14 May 2012

Kucing Belang Anton Kurnia


Malam selalu datang mengendap-ngendap. Mula-mula dia menyembunyikan bayangan pohon dan tiang listrik. Kemudian merambat menjalari ventilasi udara kamar, dan membuat ruangan menjadi remang, sebelum akhirnya menyuruh saya untuk menyalakan lampu. Sementara saya membaca buku, di luar, sebuah keranjang sampah baru saja dihuni pembungkus nasi yang hanya menyisakan tulang ikan dan sepenggal kepalanya. Di Jakarta, malam tak pernah menggigil, udara panas seperti selimut abadi. Dan ini tentu saja membuat pintu kamar saya selalu terbuka, seperti juga saat itu, waktu saya membaca sebuah cerpen karya Anton Kurnia.

Lelaki penulis itu seperti ingin menjadi tokoh dalam cerpen Budi darma yang miskin komunikasi. Dia memang tinggal di sebuah rumah kontrakan yang terletak di sebuah gang yang padat oleh rumah-rumah penduduk. Tapi dia jarang berkomunikasi dengan para tetangganya, kecuali dengan ketua RT yang kebetulan rumahnya bersebelahan. Dengan kenyataan itu dia sudah merasa bahwa orang-orang akan menganggapnya aneh. Terlebih dia juga lebih senang berdekat-dekat dengan tanaman daripada dengan manusia. Lengkaplah sudah, bahwa dia akan mengira orang-orang akan menganggapnya aneh.

Di luar ada bunyi, seperti bunyi keranjang sampah yang tumpah. Tapi saya tak peduli. Udara masih panas, dan pintu kamar masih terbuka.

Dia senang sekali dengan tanaman suflir. Rajin betul dia menyiramnya. Dia juga senang memandang mawar putih yang sedang merekah. Apabila kuntum bunga itu baru saja disirami dan tetes-tetes air tampak bergulir membasahi kelopaknya, maka dia seringkali---pada saat-saat seperti itu---teringat pada Tuhan, dan dia merasa bahagia.

Sementara di luar ada bunyi lagi. Kali ini seperti suara bungkus nasi yang diacak-acak. Barangkali tikus, begitu saya menyangka. Lalu membaca lagi.

Suatu hari dia mendapati jejak kaki hewan di rumah kontrakannya. Awalnya dia tak peduli. Sampai dia mendapati tanaman kesayangannya rusak. Dan tersangkanya ternyata seekor kucing belang. Entah kucing peliharaan siapa, yang jelas kucing belang itu akhirnya dia bunuh. Kembang rusak nyawa kucing melayang. Lihat, benar-benar seperti mendekati karakter-karakter tokoh dalam cerpen Budi darma.

Suara di luar semakin tak enak di dengar. Seperti ada yang mengacak-ngacak keranjang sampah. Saya tidak berpikir yang lain, pasti ini kelakuan kucing. Dan benar saja, waktu saya lihat perlahan dari balik pintu, seekor kucing belang sedang asyik mengacak-ngacak keranjang sampah demi mendapatkan tulang ikan dan sepenggal kepalanya. Masih dengan perlahan, saya ambil sapu, lalu setengah mengendap saya dekati kucing belang pengacau itu, dan beberapa detik sebelum kucing belang itu menyadari kedatangan saya, gagang sapu sudah mendarat mulus di kakinya. Dia lari menjauh sambil terpincang-pincang.

Di seberang rumah kontrakan si penulis, ada rumah yang dihuni oleh seorang nenek dan anaknya yang selalu jarang berada di rumah karena harus bekerja. Pergi pagi pulang malam. Dan nenek itu sepanjang hari pasti akan terlihat sendirian, melamun di depan rumahnya. Si penulis yang menyangka bahwa orang-orang akan menganggap dirinya aneh setiap hari pasti melihat si nenek itu, karena pekerjaan dia memang menulis, jadi waktunya banyak dia habiskan di rumah kontrakan. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, kali ini si penulis melihat wajah si nenek tampak murung dan sedih. Entah apa penyebabnya. Tapi dia, si penulis itu, melihat perubahan air muka si nenek adalah sehari setelah dia membunuh kucing belang yang telah merusak tanaman kesayangannya.

Setelah kucing belang itu berlari menjauh dengan terpincang-pincang, saya lalu merapikan keranjang sampah yang berantakan. Saya masukkan kembali pembungkus nasi yang sudah robek-robek ke dalam keranjang sampah, kali ini tanpa tulang ikan dan sepenggal kepalanya karena telah habis di makan kucing belang yang berlari menjauh terpincang-pincang itu. Malam terus merayap, dan udara panas masih saja mengambang di udara. Saya melihat ke langit, bulan sedang purnama, tapi saya tidak melihat Nini Anteh dan kucingnya. [irf]

14 Des ‘11

Sumber Foto: merdeka.com 

No comments: