14 May 2012

RMMS

Sejauh yang kuingat, usiaku baru sampai pada angka duabelas tahun, aku baru kelas satu SMP waktu itu. Tetangga-tetangga rumahku mayoritas menyewakan kamar-kamarnya untuk ditempati oleh para mahasiswa dan mahasiswi yang datang dari luar kota. Orangtuaku sendiri tidak menyewakan satu kamar pun sebab rumah kami memang kecil. Setiap pagi kalau berangkat sekolah, aku dapat melihat kakak-kakak mahasiswa dan mahasiswi itu berjalan bersama menuju ke kampusnya. Karena mungkin sedang masa puber, aku dapat membedakan mana mahasiswi yang cantik, kurang cantik, dan tidak cantik. Usia mereka memang jauh di atasku, jadi aku tidak bisa menggodanya, lagi pula aku tidak berani kurang ajar kepada mereka. Di sebelah kiri rumahku adalah rumah pak Zul, beliau menyewakan rumahnya yang satu lagi, yang berada di sebelah kanan rumahku kepada empat orang mahasiswi. Rumah yang dia sewakan terbilang bagus dan bersih, sedangkan rumahnya sendiri, rumah yang dia tempati terlihat sederhana dan terkesan kurang terawat, mungkin karena dia dan istrinya sudah sama-sama tua, sudah mulai kehabisan tenaga untuk merawat rumah. Anak-anak mereka, kata ibuku, semuanya sudah berkeluarga dan tinggal di luar kota, dan jarang menengok orangtuanya, jadi sepasang orangtua itu hanya hidup berdua saja. Tapi aku tak mau banyak tahu urusan pak Zul dan keluarganya, itu urusan mereka.

Kamar yang aku tempati adalah kamar depan. Kamar itu kadang-kadang, kalau ada saudara yang datang dari luar kota, dijadikan sebagai kamar tidur tamu. Kalau sedang begitu, aku terpaksa mengungsi ke kamar belakang, kamar semi gudang, kasur lipat digelar d iantara barang-barang yang mulai sudah jarang dipakai. Di kamar belakang itu aku tak bisa mendengarkan lagu-lagu yang diputar Kak Rosy—menurutku cantik, tapi menurut kawanku tidak-- di kamarnya. Kamar kak Rosy juga seperti kamarku, dia menempati kamar depan. Kamar kami bersebelahan, teras rumah kami hanya dibatasi oleh pagar besi berwarna coklat, sebagai tanda bahwa itulah garis demarkasi antara rumahku dan rumah yang disewa oleh Kak Rosy dan kawan-kawannya. Sesekali aku mendengar suara Utopia dan Mocca dari kamarnya, tapi yang lebih sering adalah lagu-lagu yang terasa terasa asing di telingaku. Sekali waktu aku mendengar musik yang enak didengar, tapi suara vokalisnya terdengar kurang jelas, terdengar seperti orang yang sedang bergumam, kata Kak Rosy itu adalah The Milo. Ketika memasuki caturwulan dua, dan jam pelajaran bahasa Inggris semakin lama, aku mulai bisa menikmati lagu-lagu dengan lirik bahasa Inggris dari kamarnya, dan yang pertamakali aku dengar adalah lirik ini :

I'm only pretty sure that I can't take anymore
Before you take a swing, I wonder
What are we fighting for
When I say out loud, I wanna get out of this
I wonder, is there anything I'm gonna miss
I wonder, how it's gonna be

Karena sering memutar lagu itu, aku sampai hafal sebagian liriknya. Kata Kak Rosy, yang nyanyi adalah Third Eye Blind. “Artinya apa Kak?” / “arti apa?”/ “Third Eye Blind?”/ “masa kamu ga tahu?, kan udah SMP, udah belajar bahasa Inggris kan?, cari di kamus”/ “Iya Kak”. Dan semenjak itu aku menjadi sering membuka kamus dan lebih rajin belajar bahasa Inggris, kalau ada yang memang benar-benar susah, baru aku tanyakan sama Kak Rosy, dan dia menjelaskannya, dia memang orang yang baik. Sebenarnya aku jarang memperhatikan cara dia berpakaian, tapi setiap pagi, waktu aku berangkat sekolah, aku sering dengan tanpa sengaja melihatnya pergi ke kampus dengan tiga orang kawannya. Kawan dia : dua orang memakai kerudung, dan yang satu lagi tidak. Kak Rosy jarang memakai rok, dia lebih sering memakai jeans dan t-shirt. Tasnya yang bermerk “Rusty” dia selendangkan di bahu, rambutnya tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek, ada kira-kira sebahu. Dia juga kadang-kadang suka memakai sandal gunung, orang-orang pasti mengkategorikan penampilan seperti ini dengan sebutan Tomboy. Kalau kami—aku dan kawanku— sore-sore sedang main sepeda, kami biasanya bertemu dengan Kak rosy di pertigaan gang dekat sebuah warung nasi, dia biasanya baru pulang dari kampus dengan wajah yang sedikit terlihat lelah, tapi matanya tak redup sedikit pun, Kak Rosy seperti tak pernah mengundang kesedihan dalam hidupnya.

Kalau malam, kira-kira jam 17.30, aku biasanya berdiri di balik pagar besi pembatas antara rumahku dan rumah yang disewa Kak Rosy, memanggilnya untuk meminjam kaset atau buku cerita. Lalu wajah Kak Rosy keluar dari jendela, “kaset apa?”, atau “buku apa?” aku yakin wajahnya tidak menyimpan garis kesal karena mungkin aku telah mengganggu jam belajarnya. “Kaset apa aja Kak, kalo ada yang bahasa Inggris,” atau “buku cerita yang seru Kak”. Dia lalu keluar dan membawa kaset yang aku minta. Aku masih ingat, dia meminjamkan Radiohead dan Vertical Horison. Di waktu yang lain aku dikasih pinjam kaset Hanson dan Ingrid Michaelson, dan masih banyak lagi kaset dia pinjamkan. Karena hal itu, maka di sekolah, aku menjadi salah satu siswa yang paling luas wawasan musiknya. Bagaimana tidak, waktu kawan-kawanku membicarakan SO7 dan Jikustik, aku malah sedang asyik mendengarkan lagu-lagu SORE, Indra Lesmana, dan MIKA. Kalau pulang sekolah, sambil jalan, anak-anak pasti nyanyi-nyanyi kecil, dari gumamannya aku mendengar lagu “Kita”, “Sephia” dan “Berai”, tapi aku malah nyanyi :

“Slowly down the avenue
And the irony of liking you
What was to be some brand new shoes
Now them colour has come out pure blue
I’d love to love the sunshine thru
But love in doubt will not have two
The novelty will out last you
Comin’ down the ledge will do, see it thru, me and you
I love you when you love me, and we’re gonna make a big family”

Aku jadi sedikit terasing dengan selera music kawan-kawanku di sekolah, tapi untung saja ada si Yusran, karena dia tak suka dengerin music, jadi dia juga tak ikut-ikutan kayak yang lain. Dia memang kawanku yang paling setia. Sore hari dia pasti datang ke rumah, ngajak main sepeda, dan kadang-kadang, kalau malam minggu, dia nginap di rumahku untuk membaca buku-buku cerita yang aku pinjam dari Kak Rosy. Tapi satu yang membuat dia kadang-kadang menyebalkan, kalau aku lagi dengerin music, sambil memegang buku, dia selalu mengecilkan volumenya. “Aku tak bisa konsentrasi”, begitu katanya, dan waktu dia mengatakan itu mukanya tak jauh dari ibu-ibu penjaga perpustakaan sekolah. Tapi dia juga selalu menjadi penolongku untuk pelajaran matematika, untuk pelajaran eksak, dia memang sedikit lebih pintar dariku. Tapi dia juga yang mengatakan bahwa Kak Rosy tidak cantik, lebih tepatnya dia bilang, “Kayaknya kurang deh, tapi ga tahu ah.”

Aku tidak pernah ngintip kamar Kak Rosy, apalagi masuk. Aku hanya berdiri di balik pagar besi, dan sembunyi di balik tembok kalau melihat kawannya Kak Rosy yang pakai kerudung keluar rumah. Kawannya Kak Rosy yang pakai kerudung itu orangnya tidak ramah, beberapa kali waktu aku memanggil Ka Rosy, terdengar jawaban, “Ga adaaa…belajar sana, jangan ganggu orang!!, aku yakin itu pasti suaranya, suara kakak tak ramah itu, karena Kak Rosy tidak pernah berteriak dengan nada menyebalkan, aku benar-benar sudah hafal suaranya. Aku kadang jengkel dengan kakak tak ramah itu dan berniat mengerjainya dengan menyembunykan sendalnya sebelah, tapi Kak Rosy pernah bilang, “Anak yang suka baca buku cerita biasanya tidak berbuat jahat sama oranglain,” maka niat itu aku urungkan. Aku takut kalau niatku itu akhirnya membuat Kak Rosy tidak lagi meminjamkan buku ceritanya. Tapi rasa jengkelku tiba-tiba datang lagi waktu pada sebuah sore, waktu aku sedang membaca buku di kamarku, dari kamar Kak Rosy terdengar suara kakak tak ramah, “Rosy, kenapa sih kamu suka minjemin kaset sama buku sama anak kecil itu, kalau keseringan bisa ngelunjak tahu?!”, tapi Kak Rosy tidak terdengar menjawab. “Terus pinjamnya pake teriak-teriak lagi”, dan tetap saja suara Kak Rosy tidak terdengar. Emosiku mulai naik, aku tinju tembok, tapi tanganku yang sakit, konyol sekali.

[an incomplete story]

No comments: