28 March 2012

Atta dan Rem Depan



Atta panggilannya. Saya tidak mengenalnya secara pribadi. Tidak pernah bertatap muka, dan tidak tahu wajahnya seperti apa. Tapi saya mengenal lewat tulisan-tulisannya di Negeri-Senja, sebuah blog pribadi yang enak dibaca. 

Waktu masih kuliah di Bandung, saya rutin mengunjungi blognya. Sempat beberapa bulan tidak ditengok, dan sekarang mulai rajin lagi berkunjung. Siapa pun, atau setidaknya menurut saya, dengan membaca tulisannya, kita dapat merasakan bahwa hidup Atta memang layak untuk dirayakan. Hidup yang manis dengan persahabatan, cinta, dan hasrat menulis. 

Dalam tulisannya, Atta selalu bisa memotret harmoni bentang alam, ironi manusia, cinta tak terlihat, dan perayaan menikmati hidup dengan cara yang sederhana. Di profile blognya hanya tertulis : Usia 30, beraktivitas di Jakarta. Hanya itu informasinya. Tapi waktu menelurusi setiap tulisannya, maka saya tahu bahwa dia pernah kuliah di Solo, dan sekarang kembali ke rumahnya, bekerja di Jakarta,dan tinggal bersama ibu dan kakak sulungnya. 

Di balik tulisannya yang pelan, runut, puitis, perlahan dan sabar, selalu mengapung nuansa inspirasi dan energi positif untuk selalu sadar bahwa hidup begitu indah untuk dijalani. Tapi saya agak terkejut waktu mendapati lagi blognya dan membaca tulisan ini:

“Saya tak pernah membayangkan kalau saya akhirnya ada di titik ini. Ketika saya lebih sering berhenti dan melihat sekeliling, membandingkan, dan menyesali banyak hal. Berjalan-jalan dari satu tulisan ke tulisan lain di laman ini membuat saya diliputi keheranan yang sangat. Dari mana energi itu dulu berasal. Saya begitu menikmati semuanya. Menulis dengan rutin. Berjejaring. Dan mensyukuri banyak hal. Malam ini saya merasa seperti orang yang kalah. Dilanda gundah yang sangat. Cemas atas banyak hal yang belum nyata. Saya melihat harapan saya pupus, perlahan-lahan. Pencapaian, eksistensi, penghargaan, waktu yang terbuang. Kepala saya penuh. Ada saran apa yang harus saya lakukan saat ini, ketika saya kehilangan saya.”

Seperti juga Atta yang tak pernah membayangkan, saya pun tidak menyangka kalau dia akhirnya akan mengalami berada di titik itu. Agak susah buat saya membayangkan seorang Atta, seorang yang menikmati pekerjaannya, mengapresiasi hidupnya, akan banyak berhenti untuk membandingkan dan menyesali banyak hal. 

Awalnya saya kira dia akan selalu senang sentosa tanpa dihantui oleh serangan rasa hampa yang senantiasa mengintai. Awalnya saya kira dia tak perlu lagi bicara mengenai eksistensi dan penghargaan, tapi ternyata saya salah. Dia sebenarnya tidak pernah menggenggam hatinya sendiri, sebab yang menggenggam hati, yang membolak-baliknya adalah Tuhan. Maka kemudian rasa terkejut itu perlahan hilang waktu saya membaca lagi tulisannya yang lain:

“Saya tak pernah tahu menjadi 31 ternyata begitu menyulitkan. Pikiran saya kerap dipenuhi kecemasan yang tak penting; pencapaian, masa depan, penyesalan atas waktu yang –menurut saya- terbuang sia-sia, bayangan-bayangan yang belum nyata. Hidup sepertinya terlalu bergegas dan saya tak mempersiapkan bekal yang cukup untuk itu. Seperti lalai membawa kotak makan ketika piknik akhir pekan. Atau seperti mendaki bukit dan diterpa kelelahan yang sangat. Dan saya begitu merindu menulis. Tapi saya tak menulis ketika cemas. Kalimat menguap ketika sedih berkepanjangan. Buntu. Ini hanya benang kusut yang harus diurai, pelan-pelan. Malam ini saya putuskan: Saya tak hendak menyerah pada hidup. Saya berjanji untuk itu.”

Ini agak berbeda dengan beberapa kawan yang saya kenal, mereka biasanya menulis ketika dilanda cemas dan sedih, sebab derita akan tertanggungkan ketika menjelma menjadi cerita. Bagi Atta sebaliknya, dia malah tak menulis ketika cemas. Dia seperti ingin berkonsentrasi dan fokus melawan rasa sedihnya yang panjang. Dan usahanya tidak sia-sia, dia berhasil menegakkan keyakinan, dia tak hendak menyerah pada hidup.

Pergulatan Atta dengan kecemasannya mengantarkan saya pada sebuah petang rembang di pinggir jalan Jendral Suprapto, Cempaka Putih, ketika gelap mulai merayap. Hujan tak datang sore menjelang malam itu. Macet sudah dimulai dari arah Cempaka Tengah. Lampu jalan bersinar temaram, seperti ingin menyembunyikan tukang sampah yang masih saja menyapu jalan. 

Usianya mungkin baru 38 tahun, tapi garis wajahnya pasti akan membuat dia terlihat lebih tua. Saya di seberang jalan, menunggu pesanan nasi goreng pindah ke piring. Saya bertanya dalam hati, apakah tukang sampah itu pernah membandingkan dan menyesali hidupnya? Apakah dia pernah berpikir tentang penghargaan dan eksistensi? Kalau pernah dan nilai hidup diukur dengan materi, pasti tukang sampah itu akan lebih menderita daripada Atta. 

Dia akan lebih cemas dan sedih dengan kenyataan usianya. Dia akan lebih menyesal berkali-kali lipat dibandingkan dengan Atta. Tapi sekali lagi, bukan dia yang menggenggam hatinya, dia tidak pernah dan tidak akan pernah mengusai hatinya sendiri.

Dalam penilaian dan sudut pandang relative, penderitaan sesungguhnya adalah ketika kita kehilangan diri sendiri, atau dalam bahasa Atta : “ketika saya kehilangan saya.” Kondisi ini akan menjungkalkan ketenangan hidup, dan cemas yang menumpuk. 

Belasungkawa saya untuk Atta, semoga deklarasi “tak hendak menyerah pada hidup” berhasil mengembalikan energi menulisnya. Berhasil membuat dia kembali bisa merangkai paragraf-paragraf yang pelan, runut, perlahan, puitis, dan sabar. Saya merindukan tulisannya. [ ]

Uwa, 6/11/2010

18 March 2012

27 Buku “Masakan Ibu”



Tak ada makanan yang lebih mengesankan selain masakan rumah yang dibuat oleh ibu. Saya yakin itu bukan masalah bahan atau bumbu, tapi disebabkan oleh sesuatu yang sulit didefinisikan. Tak ada masakannya yang tidak saya sukai. Waktu kecil dan masa-masa sebelum merantau adalah saat-saat surga kuliner. Setelah itu hanya sesekali saja, yaitu kalau libur sekolah dan mudik lebaran. Setelah itu, hilang.

Jika buku itu adalah makanan, maka ada beberapa buku yang citarasanya seperti masakan ibu, atau setidaknya mendekati. Buku-buku seperti ini adalah yang ketika dibaca, halamannya terasa cepat betul mendekati penghujung, tiba-tiba hampir selesai, dan saya merasa baru membacanya beberapa menit yang lalu. Atau yang saya baca di halte Transjakarta dengan tidak bermaksud untuk riya, tapi murni karena ingin membacanya. Kepala menunduk, bus lewat bergantian, waktu buku selesai orang-orang sudah sampai ke tujuannya masing-masing.

Buku-buku seperti ini tidak pernah membuat dahi berkerut karena isinya begitu memusingkan, tidak pula menerbitkan hasrat untuk menyalakan kamera, memotretnya, lalu membuka pameran. Ini tentang pengalaman membaca, pengalaman personal, dan tiap kepala berbeda-beda pula pengalamannya :

Mimpi-mimpi Einstein (Alan Lightman)

Bagaimana jadinya kalau waktu berhenti. Air hujan menggantung di udara. Aroma ketumbar, kurma, bawang putih, dan daging bakar mengambang. Anjing membuka moncong setengah lolongan. Bola yang dilempar anak kecil berhenti di udara. Air mancur berhenti sebelum perciknya menyentuh permukaan kolam. Api yang tengah memanggang daging berhenti setengah jilat. Waktu semakin mendekati ke titik pusat. Atau bagaimana jadinya jika semua orang telah mengetahui masadepan. Karena tahu akan jadi pengacara, mahasiswa jurusan teknik semester enam tiba-tiba pindah ke jurusan hukum. Jembatan hanya dibangun setengah, menggantung di satu sisi, karena para pembuatnya tahu bahwa nanti jembatan itu akan hancur dimakan gempa. Seorang tukang roti tidak menggoda perempuan yang lewat di depan kedainya, karena telah tahu bahwa perempuan itu akan menjadi istrinya. Banyak pekerjaan yang tidak selesai, banyak yang memulai tapi tidak pernah mengakhiri. Setiap hari keputusan bisa berganti. Alan Lightman benar-benar seorang peracik misteri waktu kelas wahid. Kejeniusan Einstein dibuatnya menjadi cerita yang menggoda, puitis, hemat kata, kocak, mengundang imajinasi.

The Hidden Face of Iran (Terence ward)

Perjalanan sebuah keluarga Amerika yang dulu pernah tinggal di Iran untuk kembali ke jantung Iran, mencari kabar tentang keluarga pembantunya yang berkebangsaan Iran, yang dulu pernah hidup bersama. Perjalanan yang begitu memancarkan sisi kemanusiaan yang mengharukan. Perjalanan keluarga Amerika ini tentu bukan perjalanan yang mudah, sebab di Iran, Amerika jarang sekali dipersepsikan sebagai negara yang baik. Buku ini dipungkas oleh sepenggal puisi Rumi yang barangkali dimaksudkan penulisnya untuk membungkam sentiment kecurigaan antara Amerika dan Iran :

“Jauh melebihi apa yang benar
dan apa yang salah
Tersebutlah sebentang tanah
Aku akan menemuimu di sana.”

Mulangkeun Panineungan (Muchtar Affandi)

Seorang rektor sebuah Universitas di Bandung menulis otobiografinya dalam bahasa Sunda. Kalau kawan pernah membaca buku Jejak Langkah karangan Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan oleh Lentera Dipantara, nah buku Mulangkeun Panineungan ini tebalnya tak kurang dari buku tersebut. Jangankan bukan orang Sunda, saya yakin bahkan orang Sunda pun pasti pada mulantya tidak akan terlalu lancar membaca buku ini. Ditulis dengan kosa-kata bahasa Sunda yang halus, dan mungkin sudah sesuai jika dinilai secara akademis, buku ini benar-benar menggoda siapa saja yang jatuh cinta kepada bahasa Sunda. Bagi saya pribadi, buku ini menjadi semakin menarik karena ternyata penulisnya (bapak rektor yang sudah sepuh itu) berasal dari kampung yang sama dengan saya. Ketika beliau menuliskan tentang masa kecilnya, tempat-tempat yang beliau jadikan untuk bermain adalah tempat-tempat yang juga saya gunakan untuk bermain, tak meleset sedikit pun. Sama. Betul-betul sama. Ini seperti membaca otobiography sendiri. Kalau saja beliau seumuran dengan saya, pasti dulu kami akan bermain sepak bola bersama di alun-alun kampung, atau loncat ke sungai yang jernih dari pohon jambu kelutuk di perbatasan kampung yang dijaga oleh hutan kecil.

To Kill A Mocking Bird (Herper Lee)

Selain buku kumpulan cerpen Orang-orang Bloomington, buku ini adalah salahsatu yang berhasil mendorong saya untuk menulis dan mencontek gaya bertuturnya. Reaktif. Setelah selesai membacanya saya langsung menulis (entah apa namanya, entah cerpen entah apa) “Para penguasa Warung Kopi”. Saya sangat terkesan dengan Scout, anak kecil yang menjadi penutur cerita. Tema hukum dan krisis rasial yang berat dibuat menjadi menyenangkan karena ditulis dengan sudut pandang bocah kecil itu. Herper Lee begitu lihat membangun dialog-dialog sederhana antara ayah dan anak. Atticus, ayahnya Scout, adalah sosok yang pantas disematkan kepadanya : “Ayah Juara Nomor Satu”. Sayangnya, setelah menulis novel ini, Herper Lee tidak pernah menulis buku lagi. Ini adalah bukunya yang pertama sekaligus yang terakhir.

Orang-orang Bloomington (Budi Darma)

Kalau kawan punya musuh, atau diam-diam membenci oranglain tapi tak berani mengatakannya, atau ingin mengolok-ngolok orang-orang tua dan tetangga yang menyebalkan, maka saya sarankan untuk membaca buku kumpulan cerpen ini. Baca dulu, lalu mulailah menulis, tiru gaya Budi Darma dalam bercerita. Saya sudah mencoba melakukannya, dan alangkah menyenangkan. Di titik ini menulis seperti menghajar karakter musuh tanpa ada perlawanan. Tidak seperti cerita-ceritanya yang terkesan ganjil dan keji memperlakukan tokoh-tokohnya, Budi Darma ---menurut kawan-kawannya---sungguh santun, sederhana, dan sopan. Jadi kalau kawan berhasil membuat cerita yang tokohnya diperlakukan buruk, santai saja, tak usah merasa menjadi kurangajar.

Menemukan Sejarah; Wacana Pergerakan Islam di Indonesia (Ahmad Mansur Suryanegara)

Sebelum buku Api Sejarah terbit, buku ini telah mendahului. Bagi siapa saja yang dibesarkan di bangku sekolah, dan belajar sejarah dari buku-buku yang telah disensor oleh pemerintah Orde Baru, maka membaca buku ini seperti menemukan harta karun. Begitu dahsyatnya distorsi sejarah. Deislamisasi penulisan sejarah dilakukan secara sistematis untuk mengecilkan peran umat Islam dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Alih-alih menuliskan peran sangat besar umat Islam, pemerintah Orde baru malah menyudutkan dan mendzoliminya, masih ingat tragedy Tanjung Priok?. Banyak analisa menarik yang dilakukan oleh penulis dalam buku ini. Contohnya : bendera merah-putih adalah bendera Rasulullah. Oleh karena itu para ulama terdahulu menjadikan warna ini sebagai warna bendera Indonesia. Alasannya tak lain merujuk kepada bendera Rasulullah tersebut. Mengenai hal ini dibahas pula di buku Api Sejarah. Ketika sejarah ditulis untuk melanggengkan kekuasaan, maka kita hanya membaca kebohongan. Kebenaran disembunyikan di bawah ketiak penguasa. Berderet-deret generasi kenyang dengan bacaan penuh distorsi. Sudut pandang dibatasi, kebenaran dimonopoli. Buku ini sedapat-dapatnya mengabarkan bahwa tidak semua kebenaran bisa ditutup-tutupi.

Surat Kepada Tuhan (Sobron Aidit)

Kumpulan essay personal yang mengalir. Membaca tulisan-tulisan Sobron Aidit seperti berbincang-bincang dengan seorang kawan lama yang karib, hangat, dan penuh gairah. Tulisannya tidak terasa berat, malah ringan tapi menyenangkan. Sobron menulis tentang kehidupan keluarganya, kuliner favorit, persahabatan, dan kerinduan kepada tanah air (Sobron termasuk orang yang terbuang setelah gempa politik 1965 dan menetap di Prancis---bisa diprediksi dari nama belakangnya bukan?). Kalau membaca buku ini dibumbui oleh motivasi untuk mengetahui pandangan-pandangan politiknya sebagai adik dari seorang dedengkot PKI, maka lupakan saja, sebab buku ini tidak menawarkan hal tersebut. Hakikat menulis sebagai penyembuhkan luka kerinduan, barangkali pantas dilekatkan pada buku ini.

Padang Bulan & Cinta Di Dalam Gelas (Andrea Hirata)

Tak pernah sebelumnya, bahkan pada Tetralogi Laskar pelangi yang sudah sangat kenyang dihajar stempel bestseller sekalipun, tidak pernah saya membaca karya Andrea Hirata dengan dipenuhi oleh banyak tertawa seperti pada buku dwilogi ini. Dari penamaan burung merpati (Jose Rizal yang namanya lebih keren dari orang Melayu manapun, dan Ratna Mutu Manikam yang digosipkan “ada main” dengan Jose Rizal), sampai kisah sersan polisi yang dikhianati penyakit ambein tak berperasaan. Semuanya membuat saya tertawa, berulang-ulang, sendirian, di kamar kost yang sepi. Di buku dwilogi ini humor Andrea Hirata sangat gampang menyulut syaraf tertawa untuk meledak. Dan ada satu gaya menulis dia yang saya coba menirunya, yaitu pengulangan kata seperti pada kisah buku besar peminum kopi. Sejuah ini, dari beberapa buku Andrea Hirata yang telah terbit, menurut saya, dwilogi ini adalah juaranya.

Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta (Muhidin M. Dahlan)

“Scripta Manent Verba Volant. Yang tertulis akan mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin.” Berharap ada yang mau membuat film berdasarkan buku ini.

Garis Batas (Agustinus Wibowo)
Tak banyak, atau mungkin satu-satunya buku catatan perjalanan yang menuliskan pengalaman pelakunya tanpa terkesan narsis atau riya. Terlebih karena buku ini begitu kaya oleh penjelasan antropologi, sejarah, dan sosiologi. Sekarang telah banyak bermunculan buku-buku catatan perjalanan yang lebih mirip gallery foto pribadi di facebook. Angle menulis seperti berdiri untuk difoto dengan latar belakang menara Eiffel yang anggun. Atau mempublikasikan catatan perjalanan hanya untuk seru-seruan dan informasi alakadarnya, itu pun seringkali hanya copy paste dari Lonely Planet. Melebihi itu semua, Agustinus Wibowo membawa kita kepada kehidupan sehari-hari bangsa-bangsa Asia Tengah, lengkap dengan penjelasan-penjelasan antropologi yang menarik. Dia mengamati bahwa setiap manusia, setiap bangsa, dan setiap negara tak bisa lepas dari yang namanya “garis batas”. Hal inilah sesungguhnya, yang selama berabad-abad menjadi pemicu pertumpahan darah, stereotyp, saling curiga, dan bahkan permusuhan abadi. Entah berapa juta tentara yang setiap harinya bekerja hanya untuk menjaga garis perbatasan antar negara. Berangkat dari tarik-menarik identitas pribadi, (dia ketururan Tionghoa, lahir dan besar di Lumajang, sekolah di Beijing), sempat memendam rindu untuk menginjakkan kaki di tanah leluhur, di tanah sang naga, tapi kemudian dikecewakan oleh kenyataan bahwa tanah leluhur itu terasa asing dan seakan tidak menerima dirinya. Dia pun mulai tersadar, bahwa meskipun dengan pengalaman diskriminasi yang panjang, ternyata hanya Indonesia yang bisa menerima dirinya apa adanya. Dia menyadari bahwa ini pun adalah sebuah garis batas.

Bukan Pasar Malam (Pramoedya Ananta Toer)

Sebuah buku dari seorang penganut aliran realisme yang terasa ganjil. Pramoedya menulis kematian dengan aroma magis, temaram, dan terasa sangat personal. Hubungan antar manusia digarap dengan lirih, sakit, sangat sentimen. Menjadi istimewa karena hampir semua buku-bukunya terlalu bergemuruh, berkeringat, meledak-ledak, menantang, dan sesak oleh semangat melawan. Buku ini seperti senjakala maghrib.

Hujan Bulan Juni (Sapardi Djoko Damono)
Buku kumpulan puisi yang cocok untuk teman minum kopi, menikmati hujan di teras belakang, mengenang masa kecil, merayu kekasih, menghormati hidup, dan mencintai simfoni alam. Puisi Sapardi adalah tipe puisi yang jika dibaca maka tidak akan terasa berat dan rumit, malah terang-benderang dan sederhana. Dan saya telah jatuh cinta kepada puisi-puisi Sapardi.





The Namesake (Jumpha Lahiri)

Sabar. Menikmati buku ini harus mempunyai kesabaran, karena penulisnya begitu detail menggambarkan hal-hal kecil. Acar, jendela, warna gorden, salju yang membeku, bebatuan, masakan favorit, dan hal-hal yang lainnya ditulis ---sepertinya---dengan penuh perasaan. Tema buku ini sesungguhnya adalah benturan budaya. Bagaimana diceritakan sebuah pasangan muda yang baru menikah, yang berasal dari India harus menjalani hidup di Amerika Serikat dan---terutama sang istri---tertatih-tatih menyesuaikan diri dengan budaya asing yang baru dikenalnya. Menarik karena Jhumpa Lahiri bertutur dengan pusat kisahnya adalah keluarga. Kehidupan keluarga didadarkan secara detail, peka, dan tajam. Menyeruap sedemikian rupa seperti aroma acar.

Galaksi Kinanthi (Tasaro GK)

Tak terbayang bagaimana jadinya jika buku ini diadaptasi ke dalam sebuah sinetron yang sekuelnya berlarut-larut dan penuh narasi menyebalkan tepat ketika para pemainnya di close up. Saya pikir Tasaro harus menghindari pertemuan dengan produser sinetron yang berminat kepada bukunya. Jangan sampai buku ini kehilangan citarasa. Jujur saja, buku ini membuat saya begitu larut dalam simpati kepada Ajuj dan Kinanthi (dua tokoh “Romeo and Juliet” dalam buku ini). Tasaro begitu berbakat mengemas kisah, membuat prolog meyakinkan, dan ending yang mengambang, mempersilakan para pembacanya untuk menyudahi cerita sesuai dengan imajinasinya masing-masing. Maka tak heran beberapa waktu setelah buku ini terbit Tasaro diberi kepercayaan untuk menulis novel tentang Muhammad saw, maka lahirlah buku Lelaki Penggenggam Hujan.

Warisan Sang Murabbi (Rahmat Abdullah)

Tajam. Terkesan melompat-lompat. Diksinya kuat. Ruh keimanan terpancar dari setiap penggal kalimat. Bersiaplah “ditelanjangi” oleh Rahmat Abdullah. Tulisannya menusuk jiwa-jiwa kerdil yang berlindung di balik selimut rapuh. Sayang sekali beliau telah berpulang kepada-Nya, jadi belum sempat melahirkan karya-karyanya yang lain.

Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (Emha Ainun Nadjib)
Menyindir tanpa membuat telinga menjadi merah. Tidak menimbulkan kemarahan, tapi melahirkan kejernihan. Begitulah kesan yang saya tangkap dari tulisan-tulisan Emha Ainun Nadjib. Sehimpunan tulisannya ini mengundang saya untuk menikmati setiap jerih pemikirannya. Sangat menarik.

Tuhan Maha Tahu, Tapi Dia Menunggu (Leo Tolstoy)

Pikirkan kembali tentang seberapa luas sesungguhnya tanah yang kita butuhkan. Jangan sampai nafsu dunia menutupi mata hati dan lupa dengan hal-hal yang lebih hakikat. Itu salah satu pesan Tolstoy yang sulit saya lupakan. Membaca Tolstoy di buku ini adalah membaca semangat religius. Mengingatkan kembali kendaraan jasmani yang telah begitu pekat dengan hal-hal yang profan. Dan Tolstoy memang seorang pencerita yang tak diragukan, konsepnya jelas, dan jejalin kata-katanya mudah dimengerti.

Louisiana Louisiana (Jamal)
Sebuah pertemuan yang tidak direncanakan. Saya bukan seorang peminat buku-buku Jamal. Tapi suatu hari, karena kondisi keuangan sedang di ambang sekarat, maka saya hanya mampu membeli buku diskon alias murah meriah, dan buku Jamal ini---entah kenapa kurang laku, sehingga nongkrong di rak buku-buku diskon---adalah yang saya pilih. Jujur saya membeli buku ini bukan karena cerita yang ditawarkan di cover belakang, tapi karena sampulnya menurut saya cukup bagus. Dan buku ini dibaca waktu saya telah kehabisan bahan bacaan. Selembar, dua lembar, tiga lembar…halaman 45, 57, 69..dan sampai habis. Luar biasa. Saya larut dalam dunia yang ciptakan Jamal.

Belajar Tidak Bicara (Farid Gaban)

Buku lama dengan tema yang didasarkan pada masalah-masalah aktual. Masih ingat kasus Bapindo dan Edy Tansil?, nah buku ini ditulis ketika kasus itu sedang panas-panasnya. Di tengah penggembosan makna, Farid memilih menulis dengan gaya satir yang dipengaruhi oleh gaya penulis asing---kalau tidak salah orang Amerika. Karena mengikuti masalah-masalah aktual, maka isi tulisannya pun beragam. Dari premanisme, skandal asuransi, korupsi, sampai emansipasi yang salah kaprah. Salahsatu tulisannya yang menjadi favorit saya adalah yang berjudul “Di Bawah Pohon Durian”.

Kuantar ke Gerbang (Ramadhan KH)
Ramadhan KH (Alm) berhasil membuat sebuah novel sejarah yang menggetarkan. Adalah Inggit Ganarsih, seorang perempuan yang usianya jauh lebih tua daripada Soerkarno (Inggit biasa memanggilnya Kusno), yang berhasil mendampingi pemuda berbakat itu selama menjalani proses belajar di kampus yang sekarang bernama ITB, selama berada dalam tekanan pemerintah Belanada, selama berada di penjara di Sukamiskin Bandung, dan selama berada di daerah-daerah pembuangan. Inggit bagi Soekarno adalah istri, kekasih, sahabat, dan terutama tempat menyandarkan segala lelahnya. Dalam dekapan perempuan itu, Soekarno tumbuh menjadi seorang pemimpin yang disegani. Tapi sayang, kisah cinta Inggit-Soekarno ini harus berakhir karena Soekarno menikah lagi dengan perempuan lain, yaitu Fatmawati. Sepenggal kisah dari episode itu adalah bagaimana ketika Inggit menempuh jalan klandestin demi menyelundupkan buku-buku yang diperlukan oleh Soekarno ketika berada di penjara Sukamiskin demi untuk mempersiapkan pledoinya yang terkenal yang dia bacakan di landraad Bandung, dengan judul : Indonesia Menggugat.

Aku Ingin Jadi Peluru (Wiji Thukul)

Apabila bosan dengan puisi-puisi genit yang bersembunyi di balik kosa-kata para penyair salon, atau apabila muak dengan retorika para politikus busuk, maka buku kumpulan puisi ini adalah menu yang tepat. Thukul menulis dengan terus-terang, dia tidak begitu berminat dengan metafora. Seperti pada puisi yang berjudul Peringatan, dengan kata-katanya yang sangat terkenal, dia dengan tegas dan tajam menentang penguasa, “Hanya ada satu kata : Lawan!”.

Robohnya Surau kami (A.A. Navis)
Entah karena kekurangan bahan bacaan, atau karena memang cerita-ceritanya bagus, dulu waktu SMP, waktu pertama kali membaca kumpulan cerpen ini, saya begitu menikmatinya. Berulang-ulang buku ini saya baca. Di kampung, sangat jarang orang mempunyai buku. Buku ini kemudian dibaca secara bergiliran oleh kawan-kawan sepermainan, dan komentar mereka pun sama, bahwa buku ini sangat menarik. Tapi sekali lagi, menilai buku di tengah kampung yang kekurangan bahan bacaan jelas tidak bisa dipercaya. Buku jelek pun bisa bilang bagus karena tidak ada buku pembanding yang melimpah. Bertahun-tahun kemudian, ketika saya sudah lumayan banyak membaca buku-buku kumpulan cerpen, barulah kebenaran itu dapat dibuktikan. Buku Robohnya Surau Kami memang betul-betul sebuah karya yang bagus dan tidak membosankan. Jarang saya membaca buku kumpulan cerpen sampai habis, sampai tandas di halaman penghujung. Paling hanya satu sampai tiga judul, setelah itu ditutup karena bosan dan mengantuk. Nah buku ini adalah pengecualian. Navis begitu lihai menyindir, dan menohok titik kesadaran. Seperti bagaimana misalnya orang-orang yang rajin beribadah secara ritual harus menengok kembali kehidupan sosialnya setelah dalam cerpen Robohnya Surau Kami, Navis membunuh kakek penjaga musholla karena dongeng Ajo Sidi tentang pengadilan Tuhan di akhirat. Sebuah cerpen klasik yang belum tergantikan!.

The Alchemist (Paulo Coelho)

Mestakung (Semesta Mendukung). Itu adalah petuah Paulo Coelho kepada siapa saja yang berusaha menggapai ambisinya, mewujudkan cita-citanya, takdirnya. Di kemas dalam sebuah cerita pengembaraan seorang anak gembala, Paulo Coelho menyampaikan pesan dan nilai hidup secara jernih. Isi dalam buku ini bisa dijadikan sebagai bahan motivasi untuk para peragu, orang-orang gamang, kurang yakin dengan pilihan, dan tidak percaya akan berhasil kepada hal-hal yang sesungguhnya ingin dia capai. Formula ini (Mestakung) adalah juga yang dipakai oleh Yohanes Surya untuk mengantarkan anak-anak Indonesia meraih prestasi di Oimpiade mata pelajaran eksak.

Lentera Hati (Quraish Shihab)
Di radio, di televisi, dan di buku, setiap kali Quraish Shihab menyampaikan masalah-masalah agama, yang saya tangkap adalah bahwa beliau tidak menyampaikan sesuatu yang rumit, malah terang-benderang. Terlebih karena pengusaannya terhadap ilmu Al Qur’an begitu dalam, maka seringkali beliau membahasnya sampai ke akar kata. Ayat diiris-iris dari sisi tata bahasa, sejarah, dan keterkaitannya dengan ayat yang lain. Membaca karya Quraish Shihab adalah perjalanan menikmati kedalaman ilmu.

Atheis (Achdiat Karta Mihardja)

Keyakinan manusia digerogoti perlahan-lahan. Jiwa dan pikiran menimbang-nimbang, membenarkan, menyangkal, membenarkan lagi. Arus pergaulan sedemikan rupa menyeret keyakinan pada kutub yang ekstrem dari posisi semula. Novel yang brilian menggambarkan pertarungan batin, percekcokan sengit antara keyakinan puritan melawan hasil pergaulan dan pemikiran. Saya kagum, di masa itu Achdiat telah mampu menulis gejolak batin manusia dengan begitu intens, yang bahkan jarang bisa dilakukan oleh para penulis generasi berikutnya. Andai saja novel ini dibuat film noir, maka saya membayangkan directornya adalah Joko Anwar. Ah, membayangkannya saja sudah seru.

Supernova : Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh (Dewi Lestari)

Meskipun saya tidak menyukai kisah perselingkuhan di dalamnya---antara Ferre dan Rana, yang setelah membacanya hampir-hampir saja membuat saya muntah---, tapi sedikit-banyak buku ini telah menyegarkan koleksi bacaan fiksi. Puisi-puisinya lumayan jernih dan memikat. Pendekatan sains adalah citarasa baru dan menjadi semacam “big bang” yang membuat karya-karya Dee selalu ditunggu.

Dari Gerakan ke Negara (Anis Matta)
Bagaimana sebuah negara dibangun dengan bahan bakar gerakan?, buku ini menguraikannya dengan tidak menyebalkan seperti buku-buku teori tata negara. Cara Anis Matta mengurai pikiran-pikirannya memang membuat saya iri. Dia begitu rapi dan sistematis dalam menyampaikan ide-ide segarnya. Sebuah kemampuan menulis yang patut ditiru. [ ]

7 Feb ‘12