14 May 2012

Rekti

"Kalau kau tak mampu menjadi beringin yang tegak di puncak bukit

Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik, yang tumbuh di tepi danau

Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar

Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang memperkuat tanggul pinggiran jalan

Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya

Jadilah saja jalan kecil, tetapi jalan setapak yang membawa orang ke mata air

Tidaklah semua menjadi kapten

Tentu harus ada awak kapalnya

Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi rendahnya nilai dirimu

Tapi jadilah saja dirimu

Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri."

Puisi tersebut di atas berjudul “Kerendahan Hati” yang disebut-sebut sebagai karangan penyair Taufiq Ismail. Dan gawatnya puisi tersebut dicurigai sebagai jiplakan dari puisi berbahasa Inggris yang berjudul “Be the Best of Whatever You Are” karangan Douglas Malloch. Maka ramailah gonjang-ganjing, gossip berhembus bagai api membakar rumput kering di kalangan para peminat, pemerhati, dan pelaku sastra, bahwa Taufiq Ismail, penyair sepuh yang pernah menulis puisi pamflet di era menjelang kejatuhan Soekarno, yaitu “Tirani”dan “Benteng” itu sebagai seorang plagiator, penjiplak yang memalukan langit Sastra Indonesia.

Yang pertamakali menarik pelatuk adalah Bramantyo Prijosusilo, seorang seniman dari Yogyakarta yang baru-baru ini sempat konflik dengan Majelis Mujahidin Indonesia. Di dinding facebooknya, Bramantyo Prijosusilo menulis dengan keras :

“Kabarkan kepada dunia, penyair jahat Taufiq Ismail yang suka menekan-nekan seniman muda dengan cara-cara selintutan, adalah plagiator tuna-budaya.”

Bramantyo juga menulis di rimbunan komentar statusnya di atas bahwa seseorang memberitahunya bahwa Taufiq Ismail “njiplak dan karena aku sebel dengan kelakuan dia nggencet-nggencet Lekra, bahkan terakhir orang-orang eks Bumi Tarung yang sudah sepuh-sepuh mau dikerjainya. Jadi, kuumumkan sebisaku bahwa Ismail ini memang otak kurap.”

“Status” Bramantyo itu mengundang beragam komentar. Salah satunya aktivis Partai Gerindra dan sekaligus keponakanTaufiq Ismail, Fadli Zon. Lalu susul-menyusul komentar-komentar lainnya. Menurut pengamat Sastra Indonesia, Katrin Bandel, seperti tertulis di dinding facebooknya : “Jelas tidak sah dan tidak etis kalau diakui sebagai karya sendiri. Judul puisi memang tidak sama, mungkin agar tidak mudah ketahuan. Ironisnya, judul puisi Taufik justru : ‘Kerendahan Hati’. Hahahaha,” jelas Katrin. Sedangkan perupa Dadang Christanto berkomentar “Jika benar tuduhan itu, maka penyair Taufiq Ismail adalah seniman pecundang dan tak mengherankan kreativitas dan tindakannya mencerminkan kepencudangannya itu.” Dan masih banyak lagi komentar-komentar pedas yang menghantam harga diri Taufiq Ismail.

Gerah dengan serangan bertubi-tubi yang menyembelih harga dirinya, maka tepat tanggal 2 April 2011, Taufiq Ismail melakukan serangan balik kepada para penuduhnya. Salah satu sasaran tembaknya adalah Bramantyo Prijosusilo.

Di paragraph akhir pembelaannya Taufiq Ismail menulis : “Dalam kasus saya dikelirukan dengan Malloch, saya dicaci-maki oleh facebookers yang salah tuduh. Saya tidak terima dinista sedemikian. Saya akan membawa ini ke ranah hukum, dengan mengadukan Bramantyo Prijosusilo ke Kepolisian RI, agar dia diproses sesuai dengan undang-undang yang berlaku dalam hal pencemaran nama baik. Saya meminta bantuan pengacara sastrawan Suparwan Parikesit SH dan aktivis kampus Abrori SH, dengan saksi pelukis Hardi dan Budayawan Fadli Zon.”

Lihat, betapa kata-kata yang dihamburkan secara serampangan telah mengundang ledakan. Semuanya telah mencapai titik didih. Emosi dilawan dengan emosi, hingga direncanakan harus melibatkan Kepolisian. Tapi untunglah, sebelum berkas gugatan Taufiq Ismail itu sampai di meja Kepolisian, Bramantyo akhirnya meminta maaf dan akhirnya keduanya berdamai dengan hangat. Di situs berita digital detik.com terlihat Taufiq Ismail berpelukan dengan Bramantyo. Mereka berdua telah memilih jalan kebaikan.

Ya, seperti juga kata Khaled Hosseini dalam novel ‘The Kite Runner’, dia menulis : “Selalu ada jalan untuk kembali menuju kebaikan.” [ ]

No comments: