14 May 2012

Iryani

Ketika akhirnya kamu sadar bahwa jejaring sosial tak lebih dari sorot kamera liar yang setiap saat bebas menelanjangi bulu dadamu, maka kamu pun bergeser ke kiri, lebih pinggirnya lagi. Tapi sebenarnya kamera itu tak pernah memaksa, kamunya saja yang pasrah dan rela membuka kancing bajumu satu persatu, dan perlahan membukanya, lalu lihatlah itu apa yang ada di dalamnya. Relasi terjalin dari basa-basi, lalu menghilang seperti cahaya di penghujung candra. Taman sosial digital paling pandai melekatkan anggapan. Penyakit gila dikiranya cari nama. Fakta dan citra blingsatan tersesat mencari jalan. Seperti bayi-bayi di dunia konsumsi yang menjadi korban imajinasi para orangtua pemuja kelas sosial, pemilik account pun banyak yang menyerempet ke sana.

Ketika akhirnya kamu merasa gerah dan menginginkan tempat sepi untuk berteduh, maka kamu pun lari ke haribaan buku dan mencatat perjalanan waktu satu persatu. Di sini, di tempat yang jauh dari hingar-bingar deru nafas sosial, kamu pun mulai merangkai satu nama. Nama yang kepadanya kamu telah melekatkan keputusan, bahwa setapak pun kamu tidak akan pergi meninggalkannya. Bahkan jauh-jauh hari kamu telah mempersiapkan do’a bagi makhluk bernyawa, kelak.

Mencintai dengan berani. Berani menunggu, berani diacuhkan, berani mengalami penolakan, berani dikatakan aneh, berani gagal berkali-kali. Para pahlawan dikenang bukan dari nisan tapi dari perjalanan. Maka cinta namanya jika kamu melihat rumah dari balik sorot matanya. Maka cinta namanya jika kamu tak menemukan alasan kenapa dia begitu mengesankan.


“Wis tak coba
Nglaliake jenengmu
Soko atiku

Sak tenane aku ora ngapusi
Isih tresno sliramu”. [ ]
itp, 12 Juli 2011

No comments: