22 January 2009

Sastra Mesin


Seperti layaknya mesin, tubuh manusia juga mempunyai mekanisme tersendiri. Bagaimana sepiring nasi Padang diolah oleh alat pencernaan sehingga hasil akhirnya menjadi sewujud sesuatu yang terdampar di septic tank. Atau bagaimana serbuan berbagai macam perasaan berhasil melelehkan airmata di kedua pasangnya. Lain lagi dengan darah, dia mengalir teratur di kanal-kanal tubuh yang tak terlihat. Semuanya bekerja dengan sangat sistematis, dan jatuh sakit adalah tanda bahwa mereka tidak bekerja dengan sempurna. 

Si mesin tubuh juga perlu perawatan, maka olahraga sering kita lakukan. Tak ketinggalan berbagai macam multivitamin kita jejalkan. Sepintas tubuh yang sering kita banggakan itu tidak jauh beda dengan mesin pembuat kecap yang mengolah kedelai hitam menjadi cairan kental yang hitam juga. Atau dengan mesin pembuat kertas yang memakan ribuan batang pohon kesayangan para aktivis pecinta lingkungan. Apakah kecanggihan manusia hanya berhenti sampai di sana? Jawabannya silahkan temukan pada jiwa-jiwa kalian yang mulia.

Manusia berhenti menjadi manusia kalau dia tidak punya perasaan, maka sering kita dengar manusia seperti itu adalah manusia setengah robot. Maka kalau kamu marah lalu puluhan margasatwa berhamburan dari mulutmu, berarti kamu masih manusia. Kalau kamu kesal lalu membanting pintu atau memukul meja, berarti kamu masih manusia.

Agar perasaan tidak menghasilkan tindakan yang destruktif, maka dia harus dihaluskan. Kata guru saya waktu MTs, salah satu cara memperhalus perasaan adalah dengan cara banyak membaca karya sastra. Membaca karya sastra ternyata tidak semegah yang dikira sebelumnya, karena apa yang dituliskan di sana adalah refleksi yang ada di sekitar kita, bisa benda dan bisa juga peristiwa. 

Tanpa kamu sadari tiba-tiba saja gunung, pantai, bunga, gelombang, matahari, angin, bintang, hujan, bulan, rumput, malam, senja, daun, burung, awan dan bahkan pagar halaman menjadi benda-benda yang sering diperhatikan kalau kamu sedang jatuh cinta. Semua benda itu tiba-tiba saja menjadi indah dalam wujud metafora.

Membaca karya sastra tidak melulu tersiksa dengan kata-kata penyair yang susah dimengerti maknanya, tapi juga tentang bagaimana menyandarkan gelisah hati ketika kamu tengah patah hati. Dengan variasi kata-kata, sastra seperti ingin menyadarkan bahwa bagaimanapun keadaannya, kamu tidak pernah benar-benar hidup sendirian. Selalu ada contoh kisah di sana, tentang dunia manusia yang banyak ragamnya.

Maka suatu hari ketika jiwamu sedang diserang sesuatu, tiba-tiba saja kamu menjadi seorang penyair, kamu menjadi pandai membuat kata-kata indah dan mengalir. Lihat saja catatan harianmu yang telah lalu, kamu dapat mendeteksinya bahwa catatanmu itu adalah gambaran cuaca yang sedang terjadi di alam jiwamu.

Menghaluskan perasaan, mungkin ini juga yang tengah dialami oleh D. Zawawi Imron ketika beliau menulis sebaris kalimat ini:

"Kalau aku ikut ujian dan ditanya soal pahlawan, namamu ibu yang akan aku sebut lebih dulu." [irf]

Ilustrasi Foto: observenigeria.com

No comments: