19 July 2010

Membaca Desember


Curah hujan masih tinggi dan mendung masih sering menggantung di langit, ketika Desember datang lagi. Siapa yang mau mundur? Selamat, kamu tidak bisa melakukannya. Silahkan saja mencatat penyesalan, karena kamu hanya akan mendapati jajaran kata-kata dari tinta yang kamu tumpahkan. Evaluasi sudah dari dulu menjadi kosa kata istimewa, sehingga tidak banyak orang yang bisa melakukannya. 

Siapa yang bisa memfosilkan waktu? Karena saya hanya mendapati angka yang dikasih tanda stabilo merah. Kata siapa waktu berulang? Yang serupa hanyalah angka yang merekat di kalender usang. Agenda apa yang telah kamu selesaikan? Tidak ada, karena kamu tidak pernah mencatatnya, dan memilih menjadi manusia air, mengalir, menyandarkan segalanya berjalan apa adanya, lalu lamu menyebutnya takdir.

Saya tahu, setiap kali Desember datang, kamu tidak pernah ingat pada kue ulang tahun, atau nyala lilin di ujung musim. Saya tahu, karena kamu menganggapnya tidak perlu. Bahkan kamu sering lupa, ketika mendapati tanggal itu tiba-tiba. Yang kamu lakukan hanyalah mencari kalender baru, dan bersiap melipat masalalu, kemudian menyimpannya dalam saku. Sekali-kali kamu buka lagi lipatan itu, kalau kamu rindu. 

Ingat hari kelahiran adalah waktu ketika ingat siapa yang telah melahirkan. Lalu ada yang menderu di dasarmu, gemuruh itu adalah ketidakberdayaan untuk membalas segala yang telah kamu dapatkan. [itp]

1 Des ‘09

Sisa Redup Cahaya


Malam itu sepulang dari Kelapa Gading perut minta isi. Tukang nasi goreng yang biasa lewat di gang belum juga datang. Sambil menanti bunyi wajan yang dipukul, akhirnya nonton acara dialog di televisi, ditemani sebatang rokok dan teh manis. Perpaduan yang cukup akrab, apalagi rintik gerimis mulai jatuh dari langit yang menghitam. Acara dialog habis berbarengan dengan bunyi nyaring yang timbul dari wajan yang dipukul. Bersegera saya turun dan memesan satu porsi nasi goreng tanpa ati. Tidak lama aroma bumbu yang dipadu menyerang saraf penciuman, dan semakin membangkitkan selera. Acara di televisi sedang berita olahraga, ketika saya menyantap makanan beraroma sedap itu. Kemudian malam semakin larut, sudah jam setengah dua belas, lalu saya mengambil wudhu, dan sholat isya.

Cahaya matahari telah masuk melalui jendela yang terbuka ketika saya bangun pagi itu. Tempat yang pertama dituju adalah kamar mandi, bersuci dari hadats kecil lalu mengeringkan muka dengan handuk usang. Setelah itu berdiri menghadap kiblat, berdo’a lamat-lamat dalam sholat yang terlambat, sementara sinar matahari semakin hangat.

Setelah mandi dengan cepat, kemudian berdiri di depan cermin. Merapikan pakaian dan menyisir rambut dengan tangan. Tidak sempat menyeduh kopi atau sarapan nasi uduk, karena takut telat. Suasana pagi yang berulang. Pagi yang bergegas, seperti seorang sais pedati memecut kudanya. Memecut setiap yang berjiwa untuk mengisi hari dengan aktivitas. Pagi yang selalu mengingatkan bahwa keterlambatan adalah kekalahan sebelum pertempuran. Demikianlah waktu mengulang dirinya setepat-tepatnya, selama-lamanya. 

Bahkan panggilan untuk bangun lebih awal telah dikumandangkan, telah diulang-ulang oleh muadzin setiap hari: “sholat lebih baik daripada tidur”. Dalam panggilan itu kata BAIK memakai kata KHAIR, bukan HASAN, padahal secara arti maksudnya sama, yaitu BAIK. Tapi menurut keterangan dari seorang khotib jum’at di mesjid At Taubah-Pulo Mas, kata KHAIR berarti baik terhadap atau untuk jiwa, yang artinya baik untuk ruhani. Sedangkan kata HASAN berarti baik untuk selain ruhani, mungkin lebih ke arah fisik.

Jalan raya telah macet, lalu lalang kendaraan tersendat. Saya melintasinya di tengah suara klakson ketidaksabaran dan semrawutnya lalu-lintas salah satu sudut Jakarta. Mengurai kemacetan di kota besar ini seperti mengurai benang kusut. Tumpang tindih pengelolaan, kepentingan, dan ketidaksabaran para pengguna jalan yang setiap hari sumbunya semakin pendek. Maka pagi hari yang manis seringkali dihiasi oleh pertikaian-pertikaian di jalanan yang sebenarnya tidak perlu.

Setelah menunggu agak lama, kemudian saya duduk di kursi Transjakarta yang melaju ke arah Pulogadung. Di dalam tidak ditemui muka ramah, semuanya seperti sedang gelisah: menghitung kecepatan putaran roda dengan putaran jarum jam yang terus berdetak. Beberapa orang tertidur, sementara MP4 tengah memutar lagu Beatles: “All You Need is Love”. Pemandangan di luar kaca jendela seperti lukisan abstrak yang jarang dijajakan di pinggir jalan oleh para seniman tanggung. Saya terlindungi suara Beatles dari dengkuran orang di sebelah. Lima belas menit kemudian bus sampai di halte terakhir, penumpang berhamburan menuju rahmat kerjanya masing-masing.

Baru saja saya duduk di kursi kerja, tiba-tiba layar monitor sudah menerkam mata. Jajaran angka, rumus sederhana, dan garis-garis simetris harus saya lahap dalam delapan jam atau lebih, dengan posisi tetap menghadap meja. Suara printer manual mulai terdengar merisaukan, sementara dialog-dialog ringan telah berlangsung di sekitar mesin fax dan photo copy. Saat seperti ini mungkin bertepatan dengan kesibukan guru SD mengabsen anak-anak didiknya. Nantinya, anak-anak permata jiwa orangtua itu, mungkin tidak sedikit yang akan menjalani rutinitas seperti saya: menelan kerja satu bulan, lalu gaji di bayar di ATM. Sebelum semuanya dihabiskan, pendapatan harus ada yang disisihkan, agar grafik hutang setiap bulannya bisa turun. Ingat hutang, saya jadi ingat Safir Senduk.

“Makan di mana hari ini?” Seorang kawan mengingatkan bahwa sudah waktunya istirahat untuk makan siang. Satu jam ke depan kemudian dihabiskan oleh makan dan ngobrol, dan sholat dzuhur kalau waktu istirahat sudah injury time. Keluar lagi nanti kalau mau sholat ashar, kalau jam sudah menunjukkan setengah lima, ketika sinar matahari mulai reda dan bayangan sudah mulai temaram. Hari ini ada tambahan kerja, sehingga baru selesai jam setengah tujuh. Adzan maghrib sudah sangat dari tadi berkumandang. Saya menyibak tirai jendela, mencoba melihat pemandangan di luar. Bola-bola api sudah berpijar dan langit sudah lama ditinggalkan senja. Malam mulai merayap, lalu saya pulang.

Seperti biasa sebelum membeli tiket Transjakarta, saya mampir dulu di tukang nasi uduk. Menikmati jajanan murah di pinggir jalan sambil menemani udara malam yang sudah sangat jarang mendinginkan kota ini. Di sela-sela makan saya bercakap dengan si penjual nasi itu, membicarakan apalagi kalau bukan kehidupan sehari-hari. Mendapatkan kawan bicara selalu menyenangkan, apalagi ucapannya tidak dipenuhi kata-kata bersayap dan pura-pura yang menor. Di suapan terakhir saya baru ingat, bahwa saya belum sholat maghrib, padahal waktunya sudah hampir habis. Kumandang adzan isya sebentar lagi akan terdengar.

Pedas sambal nasi uduk belum mau meninggalkan mulut, waktu saya sholat di akhir waktu itu. Keringat mulai menguap dari badan, pembakaran di pencernaan sedang berjalan, membuat sholat menjadi tidak nyaman. Tapi setelah salam, sempat juga saya berdo’a yang isinya macam-macam: aneka permintaan dan permohonan.

Karena antriannya sangat panjang, saya tidak jadi pulang naik Transjakarta. Lalu menunggu monster hijau yang akan melaju ke arah Senen. Tidak lama dia datang, tergesa saya menyesaki perutnya. Untung masih kebagian tempat duduk, sehingga bisa melempar pandangan ke luar dengan tenang. Bus kemudian melaju lagi, memacu kecepatan dengan ugal-ugalan, sementara pengamen mulai beraksi, lalu dia mulai bernyanyi, dan saya mendengar lirik ini: “Meski ku rapuh dalam langkah, kadang tak setia kepada-Mu, namun cinta dalam jiwa hanyalah pada-Mu”. Saya melempar pandangan ke langit, cahaya bulan tampak redup. [itp]

Kembali Kepada Dingin


Ruangan 3×3 adalah kotak istirahat, tempat saya memadamkan bara yang menyala sendirian. Sepertinya belum ada yang pastas menggantikan aroma kesendirian yang mengapung di tengah catatan, koran bekas, setumpuk buku, dan ricik hujan yang akhir-akhir ini menghunjam Jakarta. Inilah salah satu jenak terbaik untuk berbagi dengan kesenangan menulis, parade kata-kata, dan pemikiran ke dalam. Citarasa kehidupan sosial untuk sementara saya tanggalkan, dia menggantung di balik pintu, tempat beberapa ekor nyamuk berlindung dari serangan tepukan tangan atau obat yang dibakar.

Sudah dari sore mendung menggantung di langit, menampung air sebelum disiramkan ke permukaan bumi. Pintu kamar saya biarkan terbuka, lalu menyapa situs jejaring sosial lewat ponsel tanpa kamera. Dunia dalam genggaman, dan bisa disembunyikan di bawah bantal. Di layar kecil yang menyala saya membaca dan memperhatikan lalu-lintas komunikasi. Meskipun hanya menerka-nerka, sebenarnya para aktivis dunia maya bisa mendeteksi banyak orang tentang identitas, karakter, dan kegiatan hariannya. Inilah lab sosial digital yang garangnya tidak kalah dengan dunia nyata. Ada yang mundur teratur, ada yang menghilang, dan ada juga yang bertahan dengan macam-macam alasan. Tidak ada yang perlu diperdebatkan di sini: siapa menikmati, dia akan menjalani.

Hujan akhirnya turun, menyuburkan banyak inspirasi, puisi, kenangan, ojeg payung, sorak-sorai anak-anak kecil, dan keluh serta serapah. Ada juga yang berteduh di depan warung pulsa, pandangan dan pikirannya datar, sementara tukang es mulai resah menghitung laba. Jakarta sepertinya harus sering diguyur hujan, agar hawa dingin luruh menyelimuti setiap emosi yang bergemuruh. Saya tidak ingin mengingat puisi Sapardi di saat seperti ini, karena akan terlalu kental. Saya hanya ingin tetap duduk di depan layar monitor dan terus mengumpulkan kata-kata, mencoba mengikat makna. Tapi saya selalu gagal, terlalu susah untuk berjejak, umtuk menyemakan frekuensi dengan banyak pihak. Akan kamu temui bahwa ternyata saya tidak pernah bosan menambal-sulam, karena saya telah mencintainya diam-diam.

Sekarang telah banyak peringatan yang dilontarkan untuk mewaspadai musim hujan. Para penjaga pintu air mungkin telah mendengar kabar ini, kabar peringatan ini. Media pun telah banyak yang menurunkan beritanya tentang musim ini. Dan Jakarta selalu punya cerita: hujan satu jam, Thamrin dan Sudirman terendam. Kalau malam tiba, bola-bola api yang terang akan berkilauan di timpa air. Di kotak istirahat ini saya terkadang rindu: berjalan di tengan hujan yang menderu, atau bermain bola tanpa sepatu-di tengah lapang-di bawah guyuran hujan. Dua-duanya akan menyisakan rasa dingin atau bibir yang membiru. Dan ini akan lebih menyehatkan jiwa daripada mengeluhkan hujan sebelum berangkat kerja. [itp]

Foto: favim.com

Melihat Kosong


Selalu ada tafsir kerinduan pada setiap celah hidup yang kosong. Seperti air yang tunduk bergerak mencari saluran. Seperti dering ponsel yang menggugah pendengaran. Seperti sebatang lilin yang terbakar di hampa cahaya. Riak manusia selalu menuju kepada aktivitas mengisi. Memenuhi setiap kosong untuk dipadati. Pencarian yang resah adalah simbol terbukanya gerbang kekosongan dalam diri. Lalu pundi-pundi materi, spirit, dan imajinasi akan datang menghampiri. Membuat kita sibuk untuk memilih dan memilah, lalu mengendapkannya dalam celah.

Mungkin akan lebih mudah jika kita tidak pernah disapa kesadaran yang memerah. Atau tidak pernah bertanya-tanya tentang perilaku yang terus berjibaku. Tapi setiap diri telah dibekali tiang pancang yang menghunjam, yang memaksa kita untuk mengolah begitu banyak berita, metafora, ritinitas, relasi publik, dan bahkan cermin berdebu yang menempel di dinding. Inilah denyut perlombaan sementara, kompetisi mengumpulkan isi, agar hidup tidak layak untuk ditangisi. Saya lebih suka menyebutnya “menyambungkan gerbong-gerbong kesenangan”. Meskipun kita berbeda dalam menandai setiap makna, definisi, dan arti, tapi lihatlah apa yang tidak kita sambungkan? Selembar curiculum vitae sudah cukup mewakili gerbong kesenangan yang tengah kuncup.

Kita sudah terbiasa melihat orang-orang membangun rumah tangga. Memperhatikan anak-anak muda yang rajin kuliah sambil memanggul pena. Menjadi bagian dari antrian panjang pengangguran yang mencari kerja. Bahkan pernah ikut mengeja keteduhan di rumah Tuhan dan di buku-buku pencerahan. Peta apa yang terlukis dari rangkaian aktivitas itu?

Maka setiap kali melihat kosong, akan ada dorongan untuk mencari dan mengumpulkan sebanyak mungkin nutrisi. Bentuknya saja yang berbeda: ada yang berjalan di tengah berderang, dan ada pula yang bermanuver di antara gradasi dan kamuflase. Yang akan berjalan adalah dia yang boleh menentukan lewat arah mana akan melalui.

Lalu saya teringat sepotong puisi Chairil Anwar:

“Juga malam akhirnya berlabuh
Dan dingin pun menyebarkan kalam
Seperti hujan di ujung melempar sauh
Menyekalkan rindu dan cinta dalam-dalam”. [itp]