09 September 2012

Pemikiran Pamit Mati

Oleh : Bre Redana

Orang-orang sekarang pada umumnya makin alergi terhadap sesuatu yang dianggap ”serius”. Dalam strategi yang berhubungan dengan pemanfaatan waktu luang—yang sebenarnya bisa produktif—ada keengganan luar biasa terhadap yang serius. Entah mana sebab mana akibat, sebagian besar produk kebudayaan kita kemudian diabdikan untuk melayani keengganan masyarakat terhadap sesuatu yang serius.

Bicaralah pada produser film, tawarkan film yang diandaikan menyimpan gagasan mengenai kekayaan dan pluralitas ke-Indonesia-an. Dijamin, sang produser bakal lebih tertarik kalau Anda menawarkan mistik Cipularang KM 90. Kalau terlalu serius tak ada yang menonton. Yang ngawur saja, dengan judul super ngawur, uang bakal mudah dikeruk.

Ini berlaku di semua bidang. Masih saudaranya film, televisi. Bikin program dengan pemikiran serius—taruhlah Hiburan dengan ’H’ besar bukan ’h’ kecil—maka orang akan menanggapi: serius begini, siapa mau nonton? Apalagi kalau diperjelas, kita membikin sesuatu untuk kepentingan lebih besar daripada sekadar ber-haha-hihi, maka kita akan dianggap gila. Ini zaman Kalatida. Akal sehat dianggap gila.

Seni panggung? Sami mawon. Anak-anak teater yang spartan yang menganggap teater sebagai jalan hidup, karena teater adalah cermin kehidupan, menjadi gelandangan kebudayaan. Seperti gelandangan yang hidup di gorong-gorong budaya, mereka tergusur oleh gebyar panggung pertunjukan yang mengandalkan sensasi visual, fisik, termasuk kemunculan artis-artis kinclong. Kemasan adalah segala-galanya. Di balik itu hampa. Tidak ada roh.

Ya, kita bicara mengenai produk kebudayaan, maka jangan tinggalkan buku. Bagaimana dengan dunia perbukuan? Anda tinggal tengok ke toko-toko buku. Anda belajar sampai ke Harvard dan membikin teoritikasi politik kita, buku Anda akan ditenggelamkan di rak paling pojok, kalah oleh buku berisi gosip-gosip politik. Filsafat bakal tinggal kenangan, diganti peran para motivator (saya menyebut tukang jual jamu), yang menerbitkan buku cara menjadi kaya secara mendadak, resep sukses dengan bermimpi, dan lain-lain. Buku-buku sastra harus mengiri pada karya-karya yang diambil dari celoteh dunia maya, lengkap dengan bahasanya yang amburadul. Kalau kita masih berpikir bahwa kita harus menjaga bahasa Indonesia seperti kita menjaga ibu, maka akan sakit hati dan TBC. Buku-buku yang memporak-porandakan bahasa dan akal sehat laris keras, dirayakan di mana-mana.

Ditonton, bukan menonton

”Opo aku isih iso berkesenian (apa aku masih bisa berkesenian),” desah seorang maestro pertunjukan seni klasik Jawa. Pada zamannya, ia menganggit karya-karya gemilang. Pertunjukannya yang sarat bobot di Taman Ismail Marzuki (TIM) ditunggu-tunggu pencintanya, dan mendapat apresiasi luar biasa di media massa.

Itu dulu. Kini, ia merasa tak mendapat kesempatan berkarya. Sponsor lebih melirik ke karya-karya yang itu tadi: jangan serius. Yang penting menghibur. Yang klasik dikhawatirkan tak ada yang meminati. Sama-sama mengeluarkan uang, daripada untuk kesenian serius, lebih baik untuk olahraga, banyak penontonnya, meskipun olahraganya kalah melulu.

Kalangan dunia klasik pewayangan pernah berprasangka baik, dengan munculnya eksperimen-eksperimen di dunia wayang. Dengan wayang yang dipadatkan, dimasuki dangdut, diguyur lawakan sepanjang pertunjukan, tidak jadi masalah. Yang penting orang nonton wayang dulu. Siapa tahu nanti apresiasi meningkat, sampai ke jati diri wayang: yang mempunyai peran besar dalam pembentukan kebudayaan Indonesia.

