31 October 2012

Ora Urus

Saya hanya tertarik dengan sebuah klub yang pernah aktif di kompetisi Galatama yang sekarang telah menjadi almarhum. Maka waktu menginjakkan kaki di sana, saya tanya laki-laki dengan logat aneh itu, "di mana stadion klub Gelora Dewata?." Dan ternyata saya salah, saya tidak sedang di London. Mereka bukan orang-orang yang terinfeksi bola, tapi paket-paket hiperbola yang melambungkan ekspektasi, sebelum akhirnya meluncur ke bawah mencium tanah. Saya coba berjalan sendiri lalu terduduk di pojok bibir pantai itu, menghisap cigarette dan menenggak Greensand, kemudian membasahi baju dengan samudera asin, tapi tetap saja masih belum bisa menawarkan apa-apa. Maka waktu seorang kawan bilang, "jadi sekarang kamu mengerti kan kenapa saya suka pergi ngebolang?," saya jawab, "ah, tidak juga." Dunia seperti di belah dua, dan saya berdiri tegak di satu belahan yang bersebarangan dengan orang-orang kebanyakan. Barangkali ini juga disebut polarisasi, maka saya tidak perlu menyeberang hanya untuk menyamakan frekuensi.  

Pasangan sejenis yang melangsungkan pernikahan itu seperti simbol bahwa batas-batas normatif telah runtuh. Saya sama sekali tidak terkejut, karena di sana orang asing adalah mesin yang menggerakkan roda. Maka waktu petasan raksasa menyentuh ujung sumbu, dan ledakan besar memakan korban, roda ekonomi itu berhenti tiba-tiba. Apa yang diminati di sana, adalah bukan terutama bentang geografisnya, tapi adat dan budaya yang mengendap dalam tulang belakang. Datanglah dan cium aroma laut itu, maka matilah segala yang kau tahu. 

Khotbah dan nasihat tentang firdaus yang terhampar di bumi akan menjadi sia-sia, sebab sesuatu yang dihiperbola tidak akan pernah suka ketika wajah aslinya begitu telanjang. Menenggak rib di sepanjang Legian sambil mencari jersey West Ham ternyata tidak sepernuhnya menjadi pekerjaan sia-sia, setidaknya saya tahu bahwa di negeri ini ada juga yang menjual jersey Everton, meskipun memang masih dalam kepungan tim-tim besar yang sangat rajin berjualan. Jangan tanya tentang impresi, sebab seminggu setelah semuanya berlalu, seorang hawa dari Bandung bilang, "kapan kita ke sana lagi?." Pertanyaan yang menarik saya pikir.  

Dan saya mulai mengingatnya. Skenario tidak membawanya ke sini, untuk duduk di sebelah atau sekedar beriringan dalam jalan yang searah. Tapi dia belum terjangkau. Ya, belum. Hanya sepotong pagi yang membawa wajahnya dalam balutan matahari. 

Dari sesaji itu tercium aroma masalalu ketika Islam mulai masuk ke Jawa. Dalam kilasan-kilasan pengetahuan tanpa bantuan Google dan Wikipedia saya membayangkan orang-orang Majapahit yang tidak mau tunduk kepada arus besar itu eksodus ke arah timur, menyeberang laut dan sampailah di tanah baru penuh harapan tempat mereka menyelamatkan iman. Sekarang bukti-bukti fisik tentang kejayaan Hindu di pulau Jawa mungkin sangat sedikit, tapi coba dengarkan cerita-cerita tentang roh, pemujaan, dan hal-hal lain yang sekarang telah sah dilabeli sebagai klenik, pasti benang merah itu akan samar-samar mulai terlihat. Di titik ini saya diam-diam mulai bersyukur bahwa semakin ke barat jumlah Wali Songo semakin sedikit, ya hanya seorang Sunan Gunung Djati. Formasi 5-3-1 bukan tanpa alasan saya pikir,  karena buktinya sampai sekarang pun suku di wilayah barat adalah yang paling sulit untuk "ditaklukkan". 

Waktu seperti gelembung udara yang terperangkap dalam sebuah kantong plastik, lalu ketika saat itu tiba kantong plastik meledak dan menghamburkan perasaan  yang seringkali mencuat ketika orang-orang mulai berpisah, mulai melajutkan lagi hidupnya masing-masing. Orang-orang timur yang ramah itu kembali lagi ke tanahnya masih dengan logat yang lucu dan menyenangkan. Orang-orang dari ujung barat yang mudah akrab kembali juga ke haribaan "medan berperangnya". Sementara orang-orang dari tanah pertengahan yang terlihat sedikit apatis mulai mengemasi perasaannya, mereka mulai tersadar bahwa waktu baru saja memenggal kepala. Orang-orang yang berasal dari tanah yang tidak jauh dari pusat kekuasaan mulai melamun dan membayangkan tentang saat untuk kembali ke tempat itu. Sementara ketika di sebelah kanan yang terlihat hanya awan, saya mulai mendengarkan John Lennon : "I feel the sorrow, oh i feel dreams, Everything is clear in my heart." [ ]


18 October 2012

Nothing Beats Being Back


Find and Replace

Nasib RAM 1GB. Nge-replace bulan dalam worksheet excel saja lamanya bukan main. Memang rumusnya lumayan banyak, tapi menunggu begitu lama dan hanya melihat dialog box yang bertuliskan "find and replace" adalah penderitaan yang tersembunyi dan mampat. Sementara kawan di sebelah begitu lincahnya pindah-pindah menu secepat kedipan mata. Ya, hidup memang mengerikan kadang-kadang. Jadi ini adalah catatan menunggu, menunggu excel menyelesaikan perhitungannya, menunggu dialog box memberi tahu bahwa replace sudah berhasil. Semacam membunuh waktu, atau menunggu buka puasa sambil makan kuaci. 

Bekerja dengan deadline seperti doping alami untuk selalu siaga. Tak perlu kopi hitam atau minuman berkafein cap banteng merah. Melihat dengan lekat perjalanan tanggal, seperti menunggu algojo memenggal kepala. Waktu menjelma menjadi guru olahraga yang memegang stopwatch sambil bersiap meniup peluit. Sementara pasukan pendukung mulai kedodoran, hang berkali-kali. Daripada pusing akhirnya saya mulai nge-chant anthem-nya West Ham dengan volume yang diusahakan terdengar sopan. Kawan di sebelah berkomentar, "Hati-hati Bung, aku perhatikan, sejak kau suka West Ham, kelakuan kau kadang-kadang menakutkan. Lagi pula biasa sajalah, kelakuan para Green Street Hooligan itu bukan untuk ditiru". What?!, apa hubungannya ini?!. Saya terawang jejak rekam klub favoritnya, ah barangkali dia fansnya Blackpool. Dulu, seorang kawan pernah bilang, "Bung, kau ini orangnya tak bisa terima kritikan dari oranglain, pandainya hanya mengkritik orang saja!." Dan saya tak menjawabnya, hanya saja tiba-tiba teringat sepenggal lirik lagu Mocca, "Excuse me sir, you don’t even know me, I will never give up what I believe." Dan dia berlalu, tak pernah kembali lagi.

Kawan sebelah berkicau lagi, dan kau tahu apa yang dia katakan? : "Bung, yang kita cari dari perempuan itu minimal dua hal, yang pertama daya tarik seksual dan yang kedua daya tarik intelektual." Damn!. Apa hubungannya perempuan dengan klub sepakbola?!. Saya lihat lekat-lekat wajahnya, tapi tak saya temukan tanda-tanda dia mengidap penyakit gila. Mungkinkah dia salah minum obat?. Sungguh---minimal dari yang dia katakan, setelah saya cerna berulang-ulang, tak ada korelasi sedikit pun antara klub sepakbola dengan daya tarik perempuan. Pikirannya seperti meloncat-loncat dalam labirin gelap. 

Sebelum dia berkicau lagi, saya segera pasang headset dan mendengarkan Bosanova Jawa, menghindar dari komentar-komentarnya yang tidak nyambung.Petikan gitar yang tenang mengiringi lirik-lirik bahasa Jawa yang hanya sekira 60 persen dapat saya mengerti. 

Belum khatam sepuluh menit, kawan di sebelah mencabut headset dan mulai berkicau lagi. "Tak baik bekerja sambil mendengarkan musik Bung, bikin kau menjadi asosial." Mau apa lagi sih dia?. Khotbah berlanjut. "Bung pernah memperhatikan logo West Ham United?." Tentu saja, jawab saya dalam hati. "Ada tiga gambar salib di sana Bung!. Tiga Buah!. Bukan main. Banyak betul!. Macam bukan orang Islam saja kau ini. Belum lagi gambar palu yang bersilangan, tak jauh beda dengan logo palu-arit partai komunis di seluruh dunia. Mau kau dianggap antek-antek PKI?. Pilih klub sepakbola itu yang logonya bagus dong, macam Blackburn Rovers : bunga mawar merah, sedap betul dipandang. Atau paling tidak macam Derby County, logonya gagah sekali, tak kurang dari domba jantan yang siap menyeruduk dengan tanduknya yang keras. Pilih yang begitu, bukan yang aneh-aneh!." 

Saya belum membuka mulut, hanya mengingat-ngingat kata-kata Herper Lee di buku To Kill A Mockingbird. Kurang lebih begini tulisnya : "Kau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya, hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya."  

Ya, dulu waktu sekolah di Bandung saya tidak mengerti kenapa orang-orang begitu bersemangat pergi ke stadion Siliwangi, lengkap dengan atribut dan bendera Persib. Atau gaduh di warung kopi waktu pemain Maung Bandung mencetak gol. Kegaduhan dengan desibel yang melebihi suara petasan di acara pengantin sunat. Seorang kawan, sekitar tahun yang saya lupa lagi kapan, rajin betul bangun dini hari, pergi ke air untuk cuci muka dan kemudian nongkrong di depan tv demi menyaksikan pasukan Galatasaray di Piala Champion---sebelum era liga.     

Entah kenapa, kadang-kadang, saya suka melamun ketika sedang bekerja. Hanya sebentar, biasanya tak lebih dari 5 menit. Seperti siang itu ketika kawan di sebelah ramai berkicau. Saya membayangkan tentang bagaimana caranya memotong sebuah generasi, terutama generasi sepakbola Indonesia. Kalau saya sedang bosan dan tak ada pilihan hingga akhirnya menyalakan tv, dan di tv ada berita tentang orang-orang pengidap penyakit gila di federasi sepakbola negeri ini, saya selalu ingin tertidur dan bangun ketika mereka semua telah mati. Bukan imperior, tapi alangkah menyenangkannya jika federasi sepakbola di negeri ini bisa mengelola potensi sepakbola Nusantara seperti FA di Inggris. Semalam saya baru menonton (lagi) The Damned United, dan merasa takjub dengan totalitas klub-klub kecil di negeri Ratu Elisabeth itu dalam mengelola dan memperlakukan semua elemen klub.   

Menjadi juara, tak lebih dari soal giliran. Ya, nyatanya Nottingham Forest, Glasgow Celtic, Aston Villa, dan Red Star Belgrade pun pernah memegang trofi Piala Champion. Jadi lebih dari itu sebenarnya,---tampar saya untuk klise yang satu ini---bahwa sepak bola pun memerlukan dedikasi. Meski hanya film, The Damned United telah memberikan sebuah referensi sahih tentang bagaimana mencintai dan menghormati sepak bola. Sebagai sebuah klub kecil, Derby County hanya memiliki fasilitas stadion yang kurang baik---barangkali lebih sopan daripada mengatakan buruk dan mengkhawatirkan---, tapi ketika hasil drawing piala FA putaran ke-3 mempertemukan mereka dengan Juara Divisi 1 yaitu Leeds United (Derby sendiri waktu itu berada di zona degradasi Divisi 2), mereka sangat antusias menyambut partai tersebut. Sebuah hiperbola cinema memang, tapi terharu juga melihat sang manajer ikut merapikan rumput lapangan, membersihkan toilet, merapikan tempat ganti pemain, dan membersihkan lantai di sepanjang lorong tempat para pemain menuju lapangan. Ya, demi menyambut tamu kehormatan (Leeds United Sang Juara), para punggawa Derby berusaha mempercantik stadionnya yang kumuh. 

Lima menit selesai, dan itulah durasi saya untuk melamun. Dua jam kemudian, kadang-kadang "kesenangan" itu kambuh lagi.  Sekarang excel "sudah pulih". Kawan di sebelah sedang tidak berkicau. Saya tengok layar monitornya, rupanya dia sedang jalan-jalan via Google. Pantas saja pertanyaannya terkadang loncat-loncat, tergantung apa yang sedang dia baca. Ya, internet memang sudah merusak kontruksi cara berpikir manusia. Dia telah sukses mengacak-ngacak perangkat kuno normatif yang disebut "fokus". Orang jadi terlalu membuka banyak link, banyak menyerap informasi yang berbeda dalam waktu yang bersamaan. Pahalanya tak lain adalah diganjar oleh pengetahuan yang meriah tapi dangkal. Kalau tak percaya, silahkan baca tulisan ini dari awal, dijamin pasti anda akan setuju bahwa tulisan ini tak jelas ujung-pangkal kontruksinya. [ ]

12 October 2012

Safari Empat Saku


Barangkali sekali waktu bapak pernah menatapku dengan perasaan sedih. Mungkin waktu anak laki-lakinya akan pergi merantau untuk pertama kali. Bisa saja karena bapak merasa inilah saatnya, ketika dia tidak bisa lagi menjagaku seutuhnya. Tapi bapak tahu, anak laki-laki tidak boleh mengiba; merantau adalah pilihan. Mungkin bukan perjalanan fisik yang beliau khawatirkan, tapi badai pemikiran yang siap menjegal di setiap tikungan. Kali ini aku menghitung kembali riwayat yang telah tercecer. Aku lupakan semua rencana itu. Aku harus pulang, dan tak boleh ditunda-tunda; bapak sakit. [ ]  

08 October 2012

Menjelang Reuni Para Punggawa Mesjid

Apakah ini akan menjadi semacam titik balik?, entahlah. Pagi ini ponsel berbunyi lagi, sebuah nomor tak dikenal. Ternyata di ujung sana adalah sang pembina para punggawa mesjid. Ini adalah komunikasi pertama setelah hampir 11 tahun meninggalkan bangunan berlantai tiga itu. Suaranya masih sama, juga kata pembukanya. Hanya saya yang terasing. Akar itu sudah tercerabut dari tanah tempat berpijak. Inilah perjalanan sekerat jiwa yang seringkali lupa kepada tempat pulang. Saya sebenarnya sudah bosan menuliskan masalalu, tapi pertemuan di udara setelah 11 tahun itu berhasil menyeret jejalin ingatan ke sana, ke tempat estafet kedua---setelah rumah---di mana budaya puritan diwariskan. 


07 October 2012

Kopi, London, Detik

Dan benar saja, para hooligan West Ham itu telah datang. Dari luar sudah terdengar nyanyian itu. The Hammers nampaknya sedang asyik menanti detik-detik kick-off babak pertama. Saya hitung suaranya, kemungkinan mereka jumlahnya enam orang, dan semuanya adalah fans berat si Palu London. Tapi seorang Gooner tak gentar, meskipun lagu itu terus menggema dari dalam :

I'm forever blowing bubbles,
pretty bubbles in the air,
they fly so high, nearly reach the sky
then like my dreams they fade and die.

Fortunes always hiding,
I've looked everywhere,
I'm forever blowing bubbles,
pretty bubbles in the air!



Setelah muak dengan Serie A Italia yang terlalu sering dikacaukan oleh para mafia judi yang kemungkinan di belakangnya adalah orang-orang Sisilia yang garis darahnya tidak jauh dengan Don Corleone, maka Liga Inggris adalah primadona. Industri, sejarah, dan budaya perlahan melakukan fusi dengan roh bernama klub sepakbola. Ini lebih dari sekedar gaya hidup, sebab sejarah terentang panjang ke belakang. Walaupun seandainya liga lokal dan federasi sepakbola kita waras, tetap tidak akan mampu menghadang laju fans klub sepakbola luar yang kian menjamur. Di sini, media adalah panglima. Dulu, di era 90-an, Liga Italia boleh saja mengusai layar televisi kita, tapi sekarang kamera telah berbalik arah. Ketika Barclay Premier League disiarkan oleh station televisi yang tergabung dalam grup milik seorang taipan dengan jumlah penonton besar, Seria A justru seperti menghilang karena disiarkan oleh TVRI yang "hidup segan mati tak mau".

Tapi itu tak penting, sekarang lihatlah mereka, para hooligan Palu London itu sedang asyik dengan minuman bersoda dan nyanyian yang sepertinya tidak mau berhenti. Ketika saya datang mereka serentak berteriak, "Hei, loser telah datang!." Tapi tentu saja dengan semangat bercanda, olok-olok, dan rindu persahabatan yang meledak.  1 Meriam di tengah 3 Palu, karena ternyata yang tiga lagi adalah fans Fulham, Queen Park Ranger, dan Tottenham Hotspur. Tapi anehnya mereka juga hafal anthem The Hammers. Sementara kawan-kawan perempuan yang juga hadir, seperti biasa, tidak terlalu mengerti sepakbola, paling-paling hanya tahu beberapa pemain yang menurut mereka "lucu"---entah kenapa kadang-kadang para perempuan menyebut laki-laki keren dengan sebutan lucu. 

Tiba-tiba saya sadar bahwa para penonton bola yang hadir malam itu adalah para "hooligan" klub-klub yang bermarkas di London. Hanya pendukung Chelsea yang tidak ada. Ketika kick-off babak pertama dimulai, West Ham langsung menggebrak Arsenal, The Hammers terlihat senang dan bersemangat. Tapi nanti akan terlihat hasilnya, siapa sesungguhnya penguasa London.

***


05 October 2012

(Apakah) Deadlock?


Berikut berturut-turut saya ambil dari akun twitter yang bernama @SamadAbraham, tanggal 6 Oktober 2012, jam 09.25 wib  :

# Malam ini adalah titik nadir dalam upaya pemberantasan korupsi di negara kita ini.

# Kriminalisasi terhadap KPK sudah dilakukan bukan oleh oknum kepolisian tapi sudah oleh institusi POLRI itu sendiri.

# Tuduhan yang dilayangkan oleh Polri terhadap penyidik kami Sdr Novel Baswedan sungguh sangat mengada ada.

# Kriminalisasi terhadap Novel oleh Polri dilandasi oleh argumen dan logika yang menghina akal sehat publik.

# Posisi Presiden yang membiarkan Polri menyalahgunakan otoritasnya untuk meneror KPK adalah sangat disayangkan.

# Sumpah Presiden yang akan memimpin pemberantasan korupsi dan berada digarda depan dalam upaya tsb adalah omong kosong.

# Saya terus terang sudah geram terhadap perilaku Polri sbg institusi yang melemahkan pemberantasan korupsi dan Presiden yang diam saja.

# Jangan salahkan kami dan publik jika Presiden akan dikenang nantinya sebagai pemimpin yang melindungi koruptor dan cedera janji.

# Diamnya Presiden membuat saya curiga; jangan-jangan dia atau anggota keluarganya disandera oleh Polri terkait suatu kasus.

# Terimakasih tak terhingga kepada teman2 atas dukungannya selama ini. Mohon maaf saya tidak bisa menjawab satu persatu tweet teman2.

# Satu hal yang pasti. Kami tidak akn mundur sejengkal pun berjihad melawan koruptor walau kami diteror oleh polri atas sepengetahuan Presiden. 

***

"Lebih dari semua itu, tulisan-tulisan edisi khusus grunge ini hendak melihat ke belakang untuk membantu menentukan sebenarnya seberapa jauh kita berjalan. Mengapa teman-teman politisi muda kita memilih menjadi anggota partai dan menjadi korup ketika seharusnya mereka menolak mendapat reward apapun dari kerja mereka. Atau kalau itupun terlalu mahal mungkin kita bisa menilai seberapa jauh kita sebagai pribadi mengalami kemunduran. Tragis memang ketika kita hanya bisa mengingat hari-hari heroik itu telah berlalu dan semua menjadi normal kembali." 

Taufiq Rahman mungkin tidak perlu meralat catatannya pada edisi grunge itu, tapi kini nampaknya "sebuah karya" akan kembali lahir. Siapa pun berhak punya interpretasi terhadap kicauan-kicauan akun @SamadAbraham tersebut. Jika akun itu memang benar adalah akun resmi Abraham Samad sang ketua KPK 2011-2015, maka inilah tanda-tanda deadlock yang sangat telanjang. Muara akan kembali klasik, mungkin Mei 1998 akan kembali terulang. Manuver para anggota parlemen sangat memuakkan, mereka ramai-ramai lempar wacana tentang pencabutan undang-undang yang akan melemahkan KPK. Di mana epicentrum korupsi?. Semua lembaga negara berhak menyangkal, tapi argumentasi itu akan patah di meja tipikor.  

Generasi yang lahir di tengah kondisi ketika buku-buku sejarah berada di bawah pengawasan ketat rezim Orde Baru barangkali akan sangat jarang menemukan catatan tentang komunikasi frontal dan privat di antara para negarawan dan para pelaku sejarah kelahiran republik. Rasa-rasanya ketika masih duduk di bangku sekolah, saya tidak pernah menemukan dialog antara Soekarno dan M. Natsir seperti yang ditulis di buku "Natsir, Politik Santun di antara Dua Rezim" terbitan Kepustakaan Populer Gramedia. Berikut petikan dialognya :        

Soekarno : “Bung Natsir, kita ini dulu berpolemik, ya, tapi sekarang jangan kita buka-buka soal itu lagi.”

Natsir : “Tentu tidak. Dalam menghadapi Belanda, bagaimana pula?. Nanti saja.”


Dialog antara Natsir dan Soekarno di atas adalah awal dari hubungan yang mulai mesra antara kedua tokoh tersebut setelah sebelumnya sempat terlibat polemik tajam di surat kabar. Mereka berseberangan pendapat ihwal kiprah dan akibat yang ditimbulkan oleh Mustafa Kemal Ataturk yang menjadi aktor runtuhnya Turki Ottoman. Seperti yang ditulis tim TEMPO, “Soekarno menganjurkan faham nasionalisme dan mengkritik Islam sebagai ideology seraya memuji ‘sekularisasi’ yang dilakukan Mustafa Kemal Ataturk di Turki. Sedangkan Natsir menyayangkan hancurnya Turki Ottoman, sambil menunjukkan akibat-akibat negatifnya. Tulisan-tulisan Natsir jernih dan argumentatif.”

Masalalu sejarah kita bisa dilacak dari polemik-polemik yang argumentatif bukan dari hantaman-hantaman tajam seperti hari-hari belakangan ini. Hal ini seperti menggiring prediksi setiap pengikut berita bahwa komunikasi memang sedang menuju jalan buntu. Gambar mesra di atas bisa jadi tak lebih dari poster FTV di sebuah station televisi swasta. Polarisasi dari dulu sudah jelas, bahwa mayoritas simpati masyarakat tidak akan pernah berpihak ke lembaga-lembaga negara yang disinyalir menjadi ecpicentrum korupsi. Maka setiap usaha untuk melemahkan dan menggembosi KPK akan menimbulkan sentimen dan dukungan yang luar biasa besar dari masyarakat. 

Ketersediaan social media dewasa ini memang hampir tak terbendung, setiap orang berhak mengaksesnya, tak terkecuali ketua KPK. Namun tentu saja hal ini akan menjadi polemik, karena efek yang ditimbulkan di era multi interpretasi seperti sekarang bisa jadi dan kapan pun berpotensi menjadi letupan. Bukan melarang ketua KPK untuk berkicau di twitter, tapi mungkin bisa dibayangkan bagaimana besarnya simpati yang mengalir dari setiap orang yang membenci korupsi di negeri ini. Barangkali terlalu jauh, tapi kita belum lupa sepenuhnya dengan Revolusi Melati.

Di atas semuanya, kejujuran adalah jalan menuju tenteram bagi siapa saja yang menyisakan ruang bersih bagi nurani yang jernih. Dan simpati yang mengalir deras itu sesungguhnya adalah narasi besar tentang nurani yang tidak sepenuhnya menjadi jelaga. Meskipun mungkin pada akhirnya letupan itu hanya terjadi di social media, setidaknya sebuah benih "magnum opus" telah kita semai. [ ]     

      

03 October 2012

Ibu Segala Pelukan

Bagaimana pun, kamu adalah orang baik. Semoga segala kebaikan datang dari segala penjuru. Dan Oktober masih dingin oleh hujan, juga wanginya. [ ]

Bosan


"This morning I woke with no memory of the previous day."

***
Hanya poster film yang menempel di dinding kamar dan ragu-ragu yang mencekik. Bukan perkara mudah menulis untuk sebuah buletin remaja mesjid, meskipun hanya sebuah remaja mesjid yang letak geografisnya di kampung, jauh dari peradaban kesadaran tentang membaca dan menulis. Semaju apa pun akses informasi dan komunikasi menembus jantung masyarakat urban, selama kesadaran membaca dan menulis berada di titik nol, maka peradaban tidak bisa benar-benar ditegakkan. Barangkali lebih mudah beretorika dan beragitasi daripada menulis sesuatu yang akhirnya bisa jadi menjadi boomerang. Seperti memakan duri dan nyangkut di tenggorokan ketika apa yang ditulis ternyata jauh dari kenyataan. Maka di titik ini para pengkhotbah adalah peserta uji nyali. Bagaimana tidak, lidah-lidah penebar kata-kata kebenaran suatu hari nanti bisa jadi membunuh diri sendiri. Memang bukan monopoli para ulama, tapi kerak dosa yang begitu pekat sepertinya tidak pantas jika harus menuliskan cahaya, seredup apapun itu. Inilah horror yang sebenarnya. Jika saja tidak pernah ada kata-kata : “Kalau itu telur, meskipun dari ayam, maka ambillah.” Tapi kata-kata itu pun tidak sepenuhnya menghapus horror ini. Dengan rasa takut yang menjajah, akhirnya saya memberanikan diri untuk menulis.

***
"………………………………………………………………………………............…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………"    
***
Beberapa paragraph tersebut telah membuatku menggigil dan bercucuran keringat. Catatan tersebut tak lebih dari sebuah omong kosong si mulut besar. Ya, big mouth strike again. Saya menggigil karena saya tahu, bahwa setelah menulis beberapa paragraph tersebut saya tidak akan ke mana-mana, tetap saja seperti ini, tetap bergradasi dan tidak pernah tegak dalam satu warna yang tegas. Mungkin saya terlalu pesimis, tapi kenyataan seringkali menunjukkan bahwa pesimis dan realistis hanya dibedakan oleh selaput tipis. Saya bosan. Bosan yang menekan mendesak. Sementara ini saya ingin berhenti menulis. [ ]  

 

02 October 2012

ke sana

"ke tempat ibu segala pelukan ku menuju...." [ ]

Garis Batas Fiksi

"How many more lies that should blind our eyes?
We can do something to our life
All this time we’re blind." 

***

Asan, orang yang sempat saya cacat dalam dua buah cerita pendek, tiba-tiba datang di personal message sebuah jejaring sosial; bertanya soal nomor yang bisa dihubungi. Dia yang sudah lama terapung-apung bekerja di kapal pesiar tiba-tiba saja pulang dan sekarang kerja di bilangan Kelapa Gading. Tak lama kemudian ponsel berbunyi, ya ini suara. Saya setengah tidak percaya. Begitu cepat waktu berlalu, rasanya baru kemarin, di 2009 itu saya sempat numpang tidur di kosannya di daerah Tebet. Pagi-pagi sarapan secangkir Good Day dan suara Green Day. Lalu dia tidur lagi sebab kerjanya malam hari, sementara saya meluncur ke GI meneruskan JIFFest di hari kedua. 

Kemarin seorang tamu datang, tapi entah siapa. Rasa-rasanya saya tidak punya musuh, tapi tiba-tiba diserang dengan deretan kalimat ambigu. Sekilas seperti karakter tokoh di sebuah cerita pendek Budi Darma; absurd. Tapi seru juga, rasanya seperti punya kawan baru. Meskipun diolok-olok sebagai orang yang berlindung di balik tameng kata-kata, dan mungkin dia ada benarnya juga, tapi memang inilah tempatnya, tempat saya berteduh dikala hati bernuansa biru. Tentang persepsi, dari dulu saya tidak pernah berubah. Orang mau bicara apa pun, bagi saya itu menjadi sekunder bahkan tak berarti apa-apa.

Di gang yang busuk itu, tempat puluhan keluarga menyambung hidup, pada sebuah sore terdengar suara seorang ibu membentak anaknya dengan kata-kata kasar. Madrasah pertama dalam kehidupan itu membakar sumbunya sampai menyentuh titik ledak. Barangkali madrasah pertama sedang jengkel atau marah, tapi kata-kata kasar itu akan sangat manis terdengar di telinga siapa pun yang merasa punya atau pernah mempunyai seorang ibu. Ingatan akan lari ke sana, ke saat-saat ketika ibu dengan sangat rajin membaluri kita dengan doa-doa dan pelukan paling hangat di dunia.

Pada sebuah pagi di bus Transjakarta. Seorang pemuda bersitegang dengan seorang perempuan cantik. Yang diributkan adalah tempat duduk, karena seperti biasa bus penuh. Si cantik minta duduk, tapi si pemuda tak memberinya. Si cantik tidak sedang sakit, tidak sedang hamil, tidak cacat, dan tentu saja masih muda. Lalu alasan apa yang membuat pemuda itu harus berdiri dan membiarkan tempat duduknya diambil orang?. Oh mungkin karena alasan gender?, tapi bukankah sekarang sudah polusi oleh istilah-istilah emansipasi dan kesetaraan gender?. Jangan salahkan pemuda itu kalau dia tidak bisa romantic. Karena bisa saja dia bergaya tengik, menjelma menjadi pahlawan kesiangan dan pamrih dibayar tunai oleh sebuah perkenalan. 

Kadang-kadang saya merasa garis batas fiksi mulai banyak yang memuai. Seperti sebuah gegar budaya yang datang tiba-tiba. Seorang konservatif yang tidak pandai berdiplomasi bisa saja bersikap total, tapi dia tidak akan pernah memilih menjadi pengemis. Potret ini seperti roman-roman di zaman Balai Pustaka, terdengar sangat old skool. Padahal sekarang, seperti kata Efek Rumah Kaca, sudah berada di titik “kenakalan remaja di era informatika”. Tarik-menarik lintas batas fakta dan fiksi ini menggiring saya ke sana, ke spirit baru yang mengapung. Jauh melebihi Alice in Woderland ataupun film pertama Mouly Surya. [ ]