10 February 2009

PEMILU : Saatnya Tebar Pesona

Demam Pemilu. Tulisan ini mengindikasikan itu. Saat partisipasi politik publik meledak, tiba-tiba saja ratusan parpol bermunculan, walaupun yang lolos verifikasi kurang dari setengahnya. Semuanya menyodorkan proposal kepada rakyat, isinya kurang lebih : pilih partai saya, karena partai saya adalah yang paling peduli dan memperhatikan aspirasi rakyat, persis iklan kecap nomor 1. Secara normatif tindakan itu alangkah mulia. Hari gini masih ada orang yang mau memikul beban dan penderitaan rakyat, respon yang timbul mungkin terharu (agak mustahil) atau sedikit senyum pahit. Yang tersenyum pahit kemudian golput, membuang sistem demokrasi yang ditawarkan ke keranjang sampah. Atau mungkin sumpah serapah, mengutuki partai politik dan semesta calegnya. Tapi yang mendukung juga tidak sedikit, lihatlah itu massa parpol membedaki jalan-jalan ibu kota, atau debat terbuka di statiun tv swasta. Mau mendukung atau tidak, semuanya adalah pilihan politik publik, walaupun ada yang resah juga dengan semakin membengkaknya fenomena golput di Indonesia, dengarlah itu MUI mengeluarkan fatwa.

Terlepas dan hiruk-pikuk pro-kontra, hari ini kita mendapati kenyataan bahwa jalan raya, gang, dinding rumah, tiang listrik, pohon, angkutan kota, dan tempat-tempat terbuka lainnya disesaki oleh iklan homogen para caleg dari berbagai partai politik. Muka-muka yang dikondisikan sedemikan rupa (mayoritas tersenyum) menghiasi ruang-ruang publik, bukan menghiasi sebenarnya tapi mengotori. Tempat-tempat umum itu kemudian menjadi tong sampah raksasa yang hadir di sekitar kita. Maksud hati ingin tebar pesona, tapi rakyat meresponnya dengan sinis, bahkan di surat pembaca salah satu koran nasional bertiras ribuan eksemplar, seorang ibu menulis, redaksinya kurang lebih begini : "untung tadi malam di tempat saya hujan deras dan angin kencang, sehingga banyak baliho caleg yang runtuh dan hancur." Iklan kecap nomor 1 tidak mendapatkan tempat di hati masyarakat. Fakta ini harus disiasati oleh mereka yang jualan partai politik. Bahwa dalam kepadatan aktivitas masyarakat, mereka harus berlomba mengemas jualannya agar terlihat menarik dan simpatik. Gagasan, ide, dan pemikiran besar yang ditawarkan kepada masyarakat akan terlihat sangat bodoh jika hanya disampaikan dengan bentangan muka-muka fotogenik di sudut-sudut ruang publik. Masyarakat sebenarnya tidak seapatis yang dibayangkan, mereka juga punya sisi kepedulian dan rasionalitas politik yang hanya akan timbul jika komunikasi politik yang sampai kepada mereka dapat berjalan dengan baik. Ini hanya masalah konsekwensi : antara konsep dengan cara mengkomunikasikannya.

Mengklaim diri seolah-olah yang terbla.bla.bla memang tidak dilarang, tapi alangkah baiknya jika cerdas dalam menyampaikannya. Tebar pesona menjadi aktivitas padat pelaku hari ini. Tapi kita belum banyak melihat yang menyampaikannya secara baik. Semoga ruang publik kita tidak semakin sesak dengan foto-foto "orang pintar" yang kelihatan bodoh.

Inga..inga..awal April kita pemilu lagi. Kita??. [ ]