan angin kencang, sehingga banyak baliho caleg yang runtuh dan hancur." Iklan kecap nomor 1 tidak mendapatkan tempat di hati masyarakat. Fakta ini harus disiasati oleh mereka yang jualan partai politik. Bahwa dalam kepadatan aktivitas masyarakat, mereka harus berlomba mengemas jualannya agar terlihat menarik dan simpatik. Gagasan, ide, dan pemikiran besar yang ditawarkan kepada masyarakat akan terlihat sangat bodoh jika hanya disampaikan dengan bentangan muka-muka fotogenik di sudut-sudut ruang publik. Masyarakat sebenarnya tidak seapatis yang dibayangkan, mereka juga punya sisi kepedulian dan rasionalitas politik yang hanya akan timbul jika komunikasi politik yang sampai kepada mereka dapat berjalan dengan baik. Ini hanya masalah konsekwensi : antara konsep dengan cara mengkomunikasikannya.

Mengklaim diri seolah-olah yang terbla.bla.bla memang tidak dilarang, tapi alangkah baiknya jika cerdas dalam menyampaikannya. Tebar pesona menjadi aktivitas padat pelaku hari ini. Tapi kita belum banyak melihat yang menyampaikannya secara baik. Semoga ruang publik kita tidak semakin sesak dengan foto-foto "orang pintar" yang kelihatan bodoh.

Inga..inga..awal April kita pemilu lagi. Kita??. [ ]




22 January 2009

Masyarakat Imunisasi

Satu hal dari banyak hal yang patut disyukuri adalah bahwa kita dianugerahi pengetahuan tentang gaya bahasa. Tentang Metafor. Tentang kiasan. Tentang suatu cara untuk menyampaikan pendapat, ide, kritik dan saran secara tidak vulgar. Menyampaikan partikel gagasan yang disamarkan dengan kekayaan bahasa, dengan tujuan agar "si objek tembak" tidak merasa ditelanjangi. Tidak merasa diserang bertubi-tubi.

Tapi memang zaman minta perubahan. Dia menuntut segalanya serba terbuka. Serba transparan. Serba blak-blakan. Dengan doktrin demokrasi, kebebasan, persamaan hak dan dogma perubahan lainnya menggiring kita untuk akhirnya mentabukan majas. Mengalienasi perumpamaan.

Dan efek yang ditimbulkan dari kondisi itu cukup "mengagumkan". Kita kehilangan rasa peka. Kita menjadi malas berkontemplasi. Gerak reflek kita jadi lamban. Sinyal-sinyal untuk menangkap pesan yang tersirat semakin melemah. Atau mungkin sengaja dilemahkan?.

Dengan berjalannya waktu, individu-individu yang dimuntahkan oleh kondisi ini semakin bertambah dan membentuk komunitas-komunitas kecil, sebelum akhirnya membentuk sebuah masyarakat yang lebih luas. Dan kita adalah anggota sah masyarakat tersebut.

Kita nyaman dengan kondisi seperti ini, sebab tidak direpotkan dengan kegiatan menganalisa pesan-pesan yang berada di balik timbunan kata-kata. Kita adalah masyarakat tabu kiasan. Masyarakat miopy perumpamaan. Masyarakat yang terimunisasi dari kritik dan saran. Masyarakat terdidik yang bebal. [ ]

Adegan Panas


“Nadya sedang mandi pagi itu, ketika seorang laki-laki masuk ke kamar. Di bawah guyuran shower yang dingin dia tidak tahu, laki-laki itu tengah tidur di atas kasur. Aktivitas di kamar mandi di mana-mana sama, gosok ini, gosok itu, guyur ini, guyur itu, semua tidak ada yang istimewa, kecuali jika Nadya membuatnya menjadi istimewa. Laki-laki itu sebenarnya tidak tidur, dia hanya memejamkan mata saja, dia sebenarnya tengah menunggu, menunggu sesuatu yang membuatnya tidak sabar.
Dengan hanya memakai handuk sebatas dada, Nadya kemudian berjalan menuju kamarnya. Sementara karena sudah tidak sabar, laki-laki yang di kasur kemudian membuka baju. Kemudian Nadya masuk kamar dan menutup pintu, lalu memakai baju dan membereskan buku, Nadya kuliah pagi hari. Yang ditunggu laki-laki itu akhirnya datang, kawannya yang bernama Iwan datang membawa minyak angin dan uang logam, bersiap dia mau kerok punggung laki-laki yang tengah terbaring, karena semalam suntuk main PS dengan jendela kamar terbuka, laki-laki itu akhirnya masuk angin dan harus dikerok dengan bantuan kawannya, untung dia kuliah siang hari. Nadya pergi ke kampusnya yang berada di Depok. Sementara laki-laki itu tengah dikerok di kamarnya di Bandung.”

Itu adalah dua adegan tentang dua orang mahasiswa yang berbeda tempat. Nadya dan laki-laki yang masuk angin. Dua adegan dalam satu cerita. Kamu suka adegan yang mana? Yang mandi atau yang dikerok? Oh, mungkin ini tergantung jenis kelamin. Tapi yang pasti kamu adalah seorang sutradara. Ketika kamu menulis, sebenarnya kamu juga tengah membayangkan apa-apa yang kamu tulis itu. Maka cerita yang bergulir adalah potongan-potongan adegan yang sambung-menyambung. Mirip dalam sebuah film. Jalan cerita seperti apa yang kamu inginkan? Itu tergantung bayangan adegan yang ada di kepalamu. Maka sebuah tulisan adalah rangkaian adegan-adegan yang kamu reka-reka sesuai selera kamu. Tapi jika itu bukan fiksi tapi cerita nyata, maka kamu juga pasti sambil mengingat peristiwa yang telah kamu alami atau merangkai berbagai teori dan konsep.

Membayangkan sesuatu yang akan kamu tulis, terkadang membutuhkan mata yang terpejam, atau kamu akan menerawang, melihat-lihat tapi tidak fokus dan kosong, karena pikiranmu sedang tertuju pada bahan tulisan, pada adegan yang akan kamu tuliskan. Kadang-kadang hal itu membuat kamu pusing, karena terlalu banyak adegan yang memungkinkan untuk kamu tulis. Menuliskan seorang Nadya yang sedang mandi saja bisa banyak sekali. Bisa kamu bahas dari masalah sabun dulu, bisa dari baju dulu, bisa dari keluarga Nadya dulu, dan macam-macam yang lain sesuai seleramu. Sehingga hal itu terkadang membuat kening berkerut-kerut dan kepalamu terasa pening, karena tumpukan ide yang menggunung, karena gagasan tumpang tindih di batok kepalamu.

”Adegan Panas” adalah salah satu ide yang keluar dari keputusanmu dalam menuliskan sesuatu, dan hal ini sangat relatif. Tergantung seleramu. Mau dibawa kemana banjir idemu itu? Mau seperti apa jadinya tsunami gagasanmu itu? [irf]

Tangis di Pagi Hari Bulan Oktober

Banyak sekali orang yang mengagumi dan terinspirasi oleh hujan, dari yang banyak itu salah satunya adalah dia. Dengan bunyinya hujan selalu memberi tahu bahwa pucuk daun jambu kedinginan. Hujan juga selalu mengabarkan tentang air yang jatuh di batu dan rerumputan. Hujan bisa membedakan antara atap rumah dan kubah mesjid. Tapi bunyinya tak terdengar di hati manusia, sebab di tempat itu hujan diendapkan pada bagian yang terdalam dan sunyi.

Adalah dia yang berjalan di pagi yang murung itu. Setelah tadi malam sesuatu yang menyesakkan mengusiknya, dia tidak bisa memejamkan mata. Meski bola lampu telah dipadamkan dan tirai jendela telah dirapatkan, tetap saja kantuk tak kunjung tiba menghampirinya. Ada sesuatu yang menari-nari di benak pikirannya, terlebih lagi di langit jiwanya. Maka lihatlah akhirnya dia hanya bisa berdialog dengan bantal yang perlahan mulai basah, bukan oleh hujan tapi airmatanya, sebab selain jatuh di luar, hujan juga telah diendapkan di titik terdalam perasaannya.

Dan di pagi hari bulan oktober yang gerimis itu, dia melangkah menyusuri setapak jalan dan menembus kabut. Harapannya sederhana : hujan tak berhenti jatuh dan tak ada seorang pun yang menyapanya. Tak sedikit pun lintasan pikiran yang mengajaknya untuk sejenak berteduh atau menyapa anak kecil yang berdiri di ambang pintu dengan berseragam sekolah. Dia hanya terus berjalan menunduk, entah apa yang dilihatnya. Yang jelas bukan tanah yang becek dan bebatuan yang basah. Tatapannya jauh menembus itu semua, sejauh angannya yang melayang-layang pada kejadian tadi malam.

Sesekali kawanan burung kecil berkejaran di udara, gerakannya seperti hendak merobek pemandangan awan yang pucat dan murung. Ada juga semilir angin menggoyangkan pucuk tanaman rambat yang membelit pagar rumah anak kecil berseragam sekolah. Deru mobil lain lagi, lamat-lamat terdengar di kejauhan dan akhirnya menghilang. Semua itu menandakan bahwa masih ada kehidupan dan harapan. Tapi sayang tak mampu menghiburnya.

Dalam setapak jalan yang sepi dia menangis lirih, airmatanya berjejalin dengan air hujan yang menetes di pipi. Hujan selalu pintar menyesuaikan dengan suasana hati. Di pagi hari bulan oktober itu dia menangis pelan sekali. Dia tengah menikmati pesona kesedihannya sendiri. [ ]

(Dedicated to Hermi Kusumawaty & Sapardi Djoko Damono)

Hari yang Biasa

Ada satu saat dimana kita merasa tidak berarti. Sangat tidak berarti. Bisa kemarin, sekarang atau besok. Bisa juga dulu atau nanti. Saat dimana kita merasa terpuruk sendirian dalam hari yang biasa. Hari yang jauh dari istimewa. Saat ketika orang-orang menjauh, kabur dari pandangan dan komunikasi. Relasi publik yang selama ini direngkuh hilang teratur dan akhirnya lenyap. Atau mungkin mereka ada, tapi keberadaannya tidak menyisakan apa-apa selain sebuah kehampaan abadi.

Pada waktu suram itu, keluarga menjadi dingin tak ada kehangatan, semua berjalan sendiri-sendiri. Sahabat hilang satu-persatu menuju cita-citanya masing-masing. Percintaan sudah berakhir, lalu dia menjadi mantan, dan apa yang bisa diharapkan dari seorang mantan cinta?. Orang yang diam-diam dikagumi kehilangan karakter, dia menjadi rapuh dan memalukan. Lalu secret admirer kalau ada, mereka pun mundur teratur dan lenyap tak berbekas. Bahkan musuh sebagai relasi publik negatif tiba-tiba hilang entah kemana. Kita jadi seorang asosial. Hidup sendirian dan yang paling penting adalah merasa sendirian dan ditinggalkan. Semua kehilangan rasa.

Lalu kita mencoba melihat media komunikasi, dan ternyata sama saja. Hp, fs, email, blog dan yang lainnya semuanya sunyi, tak ada lalu lintas komunikasi. Semua yang kita senangi menjadi hambar. Ketertarikan, hobi, komunitas, gaya hidup, cita-cita dan semuanya menjadi luntur sebelum akhirnya luruh menyentuh titik nadir yang paling rendah. Buku-buku jadi kehilangan rasa, semuanya hambar dan kaku. Pramoedya tak lagi bisa diandalkan. Tetralogi Buru hanya jadi tumpukan kertas saja. Kemudian musik pun sama, hanya terdengar membosankan. Lagu-lagu jadi sendu dan cengeng. Keadaan seperti sedang berkonspirasi memojokkan ke-aku-an yang selama ini dibanggakan.

Saat seperti itu nampaknya susah untuk dikendalikan dan dicari pengalihannya, karena untuk berkomunikasi dengan Tuhan pun kita selalu gagal dan jauh dari khusuk. Kita benar-benar terasing. [ ]

Begini Saja

Begini saja. Bagaimana kalau lambang Negara, kita ganti dengan tikus bukan burung garuda lagi. Sebab tikus lebih ergonomis untuk menggerogoti dan kemudian lari bersembunyi. Bagaimana kalau setiap pajabat tidak usah bersumpah di bawah kitab suci lagi dan kita ganti dengan proposal tender bermilyar-milyar dengan uang pelicin bermilyar-milyar, sebab itu lebih indah dan menyenangkan. Bagaimana kalau KPK kita bubarkan saja dan pembubarannya kita rayakan di rumah-rumah dinas kediaman. Bagaimana kalau para aktivis yang hilang dan dibunuh kita lupakan saja dan kita tidak usah demonstrasi lagi, tidak usah mengkritisi lagi, tidak usah menegakkan kebenaran lagi sebab kebenaran sudah seperti sebuah jarum yang hilang di tumpukkan jerami.

Bagaimana kalau para korban banjir, lumpur panas, longsor, gempa dan ancaman gunung berapi kita kasih makanan basi saja sebab stok makanan sudah habis dimakan tikus. Bagaimana kalau para anggota dewan kita naikkan semua tunjangannya, sebab gaji mereka hanya mencukupi biaya sehari-hari saja, sedangkan kebutuhan yang lain masih menumpuk : jalan-jalan ke luar negeri, menghidupi istri simpanan, belanja mobil baru dan untuk sewa keamanan jika suatu saat dia di demo para mahasiswa. Bagaimana kalau PEMILU ditiadakan saja dan kita menyibukkan diri untuk mencari minyak tanah, sembako serta kedelai yang murah. Bagaimana kalau ternyata minyak tanah itu benar-benar habis dan kita ganti dengan kayu bakar sisa para cukong pemilik HPH.

Bagaimana kalau kita tidak usah sekolah sebab harganya terlalu mahal, lebih baik menjadi pengangguran saja dan menunggu mereka yang sekolah itu bergabung dengan kita. Bagaimana kalau kita beli perahu karet, sebab kata BMG nanti malam akan turun hujan dan katanya pulau Jawa akan tenggelam. Bagaimana kalau kita semua jadi presiden saja, mengurus diri sendiri dan keluarga sebab negara punya urusannya sendiri. Dan bagaimana kalau tulisan ini tidak usah dibaca, sebab kalian pun sudah tahu dan menyaksikannya sendiri di koran dan di layar kaca. [ ]

Mencintai Pilihan

Kalau semua kejadian yang kita lewati dinilai oleh parameter menang-kalah, maka sesungguhnya hidup adalah pertempuran. Dan pertempuran selalu menghadapkan satu pihak dengan lawannya. Tidak ada keserasian di sana, yang ada hanyalah konflik berkepanjangan, dan lawan yang paling sulit untuk dikalahkan adalah diri sendiri dengan semesta egonya. Mengalah pada ego sebenarnya tidak selalu berkonotasi buruk, tapi terkadang menggambarkan keteguhan sikap. Kita tidak selamanya diwajibkan berkompromi dengan keadaan. Tidak selalu ada tawar-menawar dalam hidup ini. Adakalanya sikap tegas harus dikedepankan. Terlalu banyak pilihan yang hadir dalam kehidupan kita, sementara mengambil keputusan pun bukanlah sesuatu yang mudah.

Kita harus belajar, karena kita pemimpin. Harus belajar mengambil keputusan, terlepas dari benar atau salah keputusan itu. Karena seorang pemimpin dibesarkan dari rangkaian keputusan-keputusan yang diambilnya. Harus ada satu poin pegangan yang ditetapkan, karena kita tidak bisa berpegang pada beberapa cabang pilihan. Dan ini sangat luas wilayahnya. Dari memilih sekolah sampai pemilihan calon Presiden. Satu hal yang perlu disadari, bahwa kita tidak boleh menyesal pada pilihan kita, pada keputusan kita. Meskipun memilih atau mengambil keputusan adalah sebuah sikap untuk menentukan masadepan, menentukan masa yang akan datang, menentukan masa yang belum kita ketahui, menentukan masa yang masih tanda tanya, tapi kita harus berani. Karena hidup adalah soal keberanian menghadapi yang tanda tanya, begitu kata Soe Hok Gie. Apakah kamu berani?. Apakah kamu mencintai keputusanmu?. Kalau kamu berani memutuskan dan cinta pada keputusanmu, berarti kamu cinta pada keberanian hidup. [ ]

Imajinasi

Imajinasi. Tentang ruang 3 x 3 di lantai dua yang menjadi perpustakaan pribadi dan berjendela besar. Jendela itu menghadap ke timur, lalu setiap pagi sinar matahari akan bebas masuk melaluinya. Di luar tumbuh dua pohon mangga yang rimbun daunnya. Sebuah dahan tumbuh mendekati jendela, lalu kalau musim berbuah dia siap untuk dipetik dari jendela itu. Rak-rak buku tersusun rapi tanpa debu tebal, karena setiap hari dia dibersihkan. Ratusan bahkan kalau mungkin ribuan buku berjejer dari berbagai disiplin ilmu. Sebuah kursi rotan bersandar di tepi jendela, dia mengkilap karena tiap hari diduduki untuk membaca. Di dinding sebelah selatan menempel poster Pramoedya Ananta Toer sedang merokok, dia tampak tua dengan kulitnya yang mulai keriput. Sore hari angin akan berhembus pelan, membuat sejuk ruangan itu. Hari minggu kalau semua pekerjaan telah selesai, maka ambil sebuah buku sastra dan membacanya sampai adzan Dhuhur tiba. Lalu ada jam dinding, lalu ada asbak, lalu ada sebuah radio tempat lagu Rayuan Pulau Kelapa mendayu-dayu sebelum siaran berita. Dan di salah satu sudut kamar ada sebuah komputer tempat memuntahkan segala yang ingin dituliskan. Siang itu ada seekor burung gereja hinggap di kursi dekat jendela, ada juga suara rintik hujan di daun-daun pohon mangga, lalu hp berbunyi tanda sebuah sms masuk.

Imajinasi. Tentang seorang kawan yang datang dari Yogyakarta, membawa beberapa buku tua dari loakan. Dia juga membawa buku tentang Zionis, dan ternyata dia adalah penulisnya. Dia tiduran di kamar itu sambil membolak-balik buku Milan Kundera yang bersampul oranye. Sementara saya tengah membaca buku hasil tulisannya. Kemudian ada diskusi bebas tentang segala hal. Hari kemudian menjadi sore semenjak itu, lalu saya turun ke bawah untuk mandi, dan di meja tergeletak koran hari ini. Sebuah iklan kecil tertulis di dalamnya.

Imajinasi. Tentang pameran buku di Braga, banyak orang membeli Ayat-ayat Cinta, Laskar Pelangi, La Tahzan dan Harry Potter edisi Relikui Kematian. Saya sendiri sibuk di lantai dua mencari-cari buku Sang Pemula dan Cerita Dari Blora. Buku-buku ‘merah’ semakin banyak diterbitkan, tapi peminatnya tidak sebanyak bukunya karena buku ‘merah’ terkesan tidak memberikan apa-apa selain semangat utopis yang sudah usang. Tapi itu hanya stereotip, dan stereotip tidak selamanya benar. Anak-anak remaja berlomba borong teenlit demi modal gaul di sekolahnya, atau bisa juga sebagai pedoman dalam mencari jenisnya yang berbeda. Anak-anak itu, anak-anak yang memborong teenlit itu adalah mereka yang sedang semangat-semangatnya menelan hidup. Kawan saya yang dari Yogya itu entah kemana, sepertinya dia di stand buku-buku agama, mungkin sedang mencari buku tentang pernikahan?. Buku-buku itu adalah anak-anak rohani yang lahir dari budaya tulis bukan budaya ucap. Jam menunjukkan pukul 14.23, ketika ponselku berdering tanda ada orang yang menelpon.

Imajinasi. Tentang kawan yang pamit mau pergi ke rumah saudaranya. Dan tentang kamu yang sangat cantik sore itu, memakai sweater warna biru dan berkacamata tipis. Saya belum mandi sore itu karena sedang asyik membaca Anak Semua Bangsa, ketika kamu datang tiba-tiba dan berkata “aku ingin membacamu”. [ ]

3 F

Food. Identitas makanan sekarang sudah mengalami pergeseran, dari sekedar pemenuhan kebutuhan biologis, sekarang telah menjadi life style. Di mana-mana ada variasi kuliner dengan semesta wisatanya. Acara makan jadi lomba ajang gengsi. Tempat-tempat makan nomor wahid jadi buruan para pencinta atau lebih tepatnya para pencari gaya hidup. Lihat saja di mana ada shooting acara makan-makan, maka tidak lama kemudian tempat itu jadi ngetop. Di sector industri lebih membabi-buta lagi, saat ini sangat sulit untuk mengingat ada berapa merek mie instant, kopi, minuman ringan, susu bubuk dan cair, permen, coklat, roti bahkan teh celup. Maka kalau pergi ke retail-retail modern, bersiaplah untuk memilih beragam merek tersebut. Pasar makanan sudah jenuh, sehingga sulit mencari konsumen yang loyal pada satu merek. Saya tidak percaya dengan hasil-hasil penelitian yang menunjukkan loyalitas pada satu merek makanan, apalagi hasil penelitian para mahasiswa, biasnya luar biasa. Cara menikmati makanan pun kini banyak perubahan. Warung makan cepat saji jadi banyak digemari. Makanan yang konon junkfood itu sangat menarik minat para pencari makanan, apalagi hampir semuanya warung impor, maka makan di sana bukan lagi sekedar membantai lapar tapi juga sebagai tempat nongkrong. Bukankah masyarakat Indonesia masih menganggap keren segala hal yang berbau luar?!, oh kolonialisme, sampai begini rupanya engkau membuat prilaku rakyat Indonesia. Yang paling baru adalah warung kopi, orang-orang senang berkumpul bukan hanya di kedai kopi tapi juga di warung-warung kopi modern yang ada hot spotnya. Maklum saja kedai kopi biasa yang serumah sama mie rebus dan teh manis tidak bisa bikin laptop kelihatan mantap. Saya tidak tahu apa yang dilakukan orang-orang dengan laptop itu, mungkin chatting, mungkin nulis, mungkin browsing atau mungkin juga main solitare. Di akhir pekan banyak keluarga yang bingung menentukan untuk makan dimana dan makan apa yang enak, tapi mudah-mudahan tidak berpikir hari ini makan siapa. Semahal apa pun makanan itu kita beli, ujung-ujungnya pasti akan berakhir di pembuangan, baik di kloset duduk, kloset jongkok, sungai keruh atau pun di celana dalam karena kita tak kuat nahan.

Fun. Hiburan di mana-mana. Dugem ramai sekali pengunjungnya. Musik dan sinetron seperti dua mata uang yang tidak bisa lepas dari mata dan telinga. Band-band baru yang kebanyakan kampring bermunculan. Sinetron sambung-menyambung tak ada habisnya, sayang komedi cabul malam-malam sekarang sudah tidak ada. Belum lagi sinetron yang menjiplak film sukses, garingnya bukan main. Film komedi cabul marak di layar lebar, akhir-akhir ini saya dengar mereka berseteru dengan LSF. Para sineas muda yang konon idealis itu kokoh dengan pendiriannya bahwa pendidikan seks adalah penting. Dan lonjakan libido pun harus di visualkan demi misi luhur tersebut. Maka lihatlah para pemuka agama berseteru dengan mereka. Hiburan dan hiburan, sangat mengesankan masyarakat Indonesia yang haus akan itu, atau mungkin ada yang berpikir bahwa terlalu banyak masalah jadi rakyat harus dihibur. Media hiburan mengepung semua pojok rumah. Ada televisi, DVD, PS dan tak ketinggalan blue film untuk kemudian dipraktekkan di rumah, di hotel dan kost-kostan. Orang kere pun tidak ketinggalan, mereka bisa nonton goyang erotis yang gratis di sudut-sudut kampung. Yang berbau-bau indie juga lagi ngetrend, ada film indie, musik indie dan komik indie. Lihat itu myspace jadi ramai sekali. Industri olah raga pun sudah jadi industri hiburan, di mana-mana ada fans club tim-tim besar, mereka berkomunitas mencintai club luar yang berada jauh di seberang laut lepas. Lama-lama negeri ini jadi republik hiburan.

Fashion. Ada celana pendek di atas lutut yang lagi ngetrend, ada celana “demi waktu” yang mirip kaki burung, ada celana panjang super ketat yang ditutup kain menyerupai gorden, ada baju pameran pusar dan masih banyak lagi. Mode pakaian terus berubah dari waktu ke waktu, sangat cepat malah. Kebanyakan yang jadi targetnya adalah perempuan, tapi tak sedikit juga laki-laki yang berani tampil banci dengan gaya-gaya tersebut. Pakaian sudah jadi salah satu barang koleksi sekarang, ada kolektor baju bekas, ada kolektor t-shirt bertema musik bahkan ada juga kolektor daleman. Industri aksen juga jadi ramai, ada kalung, gelang, anting dan pin. Belum lagi budaya tato dan tindik-menindik, bahkan ada juga yang menindik hidung laku orang menyerupai kerbau di tengah lumpur sawah. Sementara kebanyakan orang berlari mengikuti revolusi mode, ada juga yang terjebak di masa lalu, tenggelam di masa 60, 70, 80 dan 90-an. Banyak sekali baju usang di lemari, tapi sangat sayang jika di kasih sama orang lain, apalagi di buang.

Ketiga F tersebut perlahan-lahan membuat kita menjadi tong sampah raksasa. Maka mari kita mendaftar di MURI untuk hal ini. Siapa tahu nanti ada olimpiade tong sampah dan kita menjadi yang termewah. Ada perbedaan besar antara kebutuhan dan keinginan. Kita sepertinya sedang berproses menjadi veses komsumerisme global. [ ]

Sastra Mesin


Seperti layaknya mesin, tubuh manusia juga mempunyai mekanisme tersendiri. Bagaimana sepiring nasi Padang diolah oleh alat pencernaan sehingga hasil akhirnya menjadi sewujud sesuatu yang terdampar di septic tank. Atau bagaimana serbuan berbagai macam perasaan berhasil melelehkan airmata di kedua pasangnya. Lain lagi dengan darah, dia mengalir teratur di kanal-kanal tubuh yang tak terlihat. Semuanya bekerja dengan sangat sistematis, dan jatuh sakit adalah tanda bahwa mereka tidak bekerja dengan sempurna. 

Si mesin tubuh juga perlu perawatan, maka olahraga sering kita lakukan. Tak ketinggalan berbagai macam multivitamin kita jejalkan. Sepintas tubuh yang sering kita banggakan itu tidak jauh beda dengan mesin pembuat kecap yang mengolah kedelai hitam menjadi cairan kental yang hitam juga. Atau dengan mesin pembuat kertas yang memakan ribuan batang pohon kesayangan para aktivis pecinta lingkungan. Apakah kecanggihan manusia hanya berhenti sampai di sana? Jawabannya silahkan temukan pada jiwa-jiwa kalian yang mulia.

Manusia berhenti menjadi manusia kalau dia tidak punya perasaan, maka sering kita dengar manusia seperti itu adalah manusia setengah robot. Maka kalau kamu marah lalu puluhan margasatwa berhamburan dari mulutmu, berarti kamu masih manusia. Kalau kamu kesal lalu membanting pintu atau memukul meja, berarti kamu masih manusia.

Agar perasaan tidak menghasilkan tindakan yang destruktif, maka dia harus dihaluskan. Kata guru saya waktu MTs, salah satu cara memperhalus perasaan adalah dengan cara banyak membaca karya sastra. Membaca karya sastra ternyata tidak semegah yang dikira sebelumnya, karena apa yang dituliskan di sana adalah refleksi yang ada di sekitar kita, bisa benda dan bisa juga peristiwa. 

Tanpa kamu sadari tiba-tiba saja gunung, pantai, bunga, gelombang, matahari, angin, bintang, hujan, bulan, rumput, malam, senja, daun, burung, awan dan bahkan pagar halaman menjadi benda-benda yang sering diperhatikan kalau kamu sedang jatuh cinta. Semua benda itu tiba-tiba saja menjadi indah dalam wujud metafora.

Membaca karya sastra tidak melulu tersiksa dengan kata-kata penyair yang susah dimengerti maknanya, tapi juga tentang bagaimana menyandarkan gelisah hati ketika kamu tengah patah hati. Dengan variasi kata-kata, sastra seperti ingin menyadarkan bahwa bagaimanapun keadaannya, kamu tidak pernah benar-benar hidup sendirian. Selalu ada contoh kisah di sana, tentang dunia manusia yang banyak ragamnya.

Maka suatu hari ketika jiwamu sedang diserang sesuatu, tiba-tiba saja kamu menjadi seorang penyair, kamu menjadi pandai membuat kata-kata indah dan mengalir. Lihat saja catatan harianmu yang telah lalu, kamu dapat mendeteksinya bahwa catatanmu itu adalah gambaran cuaca yang sedang terjadi di alam jiwamu.

Menghaluskan perasaan, mungkin ini juga yang tengah dialami oleh D. Zawawi Imron ketika beliau menulis sebaris kalimat ini:

"Kalau aku ikut ujian dan ditanya soal pahlawan, namamu ibu yang akan aku sebut lebih dulu." [irf]

Ilustrasi Foto: observenigeria.com

022-021

Tak ada yang lebih manis dalam kemesraan kemanusiaan melebihi kedua kota ini. Keduanya selalu memendam rindu-dendam tak berkesudahan. Jauh melebihi panjang jalan tol Cipularang, kedua kota ini selalu saja menyisakan persentuhan budaya, saling menopang dan orang-orangnya sering mengutuk dan menyanjung.

Kisahnya bisa diwakili oleh orang-orang Bandung yang menympahi cuaca Jakarta yang panas seperti semi neraka, padahal mereka belum pernah ke neraka. Atau tentang mereka yang pertama kali naik Bus Way dan jalan-jalan ke Blok-M, mereka yang serba pertama itu mengalami semacam "gegar budaya", serba kaku serba tidak tahu. Jangan dibilang kampungan, sebab mereka bukan orang kampung tapi orang Bandung. Yang di Bandung tak henti-hentinya mengeluh jika musim libur tiba, sebab orang Jakarta akan membanjiri wilayah mereka. Setiabudi-Cipaganti-Martadinata-Ir. H. Djuanda akan macet dibuatnya.

Tapi mereka, orang-orang Bandung itu tidak sedikit yang mencari penghasilan di Jakarta. Mengaduk-ngaduk nasib di belantara ibu kota dan mereka ternyata bisa bertahan lama. Mungkin kerasan atau mungkin juga mempertahankan pendapatan. Untuk memprediksi jumlah angka coba saja hitung perkembangan usaha travel yang yang jumlahnya tak terkira.

Orang Jakarta punya kisah juga, mereka seperti tidak pernah bosan mengunjungi Bandung di setiap akhir pekan. Seolah-olah tak ada lagi tempat berlibur selain Parijs van Java. Padahal yang ditawarkan Bandung itu-itu juga : wisata kuliner, wisata alam dan wisata belanja. Bandung bagi mereka lebih dari cukup untuk berwisata sambil menunggu hari senin tiba.

Tapi mereka, orang-orang Jakarta itu sedikit khawatir jika tim sepakbola kebanggan rakyat Pasundan sedang bertanding bertepatan dengan keberadaan mereka di sana. Apalagi yang mobilnya berplat B, bisa kocar-kacir dibuatnya. Perseteruan suporter sepakbola kedua kota ini memang hampir melegenda. Di mana-mana kalau mereka bertemu pasti ribut juga.

Itulah manusia, selalu pintar mengelola rindu-dendam yang bersemayam di dada mereka. Dan saya lihat orang-orang Bandung dan Jakarta selalu manis mengelolanya. [ ]

21 January 2009

Mati Muda

Selalu ada cara untuk mengenang mereka yang telah pergi mendahului kita. Cukuplah kematian menjadi pelajaran bagi mereka yang masih hidup. Kematian bukan untuk ditakuti karena datangnya adalah pasti. Dalam setahun ini kabar duka susul-menyusul, beberapa kawan telah pergi dipanggil-Nya. Lalu ada seorang kawan yang bertanya : “kapan kamu menyusul mereka?”. Pertanyaan bodoh saya kira, seolah-olah saya mengetahui jadwal kematian sendiri. Atau dia hanya berolok-olok saja?. Apakah kematian pantas untuk diperolokkan?.

Bagi sebagian orang mati muda adalah tragedy, karena tidak bisa lama mengecap nikmat dunia katanya. Tapi bagi sebagian yang lain justru sebuah berkah, sebab mereka kembali kepada kesejatian menghadapYang Maha Abadi. Tapi yang terpenting bukan masalah kapan tibanya, melainkan sudah seberapa banyak bekal kita untuk menempuh jalan keabadian itu. Saya sendiri selalu khawatir dengan bekal yang masih sedikit atau mungkin belum ada sama sekali.

Untuk kawan-kawanku yang telah pergi meninggalkan fananya dunia, saya hanya bisa berucap selamat jalan dan berdo’a untuk kalian. Semoga kalian mendapatkan tempat yang mulia di sisi-Nya. Amin.

Untuk kawan-kawanku yang masih hidup, saya teringat sepotong bait dalam sajak Pastoral karya Acep Zamzam Noor, mungkin kalian pernah mendengarnya :

Maut bukanlah kabut yang mengendap-ngendap

Tapi salju

Yang berloncatan bagai waktu

Dan menyumbat pernafasanmu

Maut bukanlah kata-kata

Tapi do’a

Yang memancar bagai cahaya surga

Dan membakarmu tiba-tiba [ ]

Siasat

Apa yang dituliskan oleh para pengarang novel, pembuat puisi dan penulis cerpen sesungguhnya adalah tema yang diulang-ulang. Hampir semuanya mengusung tema percintaan, kemanusiaan, sosial, kepahlawanan, perlawanan, alam dan lain sebagainya. Tak ada yang baru di sana. Tapi kenapa selalu ada karya-karya mereka yang berkesan?, padahal tema yang mereka tawarkan itu-itu juga. Jawabannya adalah kekayaan bahasa. Kosa kata yang banyaknya entah berapa berhasil mensiasati pengulangan tema sehingga tidak membosankan. Dia selalu bisa memesona dengan kekayaannya.

Selalu ada citarasa yang berbeda ketika misalnya membaca karya Sapardi Djoko Damono, Acep Zamzam Noor, Joko Pinurbo, Danarto, Emha Ainun Nadjib, Ramadhan K.H, Taufik Ismail, Budi Darma dan bahkan tulisan kawan-kawan yang sering diposting di MP. Ada sesuatu yang berbeda di sana. Bagaimana caranya memperkaya bahasa dan menabung timbunan kosa kata?. Salah satunya adalah dengan banyak membaca.

Membaca, itulah siasat pertama dalam menulis karya. Meskipun hasilnya tidak selalu seratus persen orisinil, tapi setidaknya ada sesuatu yang dituliskan. Dan sebuah karya yang dituliskan akan lebih mengabadi daripada yang diucapkan.

Dalam kehidupan juga sepertinya harus meniru bahasa, pandai bersiasat dalam mengolah citarasa agar hasilnya selalu mempesona. [ ]