Dugaan mereka meleset. Para penonton jenis tontonan tadi tak pernah meningkat menjadi penonton karya-karya klasik. Yang klasik, yang dianggap serius, tetap terpinggir dan makin terpinggir.

Kasus dalam dunia pewayangan ini bisa ditarik sampai ke gejala yang ramai sekarang, yakni pementasan wayang orang para ”ndoro”. Yang saya maksud wayang ndoro adalah wayang yang pemainnya terdiri dari para pemain amatir, para pesohor, sosialita, ibu-ibu kaya, serta pejabat. Mereka manggung bersama para pemain wayang profesional. Dalam proses latihan kadang didampingi seniman panggung yang mumpuni.

Niat di balik pementasan para ndoro itu terdengar mulia. Untuk membantu melestarikan kesenian tradisional. Dengan kemunculan mereka di panggung, penonton ramai. Harga tiket berkali- kali lipat harga tontonan kesenian tradisional sehari-hari.

Dengan terobosan itu, apakah kesenian tradisional kita menjadi makin luas khalayaknya? Tidak. Tanpa kehadiran para ndoro di panggung, kesenian tradisional kembali kepada kehidupan gembel sehari-hari.

Artinya apa? Dengan modal atau kapital mereka memobilisasi penonton untuk menonton mereka sendiri. Ketika mereka tidak di panggung, masih adakah mobilisasi penonton itu? Seniman yang pernah melatih me- reka, ketika membikin karya sendiri untuk produk yang lebih ”serius”, mengaku bahkan para ndoro yang dilatihnya dulu tidak menonton. Mereka juga tak akan memberikan dukungan keuangan kalau mereka sendiri tidak tampil di panggung. Diminta memberi makanan saja susah, kata seniman tadi tertawa.

Di sini, kapital rupanya berdampingan dengan narsisme. Istilahnya, kapitalisme dan narsisme jadi satu. Kalau aku tidak di panggung, tak ada kapital kusediakan. Kebutuhanku ditonton, bukan menonton.

Pamit mati

Jika di tingkat atas yang menggembosi produk kebudayaan dari keseriusan dan pemikiran adalah kapital (dan narsisme), di tingkat bawah ada persoalan lagi yang tak kalah serius. Khusus untuk wayang, adalah tekanan kelompok radikal terhadap produk kebudayaan bernama wayang. Mungkin Anda jarang membaca beritanya, tetapi di beberapa tempat di Jawa Tengah sangat sering terjadi penggerebekan terhadap pertunjukan wayang. Pertunjukan wayang kulit yang tengah berlangsung bisa didatangi sekelompok orang, yang dengan sangar menyuruh semuanya bubar. Para seniman wayang hanya bisa berkemas-kemas, menutup peti, terusir sebagai kelompok sudra tanpa perlindungan negara.

Sesekali saja kasus seperti itu terangkat ke permukaan. Misalnya, seperti ketika televisi memberitakan bagaimana di Purwakarta, Jawa Barat, sekelompok orang merobohkan patung-patung wayang di sudut-sudut kota. Terlihat dalam tayangan televisi, setelah patung dirobohkan, diinjak-injak. Dilihat dari lapis permukaan itu menggelikan. Dari lapis lebih dalam, menyedihkan.

Beberapa waktu lalu, sebuah rombongan kesenian tradisional ketoprak melakukan pentas terakhir di Alun- alun Selatan Yogyakarta. Pentas itu mereka sebut pentas pamit mati. Mereka tak bisa lagi bertahan karena tak ada lagi yang peduli. Tak ada lagi yang menghargai apa pun yang tidak bernilai uang. Koruptor sekali pun, karena bergelimang uang, bisa seketika menjadi pahlawan setelah persoalannya diolah dan dibolak-balik seperti martabak oleh para pengacara. Sementara kesenian tak punya pembela.

Produk-produk kebudayaan yang ”serius”, pada tingkat atas digusur oleh kapitalisme dan narsisme. Pada tingkat bawah, oleh radikalisme. Kalau semua kita dan terutama negara tak turun tangan menyikapi gejala ini, maka sesuatu yang serius, termasuk pemikiran, akan sampai pada titik seperti dilakukan rombongan kesenian tradisional tadi: pamit mati. [ ]

No comments: