30 September 2012

Pieces

"Sementara teduhlah hatiku 
Tidak lagi jauh
Belum saatnya kau jatuh
Sementara ingat lagi mimpi..."

***

Saya baru yakin beberapa menit yang lalu, bahwa hari ini benar sudah memasuki bulan Oktober. Tadi waktu berjalan dari pantry setelah membuat secangkir kopi, saya melewati meja kerja Daniq (nama yang cukup aneh bagi seorang perempuan) yang rapi dan terdengar suara Mocca dari speaker kecil itu : "It is cold, in this October rain, i go to turn on TV, sit on the couch feeling blue...". Daniq sudah sibuk, terlihat dari wajahnya yang cukup serius. Tapi pagi ini hujan tidak turun, mungkin ditunda untuk nanti malam, agar gelap tidak terlalu sunyi dan riciknya bisa menggantikan list lagu yang mulai membosankan.

"Yo, poro konco dolanan ning jobo
Padang mbulan, padange koyo rino
Rembulane sing ngawe-awe
Ngelingake ojo podo turu sore."


Ipung, yang nama aslinya Purtijo Suwarno, yang meja kerjanya di sebelah saya itu, alisnya sampai naik mendengar saya hafal lagu anak-anak berbahasa Jawa. Dia lupa, bahwa hambatan bahasa telah diterabas oleh yang namanya hujan biru. Sementara anak-anak Logistik, divisi yang menjadi tetangga sebelah ramai oleh variasi lagu dari speaker dan mulut. Empat orang lagunya beda-beda. Kombinasi yang membuat perut menjadi sakit : Abdul and The Coffee Theory, Polyester Embassy, Wali, dan Rama Aipama. Kombinasi yang membuat pagi menjadi kacau.

Saya duduk di depan layar monitor. Bukan untuk bekerja, tapi berpikir dan merasa heran dengan setiap "langkah" yang dilakukan orang-orang. Sampai akhirnya berhenti pada satu simpul, bahwa manusia tidak sepenuhnya menjadi patung lilin. Sementara saya mulai mendengarkan "Sementara".  Dan segala kecewa sementara pecah. Pada beberapa hal yang di ujungnya tidak lagi profan, naluri biasanya lebih dominan daripada berjuta perangkap bunga dan setumpuk kata sayang. Sekilas jadi teringat kata-kata seorang penulis buku, intinya begini; kata-kata manis akan berhenti ketika yang "manis" telah didapatkan. Barangkali ini adalah kejahatan ganas yang paling halus. Dan saya tidak mau terbawa arus derasnya. 

Di Oktober ini, saat lampu-lampu kesadaran menyalakan titik pijarnya, saya mendengar ada yang menderap di balik jendela, ternyata hujan telah datang. Tetes air boleh saja dengan sabar menghantam batu dan akhirnya menyerah dengan visual cekungan di permukaan, tapi sekali lagi inilah manusia; perangkapnya menyerupai jaring laba-laba perak. Di sini masih terngiang dengan jelas, seperti ada seokar lalat yang terperangkap dalam toples bernama kepala. Sebuah pamafrase dari Godfather : "Kesalahanmu adalah tidak mempersenjatai diri dengan sahabat sejati!." Tapi itu terlalu romantik dan utopis. Dalam berjuta sel yang ada pada manusia, entah berapa benih-benih absurd yang tumbuh dan menyala. Maka seperti apa yang pernah saya tulis dulu; "Manusia jangan kecewa kepada manusia, karena manusia adalah akumulasi rahasia." [ ]
Sementara... teduhlah, hatiku
Tidak lagi jauh
Belum saatnya kau jatuh
Sementara... ingat lagi mimpi

Sementara... teduhlah, hatiku
Tidak lagi jauh
Belum saatnya kau jatuh
Sementara... ingat lagi mimpi




28 September 2012

Milestone



"Jelajahi waktu ke tempat berteduh hati kala biru..."

Bukan untuk disesali tapi dijalani. Maka segala teori hidup istirahatkan di sini. Sebab yang pernah menunggu itu bukan berarti lemah, tapi sayang. Namun setiap orang berhak mengambil dan mencintai pilihannya, maka inilah saatnya untuk menjelajahi waktu sampai batas itu jelas; merah atau biru. [ ]

27 September 2012

Biru (lagi)


Sempat juga, dulu, entah kapan tepatnya saya lupa lagi, seorang kawan sempat bertanya tentang perempuan cantik, saya jawab saja Leigh Nash. Mantan vocalis Sixpence None The Richer itu memang cantik, terutama waktu bawain Kiss Me. Gigi kelincinya menebar aroma innocent. Tapi sekarang dia sudah tua, lagi pula Sixpence sudah bubar, dan kawan saya yang bertanya itu entah di mana, kabar terakhir posisi dia di Medan, jualan Bakpao katanya. Tapi saya masih ingat, dia dulu terlambat lulus alias pending gara-gara tugas akhirnya tersendat. Maka ketika saya dan kawan-kawan yang lain di wisuda di Sabuga ITB dan berhias toga macam pakaian Rama Aipama, dia hanya jadi penonton, ceria saja pembawaannya, entah perasaannya.  Di detik-detik ketika akhirnya para wisudawan mulai sibuk mencari kerja, dia malah sibuk di depan layar komputer, sendirian mengejar deadline demi wisuda gelombang kedua. Ralat, dia tidak sendirian tapi ditemani lagu Sway dari Big Runga. 

Rokoknya Marlboro merah, tak penting betul saya ceritakan masalah cigarette ini, tapi memang dia tak mau jika harus membakar cigarette produksi Djarum yang aromanya, menurut dia, terlalu pekat. Sikapnya bersahaja-berkawan, dia adalah jenis sahabat yang nyaman di segala kondisi. Pernah sekali waktu, ketika tanggal sudah masuk ke penghujung bulan dan kiriman dari kampung belum datang, uang di kantong tak tersisa sepeser pun. Saya tergeletak tak berdaya di kamar kosan, tiba-tiba batang hidungnya muncul di balik pintu dan sebuah senyum pahit, dia datang dengan tangan penuh oleh kantong berisi makanan dan dua bungkus rokok. “Untuk anak rantau kere macam kau,” katanya.

Beberapa dosen bersikap agak sinis kepadanya. Maklum saja, sebab dia lumayan sering bolos dan tugas sering terkatung-katung tak jelas kapan selesainya. Saya tak sampai hati menasehati, sebab saya tahu pada dasarnya dia cerdas, hanya saja beberapa gelintir setan penggoda kerasan tinggal di dirinya. Sekali saja sempat saya bilang, “kawan, pisau kau itu sebenarnya tajam, tapi mulai berkarat, asahlah sedikit.” Dan dia hanya, lagi-lagi, tersenyum pahit. Barangkali dia menyesal juga pada akhirnya, sebab tidak bisa lulus tepat waktu seperti kawan-kawan yang lain, tapi memang itu sudah terjadi, dan kini hanya menjadi kenang-kenangan bagi hidup yang begitu biru.

“There she goes, there she goes again…,” suara Leigh Nash tengah mengusai kamar ketika dia, lagi-lagi, muncul tiba-tiba dari balik pintu. “Siapa yang pergi kawan?,” tanyanya. “She,” jawab saya. Lalu tawa pun pecah berderai-derai, nikmat betul. “Sejak kapan orang macam kau ditinggal cewe?, yang datang pun kaga pernah ada,” dan kami, saya dan dia tertawa lagi. Selain senyumnya, humor dia pun pahit, tapi tetap menghibur. 

Braga, berapa kilometer jaraknya dari Sarijadi?, entah. Sekali waktu, sempat juga kami jalan kaki dari Sarijadi menuju Braga, bertiga, karena ditambah kawan satu lagi : Dani Batax Swasta. Yang ini pun bersahaja-berkawan. Ihwal gelar “Batax Swasta” adalah karena dia tak seperti umumnya orang-orang sekampung dia yang rata-rata bersuara lantang, dia malah kebalikannya. Tapi dia Batak tulen, ibu-bapaknya asli Sumatera Utara, hanya saja sudah terlalu lama tinggal di Bandung, jadi begitulah, dia lebih mirip orang Bandung, suaranya kadang-kadang seperti tertiup angin. Bukan rasis, tapi begitulah kenyataannya. 

Malam hari waktu itu, dan hujan masih menyisakan rintik sebab sedari sore mengguyur deras kota Bandung. Kami seperti sedang napak tilas pasukan Siliwangi di masa penjajahan yang hijrah berjalan kaki. Bertiga kami berjalan kaki membelah kota Bandung yang dingin sekaligus mengandung aroma romantic aneh yang membias dari lampu-lampu kota, tukang serabi, beberapa perempuan cantik yang nongkrong di Circle-K, dan wajah-wajah para pendukung Persib yang sedang menyaksikan tim kesayangannya lewat pesawat televisi. Dan hidup tidak sama lagi setelah itu, sebab beberapa hari setelah membelah Bandung dengan berjalan kaki, kami akhirnya terpisah dijerat waktu yang mengiris di setiap milisekon hidup. 

Sepotong ingatan masih tersisa. Sehari sebelum kami berpisah, kawan yang rokoknya Marlboro merah itu, di kamarnya yang berantakan, dengan mata entah nanar entah syahdu, didapati tengah mendengarkan Alicia Keys : If I Ain't Got You. Saya Tanya, “Sedang jatuh cinta kau rupanya kawan?. Siapa yang kau sukai itu?”. Dan dia menjawab pendek, sangat pendek, “She.” [ ]        

   

26 September 2012

Hujan Fantasy



"Hujan turun semalaman. Paginya jalak berkicau dan daun jambu bersemi;
Mereka tidak mengenal gurindam dan peribahasa, tapi menghayati adat kita yang purba 
Tahu kapan harus berbuat sesuatu, agar kita manusia, merasa bahagia.
Mereka tidak pernah bisa menguraikan hakikat kata-kata mutiara,
Tapi tahu kapan harus berbuat sesuatu, agar kita merasa tidak sepenuhnya sia-sia"

(Sapardi Djoko Damono) 

***

Maka daun jendela itu adalah pintu fantasy, tempat anak kecil berdiri menyaksikan hujan yang turun lirih dan magis. Merayakan hujan adalah parade ingatan tentang hal-hal yang belum selesai, atau cerita sederhana yang mengapung di tempurung, seperti arak-arakan awan yang berkarnaval di langit yang murung. Bola-bola air yang menggantung di pucuk pohon mangga, tanaman rambat yang kedinginan, tampias yang berloncatan ke kaca jendela, dan ricik suaranya seperti rekaman masalalu yang menggantung di pojok sunyi.

Barangkali hujan tidak pernah tahu bahwa kehadirannya selalu saja mengapungkan imajinasi, juga misteri yang bisa menjernihkan ingatan, rekontruksi hati, dan do'a-do'a yang tak terucapkan namun menggema dan bersemayam di dasar jiwa yang seringkali bolak-balik, tarik-menarik antara iya dan tidak. Tapi dendam tidak sepenuhnya luruh, gradasi luka menunggu dibasuh titik-titiknya yang dingin dan menyegarkan. Hujan telah begitu dicintai para penyair dan pencipta lagu. Dalam wujudnya yang kelabu, hujan serupa jalan panjang untuk pulang, menyadarkan para pemain peran untuk segera pulang ke dalam pangkuan sejati yang selama ini ia cari.         

Lengkung kurva itu suatu saat akan menyentuk titik nadir, maka sesungguhnya tak ada yang kita miliki selain kisah yang berjejalin di sepanjang titian waktu. Karena wujud waktu bukanlah lingkaran melainkan garis lurus yang terus menderap mendekati jurang, maka dibutuhkan sebuah sudut pandang parabola yang mampu melihat objek meskipun tertutup bukit dan selubung kabut. Seumpama berniaga, para pecinta prosa tidak bisa sepenuhnya bersandar kepada redup-remang kenangan, tapi mesti ada percik sadar-jaga bahwa nanti di penghujung, semuanya tak bisa lari dari perhitungan tentang transaksi yang telah terjadi. Dan kata mundur telah dihapus dari kamus waktu. 

Hujan terkadang terasa romantik ketika air yang tumpah itu membasuh hari-hari yang telah terkontaminasi oleh kompromi. Ketika "Tembok Berlin" runtuh, maka cacat permanen selamanya akan tercatat dalam sejarah, dan hujan hanya mengantar kepergiannya sampai batas antara erat dan lepas. Ya, sebermula hanya jatuh di genting, lalu bergerombol dalam samurai kata-kata, kemudian temaram dalam metafora remuk-redam. Kalau hari-hari ke belakang setiap pagi adalah saatnya menunggu matahari lewat, maka yang menderap ke depan adalah menyambut hujan dari balik jendela. Summer-Autumn?. Ah, seperti di film saja. [ ]



25 September 2012

Converse & Jansport


"Jauh melebihi apa yang benar dan apa yang salah, tersebutlah sebentang tanah, aku akan menemuimu di sana." [Rumi]

Keributan yang Mereda

Mula-mula entah apa. Sihir kata telah menggiring pada titik yang bernama Republik. Nama di belakangnya ditemukan dengan penuh tertawa, senang yang dibikin sendiri. Seperti kanal tempat mengalirkan segala lahar tak bernama, yang mengalir di lereng pikiran, ingatan, dan imajinasi yang tak seindah puisi. Lalu terkontaminasi dengan kampanye dan khotbah. Beban pesan dipaksakan dari balik bilik catatan. Tak ada yang salah langkah, hanya saja beberapa telah menjadi kriminal, termasuk saya, yang melarikan diri padahal termasuk yang mula-mula memulai. Barangkali namanya pecah kongsi, tapi wajar saja, yang namanya jalan pikiran tak seorang pun bisa memaksakan. 

Agenda-agenda hancur berantakan, dan waktu dihabiskan dengan menebak-nebak jalan pikiran. Yang tak bisa dilepaskan itu bernama manuver dan ilfiltrasi. Menarik memang, sekilas seperti keributan antara Lekra dan Manikebu, tapi ketika produktivitas menurun, dan hanya didominasi oleh beberapa gelintir, keributan menjadi tidak menarik lagi. 

Tapi dalam ketidakteraturan inilah sebenarnya nyawa itu ditiupkan. Melebihi improvisasi jazz, atau lukisan abstrak Afandi. Ada bertanya, perkumpulan macam apa ini?. Tak usah bertanya kawan, menulis saja, dan rasakan arus baliknya. Huruf-huruf yang diaborsi telah banyak berhamburan, dan kisah telah mati sebelum dicatatkan. Itu faktanya, maka saya tidak menyukai arus utama. Seperti status quo yang menunggu untuk digulingkan, maka huruf-huruf samar yang bertenaga selalu puitis untuk dibaca. Saya kadang tertarik dengan arsip dan dokumentasi, seolah-olah induk semang bagi anak-anak ruhani yang berlesatan dari alam imajinasi. Ketika banyak orang menganggapnya hanya sebagai dagelan, saya memilih untuk tetap berdiri. Menunggu dan bertahan dalam kondisi seolah-olah lemah adalah mimpi buruk bagi setiap pribadi yang dibesarkan dalam budaya harakiri.

“Ko gw jadi kaya cewe bego gini sih. Gw adalah perempuan independen. Sekarang duduk aja gw ga bener. “ Kutipan dari film pendek besutan Joko Anwar itu seperti petasan yang dibakar pagi-pagi sebelum mata dan kesadaran sempurna mengenal hari. Orang tidak bisa selamanya berdampingan dengan alter ego-nya. Dia suatu saat harus lepas dan merayakan pilihan. Kenangan dan masalalu adalah bahan bakar terbaik untuk merancang sebuah film puitis yang buruk. Selebihnya bisa dilarung dengan semangkuk mie instant kuah pedas ketika hujan menderas mencium bumi.

Kelak tidak boleh lagi ada penyesalan yang beranjak matang ketika usia digerogoti waktu. Pendar-pendar melankolik harus berhenti pada titik yang tepat, atau dipaksa berhenti dengan cara seorang laki-laki. Maka biarkan semuanya tetap berjalan sewajarnya tanpa menggadaikan sikap. Tidak semua nasihat bervitamin dosis tinggi, adakalanya justru seonggok sampah yang hanya layak untuk dibuang atau dibakar. Kesenangan harus dibuat sendiri, tidak boleh menunggu uluran dari balik jendela. Ini adalah mandiri di level tertinggi dengan mahkota mengkilat bercahaya. 

Tapi matahari tidak pernah memilih tempat untuk menyinari, maka berikanlah yang terbaik, sebab pamrih adalah kamus permanen para buruh. Kelak setiap jiwa akan sadar bahwa minyak dan air selamanya tidak akan sama. Dan tidak ada yang lebih menarik selain cerita-cerita lirih tentang kompleksitas jiwa manusia. Lalu sepi. Yang tersisa hanya suara Aselin Debison membawakan Somewhere Over The Rainbow. [ ] 



24 September 2012

Musim Hujan


Setelah perjalanan malam itu, sampai sekarang belum bertemu lagi dengan Miranda Risang Ayu. Tradisi pun semakin memudar, padahal musim hujan akan segera datang. Akan dirayakan dengan apa musim hujan tahun ini?, entahlah. Barangkali menyuntuki ciuman Agus Noor, karena kolam Sapardi tak kunjung ditemukan. Selamat datang musim hujan. [ ]

Dua Generasi

Sebagian bayangan pohon ketapang terlihat jelas di tanah yang lembab, sebagian lagi di jalan yang beraspal. Saya duduk di luar kamar, menghadap ke jalan yang beraspal itu, dua orang perempuan terlihat berjalan menuju entah ke mana. Kupu-kupu kecil berwarna putih terbang rendah dan hampir menyentuh rumput. Langit cerah tapi udara terasa dingin. Di kejauhan, di sebelah timur, garis barisan bukit terlihat membiru. Pemilik safari empat saku masih di dalam, masih terbaring lemah dengan selang infus dan tabung oksigen. Di dalam, udara terasa padat. 

Afrizal Malna di tangan, dia menjajah ingatan. Kalau saja tidak ada mimpi dan imajinasi, masadepan tidak lebih dari sekedar angka dan deret turunannya. Sunyi, hanya seekor kucing kurus yang duduk kelaparan. Di rumah sakit jarang ada yang buang sampah sembarangan, dan tong sampah tertutup rapat. Di dalam terdengar suara perawat mengganti tabung oksigen, dan percakapan setengan nada. Panas matahari mengendap pada daun-daun pohon lengkeng, angin berhembus perlahan, dan dingin menggigit pelan-pelan. 

Yang duduk menunggu di dalam tidak banyak suara, hanya menunduk, dunianya sudah masuk ke dalam layar ponsel, jejaring sosial telah menyedotnya. Komunikasi berlaksa rupa, derajatnya sungguh mengagumkan, dibutuhkan di setiap halaman waktu manusia. Dalam remang lupa masih saja terdengar suara guru ngaji di kampung, dulu, dulu sekali, beliau pernah berkata, “Bersabarlah, karena sesungguhnya sakit itu menggugurkan dosa-dosa yang telah lalu.” Sementara daun-daun pohon ketapang mulai berguguran seperti ingin memberikan metafora. 

Dua generasi dibatasi tembok dingin dan kaca yang lebar, yang satu terbaring dan yang satu lagi sedang duduk. Apa yang membuat dua zaman bisa berdampingan?, salah satunya adalah pengertian. Dewi Lestari dengan cerdas menulis, bahwa yang sekarang kita sebut embun dulunya adalah bola raksasa yang bening bagai kristal, bahwa yang sekarang kita sebut rumput dulunya adalah pohon raksasa yang tegap berdiri. Terlalu banyak kosa kata yang tidak bisa menghubungkan dua masa, tidak ada kunci pasti yang bisa menyatukan dua generasi. 

Tapi saya bukan Pram yang pulang ke Blora dalam buku “Bukan Pasar Malam”, saya tidak sedang mengenang hal-hal yang telah hilang, saya hanya tengah memperhatikan masadepan yang bersembunyi di balik pohon ketapang. Dan waktu tak pernah surut, bayangan pohon telah bergeser beberapa derajat. Pintu kamar adalah bukti bahwa ada yang datang dan ada yang pergi. Dan pintu itu juga pasti tahu, setelah dzuhur, saya melangkahkan kaki masuk ke kamar. Saya pamit, rahmat kerja sudah menunggu esok hari. Terasa sekali kulit tangannya, kulit tangan pemilik safari empat saku itu telah mulai kendur dan keriput. Dan di luar langit telah berganti, awan hitam mulai menguasai, hujan berhamburan waktu saya masuk mobil. Dalam hati sempat saya merapal pelan sekali :

“Allahumma rabban naasi adzhibil ba'sa asyfi antasy syaafii laa syifaa'a illaa syifaa'uka syifaa'an laa yughaadiru saqaman.”

“Ya Allah Tuhan segala manusia, jauhkanlah penyakit itu dan sembuhkanlah ia, Engkaulah yang menyembuhkan, tak ada obat selain obat-Mu, obat yang tidak meninggalkan sakit lagi.” [ ]

23 September 2012

Menunggu Atambua

Tidak mudah menjadi Uxbal. Hidup dari menjual barang-barang selundupan dan palsu. Menderita kanker prostat, dan mantan istrinya menjadi "pedagang eceran", sementara anak-anaknya tumbuh di usia yang masih sangat rawan untuk "dibelokkan". Uxbal lebih dari sekedar sapaan "sahabat-sahabatku yang hatinya baik", sebab aforisma dan nasihat punya dosisnya sendiri, ia bukan jadwal makan tiap hari, bukan pula semacam stiker keraton di pantat mobil pribadi.

"Keputusan yg tak terputuskan" hanya dapat berdamai dengan kawan-kawan terbaik yang mengerti bahwa segala dendam, resah, dan kekhawatiran dapat dilarung dengan secangkir kopi. Never mind : matilah segala yg kau tahu. Siapa yang tidak mau diajak bersenang-senang?, bahkan teori zodiak pun seperti sampah yang tak henti-hentinya dijilat. Kembali ke pangkuan yang "di dalam", dan sebuah pertanyaan : "kenapa indah pelangi tak berujung sampai di bumi?".

Bagaimana jika cerita fiksi terjadi di dunia real?, seperti orang yang mencemaskan kebahagiaan, padahal itu anomali, karena bersikap bagai mencari sapi sambil menunggangi sapi. Atau orang yang anti publikasi, selalu berada di belakang kamera, sampai menginspirasi penulis pocong galau untuk berbuat hal yang sama pada mulanya. Harold dalam Stranger Than Fiction memang mencuatkan satu kesadaran, bahwa terkadang dunia real lebih aneh daripada cerita fiksi.

Statistic status yang ditulis di jejaring sosial beraroma opium adalah bahan paling absurd untuk menggulirkan sebuah cerita panjang, bahkan sangat panjang, karena digali dari mata air sehari-hari. Mouly Surya sempat bernyanyi dengan lirik : jika fiksi selalu punya akhir, maka dunia real sebaliknya. Ia terus berlanjut. [ ]

Konstelasi [01]

Seperti biasa, setiap hari, setiap kali pulang kerja, sambil duduk di teras pondoknya, Erlan akan perlahan membuka sepatunya yang berwarna coklat. Lalu mencopot kaos kaki putih yang mulai bergradasi dengan warna coklat muda, warna lumpur yang sedikit demi sedikit mengotori kaos kaki itu. Baju kerja pun ikut ditanggalkan, dia senang sekali hanya memakai kaos dalam dan membiarkan angin sore menyerbu badannya. Ubin yang dia duduki berwarna kelabu dan mengkilat. Rumput liar yang tumbuh di halaman belum sempat dia bersihkan, pekerjaan terlampau menyita waktunya. 

Tapi setiap hari sabtu, pagi-pagi sekali dia akan bangun, sehabis sholat subuh dia akan berlari sampai alun-alun, lalu mengelilingi alun-alun itu sebanyak tujuh kali putaran, tidak kurang dan tidak lebih, kemudian kembali lagi ke pondoknya. Sambil menunggu keringat luruh, dia memanaskan air untuk menyeduh segelas kopi campur susu dengan takaran yang pas. Setelah minum dua gelas air bening yang dingin, dia akan menyalakan laptop apple yang berwarna putih, lalu menyalakan windows media player yang akan berbunyi di speaker Simbadda, membuka Ms. Word dan mulai menulis. Gorden kamarnya yang berwarna biru mulai bergoyang tertiup angin, pagi yang cerah mulai menyerang embun yang masih berkilauan di kelopak bunga, pucuk daun, dan ujung ranting. Biasanya setelah lagu pertama, setelah lagu “Live in New York” yang dinyanyikan The Sigit selesai, pemanas air akan berbunyi menjerit, dan air akan berpindah  sebagian ke dalam gelas berisi bubuk kopi dan susu cair cap Bendera. Dia senang sekali dengan aroma yang menguap dari kopi-susu itu. 

Tapi sore itu hari masih kamis, dan belum beranjak menjadi sabtu. Dia kemudian mencuci kaki di bawah keran yang terpasang di pojok halaman. Sinar matahari perlahan mulai meninggalkan batang pohon kelapa yang tumbuh tidak terlalu tinggi, dan berada kira-kira duapuluh meter dari pondoknya. Rumah Pak Eka, tetangganya, terlihat sepi. Tidak terdengar suara istrinya yang biasa memanggil Marjo, anak semata wayang mereka untuk berhenti bermain dan segera mandi. Sebenarnya Pak Eka bisa saja memilih nama anaknya dengan nama yang lebih terdengar aristokrat, tapi ada makna lain di balik nama anaknya yang pendek itu, tanpa nama panjang. 

Yang terlihat hanya ayunan dari ban bekas yang tergantung diam di pokok pohon jambu, sepeda tua yang diikat di pagar, dan beberapa baju yang belum diangkat dari tempat jemuran. Biasanya rumah Pak Eka tidak sesepi itu, apalagi kalau sore, Marjo dan kawan-kawannya yang masih kelas satu SD, selalu saja ramai bermain di bawah pokok pohon jambu. Kawannya Marjo tidak lebih dari tiga orang, semuanya perempuan, jadi dia adalah satu-satunya bocah laki-laki. Dwie, Makie, dan Julie selalu senang bermain ayunan di ban bekas. Kawan-kawan Marjo itu tidak pernah absen, setiap sore, kira-kira jam setengah lima, waktu panas matahari mulai terasa reda, mereka pasti sudah berjajar di depan pagar rumah Pak Eka dan berteriak serempak memanggil Marjo, kawan laki-laki mereka. 

Dwie sering memakai baju warna hijau mint, rambut diikat dua, dan selalu membawa permen. Makie lain lagi, warna bajunya sering didominasi warna kelabu atau coklat tua, sering memakai topi, dan takut kalau bertemu ulat. Sementara Julie lebih mirip laki-laki, rambutnya pendek, bajunya selalu t-shirt bergambar para pahlawan yang suka tampil di film kartun. Tapi sekarang pemandangan itu tidak ada, entah kemana.

Erlan kemudian masuk ke pondoknya. Di dalam selalu rapi. Lemari es tersimpan di pojok; berisi telur, sayur-sayuran, sepotong keju chedar, beberapa potong ayam mentah, es batu, minuman dalam kaleng, air putih, susu sapi dalam kemasan, jeruk sunkies, apel merah, buah pear, dan beberapa potong coklat Toblerone yang belum sempat dihabiskan. Semuanya tersimpan rapi di dalam lemari es itu. Tempat tidurnya dibungkus seprai berwarna merah, bergambar logo club liga Inggris; Arsenal. Bantal bertumpuk dua, dan di tengah kasur tersimpan sebuah guling yang masih padat oleh busa. 

Tak jauh dari jendela, tersimpan sebuah meja dari kayu jati yang gagah dan mengkilat, tempat menyimpan laptop dan menghabiskan waktu berjam-jam pada hari minggu untuk menulis. Meskipun di atas meja itu ada sebuah asbak, tapi setiap pagi dia membuang abu dan puntung Marlboro light di asbak itu ke tempat sampah. Dari jendela pemandangan lurus ke jalan yang sepi, tempat induk semangnya--Pak Ajat dan istri—setiap hari, kalau tidak hujan, berjalan bersama menikmati suasana sore yang masih menyisakan hangat. Lewat jendela itu pula, dulu sebelum kawannya menikah dan menetap di Makassar, dia biasanya mengeluarkan kepalanya sedikit untuk melihat Irfan, kawannya itu yang datang dengan motor bututnya. Sedikit bergeser ke kanan, sebuah televisi 21 inc diletakkan di atas meja pendek yang berkaki kuat. 

Dia jarang nonton tv, tayangan favoritnya hanya Kick Andy, siaran langsung LSI, dan Jejak Petualang. Lemari pakaiannya bermerk Olimpyc, tempat menyimpan baju yang dilipat dan yang digantung. Lantai kamarnya ditutup karpet berwarna biru dongker yang setiap sabtu dia bersihkan dengan vacuum. 

Pondoknya itu adalah semacam paviliun, milik Pak Ajat yang dia sewa setahun yang lalu. Erlan tidak pernah mencetak foto Rani dalam ukuran besar untuk digantungkan di dinding kamar, dia hanya menyimpannya dalam folder digital. Dia merasa beruntung mendapatkan pacarnya bernama Rani, sebab bisa dia plesetkan menjadi rain, menjadi hujan; sebuah peristiwa alam yang selalu dia kagumi. Maka kalau gerimis mulai turun, jiwa melankoliknya kambuh, dia akan melihat keluar lewat jendela setelah sebelumnya memastikan dulu bahwa A7x sudah siap menyanyikan lagu “Dear God” dari laptop Apple-nya. 

Wajah Rani kadang-kadang muncul bersama air hujan yang berebut mencium bumi. Rani, perempuan yang dia tinggalkan di Bandung, dikenalnya dua tahun lalu pada sebuah pameran buku di jalan Braga. Dia sempat menulis cerpen dan dimuat di Kompas dengan judul “Perempuan Wangihujan”. Kalau melihat Pak Ajat dan istrinya yang sudah sama-sama tua, dia kerap membayangkan bahwa dia dan Rani pun bisa tetap saling mencintai sampai rambut mereka memutih, bisa saling menjaga dan bersama-sama melacak usia senja, lalu Rani yang kulitnya sudah tidak lagi kencang berkata, “Sayang, kamu terlihat lebih menarik daripada waktu pertamakali kita bertemu dulu.” Dan terkadang dia juga khawatir, mungkin saja Rani meninggalkannya tanpa pesan, tanpa perpisahan yang dilakukan bersama, persis seperti Olva yang meninggalkan Irfan, tapi pikiran itu cepat-cepat ditepisnya. 

Tak lama setelah dia mandi, adzan maghrib berkumandang dari mesjid yang berjarak enam puluh meter dari pondoknya. Petang rembang dan adzan maghrib selalu mengingatkannya pada seorang sosok tua yang belum lama pulang ke Sang Pencipta. Dulu waktu masih kecil, waktu neneknya masih ada, Erlan selalu belajar mengaji kepadanya. Belajar a-ba-ta-tsa dari awal, juga belajar tentang kesabaran dan keteladanan dari kisah para Nabi dan Rasul yang sering nenek ceritakan. Tak terasa ada yang menggenang hangat di pelupuk matanya, dia hapus perlahan dan bergegas menuju mesjid. 

Besok jum’at, hari terakhir kerja. Sabtu ini, seperti dua minggu sebelumnya, dia tidak akan pulang ke Bandung, dia akan lebih memilih diam di pondoknya, mencabuti rumput liar di pekarangan, menulis, mendengarkan musik, mencuci baju, membuat omelette, dan nonton film lewat DVD . Anak Pak Eka, Marjo kecil dan kawan-kawannya memanggil dia “Om Pengarang”. Sore waktu itu, dia sedang menulis di laptopnya, di depan pondok, laptopnya dia simpan di atas meja lipat yang pendek. Anak-anak itu main sepeda dorong dan melintas di depannya. Mereka bertanya, “Om, sedang apa?”. Dia menjawab, “sedang  mengarang.” Maka semenjak itu, anak-anak kecil yang jumlahnya empat itu selalu memanggilnya “Om Pengarang”. 

Sudah pukul 22.30, tapi Erlan belum bisa tidur. Di luar sepi, sesekali terdengar suara mesin motor yang digas beraturan. Pohon-pohon cemara yang berada di seberang jalan terdengar desaunya, mereka seperti sedang bernyanyi. Dia mulai membuka novel Harry Potter edisi bahasa Inggris untuk mengasah kemampuan bahasanya. “Interview di Oil Service Company harus lancar berbahasa Inggris Bung!!”, selalu begitu informasi dari teman-temannya. Wajar saja, sebab perusahaan yang banyak bermarkas di pulau Kalimantan itu rata-rata adalah milik asing. Lagi pula dia sudah bosan terus-menerus bekerja membuat cigarette. 

Ada semacam perasaan tidak nyaman setiap kali dia membayangkan orang-orang yang mati karena paru-parunya rusak digerogoti tar dan nikotin. Sekali waktu ada temannya yang membawa sebungkus rokok produksi Singapura, gambarnya sangat mengerikan; gambar organ tubuh manusia yang habis dihancurkan racun rokok. Maka di banyak waktu, selain menulis, setiap kali ada kesempatan, dia hampir pasti belajar bahasa Inggris secara otodidak. Jejentik jam terus berjalan. Ketika rasa kantuk mulai datang, sekitar pukul 23.30 dia membaringkan tubuhnya di atas seprai bergambar logo Arsenal. 

Tapi ini belum ngantuk parah, jadi dia sempatkan memutar MP3 lewat DVD, lalu terdengar perlahan suara Simon & Garfunkel, Carla Bruni, Regina Spector, The Temper Trap, dan Belle and Sebastian. Tak lama kemudian Erlan mulai terlelap, udara di luar terasa dingin dan gelap mengusai. Tapi gelap malam sesungguhnya tidak pernah sempurna memeluk bumi, dia selalu digoda oleh jutaan lampu, kunang-kunang, api yang menyala dari pemantik, bara cigarette, dan oleh harapan yang terus menyala di hampir setiap dada manusia. [ ]