09 December 2013

Nasib Kata


Pada peringatan 100 tahun Albert Camus baru-baru ini, di linimasa jejaring sosial tiba-tiba ramai dengan kata “flaneur”. Flaneur adalah bahasa Prancis yang artinya terkait dengan orang yang suka jalan-jalan, keluyuran di dalam sebuah kota tanpa tujuan yang begitu pasti. Camus adalah seorang flaneur, ini diperkuat dengan banyaknya foto dia yang diambil di ruang terbuka; trotoar, misalnya. Seseorang menulis di twitter untuk mempermudah memahami arti kata flaneur dengan mengutip puisi Chairil Anwar : 
Flaneur, pengeluyur mana-suka, pelancong iseng. Mereka pasti ngeh dengan baris dari Chairil ini : “Waktu jalan, aku tidak tahu apa nasib waktu."
Ihwal kenapa Camus begitu ramai dibicarakan di linimasa jejaring sosial di Indonesia, barangkali tidak cukup mengagetkan, setidaknya jika membaca kembali sebuah tulisan Goenawan Mohamad (selanjutnya ditulis GM) yang terhimpun di buku Setelah Revolusi Tak Ada Lagi. GM menulis bahwa ketika Asrul Sani pada tahun 1950-an berkunjung ke Eropa, dia menulis sepucuk surat yang kemudian dimuat di sebuah majalah kebudayaan di Indonesia tentang apa yang dialaminya. Dalam surat itu Asrul Sani menyebut Camus, dia terpikat dengan pemikirannya. Beberapa waktu kemudian Asrul Sani menerjemahkan sebuah lakon karya Camus : Caligula. Selain itu, La Paste, novel Camus, terbit di tahun 1984 yang diterjemahkan oleh Nh. Dini, salah seorang sastrawan Indonesia.

Flaneur
, hanyalah sisi lain dari Camus, atau barangkali sisi lain yang hanya diperbincangan di Indonesia. Tapi ada yang menarik, setidaknya dalam imajinasi saya; jika linimasa diibaratkan kota, dan kata adalah manusia, kira-kira bagaimana nasib Kata (dengan ‘K’ besar)?.

Karlina Supelli, dalam Pidato Kebudayaan yang disampaikan pada tanggal 11 November 2013, di Teater Jakarta, menyebutkan bahwa “informasi menggantikan kebenaran.” Kata, sebagai alat untuk menyampaikan informasi (benar ataupun salah) dan kebenaran, di titik ini bisa dimaknai lebih dalam. Dia bisa saja hanya sehimpunan ucap “aborsi” yang tertulis, terhambur prematur, atau muntah begitu saja tanpa terbebani apa pun yang mengalir dari lereng pikiran dan pemahaman. Dia bisa juga menjadi “seorang”
flaneur di linimasa berkapasitas 140 karakter. Ya, di kota yang sempit itu, dia bisa melancong iseng, bebas, sekaligus terbatasi.

Jika menilik ke beberapa linimasa jejaring sosial yang beragam, ada satu kecenderungan bahwa Kata sebagai pelaku penyampai komunikasi, kerap bernasib lemah. Dia seringkali hanya dipakai untuk menyampaikan komentar (sebuah pengertian untuk sesuatu yang kurang menitikberatkan gagasan), curhat, keluhan banal, dan adu argument tak lengkap (twitter menyebut ini dengan
‘tweetwar’).

Salahsatu pokok dari delapan poin Siasat Kebudayaan yang disampaikan Karlina Supelli adalah;
“Membangkitkan kembali kebiasaan berpikir serius, bukan sekadar melempar komentar.” Jika ‘berpikir serius’ diidentikkan dengan kemauan untuk memilih kata dengan baik, berusaha menyampaikan gagasan dengan jelas, dan ada jeda untuk berpikir yang dalam dan terukur, maka barangkali mayoritas lalulintas linimasa memposisikan sebaliknya.

Dalam ruang publik Kata, sebelum kita larut dalam linimasa seperti sekarang, kita terlebih dahulu mengenal yang namanya blog. Meskipun bisa diakses oleh siapa saja seperti halnya jejaring sosial yang dikenal belakangan, namun blog lebih memberikan ruang untuk menuangkan gagasan secara lengkap. Kalau pun “gagasan” dianggap terlampau “mengawang-awang”, setidaknya curhat pun bisa lebih leluasa mengalirkan hujan emosi dan sensasi-sensasi. Blog memberikan ruang untuk menakar Kata, di sana segala yang ingin disampaikan bisa dihela perlahan-lahan. Jika linimasa adalah jalan, maka blog ibarat rumah. Jika linimasa arena berlari, maka blog tempat istirahat untuk memulihkan energi. Jika linimasa arus deras, maka blog aliran yang bergerak perlahan. Bila linimasa tempat rantau, blog adalah kampung halaman.


Mengertilah kita, kenapa Irwan Bajang--seorang pegiat buku--membuat semacam proyek “mudik” ke blog. Dia mengajak siapa saja yang “pernah” punya blog, untuk kembali ke rumah lamanya untuk sekadar mencabuti rumput liar di halaman rumah. Saya tidak bisa membuktikan dengan angka, namun sekarang ini meninggalkan blog dan bergiat di linimasa bukan lagi sebuah gejala, namun barangkali sudah menjadi budaya. Kita dengan begitu masif menjelma menjadi penikmat respon cepat yang bermujud dalam hujan komentar dan perang argumentasi tawar.


Seorang kawan bilang, “dulu beberapa saat setelah bangun tidur, kita biasanya menulis di blog, sekarang langsung berselancar di linimasa.” Ibarat panggung, blog tidak terutama dibangun dengan gebyar penonton, tempik-sorak, dan hingar-bingar tetabuhan. Dia laksana mimbar kuliah subuh di mula pagi, tempat orang-orang meniti jalan sunyi, mengais sebisa-bisa “arti” yang tersembunyi. Tidak semua memang, sebab di perpustakaan digital raksasa bernama Google pun kita bisa dengan mudah menemukan blog yang berisi cerita-cerita pembangkit birahi. Namun justru semakin menguatkan, bahwa blog bisa sangat leluasa untuk mendedahkan hasrat purba sekalipun. Sebagaimana rumah, kita pun mengenal yang namanya rumah bordil.


Perkembangan piranti digital yang bersemayam dalam gadget, yang kita mengikuti (salahsatunya) untuk sekadar berkomunikasi dalam lautan linimasa, mencuatkan satu identifikasi; bahwa hal yang paling dekat dengan kita, hari ini, adalah Kata. Frase “siasat kebudayaan” sangat mungkin untuk diawali dari yang paling dekat itu. Kata adalah jalan, yang siapa pun bisa menempuhnya.


Dalam dua ruang yang berbeda, blog dan linimasa, setiap kita dan Kata selalu punya pilihan; menjadi
flaneur atau merawat rumah sendiri. Atau mungkin keduanya; keluyuran dulu sepuasnya, untuk kemudian pulang meredakan lelah. Dan di atas keduanya, nasib Kata dipertaruhkan. Dengan permintaan maaf kepada Chairil, saya ingin menutup catatan dengan ini: Waktu menulis, aku tidak tahu apa nasib kata. [irf]


itp, sumur batu

18 October 2013

Kau Pun Tahu

---Acep Zamzam Noor---

Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Juga tak ada lagi kerinduan
Bintang-bintang yang kuburu
Semua meninggalkanku
Lampu-lampu sepanjang jalan
Padam, semua rambu seakan
Menunjuk ke arah jurang

Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Juga tak ada lagi nyanyian
Suara yang masih terdengar
Berasal dari kegelapan
Kata-kata yang kusemburkan
Menjadi asing dan mengancam
Seperti bunyi senapan

Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Juga tak ada lagi keindahan
Kota telah dipenuhi papan-papan iklan
Maklumat-maklumat ditulis orang
Dengan kasar dan tergesa-gesa
Mereka yang berteriak lantang
Tak jelas maunya apa

Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Juga tak ada lagi persembahan
Aku sembahyang di atas comberan
Menjalani sisa hidup tanpa keyakinan
Perempuan-perempuan yang pernah kupuja
Seperti juga para pemimpin brengsek itu –
Semuanya tak bisa dipercaya

Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Juga tak ada lagi yang perlu dinyatakan
Pidato dan kentut sulit dibedakan
Begitu juga memuji dan mengutuk
Mereka yang lelap tidur
Bangunnya selalu kesiangan
Padahal ingin disebut pahlawan. [ ]

Malika Hamoudi - Acep Zamzam Noor



Kulihat jemarimu yang lentik, dan kusaksikan di langit
Arakan awan mengirimkan senja yang lain
Ke arah kita. Ada warna merah, warna biru yang pupus
Bongkahan-bongkahan kelabu yang melayang jauh
Dari jendela, kulihat sungai Siene yang membelah kota
Dengan jembatan-jembatannya yang penuh ukiran
Seperti rambut ikalmu. Lalu dari puncak apartemen tinggi
Kita berloncatan, meliuk-liuk dan berteriak di udara:
Senja pecah menjadi ribuan isyarat sunyi
Yang mungkin bisa diterjemahkan sebagai hasrat
Atau niat tersembunyi untuk bunuh diri

Masih kuingat tarian perutmu, dan kubayangkan sosokmu
Yang ramping, rautmu yang runcing, dengan alis Aljazairmu
Yang menikam seorang penyair. Di gerbong kereta api
Di sepanjang terowongan yang menembus tubuh tua kota ini
Ada yang menggelepar karena kehilangan kata-kata
Ketika sunyi menyediakan sebuah beranda merah muda
Yang bernama kebisuan. Lalu apakah arti percakapan kita
Dari halte ke halte, menyusuri jalan-jalan yang berliku
Keluar masuk restoran, museum atau toko buku
Sedang yang kutemukan selalu bukan ruang? Demikianlah
Aku mengerti gerak liar sang takdir, hukum awal dan akhir
Pengkhianatan yang kemudian menjadi monumen terkenal
Seperti Bastille yang ramai dikunjungi orang

Di bawah cahaya lampu merkuri, di antara tiang-tiang marmar
Kita merasa lebih tua dari usia bumi yang sebenarnya
Rautmu yang runcing, tatapanmu yang tajam dan berkilat
Seperti ingin membunuhku. Tapi ajal telah beranjak ke timur
Ke lereng-lereng perbukitan, ke Montmartre yang murung
Kini tanganku menyentuh dagumu pelan dan tiba-tiba kurasakan
Sebuah ketajaman yang lain lagi:
Mengapa kecantikan yang luar biasa selalu menghunuskan
Pisau? Seperti senja yang menancapkan satu jawaban
Yang tak mungkin bisa kuucapkan lagi padamu
Tak mungkin bisa kutuliskan di atas pakaian dalammu. [ ]


Mencari Senyum Tuhan

Saya lupa lagi tanggalnya, hari itu sedang sabtu. Depok selepas maghrib, dan lampu jalan masih digoda rintik hujan yang menyejukkan bumi. Perut saya digoda lapar, untuk kemudian bersegera membeli mie Aceh yang kurang mantap, tapi porsinya setelan untuk berantem. Kawan saya, si Joni terkapar kekenyangan, lalu menghisap cigaret produksi Philip Morris. Aroma mie masih setia menampar hidung, sebab tempat penggorengannya tidak jauh dari tempat duduk kami. Uang sedang tidak banyak, tapi masih ada. Masih bisa buat membeli beberapa buku tipis yang harganya tidak bikin sesak. Sambil ngobrol saya lempar wacana : "Jon, bagaimana kalau sekarang kita belanja buku?". Joni, kawan saya yang lumayan kutu buku itu langsung menjawab : "Balanja di mana Wa?, geus peuting kieu". Pasti bukan karena lupa pada Gramedia beliau menjawab begitu, pasti karena harga buku-buku di Gramedia yang kurang bersahabat dengan kantong mahasiswa. "Di Eureka Jon !!". Dia yang kuliah di Depok, yang jaket almamaternya berwarna kuning, yang kostannya tidak jauh dari jalan Margonda, adalah dia yang tidak tahu bahwa di jalan Margonda ada toko buku bernama begitu, bernama "Eureka" itu. Lalu kami tidak memperpanjang pembicaraan, karena lihatlah motor Ninjanya yang berwarna merah langsung membawa kami ke Eureka.

Seorang kasir langsung menyambut kami dengan ramah, dengan senyum yang cukup bagus, walaupun hari sudah malam. Sepi tidak ada pengunjung, hanya kami saja yang kemudian melihat-lihat jejeran buku di rak yang bersih dan rapi. Buku yang dijual discount semua, bikin saya berselera berlama-lama. Si Joni mencari buku inspirasi katanya, lalu dia mengacak-ngacak novel dan fiksi yang sejenisnya. Saya mencari buku yang discountnya paling besar, biar nanti kalau membayar paling murah. Ada saya lihat buku agak tipis dengan sampul yang kurang menarik, tapi penulisnya bikin saya akhirnya mendekati.

Tiba-tiba saya ingat beberapa waktu ke belakang, waktu itu masih Mts, sekolah Islam setara dengan SMP. Bapak di rumah berlangganan koran Republika, saya pun ikut-ikutan baca, baca sambil tidur-tiduran, akhirnya mata saya minus tiga. Bapak rajin betul baca koran, terutama tulisan tentang politik dan agama. Di halaman paling belakang, ada sebuah rubrik yang bernama "Resonansi". Tulisannya bagus-bagus kata Bapak, seperti mengajak saya untuk membaca rubrik itu. Lalu saya coba, lalu saya kurang mengerti, bahasanya belum terjangkau anak seusia saya. Tapi saya masih ingat, salah satu penulisnya yang rajin kirim tulisan adalah Miranda Risang Ayu. Nama yang bagus gumam pikir saya waktu itu.

Si Joni masih sibuk mencari novel yang sesuai dengan kondisi kejiwaannya, dan hujan masih gerimis menyelimuti tanah Depok dan sekitarnya, ketika saya akhirnya membeli "Mencari Senyum Tuhan", sebuah buku karya Miranda Risang Ayu.

Niatnya mau berhenti dulu membeli buku, tapi ternyata tidak semudah itu. Sampai jumpa di toko buku selanjutnya. InsyaAllah. [ ]

Orang-orang Bloomington

Apakah kau pernah punya tetangga yang cerewet, usil, jorok, nyinyir, menjengkelkan, menyebalkan, dan sok tahu?. Bagaimana perasaanmu punya tetangga-tetangga seperti itu?. Tidak nyaman bukan?. Kalau kau belum punya, mari kita jalan-jalan ke Bloomington bersama Budi Darma. Bersama penulis yang tidak jarang sangat tega memperlakukan tokoh-tokoh ceritanya. Bersama penulis yang telah melahirkan beberapa karya : Rafillus, Olenka, Fofo Senggring, Orang-orang Bloomington, dll. Saya dapat buku ini di Rumah Buku (komunitas pecinta buku dan film), di Jalan Hegarmanah-Setiabudi (yang tidak tahu Bandung, mohon maaf). 

Buku kumpulan cerpen ini akan sangat terasa bedanya, oleh mereka yang berbanyak membaca cerpen karangan penulis-penulis lain. Kalau kau pernah baca cerpen-cerpennya Joni Ariadinata, Hamsad Rangkuti, Helvy Tiana Rosa, Gola Gong, Seno Gumira Ajidarma, AA. Navis, Djenar Maesa Ayu, dan yang lainnya, maka kau akan tahu bahwa Budi Darma membangun karakter tokohnya dengan sangat kuat. Dia perlakukan tokoh-tokohnya menjadi orang-orang yang menjengkelkan, menyebalkan, dan karakter-karakter yang lain. Orang mungkin akan berpikir bahwa si penulis, si Budi Darma ini adalah seorang yang sifatnya sama dengan tokoh-tokoh yang dia bangun, padahal kata orang-orang yang kenal dengan beliau, dia adalah seorang yang low profile, kontradiktif dengan tokoh-tokoh rekaannya. Kumpulan cerita ini menurut saya bisa menjadi sebuah bahan otokritik : apakah kita sering usil, cerewet, dan membuat orang lain jengkel?. Selamat bercermin.

Setelah selesai membaca buku ini, saya sempat bersemangat menulis cerpen dengan karakter tokohnya meniru gaya Budi Darma, tapi hasilnya hanya beberapa paragraph : “Penghuni Kost Nyonya Endeus” dan “Olva Mengintip di Jendela”, yang saya posting di uwa82.multiply.com, setelah itu saya belum pernah menulis cerpen lagi.

Budi Darma membuat karya ini sewaktu beliau menempuh studi di Bloomington, jadi semacam oleh-oleh dari hasil “jalan-jalan”-nya di negeri orang. Sepulang dari luar negeri, beliau sempat mengajar di beberapa perguruan tinggi di Jawa Timur, dan di peta Sastra Indonesia, beliau mendapat tempat yang cukup terhormat. [ ]

Mencari Pahlawan Indonesia

Buku ini hilang. Kehilangan buku adalah salah satu seni dalam usaha belajar mencintai tulisan. Jadi tak perlulah kau menangisi buku-buku yang hilang itu, bukankah kau awalnya tidak punya apa-apa?. Tapi memang harus diakui, bahwa orang yang memperlakukan buku dengan tidak bertanggungjawab, bukanlah orang yang nyaman untuk diajak berkawan. Tapi, sikap apa yang lebih baik selain mema’afkan?. Kawan adalah nutrisi abadi, yang kalau dijadikan permen, maka akan saya habiskan sedikit demi sedikit, biar tidak cepat hilang.

Di majalah Tarbawi, di halaman paling belakang, ada rubrik yang bernama Thumuhat (Gelora) yang diisi oleh tulisan-tulisan Anis Matta. Dari kumpulan kolom ini, kini sudah terbit dua buku : “Mencari Pahlawan Indonesia” dan “Serial Cinta”, saya sedang membicarakan yang pertama. Serial kepahlawanan yang kemudian dibukukan ini, sudah lama saya incar, sebab banyak sekali edisi yang saya tidak mengikutinya alias ketinggalan. Maka bergiatlah saya ke toko buku, tapi hasilnya nihil. Sampai akhirnya sebuah poster memberitahu : Pameran Buku Bandung di Jalan Braga.

Mencari buku itu, benar-benar seperti mencari pahlawan Indonesia masa kini : cukup susah. Mungkin jalur distribusinya kurang kuat, makanya bisa begitu. Secara fisik, ukuran bukunya kecil, sehingga harganya pun tidak begitu tinggi, kalau gak salah, harganya 25 ribu. Tidak lebih dari satu hari, buku itu habis saya baca. Lalu disimpan di lemari excel, lalu kamar kostan di Ciwaruga diserang oleh banyak betul mahasiswa : seremonial ngopi, ngerokok, nonton, game, baca buku, nyontek tugas, main gitar, nyanyi-nyanyi, dan buang abu rokok ke atap sebuah sekolah dasar. Dan hilanglah buku itu entah ke mana.

Tapi saya masih ingat : kumpulan tulisan Anis Matta itu seperti menyodorkan sebuah proposal, bahwa tugas kita bukan hanya sebagai penonton sejarah, tapi juga harus sebagai pelaku sejarah. Mencari pahlawan sesungguhnya pencarian ke dalam diri sendiri. Watak dan karakter seorang pahlawan bukanlah sebuah mimpi yang menggantung di langit tinggi, tapi pembangunan kesadaran di semesta diri. Dengan bahasa yang padat dan pilihan kata yang bagus, buku ini bisa menjadi sumbu, sebagai awal sebelum ledakan.

Apakah kau pantas menjadi pah(a)la-wan?. [ ]

The Hidden Face of Iran

Di Sukajadi ternyata ada semacam pusat jalan-jalan, pusat belanja buat orang-orang yang punya duit, namanya PVJ, singkatan dari apa itu? : silahkan cari sendiri. Saya juga pernahlah ke sana, di suatu siang yang cukup terik, waktu liburan kerja sedang datang. Saya lihat orang-orang banyak betul yang belanja ini-itu, ada juga yang duduk-duduk manis menikmati minuman dingin di tempat-tempat bagus. Saya jalan sendirian mencari toko buku, tapi tidak tahu letaknya di mana, lalu bertanyalah kepada satpam yang sorot matanya penuh kecurigaan. "Oke pak, terimakasih !", lalu saya turun ke bawah, ke toko buku itu. Amboi, ternyata selain toko buku, di bawah juga sedang ada pameran buku yang sedang berbanyak discount !!. Kemudian saya tenggelam.

Stand-stand penerbit buku berjajar panjang seperti orang sedang antri di ATM. Di setiap stand saya berhenti : lihat-lihat, siapa tahu ada buku yang mantap. Udara dingin setia menyapa, maklum AC berhembus kencang. Seorang ibu membawa semacam keranjang, isinya buku melulu, mungkin jumlahnya sudah sebelas buku, tapi dia masih saja mengaduk-ngaduk buku yang lain. Saya sempat berpikir : mungkin si ibu ini mau jualan buku, mau ambil untung dari selisih penjualan, ah tapi kayaknya gak mungkin. Di sebelahnya ada anak kecil, mungkin anaknya, sebab dia ikut terus ke mana si ibu pergi. Sempat saya dengar dia berucap pada anak kecil itu : "Ayo ade, kamu mau buku yang mana?, ambil aja, mama aja udah ambil dua belas, masa ada belum satu pun". Ampun lur, rakus betul si ibu ini sama buku, kayak beli sayuran aja. Pasti di rumahnya sudah ada perpustakaan, begitu sangkaan saya.

Hari sudah mulai sore, tapi saya belum beli buku satu pun. Setengah stand sudah saya kunjungi, walau pun sambil berdesakan dengan pengunjung yang lain. Banyak betul buku-buku baru, sampai saya pusing harus ambil yang mana, mau ngeborong tidak enak hati, nanti seperti pemborosan kesannya. Lagi pula duit bukan buat beli buku saja, masih ada pos-pos lain yang memerlukan suntikan dana : macam makan-makan dan bayar kostan. Lalu saya datangi satu stand yang menggelar jualannya lesehan alias tidak pake rak, macam orang jual gudeg. Dan bertemulah saya dengan buku itu.

The Hidden Face of Iran adalah catatan perjalanan sebuah keluarga warga Amerika ke jantung kota Iran. Pastilah buku ini terjemahan, karena saya tidak sanggup kalau isinya berbahasa Inggris, payah betul soalnya. Judul aslinya adalah "Searching for Hassan; a journey to the heart of Iran". Saya tidak mau meresensi isinya, karena saya tidak bisa. Tapi isinya lumayan rame, sampai saya sudah khatam dua kali, dan kerap mengutip kata-kata dari buku ini. Sampai seorang kawan sempat berucap : "dasar kau plagiat !!". [ ]

Tuhan Maha Tahu, Tapi Dia Menunggu

Braga. Buku sedang dipamerkan di situ. Sedang dijual murah. Sedang banyak pengunjung, yang membuat ruangan di sebuah gedung menjadi gelap, seperti mau turun hujan. Segan juga saya mau masuk, belum di dalam gerahnya sudah terasa. Lebih baik minum air dingin dulu, ditemani batagor di depan Bank Mandiri, di dekat rel kereta yang memanjang ke arah Kebon Kawung. "Sabaraha mang?", sambil mengeluarkan dompet. " Genep rebu A", menjawab cepat. Transaksi selesai, meninggalkan perut yang kurang kenyang, sebab batagornya sedikit.

Kantong kecil sudah dari tadi di punggung, lalu saya masuk. "Assalamu'alaikum", saya kasih salam penghuni gedung, tapi tak ada yang menjawab, mungkin karena suara saya ditelan gemuruh hiruk-pikuk orang-orang yang sibuk memilih buku. Betul kan kata saya tadi, gerah betul di dalam gedung, tapi pantang mundur, maju terus. Dari banyaknya orang, tak ada satu pun yang saya kenal, mungkin selama ini saya kurang gaul. Semakin ke dalam semakin berisik oleh banyak suara : anak-anak TK sedang ada acara di sana, di bimbing ibu-ibu gurunya yang sudah pada tua. Mungkin mau memperkenalkan buku pada usia sedini itu, tapi apa boleh buat yang ada mereka berlari-lari main kucing-kucingan dan petak umpet, kasihan ibu gurunya jadi kerepotan.

Di lantai atas banyak dijual buku-buku "merah" yang kurang laku, hanya satu-dua orang pembelinya. Saya pun tidak beli, malas. Waktu itu novel yang judulnya ada kata "cinta" sedang laku-lakunya, tapi saya tidak beli, sudah punya. Andrea Hirata sedang ngetop, bukunya laku bagai nasi uduk di depan kostan Sumur Batu, yang ini juga tidak saya beli, sudah dua bulan nongkrong di kostan. Lalu saya beli buku apa?.

Tolstoy bikin buku : Tuhan Maha Tahu, Tapi Dia Menunggu. Lumayan tebal, tapi untunglah kena discount. Kumpulan ceritanya panjang-panjang, dan kental aroma religi. Sampai sekarang belum selesai saya baca, karena keburu berpisah : dia di Bandung, saya di Jakarta. Mudah-mudahan dia tidak dimakan serangga dan tidak dikencingi tikus. [ ]

Hikari No Michi

Apa yang kau ketahui tentang Jepang?, tentang negeri Matahari terbit itu?. Mungkin anak-anak akan segera menyebut Doraemon dan kafilah tokoh kartun lainnya. Orang-orang tua yang masih tersisa dari zaman penjajahan, mungkin akan teringat kembali pengalaman pahit tentang Jugun Ian Fu. Dan anak-anak muda yang hidup di zaman facebook, mungkin akan bersicepat menyebut nama bintang film porno yang kabarnya akan datang ke Indonesia, namanya tak usahlah saya sebutkan : pasti kalian sudah hafal di luar kepala. Ternyata Jepang tidak sekedar kartun dan bunga Sakura, tapi ada juga sisi lain dari kehidupan masyarakatnya yang diceritakan oleh buku yang belum lama saya beli.

Hari itu Jakarta seperti biasa sedang panas, bikin malas untuk keluar kamar. Cucian sudah dari pagi di jemur, dan menyisakan saya yang tidak ada kerjaan selain membaca buku-buku usang, buku-buku yang sudah lama nongkrong di lemari. Lalu ide datang menghampiri : bagaimana kalau saya mencari hembusan AC, mungkin akan segar betul di tengah udara yang garang memanggang. Dan sudah dapat ditebak ke mana saya akan pergi? : Gramedia Cempaka Mas. Lihatlah saya meluncur ditemani kantong kecil yang setia di punggung.

Monster oranye sudah menunggu di mulut jalan, penumpangnya kusut semua, mungkin mengutuki hari yang panas dan berdebu. Jakarta semakin sesak saja oleh muka-muka seperti itu. Cukup ongkos seribu rupiah, dan sampailah sudah. Bukan ITC namanya kalau sepi, karena lihatlah orang-orang sibuk bertransaksi. Ada yang menjual dan membeli. Ada yang untung dan merugi. Saya menerobos lautan manusia dan segera mencari tangga ke bawah, ke hembusan AC yang dituju itu.

Sebenarnya hari itu tidak berniat membeli buku, mungkin sama juga dengan kebanyakan orang yang hanya sibuk membaca, bagai toko buku itu perpustakaan umum saja. Buku-buku baru yang bagus-bagus seperti semangkuk sop buntut yang menggoda perut-perut lapar, mereka bertumpuk dan tersenyum sinis kepada para penggemar buku yang berkantong tipis. Saya datangi mereka dan saya berbisik : “Covermu saja kau bagus-baguskan, sampai hargamu mahal dibuatnya, padahal isi kau hanyalah tulisan-tulisan kering dan hambar”. Lalu saya tinggalkan mereka, dan menuju buku-buku novel yang warna-warni covernya, bagai kembang gula yang sering dikerubuti anak-anak.

Buku yang saya beli bukanlah cerita fiksi, meskipun berada di rak novel. Mungkin karena para penulisnya adalah anggota Forum Lingkar Pena, yang mayoritas sering menulis cerita fiksi. Hikari No Michi : adalah kumpulan cerita tentang proses mendapatkan hidayah yang dialami para muallaf Jepang, tentang mendapatkan jalan terang dalam naungan Islam. Selain itu, diceritakan juga bagaimana kehidupan sehari-hari Muslim Jepang yang banyak menikah dengan orang Indonesia, pernikahan lintas negara, tapi dalam satu ikatan yang kuat, yaitu ikatan akidah. Di negara yang budaya minum sakenya sangat kuat, mereka berjuang mendapatkan dan mempertahankan akidah. Begitulah kira-kira isinya.

Saya ambil satu dan segera meluncur ke kasir. Saya harus bayar, biar tidak ditangkap satpam. Dan hembusan AC semakin dingin. [ ]

Khotbah Di Atas Bukit

Alangkah tidak enak menjadi pengangguran, waktu seperti berjalan cepat, meninggalkan saya yang tercecer di belakang, tanpa pekerjaan dan penghasilan. Orang-orang berlomba saling menyalip nasib, sementara jutaan yang lain berdiri di pinggiran zaman, hanya sebagai penonton. Tapi sejak kapan rejeki hanya diberikan kepada orang-orang yang bekerja saja?. Dan di suatu hari yang sangat lembab, di antara deret waktu dalam masa pengangguran, saya masih punya uang, masih bisa membeli buku di kota Bogor. Curah hujan sangat tinggi waktu itu.

Turun dari L 300, langsung singgah di Mesjid Raya Bogor, berlari sambil dihujani air dan angin yang berhembus kencang. Di emperan mesjid, penuh oleh orang-orang yang berteduh, dan hujan seperti tidak memberi tanda-tanda akan cepat berhenti. Setengah jam sudah lewat, tapi langit masih setia menyiram bumi. Jejentik jam terus berdetak, seperti menghitung setiap tetes air yang beradu dengan tanah dan daun. Waktu hujan mulai reda, tukang soto dan tukang bakso diserbu pembeli. Saya menimbang kantong, menghitung uang yang tersisa : mudah-mudahan ada sedikit dana untuk menentramkan perut yang minta jatah. Tapi sepertinya uang yang tersisa hanya cukup buat beli sebuah buku saja. Daripada tergoda, akhirnya saya berlari menuju Gramedia.

Buku Khotbah Di Atas Bukit, karya Kontowijoyo. Kata orang-orang, kata para penikmat sastra, buku ini katanya bagus dan menarik. Tapi saya merasakan sebaliknya : ceritanya tidak menarik dan monoton. Manusia memang punya seleranya masing-masing, lagi pula saya bukan orang sastra, maka wajar saja ; Barman adalah seorang duda yang sudah pensiun dari pekerjaannya. Kemudian dia pergi ke sebuah bukit dan diam di villa. Di sana dia mengalami banyak peristiwa spiritual dan hal baru yang belum pernah sama sekali dia alami, seperti punya banyak pengikut dan bertemu dengan orang misterius. Tentu akan cukup melelahkan kalau saya ceritakan semuanya, jadi cukuplah demikian.

Kontowijoyo telah menghabiskan uang saya, yang tersisa hanya ongkos untuk pulang ke Jalan Baru. Sementara hujan kembali turun dan angin terus menderu. [ ]

Norwegian Wood

Haruki Murakami penulisnya, dari namanya pasti sudah ketahuan dia orang mana. Saya beli tanggal 1 Mei 2006, sehari sebelum meluncur ke Cengkareng, sehari sebelum bekerja sebagai jongos. Bandung dingin dan berkabut, di jalan Wastukencana saya menenteng buku bersampul putih itu, menunggu angkot Kalapa-Ledeng.

Tadi siang saya sudah pamitan pada kawan-kawan di Sarijadi. Pada kawan-kawan yang masih menganggur, menunggu rahmat kerja di balik tumpukan koran hari sabtu dan rokok yang jarang terbeli sebungkus. Tapi keberangkatannya diundur, kehabisan mobil katanya. Perusahaan travel laku keras, satu kursi pun tidak tersisa buat calon jongosnya pergi ke bandara.

Angkot datang, saya duduk di bangku paling pojok. Mobil masih kosong, masih harus menunggu, agar setoran dapat terkejar. Tapi para mahasiswa sering banyak yang menggerutu kalau angkot berlama-lama, takut kesiangan katanya, padahal di kampus pun jarang ada dosen. Calo teriak-teriak bikin perhatian agar calon penumpang mendengar, nanti dia bakal dikasih uang recehan sama pak sopir, buat beli rokok, upah dari suaranya itu. Sambil berlama-lama menunggu penuh, saya buka buku Norwegian Wood.

Cerita dimulai dengan orang yang melamun di kursi pesawat, ketika hampir landing di Jerman. Sesekali diganggu pramugari yang bertanya dan menawarkan ini-itu, sehingga membuyarkan lamunan si penumpang. Kondisi bandara yang berkabut digambarkan dengan baik, lalu terdengar lagu The Beatles, mengingatkan kembali penumpang itu pada masalalunya waktu kuliah di Jepang, dan pernik kehidupan lain yang pernah ia lalui. Kemudian cerita bergulir ke belakang.

Harus sabar membaca novel ini, sebab Murakami menulisnya dengan tempo lambat dan terkesan tidak mau loncat-loncat untuk mengakhiri cerita. Orang-orang yang nafas membacanya pendek, mungkin akan cepat dihampiri bosan, atau mata yang tiba-tiba berat disergap ngantuk. Jadi harus latihan “pernafasan” dulu. Saya baru membaca setengah, sebab sehari setelah itu saya menjadi jongos yang sibuk : dikuasai oleh banyak betul pekerjaan dan para konsumen travel yang sumbu kesabarannya sangat pendek. [ ]

Tiara Lestari - Uncut Stories

Menulis tentang buku ini seperti menjadi presenter acara-acara gossip. Salah satu yang membedakannya adalah antara budaya lisan dan budaya tulisan. Dan saya menempuh jalan yang kedua. Jalan yang sunyi senyap, saya mencoba berdiri di antara deretan aksara yang sebagian kuat, dan sebagiannya lagi rapuh. Bersama beberapa orang kawan, beberapa kali membuat formula : kopi, cigarette, buku, dan humor segar bercampur pahit.


Telah beberapa kali Pasar Buku Palasari terbakar. Dan akan kau dengar dua penyebabnya, seperti yang sering diberitakan di media-media corong : kompor gas meledak atau konsleting arus pendek. Api dengan ganas membakar anak-anak ruhani para penulis. Para pedagang merugi, hartanya ludes, dan menyisakan bara yang masih menyala. Mereka bertanya-tanya : apakah kebakaran ini disengaja?. Pertanyaan yang tidak pernah mendapatkan jawaban.

Di kios paling belakang, saya memperhatikan buku-buku yang tingginya mencapai langit-langit. Kalau saja buku itu runtuh, dan menimpa anak kecil, bisa dibayangkan akibatnya. Harus naik tangga kalau kau mau lihat buku yang paling atas. Bau manusia kalah oleh aroma buku. Jangan bawa duit banyak-banyak, nanti kau tergoda sama rayuan mereka, sama buku-buku yang berdesakan itu. Saya pasang mata dengan kondisi siaga 1, mencari beberapa buku bagus buat oleh-oleh pulang ke Cengkareng, jongos tidak dilarang membaca buku.

Jauh sebelum buku KD terbit, yang konon menjadi best seller, buku Tiara Lestari-Uncutstories sudah ada, sudah duluan nongkrong di Palasari. Lalu siapa Tiara Lestari, sampai bikin buku segala?. Dia adalah seorang model, lalu go international. Pernah naked di majalah Play Boy edisi Spanyol, dan itu yang bikin heboh masyarakat Indonesia. Dan jalan hidup manusia punya ceritanya yang berlain-lainan. Seperti ada titik balik yang mencerahkan. Dia kemudian pulang ke Indonesia dan menikah dengan ponakannya Alm. Harry Roesli. Terakhir sempat juga dia mengisi satu lagu di album religi Baron (mantan gitaris GIGI). Buku ini semacam otobiography, menceritakan perjalanan hidup dari waktu kecil sampai detik ketika dia menulis. Beberapa bagian dari buku ini di posting juga di blog pribadinya dengan memakai bahasa Inggris.

Setelah bayar, saya dapat bonus : semua buku yang harganya di atas 15 ribu, boleh dengan cuma-cuma dikasih sampul bagus sama si uda yang duduk di dekat pintu. [ ]

Sambel Jaér

Barudak lembur mah pasti arapaleun, mun datang bulan puasa téh maranéhna sok rajeun ngabuburit sabari ngurek di sisi sawah. Majarkeun téh améh puasana teu karasa lapar ceunah, da poho bakating ku resep silih bedol jeung tanaga belut nu caricing dina liang, di handapeun galengan. Bulan puasa di lembur mah tétéla béda pisan karasana jeung di kota, di lembur mah aya wé kaulinan téh : galasin, sorodot gaplok, sondah, boy-boyan, nyundut lodong, maribaya, bébénténgan, dar paéh, dér adidér, congklak, jeung sajabana. Kitu oge kétang baheula, mangsa kuring keur budak kénéh, da ari anyeuna mah sarua baé, di lembur gé geus aya PS, VCD, DVD, listrik geus hurung beurang-peuting, jeung sajabana. Barudak téh anyeuna mah loba caricing di imah, maraén gim atawa lalajo pilem. Jaman téh tétéla geus robah, geus loba nu poho kana kaulinan budak baheula.

Buku “Sambel Jaér” nu dikarang ku sadérék Asep Ruhimat (urang Tasik), nyaritakeun kaolahan, palakiah, tali paranti, pantangan, jeung kakantun para karuhun anu sanésna. Kuring meulina di Gramedia nu di jalan Merdéka téa geuning. Harita kuring leumpang sorangan sabari nyorén tas kucel, wanci geus soré, jalan beuki ramé ku nu daragang, nalalongkrong, atawa barobogohan. Sora angkot meni ting garerung sabari ngetém di jalan Purnawarman dan nungguan panumpang anu rék baralik ka imahna séwang-séwangan. Teu kungsi lila, kuring abus ka éta toko buku, kukurilingan bari macaan buku nu alalanyar. Ah, tapi euweuh nu ramé. Terus kuring leumpang ka rak buku-buku bahasa nu aya di juru, tah buku Sambel Jaér ieu ayana di bagéan handap, sabari teu loba, mun teu salah mah ngan aya genep siki. Hargina ngan ukur dua welas rebu. Jiga euweuh nu meuli, da bukuna téh teu katempo aya tapak jelema nu ngadon maca. Karunya teuing buku nu make basa Sunda, jelema nu daratang téh jiga nu teu warawuh ka manéhna.

Ari anyeuna aya kénéh nu sok ngulub gelas?, nyieun sambel jaér?, ngalungkeun huntu nu punglak ka luhureun kenténg?, nyieun tutug oncom?, nyambel hiris?, mun nyeri beuteung mésakan batu?, mun isukan rék bulan puasa marandi di balong sabari kuramas?, mun rék disunatan kudu ngeueum heula améh ba’al?. Jigana tos rada langka mendakan nu kararitu?. Tah buku ieu téh minangka panggeuing, yén kakantun para karuhun téh geus loba nu dipopohokeun, geus loba nu apilain ka warisan kolot sorangan. Cag, mangga urang lenyepan anyeuna mah, naha enya urang téh nyaah kana kabudayaan bangsa sorangan?. Naha enya urang téh geus ngamumulé kana kakantun aki-nini?.

Mangga dulur-dulur, abdi moal seueur catur. Tos sonten yeuh, padamelan seueur kénéh. Bilih hoyong maca mah cobi wéh ameng ka toko buku, insyaAlloh aya kénéh.[ ]

Andaikan Buku itu Sepotong Pizza

Kau tidak perlu tahu, bahwa di Gramedia jalan Merdeka itu ada semacam toko cadangan. Ruangan untuk menampung buku-buku yang nilai penjualannya agak memprihatinkan, alias kurang laku. Sampai nanti akan kau temui ada yang harganya 5 ribu, karena sepertimya main obral begitu saja daripada tidak ada yang membeli. Tapi jangan harap buku-buku karangan Andrea Hirata, Dee, dan Habiburrahman akan nongkrong di sini. Setidaknya untuk saat ini hal itu sulit terwujud, barangkali nanti beberapa tahun ke depan. “Andaikan Buku itu Sepotong Pizza”, saya lihat tengah meringkuk di pojok toko cadangan itu, barangkali dia malu, sebab orang-orang kurang berminat kepadanya. Padahal penulisnya lumayan terkenal, dia pernah menulis buku “Aku Ingin Bunuh Harry Potter” dan “Mengikat Makna” yang konon best seller : Hernowo.

Coba bayangkan, bagaimana kalau buku itu adalah sepotong pizza yang lezat, banyak taburan ini-itu, dan ada toppingnya juga. Tentu kita akan lahap menyantapnya. Begitulah Hernowo menulis buku ini : banyak betul taburan cerita, kata-kata mutiara, pengalaman yang (menurut dia) berharga. Hernowo seperti ingin mengajak para pembacanya untuk masuk ke setapak jalan yang dia lalui, maka bersiasatlah dia dengan mengemas tulisannya semenarik mungkin.

Kalau gak salah dia juga sempat mengutip kata-kata Ali Syariati (penulis Iran) : “Jangan jadikan rumahmu sebagai kandang, yang isinya hanya makanan dan minuman saja. Isi juga dia dengan buku, sebagai makanan ruhanimu. Jika ruhanimu haus, maka kau dapat memenuhinya dari buku-buku itu.” Tapi, bagaimanapun Hernowo bersiasat, buku tetaplah buku : penjualannya dipengaruhi oleh banyak factor, diantaranya selera pembeli dan kondisi keuangan.

Saya sempat membayangkan, bagaimana jadinya kalau judul buku ini diganti : “Andaikan Buku itu Sepotong Bala-bala”, akankah dia menjadi lebih laku?. Ah, jangan banyak melamun kau !. [ ]

Menghilangkan Trauma Persepsi

Buku ini adalah kumpulan materi yang disampaikan oleh KH. Hilmi Aminudin (Ketua Dewan Syuro Partai Keadilan Sejahtera) kepada para kader partai tersebut dalam berbagai pertemuan. Naskah ini awalnya hanyalah sekumpulan arsip yang tersimpan rapi di Sekretariat Jenderal Arsip dan Sejarah DPP PKS, namun para pengurusnya kemudian berinisiatif untuk membukukan dan melemparnya ke ranah publik, dengan tujuan agar arsip dokumen tidak sekedar menjadi benda yang kaku dan hanya dibuka lagi sewaktu-waktu, tapi berubah menjadi sesuatu yang bisa diakses publik, sebagai pembuktian dari sikap partai yang (katanya) tidak eksklusif, juga sebagai bahan pembelajaran untuk setiap kader partai dakwah itu.

Pertama kali lihat buku ini adalah di toko buku Al Amin, Bogor. Tapi saya tidak merasa tertarik. Beberapa bulan kemudian, setelah berkomunikasi dengan Bung Hamzah (kawan sewaktu kuliah), barulah saya penasaran dengan isi buku ini. Lalu saya balik lagi ke Bogor, dan menawannya sampai sekarang. Isinya adalah tentang arahan-arahan dan nasihat sang ketua Dewan Syuro kepada para kader partai yang bertarung di tengah hiruk-pikuk dan galaunya dunia politik Indonesia. Ide-idenya menurut saya cukup segar dan visioner. Jika kita selama ini merasa heran dan bertanya-tanya mengenai manuver-manuver PKS yang “aneh” dalam berpolitik, maka buku ini bisa memberikan jawabannya.

Yang cukup mengganggu dari buku ini adalah terlalu banyaknya istilah-istilah bahasa Arab yang digunakan oleh KH. Hilmi Aminuddin dalam menyampaikan taujihnya. Meskipun ada penjelasan dalam bahasa Indonesianya, tapi tetap saja menurut saya mengurangi kenyamanan dalam membaca. Buku ini terbit hard cover dan harganya tidak terlalu tinggi.

Jika kita ingin “melihat” PKS, berarti kita juga harus “melihat” sejarah gerakan Ikhwanul Muslimin a.k.a Tarbiyah yang masuk ke Indonesia. Sebab pengetahuan yang parsial akan menghasilkan pemahaman yang parsial juga. Kini PKS tumbuh sebagai partai politik yang penuh dinamika. Mungkin kurang tepat jika disebut faksi, yang jelas perbedaan-perbedaan di dalam partai tentulah ada, bahkan di dalam jamaah Tarbiyah (sebelum era partai) sendiri perbedaan-perbedaan itu sudah ada. Cukup menarik jika kita mengikuti pendapat-pendapat Ustadz Daud Rasyid, Ustadz Ihsan Tanjung, dan ustadz-ustadz Tarbiyah yang lain, yang berada diluar kepengurusan partai. Baru-baru ini saya mengikutinya di eramuslim. [ ]

Ats-Tsawabit Wal-Mutaghayyirat

Untuk orang-orang yang berafiliasi dengan jama’ah Tarbiyah, buku ini mungkin sudah tidak asing lagi. Sebab, buku apa yang beredar atau sering dibaca oleh orang-orang yang tergabung dengan sebuah harokah atau pergerakan, sedikit-banyaknya ternyata bisa dideteksi. Manhaj dan fikrah sebuah gerakan, tidak sedikit yang diabadikan dalam buku-buku yang dibuat oleh para aktivisnya. Mereka, para aktivis yang menulis itu, adalah mereka yang sadar akan pentingnya sebuah proses pewarisan. Dan dari seorang aktivis pergerakanlah buku ini lahir, dia memetakan prinsip-prinsip dakwah dalam bentuk tulisan.

Ikhwanul Muslimin sebagai sebuah organisasi dakwah (menurut beberapa literature adalah gerakan Islam terbesar abad ke-20), tentu mengalami perjalanan dalam menempuh medan dakwahnya yang terus bergerak dinamis. Dalam kondisi seperti itulah dakwah akan mengalami perkembangannya dalam hal konsep. Jum’ah Amin, penulis buku ini memetakan bahwa konsep dakwah Ikhwan harus bisa permanen dan fleksibel. Artinya, prinsip-prinsip apa saja yang tidak boleh berubah, dan apa yang boleh disesuaikan dengan perubahan medan dakwah, tetapi tetap dalam bingkai dakwah yang konprehensif.

Tapi menurut saya, dalam buku ini penulis lebih banyak membahas sisi Tsawabit (permanen)nya, daripada yang Mutaghayyirat (fleksibel). Ada sepuluh poin yang penulis kemukakan tentang konsep-konsep permanen dalam dakwah Ikhwan. Di antaranya yaitu: Ikhwan menolak kekerasan dalam dakwahnya, kewajiban beramal jama’i dalam dakwah, syuro sebagai pemersatu yang mengikat bila terjadi perbedaan pendapat diantara Ikhwan. Disertai dengan pembahasan rukun-rukun baiat dan 20 prinsip dasar dakwah Ikhwan, buku ini semakin memperkaya literature yang selama ini telah banyak dijadikan sebagai buku pegangan para aktivis dakwah, khususnya jama’ah Tarbiyah.

Tahun terbit dalam buku ini (edisi Indonesia) tertera tahun 2008, artinya buku ini muncul sepuluh tahun setelah jama’ah Tarbiyah bermetamorfosis menjadi partai politik. Pertanyaannya: apakah buku ini sengaja dihadirkan untuk mendukung ijtihad pembentukan partai politik? Dan apakah pembentukan partai politik itu adalah salah satu bentuk Al-Mutaghayyirat (fleksibel)? Kawan-kawan mungkin ada yang lebih tahu jawabannya? [irf]

Kuantar ke Gerbang

Soekarno muda, atau Inggit memanggilnya dengan sebutan Kusno, adalah seorang mahasiswa cerdas yang aktif mengorganisasi berbagai elemen pergerakan kaum muda. Dia kuliah di sekolah teknik di Bandung, yang sekarang bernama ITB. Oleh ayah mertuanya (Soekarno sudah menikah dengan Utari) dia dititipkan di salah seorang kawannya yang tinggal di Bandung. Di kota ini kemudian Soekarno bertemu dengan Inggit dan menikahinya, sementara istrinya yang pertama dia kembalikan kepada orangtuanya.

Sebagai seorang aktivis, rumah Soekarno kerapkali didatangi oleh para mahasiswa, wartawan, karyawan, dan elemen pergerakan lainnya untuk membicarakan strategi perlawan terhadap pemerintahan Hindia Belanda. Dan oleh sebab itulah, Inggit kerapkali “direpotkan” dengan urusan ini-itu untuk sekedar menjamu tamu-tamu suaminya. Inggit melihat suaminya yang lebih muda itu, sebagai sosok seorang pemimpin masadepan yang akan menjadi pelopor kebangkitan bangsanya, oleh karena itu dia bantu sebisa mungkin setiap kebutuhan yang akan melancarkan cita-cita perjuangan Soekarno muda.

Ketika Belanda mulai merasa terancam oleh sepak terjang Soekarno, maka dia ditangkap dan dijebloskan ke penjara Sukamiskin. Romantika perjuangan dan kecintaan Inggit pada suaminya dilukiskan oleh Ramadhan K.H (penulis buku ini-sekarang sudah alm) dengan cukup baik. Inggit banting tulang berjualan untuk membiayai suaminya yang sedang di penjara. Dia berjalan kaki dari Ciateul ke Sukamiskin untuk menengok Soekarno sambil membawa makanan. Waktu Soekarno dibuang ke Bengkulu, Inggit pun ikut ke sana. Ikut merasakan keprihatinan hidup di pembuangan sebagai tahanan politik Belanda. Dan di episode-episode perjuangan Soekarno yang lain, Inggit setia menemaninya.

Kisah percintaan di tengah gejolak revolusi itu harus berakhir ketika Soekarno meminta ijin kepada Inggit untuk menikah lagi, karena selama ini pernikahannya dengan Inggit belum kunjung berhasil menghadirkan seorang anak. “Teu sudi kuring mah dimadu, leuwih alus balikkeun we ka kolot kuring” (saya tidak mau dimadu, lebih baik kembalikan saja saya kepada orangtua saya), jawab Inggit dengan nada bicara yang getir. Inggit mengantarkan Soekarno hanya sampai pintu gerbang kemerdekaan.

“Selamat jalan, semoga selamat sampai tujuan”, demikian kata Inggit, mengantar kepergian Soekarno ketika mereka berpisah. Episode kisah ini seperti sebuah pohon kecil di taman luas sejarah Indonesia. Dan penulisan sejarah mainstream, sangat jarang mengangkat pengabdian seorang perempuan asal Ciateul ini. Apakah sejarah hanya berpihak pada orang-orang besar saja?. [ ]

17 October 2013

Dunia Persilatan

Percakapan ini terjadi di udara, bertemu dalam gelombang satelit, lalu diuraikan oleh situs jejaring sosial, beberapa bulan sebelum berita Ruyati menjadi headline media-media nasional. Pada sebuah siang yang terik, tiba-tiba menu chatting saya menyala, tanda ada yang mau ngajak bicara, seorang teman lama muncul dalam wujud kata-kata. Tentu banyak yang terpotong, dan ini hanyalah sisa yang terselamatkan, kurang jelas awal, tengah, dan akhirnya :

My friend : Ya dunia persilatan, hahahahaha, eh Bung di kampung ada yang minat jadi TKI?
Me : Aman, Wiro Sablengnya sudah tua sekarang mah
My friend : Kalo ada yang minat kabar kabari atuh
Me : Banyak, tapi saya larang
My friend : Walah, kunaon, kan resmi
Me : Ah suka jadi korban, ga di luar negeri ga di dalam negeri
My friend : hmmmmmm
Me : Liat aja pas turun di bandara
My friend : Kadang ada juga kesalahan di pihak TKInya, ada juga kesalahan di pihak majikan, selagi perusahaan, negara, dan pihak luar sama-sama bertanggungjawab dan punya agreement resmi, biasanya tidak akan terjadi. Contoh : kemarin ada TKI cerita langsung sama saya, dia bilang sama majikan perempuan untuk dipulangkan saja karena saya sering di perkosa sama majikan laki-laki, dia bilang itu cara saya biar bisa pulang bu, padahal majikan laki-laki ga mau ngasih duit saya. Woowww.., ada juga yang memang diperlakukan asli tidak berprikemanusiaan oleh majikan, saya sendiri pun marah sangat.
Me : Kita harus jujur, TKI mayoritas level pendidikannya rendah dan berasal dari kampung, mereka tak paham dengan segala regulasi dan retorika pemerintah dengan negara tempat mereka bekerja, data real di lapangan hanya dirasakan oleh para TKI dan ujung-ujungnya jadi headline berita : "Telah mati TKI bla.bla.bla di negara bla.bla.bla".....saya sendiri, maaf, tidak pernah percaya kepada badan resmi TKI yang berada di bawah pemerintah.
My friend : Karena pemerintah sendiri yang berbuat seperti itu, setiap orang punya hak ko bung, its ok just 4 share.
Me : Iya saya setuju, dari daerah saya sebenarnya sampai saat ini banyak sekali yang sudah jadi TKI, tapi dari kampung saya persis, saya kira tidak ada. [ Tgl percakapan tidak tercatat ]

Pengisi Kosong Abadi


Kalau suatu saat nanti kamu ke Bandung, maka dari pintu tol Pasteur sebaiknya langsung belok ke kiri, lalu ikuti rute angkot, dan di pemberhentian terakhir, di depan sebuah toko swalayan dekat sebuah warnet, belok lagi ke kiri. Lalu lurus saja dan sebelum Politeknik Pos, sebelum turunan yang agak panjang, tepat di dekat sebuah pos satpam yang mengenaskan, kamu belok lagi ke kiri. Jangan bosan belok ke kiri, sebab aku sudah bosan belok ke kanan.

Maka ketika kamu mendapatkan mesjid Al Falah yang cukup megah, tanya saja mbak-mbak atau mas-mas (kamu lebih nyaman menyebut itu bukan?, daripada teteh dan akang?), atau bisa tanya siapa saja yang kebetulan lewat di sana. Coba saja tanya tempat tinggalku, pasti mereka tidak tahu.

Baru kemarin sore aku pindah ke sini. Di lantai dua, di sebuah kamar bersih dengan penjagaan ketat nuansa pink (terutama ditebarkan oleh warna gorden milik ibu kost), aku dan kawanku membereskan kembali baju, buku-buku, dan sedikit reformasi hati tentang kegagalan, impian, hidup, kecemasan, dan kenyataan yang semakin terasa genit.

Setelah mengucapkan salam dan mengetuk pintu, langsung saja masuk ke kamar, nanti akan aku perlihatkan buku-buku yang selama ini menjadi nutrisi, atau juga basa-basi. Jangan malu-malu, ambil saja apa yang kamu mau. Ada Pramoedya si penantang abadi, Gede Prama sang penikmat keheningan, Emha ahli sindir yang tidak amatir, Sapardi pecinta taman dan hujan, Muhidin yang darahnya dialiri buku, Djenar yang liar, dan ada juga Joko Pinurbo yang puisinya nakal tapi penuh pesona. Tapi maaf, aku barangkali belum punya penulis favoritmu.

Oh iya, aku lupa. Perkenalkan, ini sahabatku yang sering direpotkan dan disusahkan itu. Namanya Laki-laki Aroma Tembakau. Jangan heran kenapa namanya begitu, sebab dia laksana cerobong asap yang tak henti menghisap dan menghembuskan saripati tembakau, asap yang hamil oleh tar dan nikotin seringkali bergulung-gulung dari mulutnya.

Maaf, di sini hanya ada air tawar, karena kami, aku dan Laki-laki aroma Tembakau lebih sering paceklik daripada makmur. Begitu rupa cigarette telah membuat kami menjadi miskin. Minum saja, kalau masih kurang jangan khawatir, di galon masih ada stok beberapa liter. Kalau kamu tidak sedang "berhalangan", aku hanya mengingatkan : sholat ashar dulu. Apa?, kamu lupa tidak membawa mukena?. Tunggu sebentar, aku pijam dulu sama induk semang.

Kamu tahu lagu ini? : it may sound absurd, but don't be naive, even heroes have the right to bleed Ya, ini lagunya Five for Fighting. Pilih saja, terserah, kamu maunya lagu apa. Sebentar aku mau mandi dulu, mau menyusul Laki-laki Aroma Tembakau ke mesjid Al Falah, sebentar lagi adzan maghrib rupanya. Ketika aku sedang di mesjid, kamu pasti masih di situ, duduk atau terbaring melihat langit-langit kamar dan sekelilingnya. Aku tak membayangkan kamu sedang tersenyum, apalagi tertawa, karena aku tidak tahu apa yang akan kamu tertawakan. Yang lebih realistis, kamu pasti sedang istirahat sambil mendengarkan lagu dari komputer milik sahabatku. Jangan buka lemari excel yang paling bawah, karena itu kotak pribadiku, kamu belum waktunya tahu.

Aku lupa kasih tahu, sehabis maghrib aku pergi ke warnet dulu, mau upload tulisan, sesuatu yang membuatku berdamai dengan jiwa, karena dia selalu diberi makan. Nanti kamu akan aku ajak ke lantai atas tempat menjemur baju. Di sana pemandangannya cukup variatif : di arah barat laut kamu bisa melihat sebagian kota Bandung yang gemerlap oleh lampu. Di utara ada kelap-kelip cahaya kecil di sekitar gunung Tangkuban Parahu. Tapi jangan terlalu sering melihat ke tenggara, di situ ada kampusku. Aku tak mau hidup di masa lalu. Malam ini Laki-laki Aroma Tembakau akan tidur di tempat kawannya, jadi kita bisa berbicara sepuasnya.

Iya, kita bicara sepuasnya. Membicarakan apa saja : cinta absurd, kopi pahit, buku tak bernyawa, musik nasi bungkus, film kawin silang antara sex dan hantu, atau bahkan kembang milik ibu kost yang mati gara-gara anaknya lupa menyiram. Tenang saja, semuanya tidak akan ada yang melarang. Kita bisa membicarakan semuanya. Jangan takut mulut menjadi kering, air masih berliter-liter di galon dekat jendela. Atau jika ternyata kita lebih banyak terdiam, biarkan saja hati yang bicara.

Kalau kamu ngantuk bilang saja, nanti aku perpanjang ceritanya, biar kamu tidak bisa tidur sampai langit pagi memperlihatkan lengkungnya, dan aku senang mendengarkanmu menyalahkanku ketika matamu masih merah dan di timur matahari mulai merekah. Kamu cantik kalau sedang marah.

Sekarang sudah siang, udah....mandi dulu sana. Kita jalan menghabiskan waktu, semaumu dan semauku. Kita bisa nonton di ruangan berpendingin, makan, belanja, dan berteduh di taman kota. Jangan lupa kita beli oleh-oleh kecil buat sahabatku si laki-laki Aroma tembakau yang telah berbaik hati tidur di tempat kawannya tadi malam. (Jangan berburuk sangka kawan, tadi malam aku tidur di kamar sebelah yang masih kosong). Sekarang ayo kita pulang. Sudah sore, langit mulai jingga di arah barat. Lalu mobil itu membawa kita kembali ke kamar. Membawa kita, aku dan kamu yang berkeringat dan berdebu. 

Setelah mandi kita bicara lagi, kali ini si Laki-laki Aroma Tembakau akan bergabung, karena kawannya sedang pulang kampung. Jangan khawatir, sekarang aku tidak akan mengganggu tidur nyenyakmu. Selamat tidur dan berkembang. Besok setelah sholat subuh, ketika kamu berdo'a, kamu bisa berbaik hati dengan mendo'akanku dan juga saudaraku si Laki-laki Aroma Tembakau itu : cita-citanya masih jauh, semoga dia tidak lelah menggapainya. Kalau tidak takut gelap, silahkan matikan lampu.
Lagi-lagi Laki-laki Aroma Tembakau berbaik hati. Tadi pagi sebelum dia pergi, dia sempat menyediakan sarapan. Ini buatmu, sebuah buku tipis tulisan Sapardi. Nanti saja dibacanya kalau kamu sudah sampai rumah. Maka hatiku gerimis ketika tadi kita berpisah. Aku melihat mobilmu sampai menghilang. Dan sangat jelas jejakmu di jalan itu. Nanti di buku tipis yang aku berikan, tolong dilihat di halaman 96, aku ingin kamu membacakannya untukku. (irf)

Ingin Bertemu Eross

“Buku mestinya selalu didapatkan karena rasa cinta dan kegembiraan terhadapnya. Menganggap buku sebagai objek investasi akan mengubahnya menjadi sekedar barang dan komoditas. Serahkan masadepan perut babi itu kepada Wall Street.” (Alison Hoover Bartlett)

Kamar kecilku yang bentuknya menyerupai bujur sangkar sedang sesak oleh suara Cholil. Vokalis Efek Rumah Kaca itu terus saja bernyanyi. Aku tak peduli dengan “Lagu Cinta Melulu”. Aku sedang jatuh cinta (lagi). Menunggu sms darinya seperti menunggu bapak pulang dari kota membawa oleh-oleh roti rasa kopyor. Sementara ponsel belum berbunyi, aku mulai membereskan buku yang tak beraturan : sebagian hampir muntah di rak kayu, sebagian berserakan di lantai, dan sebagian lagi bertumpuk begitu saja di dekat tempat tidur. Aku membereskan teman setiaku.

Entah kenapa tiba-tiba aku ingin bertemu Eross. Dia selalu bisa membuat lirik dengan jujur. Sudut pandangnya yang tumpah dalam kata-kata terasa begitu akrab dan memahami apa yang terjadi di dalam jiwa. “Ross, ini film dark,” begitu kata Mira Lesmana. Maka jadilah lagu “Gie” dan “Cahaya Bulan” yang terdengar lirih. Saya kira, Eross adalah salah satu jawara kata-kata.

Kemudian ponsel berbunyi : from my sun. Aku sedang jatuh cinta (lagi). Sayang sekali Eross tidak ada di kamar bujur sangkarku. Kalau saja dia ada, aku ingin belajar kepada jawara kata-kata itu : betapa aku mencintai buku dan matahariku. Ya, “aku orang malam yang membicarakan terang.” [ ]

Penyakit Gila Entah Nomor Berapa

Warnet di Gegerkalong memang punya selera humor yang rendah, dibuatnya cacatan saya raib dalam selubung kabel data yang menguap entah ke mana. Siang, atau tepatnya menjelang siang, karena matahari masih bisa dibaca dari hangat sinarnya dan garis bayangan pohon. Catatan yang sengaja saya bawa dalam benda mungil berkapasitas 2GB isinya tak jauh dari kumpulan cerita yang tak selesai, jahitan aforisme yang tak orisinil, kontemplasi dangkal, dan deretan paragraph kisah cinta yang absurd. Niatnya mau saya posting di blog, tapi virus di warnet itu memang goblog, nama file word tiba-tiba berubah seperti huruf sirilik kebanggan kaum Bolshevik. File word tidak terbaca dan intruksi di layar monitor buram meminta untuk dihapus. Ancamannya klasik : tak dibuang, benda kecil 2GB punyamu akan mengidap penyakit menahun. Maka pulang dari warnet seperti pulang dari kuburan, hanya untuk membuang anak rohani yang dilahirkan di tengah-tengah kesibukan menjadi jongos bagi kaum pembeli tiket di bandara. 

Satu tahun sebelumnya ada kekonyolan tak terkira : saya membakar tiga buah buku catatan harian sendiri. Bagi oranglain isi buku catatan harian itu mungkin sama konyolnya dengan kelakuan saya, tapi mereka tidak tahu cerita di balik semua catatan itu. Lalu kenapa saya membakarnya? : lagi-lagi karena ada kisah cinta purba di sana. Api melahap berlembar-lembar kertas yang habis dinodai tinta. Di dapur, di rumah yang pernah menadah ari-ariku, di depan tungku pembakaran, buku keluaran Sinar Dunia dan Mirage meregang nyawa dalam hawu berlobang dua. Lidah api mengunyah kertas dengan cepat, lalu sebentar menjadi bara yang rapuh, sebelum akhirnya menyentuh titik mengenaskan : abu.

Katanya dia pernah menulis di majalah kampus, waktu masih berjaya dengan jaket kuning, walaupun statusnya hanya jaket kuning dari kakak tiri berlogo Makara. Lihat, saya seperti orang pengagum penyamaran, padahal akan lebih gampang kalau menyebut : “dia pernah menulis di majalah kampus waktu masih kuliah di Politeknik UI.” Ya, kakak saya pernah menulis di majalah kampus beberapa jam setelah terjadi bentrok fisik antar Fakultas dalam haribaan (POM) Pekan Olaharaga Mahasiswa. Peristiwa yang terdengar tidak istimewa sebenarnya, dari dulu mahasiswa telah terkurung berbagai garis batas yang diciptakan secara turun-temurun : gengsi Fakultas, Jurusan, Himpunan, dan berhala-berhala primordial lainnya. Judul tulisannya lumayan provokatif : “Mahasiswa UI Dilanda Gejala Vandalisme”.

Kurang lebih lima tahun setelah tulisan itu lahir, saya sempat bertanya : “Kenapa orang-orang suka menulis?”. Dia menjawab, “Karena setiap yang kamu tulis akan terasa nikmat ketika kamu baca kembali beberapa tahun ke depannya setelah tulisan itu lahir.” Benarkah demikian??.

Ah, tapi lupakan saja, saya dan dia berbeda generasi. Tapi diam-diam seperti ada yang terbenam di dalam pikiran, seperti kayu puspa yang terbenam dalam lumpur pekat, seperti proyektil nyasar yang membelesak ke dalam sudut terdalam organ. Perlahan saya menjadi mencintai tulisan. Pertama mencoba, kedua mencoba, ketiga mencoba, lalu ketagihan. Seperti candu, laksana opium di pegunungan Afghanistan. Tapi memang harus diiringi dengan membaca, sebab “kalau tak ada yang kau baca, lalu apa yang mau kau tulis?”. Opium perlahan menjadi semacam penyakit gila (terdengar tidak orisinal—Belitong mode on), saya keranjingan meyimpan dan mengarsipkan catatan. Masih jelas dalam ingatan bagaimana catatan-catatan itu kemudian berserakan dalam banyak blog. Ada minat yang tidak kecil setiapkali menulis, setiapkali melahirkan bayi-bayi prematur, mereka selalu menarik dengan kuat untuk diperhatikan dan dirawat. 

Gejala repost atau memposting ulang catatan adalah lukisan jalan di tempat, produktifitas mandul, mogok akut, atau pergerakan lempeng kayu puspa yang berusaha ingin naik ke permukaan, ingin melawan lumpur pekat yang telah membenamkannya selama bertahun-tahun. Laksana odong-odong yang ditinggalkan bocah, maka malas menulis pun tak lebih seperti itulah. Dan ini adalah tulisan repost, wahai. [ ]

07 October 2013

Manuskrip (16) Hari



Akhirnya saya punya waktu seperti ini, bisa berdekat-dekat dengan buku dan pena, sambil mendengarkan Original Soundtrack “(500) Days of Summer” : The Temper Trap, The Smiths, Mychael Danna and Rob Simonsen, Regina Spektor, Black Lips, Doves, Hall & Oates, Carla Bruni, Feist, Simon & Garfunkel, Wolfmother, Mumm-Ra, She & Him, dan Meaghan Smith. Kopi hitam sudah dari tadi siaga satu dan di sebelahnya terlihat ada Lucky Strike Light. Playlist saya tambah dengan Zooey Deschannel : Sugar Town, dan saya mulai menulis....

***

Pada mulanya adalah kegiatan lisan : berbicara, tertawa, tersenyum, teriak, dan berbisik. Tapi terkadang, yang hanya terucap dan yang teringat akan lenyap perlahan ditelan waktu, atau terbang disapu angin, ketika semuanya tidak bisa dibuka dalam lembaran-lembaran yang tertulis. Ini adalah sebuah usaha pemindahan media ingatan kolektif, yang awalnya hanya berarak di tempurung kepala masing-masing dan berjejalin sebagai sebuah cerita panjang dalam semesta masalalu. Kalau pun kamu tidak berminat untuk mengenang yang telah berlalu, tetap saja kamu tidak bisa menghapusnya secara permanen, seperti Clementine (Kate Winslet) dan Joel (Jim Carrey) dalam film “Eternal Sunshine of The Spotless Mind”. Ini bukan sebuah ajakan untuk mengendap di masalalu, karena setiap yang telah terlewati hanya pantas dijadikan arsip dalam lemari sejarah masing-masing pribadi, dan dibuka sekali-kali jika dirasa perlu atau sebagai penawar rindu dikala sunyi. Jangan memilih menetap di masalalu, karena akan membuatmu menjadi kereta tua yang tak akan pernah sampai kepada tujuan. Sebaik-baik cara adalah dengan bergerak ke depan, berpencaran seumpama sinar yang berlomba menembus ruang hampa cahaya. Bukankah dunia ini ajang perlombaan? : fastabiqul khairot. Saya hanyalah mencatat kembali apa-apa yang telah kita lewati, niatnya sederhana saja : mudah-mudahan menjadi media silaturahmi, menyatukan yang terpisah, dan menghimpun yang terserak. Bukankah kita sekarang sudah punya tanggungjawab hidup masing-masing?, di tempat yang berlainan terkadang kita lupa bahwa ada hak yang sebaiknya dipenuhi, salah satunya adalah menjalin komunikasi dengan sahabat.

Tentu mencatatkan kembali berbagai peristiwa tidak sesederhana niatnya, sebab waktu bukanlah materi yang bisa difosilkan, dia juga tidak bisa di pause, dia terus menggelinding ke depan meninggalkan siapa saja yang memilih diam atau mundur. Juga karena tidak semua orang berkenan jika sebagian pengalaman hidupnya dituangkan dalam tulisan, terlebih karena kata-kata punya keterbatasan, dia tidak sepenuhnya bisa menyelami dasar hati manusia. Tapi saya telah memilih jalan ini, menulis, mencoba menyimpan beberapa kejadian dalam himpunan huruf, karena saya yakin bahwa : Scripta Manent Verba Volant—yang tertulis akan mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin.

Antara tahun 1998-1999, saya lipat hanya dalam 16 hari. Kenapa 16 hari?, kamu pasti punya tafsir sendiri untuk menjawabnya. Untuk kamu yang mungkin tengah terbaring karena sakit, atau tengah sibuk dengan pekerjaan yang menumpuk, atau tengah istirahat setelah seharian menyalakan bara api dalam diri, atau tengah bermain dengan anak-anakmu, atau tengah menanti pasangan hidup yang mengabadi, atau tengah murung didera kesulitan hidup, atau apa pun yang tengah kamu lakukan, catatan ini datang kepadamu.

***

Jakarta sedang gemuruh oleh demonstrasi, Soeharto di ujung tanduk. Titik pijar semakin memanas waktu kerusuhan melumpuhkan ibu kota : Hayam Wuruk, Gadjah Mada, Senen, dan Kota hancur dijarah massa, dan puncaknya ketika berbagai elemen mahasiswa bersatu menduduki gedung parlemen. Tapi itu adalah pekerjaan orang-orang dewasa, karena bagi saya yang masih berseragam putih-biru, semuanya terasa datar saja. Berita di koran dan di kotak ajaib tidak berpengaruh apa-apa, apalagi demam Piala Dunia di Prancis begitu kuat : coupe de monde. Samba di hajar Ayam Jantan 3 gol tanpa balas. Zidane kian bersinar, persis seperti kepalanya yang menderita erosi parah. Di tengah suasana seperti itulah saya lulus dari Madrasah Tsanawiyah, dan bersiap memasuki dunia baru, dunia putih-abu, dan siapa sangka kalau saya akan bertemu dengan kawan-kawan seperti kalian :


Hari ke (15)

Mamen maju ke podium dengan pakaian gaya Bung Karno hasil pinjaman dari anak Paskibra, di sampingnya berdiri dengan setia saudara Irvan Sapari yang mukanya dingin tanpa ekspresi bagai seorang Paspampres. Laporan atau sambutan sang ketua Gelar Seni tersebut tidak terlalu lama, setelah kembali ke belakang, hajatan kelas satu yang wali kelasnya Bu Zakiah Asma Yunita tersebut segera dimulai. Dekorasi dibuat seadanya karena daya kreatif dan keuangan cukup memprihatinkan, tapi efeknya pohon cemara di samping gedung kepala sekolah menjadi korban. Malam hari Herlan dan beberapa gelombolannya mengendap-ngendap dalam gelap dan membabat pohon segitiga tersebut. Kebun di samping ruang praktek biologi pun menjadi sasaran, beberapa pohong pisang dan daun pohon singkong disikat pisau dapur. Begitulah akhirnya, dekorasinya hanya pohon cemara, daun pisang, daun singkong, kertas crape warna merah-putih, dan papan tulis yang menjadi korban vandalisme kapur warna-warni dengan tulisan utama : GENERASIKU….?.

Ruangan senam menjadi saksi bahwa di sana Ronald pernah bermain band dengan kawan-kawannya, selain itu Suci juga pernah bernyanyi bertiga membawakan lagu RSD. Sementara Esti, Mira, dan rombongan kesenian tradisional berlenggak-lenggok diiringi gamelan dan gong. Ruangan memanjang itu tiba-tiba menjadi ramai oleh bunyi harmonisasi dan sedikit fals, apalagi waktu seorang anak yang postur dan wajahnya hampir menyerupai Mat Solar a.k.a Bajuri maju ke depan para penonton yang lumayan banyak. Dengan lengan penuh dengan Tato temporal, kacamata hitam mirip BL, kopiah hitam bladus yang sedikit miring, baju tanpa lengan dan celana sontog, dia maju ke depan dituntun kawannya karena dia mau berpura-pura buta macam Asep Irama. Lalu dengarlah apa yang dia nyanyikan :

“Untukmu yang duduk sambil diskusi / untukmu yang biasa bersafari / di sana di gedung DPR / wakil rakyat kumpulan orang hebat / bukan kumpulan teman-teman dekat / apalagi sanak family / di hati dan lidahmu kami berharap / suara kami tolong dengar lalu sampaikan / jangan ragu jangan takut karang menghadang / bicaralah yang lantang jangan hanya diam……”

Bu Haslinda yang berdiri di pinggir ruangan rona mukanya terlihat aneh waktu melihat Mat Solar tampil, entah kenapa?. Tapi saya berani menjadi saksi bahwa Pak Eko guru PPKn yang duduknya paling depan kasih tepuk tangan paling keras waktu Mat Solar menyelesaikan lagunya. Dan datanglah pertunjukkan terakhir, acara puncak : Kabaret.

Kabaret ini dilahirkan dengan susah payah. Panitian inti yang dipimpin oleh Mamen berdiskusi alot waktu membuat skenario, banyak betul interupsi mewarnai rapat. Saya sendiri hanya bisa mendengar dari balik pintu karena tidak termasuk menjadi panitia inti. Setelah skenario selesai, maka selanjutnya adalah merekam suara untuk mengisi cerita. Dan tak ada tempat yang lebih bagus untuk acara kumpul tanpa kebo selain rumah cap ayam jago di daerah Ciaul tidak jauh dari SMA 3. Sebenarnya bukan karena rumahnya, tapi kawan-kawan pun pasti sudah faham betul kenapa tempat itu sering terpilih menjadi semacam bascamp, tidak lain dan tidak bukan adalah karena di sana kita bisa menjadi Arnold Schwarzenegger dengan rahang melebar dan gigi gemeretak. Berterimakasihlah kepada sukro yang telah membuat kita jarang mengantuk karena terus mengunyah makanan keras tersebut, dan kita bisa dengan penuh konsentrasi menyelesaikan rekaman untuk kabaret. (Sampai di sini saya mau minta maaf kepada seluruh komponen yang telah dengan gaya membuat rekaman kabaret, karena kaset tersebut hilang bin raib, atau lebih tepatnya kena razia waktu saya pulang kampung dan meninggalkan lemari tanpa dikunci di sebuah mesjid yang indah mengkilat di Kebonjati).




Adegan atau dialog mana yang paling diingat dari kabaret tersebut?, mungkin si Adit dengan kacamatanya yang entah sudah minus berapa, akan dengan lantang menjawab : “waktu saya menjadi preman, kawannya si Abank dan si Ryan !!”. Atau mungkin mas Anton akan menjawab : “yang jelas waktu saya jadi gurulaaah, wong saya dandanannya keren banget waktu itu” (Mas Anton berperan sebagai seorang guru dengan dandanan baju batik lengan panjang, kopiah hitam, kacamata hitam, celana ngatung bin cingkrang, dan logat Jawa yang agak aneh). Tapi kawan-kawan pasti mufakat kalau adegan yang ratingnya tinggi adalah waktu Amie terkejut setengah teriak dan berkata : “Apa, Fransisco Dinner ?!”, tapi tragisnya kata-kata itu disadur dengan sangat baik dan elegan oleh saudara Haris Babat Akhmad Basuki dengan : “Apa, P****k k****r ?!”. Kabaret ditutup dengan lagu Project Pop dan tepuk tangan terdengar lagi, suaranya semakin keras dan panjang.

Gelar seni adalah proyek guru kesenian untuk mengadakan kompetisi di antara anak-anak kelas satu, dan kelas kami tidak pernah dijagokan alias underdog, hal tersebut karena di kelas kami tidak ada satu pun yang berjiwa seni macam kakak beradik Butet Kartarajasa dan Djaduk Ferianto, tidak ada orang seperti itu, yang ada dan bahkan sangat banyak adalah orang-orang yang berkarakter RW 06 alias rewog (Mohon maaf untuk semua kata-kata yang memakai Bahasa Sunda, translatenya tidak tersedia : hoream nulisna, artikeun we sorangan). Tapi bakat seni harus minggir dulu waktu itu, sebab lihatlah kami akhirnya keluar sebagai juara setelah sukses menyingkirkan kelas 1-8 yang dimotori oleh bung Fadly, seorang yang berhasil membuat ruangan 1-8 menjadi gelap seperti di dalam bioskop. Dan hadiahnya pun sangat romantis : sebuah asbak berkepala Semar.


Hari ke (14)

“Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru / namamu akan selalu hidup dalam sanubariku / bagai prasasti terimakasihku untuk pengabdianmu”. Kalau mendengar lagu itu saya suka ingat guru-guru zaman SD, merekalah guru-guru yang sederhana dan bersahaja. Tapi masih ingatkah kau kawan guru-guru waktu SMA?.

Mungkin banyak yang tidak tahu bahwa Begawan Ekonomi SMANSA adalah seorang laki-laki tua yang sering memakai jaket Sampoerna Ijo dan sepatu Butterfly. Perawakannya kurus kering dan tidak terlalu tinggi, tapi meskipun begitu kalau urusan protes dan mengutuk pemerintahan otoriter Orde Baru, dialah juaranya. Kadang-kadang waktu menerangkan di depan kelas materi pelajaran entah ke mana, yang ada hanyalah kekesalannya kepada Soeharto dan kroninya. Pak tua yang berinisial AR tersebut pernah muntab, marah tingkat tinggi di depan kelas kami. Penyebabnya adalah ucapan lugu dan polos dari seorang kawan yang memakai kacamata minus, waktu pak AR bersemangat menerangkan sedikit teori ekonomi, kawan saya tiba-tiba bersuara dengan merdu : “cindeten”. Maka muntablah beliau, laci meja guru dibantingnya dengan tenaga penuh, ditambah dengan hamburan penghuni bonbin dari mulutnya. Tapi marahnya sempat jeda beberapa detik, karena tanpa sepengetahuan beliau, di dalam laci yang dibanting itu ternyata tersimpan sebuah Al Qur’an, beliau segera mengamankan kitab suci itu ke atas meja, lalu melanjutkan amarahnya.

Beberapa hari setelah itu, anak-anak kelas mulai memperlihatkan gelagat kurang baik , mereka ternyata sangat berbakat mengerjai guru. Dan korban pertamanya adalah guru Bahasa Inggris : Bu Ana. Kawan tentu belum lupa, bahwa ruangan kelas 1-6 adalah dia yang sudah lapuk dan sering bocor kalau hujan besar menghantam. Nah, di suatu pagi yang manis dan masih sangat awal, saya tiba di kelas dan mendapati Ryan Irung, Abank, Culonk, Sapto, dan Mamen tengah berunding serius bagai anggota parlemen yang sedang menggodok undang-undang anti pornografi. Kedatangan saya disambut dingin, mungkin takut konsentrasinya buyar, karena ini memang persoalan serius. Saya mendekati mereka dan terdengar Mamen angkat bicara : “Wah, moal baleg euy ieu mah diajar ge, kelas baseuh kieu, percuma urang ge moal semangat diajarna”. Abank langsung mengamini : “Heueuh Men, urang satuju, tapi kumaha mun bu Ana datang?”. Ryan Irung langsung menyambar : “Gampang, urang sabotase we”. Sapto ikut nimbrung : “Gampang kumaha sia teh Irung ?!”. Dengan gaya bagai Mc Gyver, Ryan Irung menjawab : “ Yeuh dangukeun ku maraneh, mempeung bu Ana can datang, meja jeung korsi kelas urang acak-acak, terus tihang bendera urang simpen di tengah-tengah, pan engke mun ngaberesan lila meureun, tah urang ngaberesanna ulah gagancangan, tenang we, ameh ke mun kelas geus beres, waktu bahasa inggris geus beak!!”. Tiba-tiba Culonk berteriak : “Anjiir, si Irung brilian euy idena, hade sia Irung, satuju aing!!”.

Dan waktu itu pun tiba, bu Ana mendapati murid-muridnya tengah bergerombol di depan kelas sambil ramai entah membicarakan apa. Beliau masuk ke kelas dan diam sejenak, lalu keluar lagi dengan senyumnya yang pahit, sepertinya beliau tahu apa yang sesungguhnya terjadi : “Anak-anak, sekarang cepat bereskan kursi dan mejanya, juga jangan lupa keluarkan air dari kelas sampai kering”. Anak-anak baik, rajin, dan pintar langsung merespon ucapan bu Ana tersebut, sementara gerombolan Trouble Maker pura-pura tidak mendengar dan meneruskan obrolan. Bu Ana sekali lagi berkata : “Ryan, cepat bawa teman-teman kamu itu ke kelas, bantu yang lain!”. Ryan dan gerombolan Trouble Maker lalu dengan langkah malas menuju kelas, tapi mereka tidak membantu membereskan kursi dan meja, tapi hanya bersikap layaknya mandor kuli bangunan. Karena kesal melihat Ryan dan gerombolannya hanya tunjuk-tunjuk saja, Adit protes : “Ah, maneh mah Ryan ngadon nitah wae ka batur, ari maneh sorangan teu ngabantuan !!”. Protes Adit dengan cepat dibalas : “Gandeng siah Bolor !!”. Lalu waktu terus beranjak, menyeret jarum jam ke angka 8.45, menandakan jam pelajaran Bahasa Inggris telah habis, bertepatan dengan selesainya pekerjaan membereskan dan mengeringkan kelas. Sebelum keluar bu Ana berdiri di depan kelas, tapi tidak berucap apa-apa, beliau hanya tersenyum pahit lagi, lalu keluar. Senyum itu, senyum pahit itu, nanti pada sebuah titik relativitas waktu, akan memakan korban.

Tapi kawan, tak ada yang lebih romantis melebihi guru fisika. Tentu kawan masih ingat, siang itu perut penuh sehabis makan bakso mas Broto, waktu matahari berada tepat di atas ubun-ubun, sementara angin berhembus pelan, dan pohon-pohon rindang tumbuh di pinggir kelas 1-6, amboi…itulah waktu terbaik untuk mengantuk. Sementara pak guru yang bernama Mr.(L) berdiri di depan kelas menerangkan rumus fisika yang terdengar timbul tenggelam, kepala saya pun mulai tidak seimbang, kadang condong ke kiri, kadang juga ke kanan, ngantuk yang sebenar-benarnya, seperti kanker memasuki stadium 4. Di sebuah menit yang kurang baik, tanpa sadar saya menguap dengan cukup keras : “hoaaaaaahh…”. Seketika Mr.(L) menghentikan kegiatannya, dan sepersekian detik kemudian dia mengarahkan pandangannya ke tempat duduk saya, lalu berteriak sangat keras : “Hai, Babon !!!”, dia menunjuk saya, lalu menunjuk pintu, sebuah gesture yang maknanya kurang lebih : “Gancang kaluar siah, sibeungeut heula ka cai !!”. Kurang ajar betul, dia panggil saya babon, kalau saja tidak takut kena DO, sudah saya hajar dia. Tapi : “Astaghfirullah”, saya tidak boleh marah seperti itu, walau bagaimana pun belian adalah guru saya, yang pasti tidak ada maksud untuk mempermalukan saya di depan anak-anak. Akhirnya saya bisa keluar, bisa meninggalkan pelajaran membosankan itu, setelah menutup pintu dari luar, saya tidak ke toilet, tapi melarikan diri ke ceu Emay : pesan es jeruk dan sebatang cigarette.

Saya duduk di bangku pinggir warung, sementara ceu Emay dan ceu Ipah sibuk menghitung uang dan membereskan dagangan yang kurang rapi. Angin kembali bertiup pelan, daun-daun tua jatuh perlahan sebelum akhirnya dipeluk tanah yang kering. Sebuah pohon rambutan di luar tembok sekolah terlihat seperti monster yang sedang ngantuk. Besok akan kembali datang, seperti waktu yang mengulang dirinya setepat-tepatnya dan selama-lamanya. Dan saya sedikit pun tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Semua masih misteri.

***

Musim tawuran. STM AMS menyerang SMANSA. Bentrok tak terhindarkan. Korban jatuh dari kedua belah pihak. Dede Erwan terluka. Anak-anak kelas 1 pulang ketakutan, nama sekolah yang selalu menempel di lengan sebelah kanan banyak yang dicopot, yang kebetulan memakai batik merapatkan jaketnya sampai ke kerah. Pasar Pelita, Ramayana, dan Odeon siaga satu. Anak-anak penderita rabun jauh alias bolor sedikit diuntungkan, karena musuh tak mungkin menyerang anak yang tampangnya seperti Bill Gate. Dari peristiwa bentrok inilah, kemudian muncul trend berjalan gaya AMS, sebuah trend berjalan yang selalu mengundang tawa.

***

Hari ke (13)

Matahari baru naik sepenggalah, hangat sinarnya menerobos ventilasi mesjid Ar Rahmah yang tidak jauh dari lembah sekolah. Dua ekor tupai berlompatan di dahan pohon kemiri, sementara sisa-sisa embun terlihat bening menggantung di daun pohon akasia. Di Dhuha yang hangat itu beberapa orang akang-akang RMBU meninggalkan kelas menuju Ar Rahmah, tentu bukan berarti mereka malas lalu membolos, melainkan karena bapak atau ibu gurunya tidak bisa hadir. Di Dhuha yang syahdu itu, mereka perlahan melepaskan sepatu dan segera diganti dengan bakiak, lalu melangkah menuju bak tempat mengambil wudhu. Kang Rangga yang pertama kali menyentuh keran air, kemudian perlahan diputar, perlahan dia berucap : Bismillaahhirrohmaannirrohiim….air keluar dari bak, tapi kali ini kang Rangga kaget bukan buatan dengan teriak yang tertahan : Astaghfirullah !!. 


Satu hari sebelum Kang Rangga kaget : 

Pulang sekolah hujan turun deras. Langit pucat seperti orang yang menderita anemia. Anak-anak perempuan berkumpul di depan ruang praktek biologi, menunggu hujan reda. Sementara sebagian anak laki-laki masih berada di dalam kelas, mungkin sedang diskusi mata pelajaran matematika. Saya sudah di luar, karena tak berselera untuk membahas rumus. Saya duduk di depan kelas 1-6 bersama anak-anak marginal, anak-anak yang berada di bawah garis kemiskinan prestasi akademik. Mereka termarginalkan bukan karena lemot bin adidas, melainkan karena cara belajar yang berantakan dan malas yang akut. 

Hujan semakin deras, rumput teki yang berada di depan kelas mulai terendam air. Anak-anak marginal melamun sambil mulai menyalakan cigarette setelah kelas tetangga steril dari guru. Haris Babat yang baju seragamnya jarang dimasukkan melempar wacana : “Yan, mun maen bola sigana rame yeuh. Geus lila pan urang tara huhujanan, mun nyleding ge geunah sigana?”. Ryan Irung seperti mendapat pemantik : “Wah, heueuh nya, bola aya pan?”. Tanpa menjawab, Rano yang duduk di sebelah Haris Babat langsung pergi menuju kelas, kemudian muncul lagi dengan bola plastik sudah ditangan : “Euy, nungguan naon deui?, hayu ah!!”, bola kemudian di lempar ke lapangan basah yang berada di depan ruang Biologi. “Waaah, hayu ah, turun kabeh barudak !!”, Mamen berteriak kasih komando, dan lihatlah anak-anak akhirnya terjun ke lapang yang basah, becek dan berlumpur. Beberapa detik sebelum bola dibagi, dari kelas terdengar teriakan yang bertabrakan dengan suara hujan : “Wooii, ngiluan urang euy !!”, Yogi Bamay dan mas Anton berlari menuju lapang. Maka lihatlah pertarungan tidak seimbang antara dua kubu, mirip pertarungan antara Queens Park Rangers Vs Manchester United, atau seperti di World Cup 2010 : Korea Utara Vs Portugal.

Korea Utara :

1. Jump punk 
2. Mamen
3. Culonk
4. Mas Anton
5. Andri Jubed
6. Ronald
7. Rano

Portugal :

1. Haris Babat
2. Sapto
3. Herlan
4. Ryan Irung
5. Yogi Bamay
6. Abank
7. Rizqa

Sementara di pinggir lapang yang terlindungi oleh atap bangunan, duduk empat orang dengan pandangan sendu karena kecewa tak bisa ikut serta dalam pertandingan. Dian Ujun tak mungkin pulang ke rumah dengan baju kuyup seperti kucing kedinginan, karena rumahnya sangat jauh, berada di luar tapal batas antara Kota dan Kabupaten : Padabeunghar. Fikri alasannya kurang jelas, antara takut dimarahi ibu atau malu takut ketahuan akang-akang RMBU. Irvan Sapari lain lagi, dia takut sakit demam, karena besok ada latihan Paskibra yang cukup berat : baris-berbaris dengan teriak dan gertak di bawah gigitan mentari siang. Kawan tentu sudah faham, kenapa Adit tidak bisa ikut? : kacamata minus 12 yang tebalnya sudah menyaingi keler kue lebaran, sangat tidak memungkinkan dia berlari dengan lincah dan akan kesulitan menguasai bola. Anak-anak perempuan yang tadi bergerombol di depan ruang praktek biologi, sudah pindah ke dekat warung koperasi. 

Pertandingan berjalan tidak seimbang, apalagi kubu Portugal dihuni pemain-pemain nasional kelas 1-6, waktu itu skill Haris Babat tidak jauh beda dengan Edwin van der Sar, Abank meskipun tubuhnya kecil, tapi lincahnya mirip Andy Cole. Yogi Bamay yang selalu mengklaim dirinya kembaran Beckam, lebih cocok kalau dia mirip dengan Paul Gascoigne yang sama-sama bertubuh gempal. Lapang yang sudah licin dan berlumpur menjadi media yang baik untuk menjatuhkan musuh, beberapa kali saya sukses menghajar Yogi Bamay. Meskipun kemenangan akhirnya berpihak kepada Portugal dengan skor 6-1, tapi yang keluar sebagai Man of The Match adalah gelandang bertahan Korea Utara yang berposisi di sayap kanan : Rano Rafiudin Al Mubarok. Penampilannya memang bertenaga kerbau dan licin bagai belut. Beberapa pemain Portugal susah melewati dia, tapi sayang di sayap kiri ditempati Andri Jubed yang kurang kokoh menjaga pertahanannya, sehingga gawang Korea Utara jebol 6 kali !!, tapi untunglah di kubu Korea Utara masih ada si Jump punk yang skill individunya sangat mirip dengan Dennis Bergkamp, sehingga mampu menciptakan 1 gol hiburan.

Dan hari pun menjadi sore setelah pertandingan itu, hujan sudah reda, anak-anak perempuan sudah pada pulang, mereka tidak berminat untuk menonton anak-anak bermain bola. Lalu para pemain menyerbu tempat wudhu mesjid Ar Rahmah untuk membersihkan diri. Karena yang antri banyak, sementara air hanya keluar dari keran yang tentunya sangat memakan waktu lama untuk menunggu giliran, maka Rano habis kesabarannya. Dengan sebuah gerakan coming from behind, tiba-tiba dia naik ke bibir bak dan menceburkan diri ke penampungan air untuk wudhu itu, bagai Archimedes ketika menemukan teori tekanan sambil berteriak : “Eureka !!”. Anak-anak pun akhirnya mengikuti jejak beliau, maka air bersih nan suci tempat Kang Rangga dan akang-akang RMBU mengambil wudhu, menjadi keruh oleh lumpur dan serpihan-serpihan rumput, keruh yang sebenar-benarnya, keruh pekat bagai bajigur. 

Walaupun mayoritas anak-anak kelas 1-6 jarang berinteraksi dengan akang-akang dan teteh-teteh RMBU, tapi ada beberapa fragmen yang mungkin masih kawan-kawan ingat. Tapi, apa sih RMBU itu?, karena lupa, saya mencoba mencarinya di Google dan Yellow Pages, nyatalah bahwa RMBU itu adalah semacam organisasi remaja-remaja yang kerasan nongkrong di mesjid dan sekitarnya. Akang-akangnya atau yang dikenal juga dengan panggilan ikhwan : kelihatannya sholeh, kalau berpapasan dengan lawan jenis alias bukan muhrim pandangannya menunduk seperti sedang mencari uang yang hilang, perkataannya halus dan cenderung pelan, tenang, dan pembawaannya ramah, air mukanya kebanyakan bersih dan bercahaya karena sering disiram air wudhu, dan jarang sekali saya melihat mereka marah. 

Teteh-tetehnya atau biasa dipanggil akhwat tidak jauh beda sikap dan kepribadiannya. Kalau akhwat mau berkomunikasi dengan ikhwan, biasanya tidak pernah sendirian, tapi selalu ditemani oleh akhwat yang lain. Dan cara berkomunikasinya pun tidak pernah bertatapan langsung, tapi selalu dibatasi oleh tembok mesjid, kalau pun tidak ada pembatas, mereka selalu berkomunikasi sambil menunduk, begitulah cara mereka berkomunikasi dengan lawan jenis. Mereka kelihatannya anggun dengan terus berusaha menjaga pandangan, jilbabnya panjang dan rapi. Pernah saya bertanya-tanya waktu itu : kenapa mereka mau-maunya berpakaian seperti itu?, sementara anak-anak perempuan yang lain tengah gembira dengan rok pendek abu-abu dan kaos kaki putih sebatas lutut bagai pemain sepakbola, dan jawabannya saya temukan dalam buku “Mencari Senyum Tuhan” karya Dr. Miranda Risang Ayu, di buku itu saya temukan paragraf ini :

“Dan kuturunkan kain ke dadaku. Kuturunkan dia supaya ikut tunduk pandanganku. Kuturunkan kain dari ubun-ubun menyungkup rambutku, supaya terlindung dan selamat aku, dari terik matahari ketika kerontang, pedih musim ketika dingin, serta gerayang panas mata dan tangan orang-orang yang berhati lemah yang berkeliaran sepanjang jalan. Kuturunkan kain ke sekujur tubuhku sapaya terjaga aku, tidak saja dari gangguan orang-orang yang aku temui tetapi juga dari godaan dalam diriku sendiri yang ingin bertingkah. Kain ini menyelematkan aku serta orang-orang disekelilingku dari daya tarik keperempuananku yang mungkin menipu. Dan kain panjang ini menjadi kulitku, diriku, identitasku. Tidak lagi bisa kulepas dia, apalagi kubiarkan dia direnggut dari diriku. Dengan kain ini aku berkata “tidak” kepada masa lalu yang lemah, kepada hubungan sosial yang eksploitatif, serta struktur ekonomi, sosial, dan politik yang tidak adil, memperbodoh manusia dan menghancurkan diriku sendiri. Kuturunkan kain menutupi tubuhku supaya aku bisa mengucapkan salam kepada dunia, bukan hanya dengan mulut tetapi juga dengan seluruh diri”.
Remaja Mesjid Bahrul Ulum, demikianlah nama organisasi akang-akang dan teteh-teteh tersebut. Nah, dengan komunitas seperti itulah kami pernah berinteraksi, ikut pengajian sebentar, atau ikut latihan nasyid, atau ada yang lebih mengesankan seperti tragedi Sapto :

Anak-anak sedang ramai menghakimi saya, kemarin mereka tersiksa 3 jam bersama akang-akang RMBU. Mereka merasa tertipu, pengajian yang awalnya diprediksi hanya setengah jam, menjadi molor 5 kali lipat karena ada acara semacam outbond di lembah sekolah. Dan gawatnya saya adalah yang mengajak mereka ke pengajian tersebut. Dasar karena mereka itu mentalnya mental bermain dan jalan-jalan tak jelas, maka acara pengajian bagai sebuah derita berkepanjangan. Yang paling bersemangat menghakimi, siapa lagi kalau bukan si Ryan Irung, dengan rambut belah tengah dan hidung kembang kempis yang dapat menghilangkan selera makan, dia berucap : “Heh, Jump punk koplok, teu baleg sia mah, pangajian teh badis we tilu taun. Ngomong we sia mah setengah jam, yeuh suku aing nepika singsireumeun lila teuing sila !!.” Si rizqo ikut menyambut dengan setengah gagap dan suaranya terdengar agak cempreng : “Heueuh sia mah Jump punk, a..a..aing ge panas bujur diuk wae dina kampret, eh ka..ka..karpet !!”. Culonk tak mau kalah : “Engke mah mun si Jump punk ngajakan deui pangajian tong daek barudak, mending ge ka imah si Herlan ngadahar sukro !”. Yang lain pun ikut menghakimi, semua bersahut-sahutan seperti kokok ayam di pagi hari. 

Lalu tiba-tiba datanglah Sapto, muka Bajurinya muncul dari balik pintu kelas. Dia kemudian ikut bergabung dengan kawan-kawan yang lain, dan tahulah dia bahwa anak-anak sedang membahas masalah pengajian kemarin. Tanpa disuruh dia tiba-tiba angkat bicara : “Heup, heup heula euy, urang boga carita yeuh”. Si Abank langsung menyela : “Naon sia deuih Sapto, batur mah keur nyarekan si Jump pung, maneh ngadon rek nyarita!!”. Sapto membalas lagi : “Yeuh, ieu mah carita ge lain sembarang carita”. Abank mulai tertarik : “Carita naon kitu?”. Sebelum berucap lagi, Sapto mengeluarkan puntung cigarette merk Djarum Super, dan anak-anak mulai mengerubunginya, saya terbebas untuk sementara : “Arjirr, urang era bieu bagoy. Urang kan indit ti imah jalan sawah, sabari nempo pare jeung ngararasakeun hawa isuk nu seger, urang nyundut Super. Eta pas keur ngeunah-ngeunah nyedot roko, ti pengkolan Gedong Panjang datang kang Roby, mangkaning haseup rokok can dikaluarkeun, anjirr meni engap euy nahan haseup. Tuluy kang Roby ngomong “Assalamu’alaikum”, piraku ku urang teu dijawab?, nya kapaksa we ku urang dijawab “eh, wa’alaikumsalam kang Roby..”, tah pas urang ngomong kitu…haseup roko ngebul euy kaluar tina lambeuy simkuring…anjirr eraaa bagoy !!”.

“whuaha..ha..ha..ha..ha…”, anak-anak kertawa keras, si Culonk sampai berguling-guling, sementara Mamen memegang perutnya terpingkal-pingkal. Sebuah hiburan di pagi hari yang menyegarkan.


Hari ke (12)

(Apakah waktu SMA ada yang pernah jatuh cinta? : jawabannya pasti ada. Tapi tak usahlah saya catat di sini, yang merasakannya pasti lebih faham bagaimana cara memperlakukan memory itu. Saya tidak mau memasuki wilayah merah jambu, sebab agak sedikit sensitif. Silahkan putar memory masing-masing kalau berminat mengingat kembali, tapi kalau tidak mau silahkan buang saja ke tong sampah).

Cukup hanya puisi berikut yang mewakilinya, sebuah puisi karya Sapardi Djoko Damono :

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api
Yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan
Yang menjadikannya tiada”. 


Hari ke (2)

Pagi-pagi sudah disuruh lari lagi ke Kerkop. Kuburan orang-orang keturunan Tionghoa itu pernah melihat saya waktu berlari ngos-ngosan di bawah bentakan anak-anak OSIS sialan. Selesai berlari lalu dibariskan di lapang basket sesuai kelasnya masing-masing. Saya berdiri agak di depan, lalu menengok ke belakang : Ya Allah menyedihkan sekali…wajah anak-anak seperti kepiting rebus, merah keungu-unguan, keringat berleleran di pelipis, nafas tidak teratur, tapi untung saja tidak ada yang bengek. Kemudian kami, anak-anak 1-6 digiring ke kelas yang berada di sisi lembah, tepat di samping base camp lama ekskul pecinta alam. Konon kelas tersebut menurut paririmbon pernah menjadi lokasi orang gantung diri, bulu kuduk saya tiba-tiba meremang.
Angin bertiup dari lembah menyapa pohon-pohon besar yang menjulang, serta semak-semak gelap tempat hidup keluarga biawak. Tiga hari dalam acara MOS (Masa Orientasi Siswa), tidak ada satu guru pun yang menampakkan mukanya di kelas, yang selalu berdiri di depan papan tulis adalah para panitia yang mayoritas anak-anak OSIS. Inilah waktu yang tepat buat para senior untuk mencengkramkan kukunya yang tajam. Tapi di kelas kami, kuku senior itu terlihat indah, sebab yang sering masuk bukanlah kang Uce Depp, atau Ana Boxer, melainkan teh Leti Narulita. Dan rasakanlah, dia rupanya salah masuk kelas, sebab yang dihadapinya adalah bocah-bocah hiperaktif seumpama cacing kepanasan. Andri Jubed, Abank, dan Sapto selalu merepotkan teteh yang kulitnya putih bagai lobak tersebut. Sementara yang lain ribut susah diatur, saya, Fikri, dan Rano malah duduk tertib tanpa banyak cakap, sebab di kelas itu kami tak punya kawan sealmamater waktu di SMP, lagi pula celana biru kami potongannya panjang, tidak pendek, tidak pula sontog, sebab kami berasal dari Madrasah Tsanawiyah dan SMP Islam. Kami bertiga seperti santri kampung yang kehabisan ongkos di tengah kota. Tapi nanti waktu akan menjawab, kemana kami akan bergulir, dan bagaimana kelakuan kami sebenarnya. 

Kalau teh Leti sudah keluar, itu artinya kami harus siap-siap menuju ke ruang senam, sebuah ruangan yang mirip kamp penindasan. Waktu itu kami belum kenal dengan yang namanya pak Ajat “dicaram teuas”, bu Ari guru agama, pak Moged, bu Nurcahya, pak Budi guru geografi, juga pak Heri guru Bahasa Indonesia yang legendaris, yang kalau beliau mengajar, pasti saya tidak mengerti. Guru-guru kami itu belum menampakan mukanya, mereka seperti sengaja sedang dipingit oleh Mr. Vredi Kastam Marta sang Kepala Sekolah. Dan tiga hari pertama kami masuk sekolah, Mr. Vredi mempercayakan kami kepada anak-anak OSIS, anak-anak birokrasi organisasi formal yang sedikit pun saya tidak berminat menjadi anggotanya. Bukan karena saya tidak suka berorganisasi, tapi menurut saya, organisasi macam begitu terlalu jumud, dan tidak menantang. Tapi setiap orang punya minat yang berlain-lainan, dan mereka berhak menentukan pilihannya.

Jauh sebelum David Beckam pindah ke LA Galaxy, karir dia sebenarnya telah hancur, dipermalukan oleh sepatu Nike berwarna kuning stabilo. Sepatu itu baru dibeli, usianya belum genap dua minggu. Sepatu yang kalau saja dia bernyawa dan bisa berbicara, pasti dia tak akan tinggal diam, tapi akan berteriak minta tolong karena tak kuat menahan beban yang beratnya di atas rata-rata. 

***

Rano membolak-balik halaman Al Qur’an, dia sedang mencari surat Al-Isra dan surat Luqman. Tadi ba’da sholat subuh, pak Engkus, salah satu imam mesjid An Nuur-Kebonjati, yang selalu mengisi acara kuliah subuh membahas mengenai “Keutamaan berbakti kepada orangtua”. Sebenarnya Rano juga ikut hadir di mesjid, tapi jiwanya tidak ada di sana, entah kemana, sebab dia tertidur pulas di sebelah saya, tapi untung tidak mendengkur. Maka setelah kuliah subuh bubar, di kamar tidur dia memeriksa ayat-ayat yang berhubungan dengan tema kuliah subuh yang dia lewatkan itu.

“Surat naon tadi teh Pes?”, yang ditanya tak menjawab, karena suara nasyid Izzatul Islam lebih keras daripada suara pertanyaan. Rano kemudian mendekati tape, mengecilkan volumenya dan bertanya lagi : “Tadi surat naon nu dibahas ku pak Engkus?”, barulah orang yang ditanya mendengar. “Eta surat Al-Isra jeung Luqman”, jawab Ipes sambil mendekati tape, berniat membesarkan volumenya. Rano kemudian menghampiri Al Qur’an lagi, tapi dia masih bingung, dan bertanya lagi : “Ayat sabaraha euy?”, tapi yang ditanya malah mengambil peralatan mandi lalu turun ke bawah, ditangga dia sempat berteriak : “Kawantu sare wae maneh mah, teangan soranganlah!”. Setelah sedikit bekerja keras, akhirnya ayat yang dimaksud ketemu juga. Dalam hati Rano membaca terjemahan ayat tersebut :

”Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra : 23)

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil." (QS Al-Isra : 24)

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman : 14)

Selesai mandi, Ipes bergegas lari, hari sudah mulai siang. Di kamar, dia mendapati kawannya yang tadi membolak-balik halaman Al Qur’an, tengah tertidur pulas. Dia tak banyak bicara, tapi segera memakai baju seragam, membereskan buku di dalam tas, lalu berdiri di depan cermin : menyisir rambut dengan 10 jari. Yang tengah tidur makin lelap, malah terdengar ada suara dengkur yang halus. Tadinya Ipes mau meninggalkan kawannya itu, tapi kalau jalan ke sekolah sendirian rasanya tidak seru, maka dibangunkanlah kawannya dengan cipratan air : “Hudang euy, sakola moal?!”, Rano tak terusik sedikit pun, sialan betul. Ipes ambil air lagi, sekarang agak banyak : ”Woooii, hudang euy, geus beurang, hayu sakola!!”, Rano menggeliat sedikit, menguap, lalu tidur lagi. Amboi…usaha kedua tidak manjur, kemudian Ipes membawa gelas yang penuh oleh air, sambil menyiramkan ke muka kawannya, dia berteriak : “Kahuruaaann…kahuruaaann….kahuruaaann!!!”, Rano bangun terperanjat, lalu loncat dari tempat tidur dan berlari ke bawah.


Hari ke (11)

Sepanjang jalan Rano terus menggerutu : “Ah, maneh mah ngareureuwas wae!”. Kami terus berjalan menuju pertigaan Bank BNI, tempat angkot mangkal. Anak-anak SMANSA sudah bergerombol menunggu angkut ungu no. 27, aroma macam-macam dari deodorant menjajah penciuman. Kalau posisi tempat duduk sudah terisi 57, plus yang duduk di dekat pintu, plus yang menggantung di bibir pintu, barulah angkot meluncur. Perbincangan di dalam angkot selama perjalanan ke sekolah tidak jauh dari PR dan tugas yang belum dikerjakan : karena malas atau karena pusing tidak mengerti, dan solusinya apalagi kalau bukan nyontek kepada anak-anak jagoan kelas, anak-anak yang selalu berada di garda depan prestasi akademik. 

Tidak sampai sepuluh menit, angkot sudah tiba di pintu gerbang sekolah, atau kalau sopirnya malas paling hanya sampai di dekat mesjid Bahrul Ulum. Sekitar 10 meter sebelum tiba di kelas 1-6, perut biasanya sudah terasa mules, sebab membayangkan rebutan nyontek yang ribut dan kompetitif. Bukan apa-apa, sebab di kelas 1-6 dominasi anak-anak malas begitu kuat dan mapan, jadi buku contekan milik para jenius biasanya menjadi bulan-bulanan para pekerja serangan fajar. Dengarlah itu, suara ribut mereka sudah eksis di pagi hari yang manis : “ke heula atuh bel urang ge can beres !!”, terdengar Culonk membentak. Tapi tak lama ada yang membalas : “gantian atuh sia teh, maneh mah geus nomer lima, urang mah can hiji-hiji acan !!”, sangat jelas itu adalah suara si Abank. Dan dengarlah, suara siapakah ini? : “Aduuh sia ngenah pisan nurun teh duaan we nyah?, tuh tingali sia teh umat hiji genep loba keneh nu can beres, gancang nulisna gantian !!”. Suara rebutan bahan contekan terus saja bersahut-sahutan. Saya yang juga belum membuat PR harus lebih bekerja keras, sebab sebentar lagi guru fisika akan segera datang. Dan benarlah, baru saja saya menyelesaikan nomor satu, bu Neneng, guru fisika itu telah berdiri di depan kelas. Inilah dia guru fisika yang sebenarnya, beliau adalah guru fisika kelas 1-6, sedangkan Mr (L), yang pernah meneriaki saya “Babon” hanyalah guru pengganti sementara, sebab waktu itu bu Neneng pergi menunaikan ibadah haji. 

Pelajaran kemudian segera dimulai, dan Alhamdulillah PR ternyata tidak dikumpulkan, anak-anak hanya disuruh mengerjakan soal-soal itu di papan tulis. “Ayo siapa yang mau ke depan?” bu Neneng membuka penawaran awal seperti di rumah lelang Christy. Pagi itu anak-anak marginal tiba-tiba budeg semua, mereka pura-pura tidak mendengar penawaran bu Neneng dengan sok sibuk menulis di buku. Dan yang ke depan, yang menyelesaikan soal-soal fisika itu, siapa lagi kalau bukan anak-anak yang bagai sudah kenyang oleh bimbingan belajar. Nah, di tengah suasana seperti itulah Rizqa membuat ulah : sebuah sikap ABG labil yang sedang puber dengan eksekusi yang sangat purba. 

Kawan tentu belum lupa : sebelum mendapat gelar Hajjah, guru fisika itu tidak memakai kerudung dan kalau mengajar sering memakai rok yang yang tidak terlalu panjang. Maka kalau beliau sedang duduk di kursi guru, kawan-kawan saya yang laki-laki banyak yang berdebar-debar, termasuk si Rizqa. Waktu Fikri berdiri di depan papan tulis untuk mengerjakan soal nomor 3, dan bu Neneng duduk manis di kursinya, tiba-tiba Rizqa dengan sengaja menjatuhkan pensilnya, reflek bu Neneng bertanya dengan rona muka penuh selidik : “Rizqa, sedang apa kamu?!”, sang tersangka dengan gagap yang akut mencoba mengelak : “Eng..eng..enggak bu, i..i..i..ini mau ngambil pul…pul..pulpen”. Usaha mas gagap gagal total !!. 

Waktu terus berlalu, anak-anak rajin bergantian menyelesaikan soal-soal fisika, sementara geromboran marginal asyik dengan dunianya masing-masing : ada yang masih nyontek, ada yang mengantuk, ada yang ngobrol NBA, dan ada juga yang bolak-balik ke toilet. Tapi memang hari itu adalah hari yang penuh dengan pelajaran berbau IPA. Setelah fisika usai, biologi sudah menanti di jam berikutnya. Bu Zakiah sudah stanby di ruang praktek biologi. Inilah dia ruangan yang penuh dengan hewan melata yang sudah diawetkan, dan sang primadona : apalagi kalau bukan ular. Ruangan yang seharusnya menjadi tempat menggali ilmu itu ternyata di tangan anak-anak meginal berubah menjadi tempat olok-olok dan bercanda. 

Korban pertama adalah Mikroskop. Waktu bu Zakiah lengah karena terlalu serius mengawasi anak-anak rajin, Sapto mulai membuat ulah : rambut Adit yang ditumbuhi beberapa uban dia cabut dan dipindahkan ke tempat benda atau objek yang biasa dilihat dengan mikroskop. Nyatalah uban yang kecil itu ketika dilihat dengan pembesaran beberapa kali, berubah menjadi sebuah gading gajah yang menawan. Sapto berseru dengan volume yang dikontrol dengan baik : “Anjiiirr, buuk si Adit jiga gading gajah kieu euy !!”. Culonk yang duduk di sebelahnya tentu penasaran dengan penemuan brilian itu : “Piraku sia teh, cik nempo aing !”. Culonk pun berseru dan tertawa keras, sebuah tawa yang tanpa disadarinya telah mengundang perhatian bu Zakiah, dan pesta gading gajah pun untuk sementara dihentikan, walaupun tawa kecil masih menggelitik perutnya. Setelah eksperimen uban, maka benda-benda lain pun bergantian dijadikan kelinci percobaan : dari air ludah sampai isi pensil mekanik. Tapi tak ada yang lebih heboh dari percobaan itu selain benda yang menjijikkan : upil. Saya lupa lagi, siapa orangnya yang waktu itu sangat tega mengambil penduduk hidung tersebut. Dan waktu benda itu dilihat lewat mikroskop, maka anak-anak berseru bergantian : “Edaaan, jiga batu di bulan euy!!”. 

Bu Zakiah dan anak-anak rajin mungkin sudah tidak peduli lagi, sebab ketika anak-anak marginal itu ribut, beliau anteng saja dengan kesibukannya. Tawa anak-anak semakin kencang ketika terjadi peristiwa Aditya Heriyadi : seperti yang sudah saya bilang, di ruangan praktek biologi itu penuh sekali dengan keler kue yang isinya sudah bertukar dengan berbagai macam hewan, dan mayoritas adalah ular. Anak-anak dari awal sudah tahu bahwa isi keler tersebut ular, tapi beda dengan si Adit. Kacamatanya yang sudah minus 12 karena konon dia pernah tertabrak motor waktu sekolah di SD, yang menyebabkan penambahan minusnya sangat cepat. Dia tidak tahu karena pandangannya agak kabur, maka demi memenuhi rasa pensaran, dia dekati keler tersebut dengan sangat pelan, selangkah demi selangkah, megendap-ngendap dan mengatur nafas sehalus mungkin, sampai jarak tinggal setengah meter pun dia belum yakin betul dengan hewan tersebut, dan tepatlah pada jarak kurang lebih 15 cm, dia akhirnya berteriak : “Ooooww, oray geuning !!”. Tawa pun pecah. Bu Zakiah ikut tersenyum.


Hari ke (10 )

Jam 08.35, matahari masih hangat, sehangat pisang molen yang belum lama diangkat oleh ceu Ipah dari penggorengan. Guru geografi belum juga datang. Kelas riuh oleh mulut yang hampir semuanya terbuka dan bersuara. Di kondisi seperti itulah, ide terbaik adalah main bola di samping kelas yang lahannya mirip tegalan karena sangat dikuasai oleh eurih alias rumput liar yang agak tajam. Bola plastik sudah digenggam Abank si Bocah Tua Nakal, dia lalu berdiri di depan kelas lalu mengetuk-ngetuk papan tulis dengan penghapus sambil berdehem : “Ehm..ehm..”, dan anak-anak tak perlu lagi penjelasan, mereka pun berhambur ke samping kelas untuk beradu skill mengolah si kulit bundar dari plastik. Kelas tetangga (1-5) tak dapat diganggu, sebab sedang dibantai pelajaran matematika. Mau menantang kelas 1-7 tak berani, sebab di dalamnya Wakasek berambut tomboy sedang gagah mengajar. 

Di dekat pohon-pohon rindang, 18 orang bocah laki-laki di bagi dua. Semuanya ikut main bola, tak ada lagi blok antara si rajin dan si malas. Sembilan bertarung melawan sembilan, maka kau dengarlah itu, suara ribut bagai di stadion Siliwangi. Dua tim saling adu kecepatan dan skill dribble. Teriakan meminta bola dari striker, atau marah dari kiper karena beknya kurang sigap menahan laju serangan musuh, atau rintih kesakitan dari para pemain yang cidera. Tapi suasana meriah, hangat, dan manis itu harus memakan korban, sebab kelas-kelas tetangga yang tengah belajar, tengah melakukan kegiatan tranfer ilmu, jadi buyar konsentrasinya. Kelas 1-5, 1-7, dan 1-8 menjadi korban terdekat dari ramainya pertandingan. 

Ketika pertandingan memasuki menit-menit yang menentukan, menit yang sangat menegangkan, tiba-tiba dari arah kelas 1-7, guru Bahasa Inggris berjalan dengan angkuh dan rona muka muntab, penuh kemarahan. Ya, Bu Christine sang Wakasek bidang kesiswaan hendak membubarkan dengan paksa pertandingan yang sangat seru tersebut. Anak-anak yang melihat gelagat kurang baik tersebut langsung kabur, berhamburan ambil langkah seribu. Sementara anak-anak tunggang-langgang meninggalkan gelanggang, saudara Irvan Sapari yang posisinya sebagai kiper dan kebetulan membelakangi kelas 1-7, tidak tahu bahwa bahaya sedang mengintainya. Dia santai saja, bahkan masih sempat berseru : “Wooooii, rek kamarana?, pan can beresan !!”, tapi anak-anak tak menghiraukan seruannya. Dan ketika jarak bu Christine dengan saudara Irvan Sapari tinggal 3 meter, barulah bocah malang itu tahu bahwa dirinya tengah menjadi pesakitan. Dengan secepat kilat dia pun kabur, lari yang sebenar-benarnya, bukan buatan kawan, larinya seperti seorang penderita diare menuju wc umum. Fisiknya yang kuat sebagai seorang Paskibra membantunya melakukan langkah seribu itu. 

Para tersangka pembuat keributan yang tadi bermain bola tercerai-berai, sebagian ada yang ke warung, dan sebagian lagi masuk kelas. Bu Christine belum stabil, amarahnya tidak turun sedikit pun, bahkan makin bertambah setelah tahu bahwa salah satu tersangkanya adalah anak Paskibra. Sementara di kelas, para tersangka mau berusaha mengelabui pengejarnya. Sapto yang keringatnya masih berleleran, rambut kumal, dan badannya masih berbau hangus, berpura-pura menagih infaq laku akang-akang RMBU kalau ada berita dukacita : “yang mau infaq, silahkan…silahkan…”, sambil tangannya memegang bungkus kapur tulis yang sudah kosong berwarna hijau bergambar kepala sarjana, untuk diisi dengan uang. Ketika bu Christine masuk kelas, teriakan Sapto semakin keras agar efek actingnya dapat menawan hati si pengejar. Tapi kawan dengarlah ini : “Jangan pura-pura nagih infaq kamu, ibu juga tahu kamu semuanya habis main bola, bikin ribut saja, kalau tidak ada guru diam di kelas !!!”, beliau lalu keluar sambil menendang pintu kelas dengan sepatu highheel-nya. Anak-anak diam sejenak, setelah itu ribut lagi, dan keluar kelas lagi.
Kali ini meraka hanya duduk-duduk saja di depan kelas, tak berani meneruskan pertandingan, apalagi saudara Irvan Sapari, dia masih pucat dan berkeringat dingin. Tak disangka sedikit pun olehnya, anak-anak menjadikan dirinya sebagai tumbal ibu Wakasek. Sebagian yang tadi bersembunyi di warung tukang bubur telah kembali ikut bergabung, semuanya nongkrong di depan kelas. Tapi lagi-lagi Abank si Bocah Tua Nakal sudah dengan gagah berdiri di dekat pintu sambil memegang si plastik bundar, dia kembali bersuara : “Ehm..ehm..”, dan kali ini anak-anak tak menanggapinya. Dia berusaha lagi, suaranya semakin dikencangkan dan dibuat seberat mungkin : “Ehhmmm….ehhmmm…”, anak-anak tak bergeming. 

Di tengah suasana kaku itulah tiba-tiba seorang bintang palsu berdiri dan menyambut bola dengan tangannya, lalu dilempar ke lapang yang ada di depan kelas 1-5. Ya, Yogi Aldila Karmana si Beckham palsu telah menggulirkan bola, dan lihatlah aksi dia selanjutnya : Sendirian dia menggocek bola di atas rumput teki yang mulai menghijau lagi setelah beberapa hari ini diguyur rahmat hujan. Sepatu Nike baru yang berlogo contreng berwarna kuning stabilo menari-nari mempermainkan si kulit plastik. Waktu itu tidak turun hujan, tidak juga ada petir yang menyambar-nyambar, tidak juga angin kencang yang bertiup. Komposisi alam berada pada hakikatnya yang syahdu, hangat, dan tenang. Tapi entah kenapa tiba-tiba Beckham wannabe ini kehilangan keimbangan, tubuhnya yang tadi meliuk-liuk tiba-tiba oleng, limbung, dan “Bluggh!!” : seperti suara karung beras yang dilemparkan dari atas truk. Ternyata sepatu Nikenya menginjak pinggir si kulit plastik. Karirnya hancur seketika, bukan main malunya si Beckham ini, setelah bangkit dari pengkhianatan sepatu, dengan beberapa tanah yang mengotori seragam putihnya, dia akhirnya jongkok di depan kelas 1-5, sendirian. Sementara anak-anak berguling-guling tertawa, mereka tak memperhatikan wajah mas Beckham yang terlihat murung dan kelabu. 

***

Sebelum sepakbola indah gaya total football dibubarkan secara paksa oleh Bu Christine, dan sebelum mas Beckham karirnya hancur, di kelas 1-6 sudah mulai terdengar nama-nama asing yang sebelumnya tidak pernah saya dengar. Saya yakin betul, haqqul yakin, bahwa di buku absen kelas 1-6 tidak ada yang namanya M****m, S****n, W***u, Y***f, dan Iim. Nama-nama itu tidak pernah terdengar sama sekali, tapi entah kenapa sedari tadi pagi gerombolan marginal mulai menyebut-nyebut nama itu. Culonk telah berganti nama menjadi S****n, Haris Babat menjadi M****m, Sapto berubah menjadi W***u, dan bung Ryan Irung menjadi akrab dengan panggilan 11 Meter. Kejadian ini membuat Rano kaget bukan main. Sambil berucap : “Alhamdulillah, untung saja anak-anak tidak tahu nama Bapak saya”, dia diam-diam berniat untuk menelusuri kitab suci tentang keutamaan berbakti kepada kedua orangtua. Dan esok harinya, setelah bangun dari tidur yang cukup pulas, dia mulai membuka lembar-lembar Al Qur’an.
***

Kalau saya siang itu, kira-kira jam 12.45, duduk di bangku bus way, dan pergi ke arah Salemba sambil mendengarkan SORE, bukan berarti saya sedang mencari ilham, sebab Ilham kawan saya sedang kuliah lagi di UNPAD, bukan pula sedang memancing inspirasi. Tapi benar-benar karena ingin membeli National Geographic di daerah Matraman, tentu saja sebuah majalah yang masih di segel dengan bandrol 50,000 rupiah. Sudah berkali-kali saya melihat majalah itu, dan onde mande gambar-gambarnya bagus semua, tentu para fotografernya sudah pada lihai macam Darwis Triadi. Kali ini saya ingin belajar lagi Geografi dan Antrophologi, ingin mengunjungi gunung-gunung tinggi, lembah-lembah yang manis, sungai-sungai yang deras, ingin menyapa suku-suku pedalaman, atau ingin tahu makhluk apa saja yang ada di dalam kambium. Bus way terus laju, sementara SORE terus berbunyi : No Fruits for Today, Etalase, Bogor Biru, Apatis Ria, Setengah Lima, dan Somos Libres. 

Sebelas tahun yang lalu, kira-kira jam 12.45, saya tidak sedang duduk di bangku bus way, tapi sedang duduk layu di dalam kelas. Mata anak-anak hampir semuanya sudah bertenaga 5 watt, apalagi yang duduk di dekat jendela, angin sejuk yang berhembus melewati pohon asem membuat matanya semakin redup. Pak Budi guru Geografi sedang bersemangat menerangkan fenomena-fenomena geosfer di papan tulis, guru muda lulusan IKIP Bandung itu, eh maaf…UPI maksud saya, terus saja merayu anak-anak dengan ilmunya yang masih hangat karena belum terlampau lama beliau melepaskan toga. 

***

Hari ke (4)

Akhirnya MOS selesai, sudah saatnya kami bertemu muka dengan guru-guru yang semuanya baru, sebab semua guru waktu SMP tidak ada yang mengajar di sini. Kelas pun pindah, yang asalnya berada di dekat lembah, kini agak naik ke atas, sangat strategis karena bertetangga dengan kantin dan tanah kosong tempat bermain bola. Susana kelas masih agak kaku, hanya satu dua orang saja yang mulai cair dengan kawan baru. Sampai di sini belum kentara betul mana yang rajin, mana yang setengah rajin, mana yang pura-pura rajin, dan mana yang menderita malas akut. Buku tulis semuanya baru, mayoritas bermerek Sinar Dunia, Kiky, dan Mirage, buku Leces sudah tidak musim. 

Guru yang pertama kali masuk bukan wali kelas, tapi guru matematika. Rasakanlah itu, mantap sekali, hari pertama sudah dihajar pelajaran berhitung !!. Namanya bu Sumi, tapi anak-anak sering memplesetkannya dengan sebutan Schumacher, si pembalap F1. Rupa-rupanya ibu pembalap ini ingin mengetahui sejauh mana kapasitas murid-murid barunya dalam pelajaran berhitung, maka lihatlah beliau menulis banyak soal di papan tulis dan menawarkan kepada anak-anak untuk rebutan mengerjakannya di depan, siapa yang paling cepat unjuk tangan maka boleh mengerjakan satu soal. 

Waktu itu, ketika suasana pergaulan belum cair, yang sering menyelesaikan soal-soal matematika bukanlah para jagoan akademik yang sering menghuni sepuluh besar, melainkan anak-anak marginal yang karena malas akhirnya sering menjadi penghuni zona degradasi. Andri Jubed, Ronald Kaunang, dan bung Sapto adalah mereka yang paling gemar menunjukkan kemampuannya di depan bu Sumi. Sementara Fikri Muhammad, Mira Dianti Rachman, Dinar Lestari, Siska Ambarsapari, Lisna, Neng Anita, dan pasukan sepuluh besar lainnya, waktu itu seperti para pendekar sakti dari Bukit Tenggarong yang dengan sengaja diam, menyembunyikan kuku-kuku tajamnya, menghidden kemampuannya. Demikianlah tabiat para pendekar itu, mereka membisu di awal, dan setelah sekolah berjalan memasuki hari ke tujuh, barulah mereka menguasai papan tulis sampai caturwulan ke-3 habis di penghujung. 

Saya walaupun bukan pendekar sepuluh besar, tapi ikut diam juga, bukan untuk menyembunyikan jurus-jurus jitu, melainkan sedang membayangkan sebuah payung : pagi itu hujan turun deras, langit dikuasai awan kelabu, dan dari tanda-tandanya, sepertinya hujan akan berlangsung lama, bisa jadi sampai nanti siang, sampai sekolah bubar, padahal saya tidak membawa payung, dan itu artinya nanti pulang sekolah akan basah kuyup apalagi kostan saya cukup jauh : Cibaraja-Cisaat. Demikianlah, pikiran saya tidak berjejak di kelas, tapi sudah melayang jauh ke depan, ke jam bubar sekolah. Tapi itu tidak berlangsung lama, sebab suara bu Sumi menghentikan lamunan : “Hai, kamu belum pernah ke depan ya?”, dia menunjuk ke arah saya. “Siapa bu?”, pura-pura tidak tahu. Dari belakang terdengar ada yang berbisik : “Maneh dokter titah ka hareup!”, di awal masuk sekolah bung Ryan Irung masih memanggil saya “dokter” hanya karena saya memakai kacamata. Baiklah, akhirnya saya berdiri dan dengan gagah berani menghampiri papan tulis, apa sih susahnya “bagi kurung?” : saya habisi soal itu dalam satu menit.

Setelah jam matematika habis, barulah wali kelas kita datang. Logat Jawanya amat kental, dan akan terdengar aneh kalau beliau menyebut nama-nama hewan dan tumbuhan dalam bahasa latin. Beliau memang guru biologi, dan menjadi sangat terkenal karena sering menyebut-nyebut nama penyakit yang sering menyerang piranti vital : Raja Singa. Ryan Irung menjadi bulan-bulanan wali kelas, dia sering diolok-olok mengidap penyakit memalukan ini, tetapi pada kenyataannya siapa pun tidak tahu, hanya Tuhan, Ryan Irung, dan Raja Singa yang tahu keadaan yang sesungguhnya. Tapi tak usahlah kita berbanyak cakap membahas penyakit ini, karena siapa pun tentu tidak ada yang mau diserang dan menjadi korban kejahatan Raja Singa.

Lalu guru-guru yang lain masuk bergantian, semuanya terkesan datar saja, tidak ada first impression yang kuat. Apalagi guru sejarah, karena kurikulum yang dijaga ketat oleh Depdiknas, maka pelajaran sejarah tidak jauh dari sekitar : pemberontakan PKI Madiun, BPUPKI, Perjanjian Renville, pemberontakan PETA, long march Pasukan Siliwangi, serangan umum 1 Maret, dan yang sejenisnya. Atau kalau mau loncat ke belakang, maka akan dibahas : zaman megalitikum, punden berundak-undak, kapak batu, tulisan di dinding gua, hidup nomaden, dan sebangsanya.
Pelajaran sejarah jauh dari kesan menantang, seolah-olah ilmu itu dibatasi oleh tembok yang sangat kuat, dan kita tidak bisa menembusnya, seperti terjebak dalam kuldesak. Kalau saja waktu itu saya tidak bertemu dengan buku karangan Ahmad Mansyur Suryanegara, pasti minat saya pada Sejarah Pergerakan Indonesia akan hangus dan tak berbekas. Beruntunglah generasi sekarang, keran ilmu sejarah telah dibuka dengan bebas. Buku-buku yang dulu dianggap haram kini dapat diakses dengan mudah. Buku-buku seperti Tetralogi Buru yang dulu peredarannya disekap Jaksa Agung, kini dapat diapresiasi sebagai salah satu referensi sejarah, terlepas dari pro dan kontra. Pelajaran sejarah ini pasti jadwalnya jam pertama pada hari senin, setelah upacara bendera, sebuah padu-padan yang sempurna bukan?.

Tidak sampai memakan waktu berbulan-bulan, suasana kelas mulai cair, bahkan sesekali ada gelombang pasang. Ini salah satunya tentu tidak terlepas dari celetukan mas Anton yang menyudutkan Ryan Irung. Dari hari pertama semanjak celana panjang khas SMU sah untuk untuk dipakai, mas Anton selalu menentang arus : celana panjangnya selalu ngatung alias cingkrang. Dulu waktu mereka masih berseragam SMP, celana potongan sontog selalu kena razia, kain celana pendek yang dipakai bocah laki-laki tidak boleh di bawah lutut, semuanya harus di atas lutut, kalau tidak percaya tanyakan saja sama bung Sapto, beliau pernah kena razia. Nah, waktu mas Anton memakai celana ngatung, maka anak-anak pun mengolok-oloknya bahwa dia memakai celana sontog. Celana sontog memang selalu kentang, kena tanggung. 

Di sebuah jenak waktu, ketika bu Zakiah menulis nama-nama latin hewan unggas di papan tulis, yang tentu saja nama-nama latin itu susah untuk diingat, Ryan Irung memulai aksinya ; dengan melirik sedikit ke arah mas Anton, dan sedikit senyum jahil yang menyebalkan, dia berteriak dengan syahdu : “Bu..bu…, Anton celananya sontog!!”. Kontan kelas menjadi ramai, anak-anak mulai tertawa. Sekilas mas Anton seperti seorang petinju yang kalah TKO, karena kami menyangkanya dia akan diam saja seperti biasa. Tapi kawan, beberapa detik sebelum bu Zakiah menenangkan kelas dengan membalikkan badan, serta gerakan yang slow motion seperti di film Matrix, tiba-tiba mas Anton melancarkan serangan balik yang sangat telak : “Bu…bu…, Ryan hidungnya sontog !!”. Skak mat. Ryan Irung tak berkutik, dia hanya menunduk kelu, hidungnya kembang-kempis, sementara kelas semakin gaduh. 

Setelah pelajaran biologi selesai, tawa anak-anak belum sepenuhnya reda, masih ada saja sisa tawa yang mirip kuda. Mas Anton terlihat tersenyum cerah persis seperti cahaya matahari waktu dhuha. Sementara Ryan Irung sudah tidak terlihat di kelas, rupanya dia terduduk lesu di pinggir kelas. Anak-anak mencoba menghiburnya, tapi tetap saja dia murung. Dengan pelan dia mulai berkata : “urang teu nyangka sauetik-eutik acan, eta si mas Anton sakitu lungguh, kalem, tapi cicing-cicing oge geuningan auuuuuu…!!”. Anak-anak tak mengerti, hampir bersamaan kemudian bertanya : “naon maneh teh cicing-cicing auuuuu…!!”, dan langsung dia jawab : “heueuh, cicing-cicing pi*nj*ngeun !!”. Tawa pun pecah, tapi bung Ryan Irung tetap saja murung. 

Hampir tujuh orang yang mengerubunginya : Abank, Culonk, Sapto, Mamen, Haris Babat, Rano, dan saya. Semuanya seolah-olah menjelma menjadi Mario Teguh atau Andri Wongso yang menghujaninya dengan kata-kata hikmah dan motivasi penuh semangat. Sementara anak-anak sibuk menghiburnya, yang dihibur malah diam saja dan perlahan mukanya terlihat agak merah, rona mukanya seperti sedang menahan sesuatu, aneh sekali dan mencurigakan. Dan tiga detik kemudian, Sapto mencium sesuatu yang busuk, hidungnya mengendus-ngendus : “Hmmff..hmmff..asa hanyu kieu euy, hanyu naonnyak??”, yang lain ikut-ikutan mengendus, dan memang kawan, bau busuk itu semakin terasa mencucuk hidung. Ketika anak-anak sibuk dengan serangan bau busuk yang tiba-tiba itu, dengan muka yang semakin merah dan sedikit meringis, Ryan Irung bangun dari duduknya dan berlari kencang ke arah toilet. Anak-anak kemudian berseru : “Tungiiir, rek kamana maneh?!!”, dan Ryan Irung menjawab sambil berteriak : “bamang yopooorrr…!!!”. Nyatalah sekarang, siapa pelaku penebar bau busuk itu, para penghibur telah dikhianati gas beracun beraroma closet. Anak-anak marah dan jengkel bukan kepalang : “S***n, pantesan hanyu cubluk, si jurig geuningan yopor !!!”, terdengar Mamen menyumpah. Lalu bersahut-sahutanlah serapah yang lain : “#%^**&^%#@^$#@^&*(&(*^&%.....!!!!!!”.

Demi membalas tuntas kelakuaan bung Ryan Irung, akhirnya tujuh orang yang dikhianati itu menyusun sebuah rencana jitu, sebuah langkah konkret untuk menyalurkan kekesalan : Tumpuk Cue !!. Kawan, tentu acara yang satu ini pada awalnya belum populer, dan boleh dibilang dari aksi balas dendam inilah sejarah Tumpuk Cue di bermula. Masa sih sudah lupa?, Tumpuk Cue adalah aksi menjatuhkan seorang korban hingga telungkup atau terlentang di lantai atau di atas meja, lalu satu-persatu para pelaku menindihnya dengan diawali sebuah loncatan yang manis, persis seperti seleberasi seorang pencetak gol yang ditindih kawan-kawannya. 

Rencana telah matang, yang ditunjuk sebagai eksekutor alias yang menjatuhkan korban adalah siapa lagi kalau bukan Sapto Bajuri, sementara yang lain bersiap dengan jurus-jurus loncatan yang variatif. Inilah saatnya membuat si penebar gas baracun menjadi manusia yang paling menderita sesak nafas !!. Anak-anak semuanya masuk kelas, pintu kelas sengaja ditutup dari dalam biar terkesan ada guru yang sedang mengajar, biar si Ryan Irung bersegera masuk kelas. Padahal di dalam para pembalas dendam sedang bersiaga dengan rencananya. Sapto sengaja berdiri di pinggir pintu untuk melancarkan serangan yang mendadak dan mengejutkan. Sementara yang lain sudah oke di posisinya masing-masing : Mamen dan Haris Babat berdiri dekat papan tulis, saya duduk di kursi guru, Culonk duduk di kursi paling belakang bagai disengaja agar terkesan cool seperti intel, Abank dan Rano duduk di atas meja untuk sebuah loncatan yang unforgettable.

Suasana kelas dikondisikan sunyi seperti sedang dalam konsentrasi penuh belajar. Kelas dikuasai para pembalas dendam, anak-anak perempuan yang protes langsung dibungkam dengan sedikit rayuan dan gertakan. Lima menit sudah berlalu, tapi tanda-tanda kedatangan si Ryan Irung belum ada. Memasuki menit ke tujuh, tiba-tiba terdengar bunyi sepatu dari luar. Sapto menyimpan telunjuknya di bibir dan membuka lebar kupingnya, artinya tak lain adalah : “tong gandeng euy, korban geus datang!”. Bunyi langkah kaki semakin dekat dan jelas, anak-anak semakin berdebar-debar, beberapa orang menahan nafas, yang mau buang angin sengaja ditahan dulu. Rano dan Abank yang tadi duduk di atas meja sekarang sudah berdiri, bunyi langkah semakin nyaring, dan jarak tinggal lima meter….empat….tiga….dua….satu…. : “Assalamu’alaikum”, bu Ari guru agama, dengan Jilbabnya yang rapi muncul dari balik pintu. 

***
Dialog Imajiner 

Delapan bulan saya kost di Cibaraja-Cisaat. Karena jaraknya terlalu jauh dengan sekolah dan merasa tidak betah, akhirnya saya pindah ke Kebonjati, tinggal di Mesjid An Nuur bersama Rano dan anak-anak SMP Islam An Nuur. Maka setiap pagi saya tidak lagi naik angkot 08 (Cisaat-Pasar Pelita), tapi cukup hanya berjalan ke pertigaan di depan Bank BNI, atau berjalan membelah jalan Jend. Ahmad Yani, melewati Kota Paris, lalu turun ke bawah menuju pertigaan dekat rel kereta api, menunggu angkot yang datang dari arah Ramayana. Setiap hari begitu, berdua dengan bung Rano yang kakinya jarang bertemu dengan kaos kaki dan baju jarang dimasukkan. 

Persisnya saya lupa lagi, entah caturwulan berapa atau entah kelas berapa?, Suci Marisa atau Ucie (jangan lupa belakangnya pakai huruf “e”, biar lebih gaya) pindah rumah ke Cianjur. Maka kalau berangkat sekolah, saya dan bung Rano sering melihat dia turun dari bis jurusan Bandung-Sukabumi, turun di jalan Siliwangi. Kawan tentu masih ingat, dia adalah yang sering berambut pendek yang depannya agak panjang, jadi kalau menunduk sedikit, rambut bagian depannya itu akan menutupi mukanya, persis seperti gorden kamar di waktu maghrib. Ada lagi ciri lainnya : sepatu hitam, kaos kaki putih selutut, dan kuku tangan sering dikasih warna cerah bagai es krim.

Sekali waktu saya sempat membayangkan sebuah dialog imajiner dengan bung Rano, dialog tentang betapa hebatnya sekolah kami :

R : “Pes”

I : “Naon?”

R : “Naha si Ucie sok datang ti arah Bandung, pindah kitu imahna?”

I : “Piraku maneh teu apal?, pan geus dua minggu imahna pindah Bandung, ka Kopo”.

R : “Masya Allah, imah di Bandung ngadon sakola ka Sukabumi?!!, pan di Bandung loba meureun SMA, naha teu pindahnya??”

I : “Hei bung, di Bandung mah euwueh sakola nu alus, garoreng kabeh, tidak ada yang berkualitas. SMANSA Sukabumi teh sakola pang alusna sa-Jawa Barat !!”

R : “Ah, nu bener euy?!, sing baleg ah!! ”

I : “Dibejaan maneh mah kalahkah malikan. Yeuh dangukeun, malahan menurut kabar terbaru dari Dikti, SMANSA Sukabumi teh anyeuna geus jadi sakola percontohan, geus jadi nu pang alusna sa-Indonesia !!”

R : “Oh kitu?, pantesan si Ucie ngabelaan berangkat jauh-jauh ti Bandung ka Sukabumi. Tapi urang mah asa karunya euy, ti imahna jam sabarahanya?, jigana keur tunduh keneh si eta wayahna geus berangkatnya?”

I : “Ari seorang pelajar yang baik mah kudu kitu atuh, kudu daek peurih heula. Tidak peduli berangkat sekolah dengan kondisi masih lulungu dan mata masih cepel, yang penting keur kahareupna, demi masa depan yang gilang gemilang !!”.

R : “Salut urang mun enya kitu mah !!.

Tentu saja dialog itu tidak pernah terjadi, karena Rano tidak pernah bertanya seperti itu, lagi pula Ucie tidak pindah ke Bandung, melainkan hanya ke Cianjur. Mengenai kualitas SMANSA Sukabumi, kawan-kawan tentu dapat menilai dan merasakannya sendiri, berada di peringkat berapa sekolah kita itu. 

***

Apa menariknya melumuri orang dengan telur dan tepung, pada tanggal dan bulan yang sama ketika dia dilahirkan oleh ibunya dengan segenap perjuangan, dengan darah, bahkan nyawa sekalipun?. Maka saya tidak pernah berminat dengan perayaan ulangtahun yang konyol itu, yang menghambur-hamburkan butir-butir telur dan tepung terigu untuk ditaburkan ke kepala, muka, dan badan oranglain. Saya lebih memilih acara makan-makan, setelah sebelumnya diawali dengan beberapa potong do’a. Kawan, kau pun boleh mengingat kembali, bahwa kita sekelas pernah pergi ke Balandongan, ke ulangtahunnya Amie (kenapa ya ujung namanya harus ada huruf “e” ?, persis kaya Uchie). Anak-anak senang bukan kepalang, karena mereka bisa makan-makan sampai kenyang, dan bercanda yang sepertinya tiada ujung. Tapi saya perhatikan tidak ada yang kasih kado, kecuali satu orang, nama orangnya saya lupa lagi. Kalau saja waktu itu Dewi Lestari sudah membuat buku “Filosofi Kopi”, tentu akan sangat menarik jika sebuah tulisannya yang berjudul “Lilin Merah” dibawa serta ke Balandongan :

“Ada kalanya kesendirian menjadi hadiah ulang tahun yang terbaik. Keheningan menghadirkan pemikiran yang bergerak ke dalam, menembus rahasia terciptanya waktu. Keheningan mengapungkan kenangan, mengembalikan cinta yang hilang, menerbangkan amarah, mengulang manis keberhasilan dan indah kegagalan. Hening menjadi cermin yang membuat kita berkaca, suka atau tidak pada hasilnya. Lilin merah berdiri megah di atas glazur, kilau apinya menerangi usia yang baru berganti. Namun, seusai disembur napas, lilin tersungkur mati di dasar tempat sampah. Hangat nyalanya sebatas sumbu dan usailah sudah. Sederet do’a tanpa api menghangatkanmu di setiap kue hari, kalori bagi kekuatan hati yang tak habis dicerna usus. Lilin tanpa sumbu menyala dalam jiwa, menerangi jalan setapakmu ketika dunia terlelap dalam gelap. Berbahagialah, sesungguhnya engkau mampu berulang tahun tiap hari.” 

***

Hari ke (5)

Saya tidak tahu, siapa sebenarnya yang pertama kali memanggil Siska dengan sebuah panggilan yang begitu anggun : So You Know. Anak-anak laki-laki selalu memanggilnya begitu selama hampir satu tahun penuh. Kalau diperhatikan, memang interaksi dia dengan anak-anak laki-laki, terutama yang marginal, terkesan seperti dua kutub magnet yang saling menolak. Dia sering kena olok-olok dan ejekan yang sengit. Bahkan ketika dia terjatuh di kelas, lalu karena mungkin malu bercampur sakit, dia menangis serupa bocah yang kehilangan kembang gula, tapi tetap saja para marginal tidak ada seorang pun yang membantunya untuk bangun, mereka malah menertawakannya dengan penuh keceriaan. Hanya anak-anak perempuan yang masih peduli dan membawanya ke ruang guru. Kemudian waktu jam pelajaran dimulai kembali, dan dia telah keluar dari ruang guru, lalu masuk kelas dengan masih menyisakan mata yang merah sehabis menangis, dan anak-anak laki-laki kembali menertawakannya. 

Kali ini yang berdiri di depan kelas adalah guru Bahasa Indonesia yang legendaris. Masih muda, cara mengajarnya susah dimengerti, dan kumisnya hanya tumbuh dipinggir saja. Kalau sedang mengajar banyak tersenyum kepada anak-anak perempuan. Beliau paling gemar menenteng buku LKS (Lembar Kerja Siswa) yang berwarna biru telor asin, dan ukuran kertasnya lebar di atas rata-rata. Kalau mengajar hanya buku itu saja yang dipegangnya. Awalnya beliau tinggal di sekolah, di sebelah ruangan komputer, tapi kemudian pindah ke daerah gang Ajid, dekat rumah si Abank, tidak jauh dari kawasan Dago Sukabumi yang banyak dihuni sekolah. Waktu beliau masih tinggal di sekolah, sebagian anak-anak marginal pernah menginap di ruangan komputer dan ngaliwet bersamanya. Saya tidak tahu, kenapa anak-anak bisa dekat dengan pak Heri, sampai kalau kita ketahuan sedang bakar cigarette pun, beliau tidak pernah marah atau menegur. 

Maka kalau pelajaran Bahasa Indonesia datang, anak-anak santai saja, PR atau tugas yang belum dikerjakan tidak menjadi beban, sebab gurunya tidak akan marah. Dan itulah akibatnya, guru yang terlalu dekat dengan murid, serta gaya yang tidak menyakinkan akan susah membentuk persepsi yang baik. Kasusnya lumayan heboh, waktu itu pak Heri seperti biasa sedang mengajar dan sesekali berkeliling ke bangku anak-anak untuk memeriksa tugas, lalu beliau berkata : “Ayo cepat kerjakan tugasnya, jangan sampai tidak kehabisan waktu!”, tapi dari belakang terdengar ada yang menyahut : “Tenang aja pak, Sam Soe pak!”. Kelas pun menjadi gaduh dengan tawa, dan pak Heri tak bisa mengendalikannya. Wibawanya sebagai seorang guru longsor, dan beliau mencoba marah, tapi kelas tetap ramai. Pembunuhan karakter yang sempurna, dan itu tidak boleh terulang lagi.

Setelah pelajaran Bahasa Indonesia selesai, dan pak Heri telah meninggalkan kelas dengan kepala tertunduk, kelas menjadi sepi, anak-anak menghilang, hampir semuanya menghambur ke kantin. Sementara saya dan Mamen hanya duduk saja dipinggir kelas, sebab perut masih kenyang, tadi pagi sudah dihajar nasi kuning ceu Emay. Langit cerah, sesekali rombongan awan kecil berarak melintas. Dahan-dahan pohon rambutan yang berada di luar pagar sekolah bergoyang manja, ditiup angin siang dari barat. Sambil ngobrol kami tak berani membakar cigarette, sebab ini hanya jam istirahat, guru-guru masih mengusai sekolah. Awalnya perbincangan berjalan tenang dan lancar, kami membicarakan masalah agama dan humor-humor segar Abu Nawas. Tapi si Mamen ini kadang-kadang menjadi kurang ajar betul, waktu saya bilang : 

“Men, mun ku urang diperhatikeun, ternyata jelema nu awakna leutik teh lolobana mah pinter. Contona jiga Habibie, geus sabaraha taun manehna jadi Menristek, terus manehna oge kan lulusan Jerman, malahan mah lulusna oge Cum Laude alias exelent. Tong jauh-jauh ieu mah, di kelas urang we, pan nu pang pinterna kan si Fikri, sarua si eta ge awakna leutik”.

“Ah, tapi teu kabeh Pes, eta si Abank jeung si Rano kurang kumaha leutik awakna, pan rankingna mah ancur-ancuran. Tempo we ku maneh raportna, meni hese manggihan angka tujuh teh, komo dalapan mah hese pisan, da ampir kabeh nilaina genep.”

“Ulah kitu sia teh bel ka babaturan!”, saya mencoba sengit.

“Da kanyataanna kitu atuh. Persis jiga kasus kacamata. Ceuk batur ceunah nu dikacamata teh lolobana mah cerdas. Ah, tapi ceuk urang mah henteu”, gelagat kurang baik mulai tercium.

“Saha contona?”, saya mencoba bersikap dingin.

“Piraku teu apal si Adit, kurang kumaha kandelna kacamata si eta, mun dibeubeutken oge moal peupes saking ku kandel, tapi pan si eta oge sarua, sabelas-dua belas jeung si Abank, rankingna ampun-ampunan”, penuh semangat dia menjelaskan, dan Alhamdulilah dia tidak menyerang saya. Tapi tidak lama, dia bicara lagi.

“Aya keneh Pes conto nu lainna, lain si Adit hungkul”, dia terlihat seperti tersenyum, senyum yang ditahankan dan menyebalkan. Saya mulai tak enak hati. Dia kembali meneruskan.

“Babaturan urang oge aya nu sarua jiga si Adit. Manehna urang Jampang, teuing Jampang belah mana, pokona mah negara hieum weh. Ari beungeutna mah jiga seorang Aristokrat euy, teu jauhlah jeung Kak Seto, tapi ampun pisan, raportna parah, Bahasa Inggris meunang lima, sesana dikuasai ku genep jeung tujuh”, sialan betul, dia membongkar nilai raport saya.

“Jurig siah, geus ah, ulah ngabahas nu kitu, mending urang meuli jus mangga, haus yeuh, yu ah!”, saya mengakhiri olok-oloknya.

“Siaplah, tapi urang euweuh duit leutik yeuh, garede kabeh, sagede-gede panto.”

“Geus kalem, loba duit mah.”

Kami lalu ke kantin, pesan jus mangga dua gelas.Sementara anak-anak mulai masuk kelas lagi, sebab bel sudah berbunyi, artinya istirahat sudah selesai. Saya buru-buru menghabiskan jus, sebab tak enak kalau terlambat, apalagi pelajaran selanjutnya adalah PPKn, pelajaran yang beraroma moral dan tingkah laku. Tapi apa boleh buat, si Mamen bilang tak usah buru-buru, santai saja katanya, sebab pak Eko, guru PPKn itu, masih kata dia, adalah guru paling baik se-Kodya Sukabumi, beliau tak pernah marah. Begitulah akhirnya, kami sengaja masuk terlambat, dan bukan karena keinginan saya, tapi si Mamen yang menjerumuskan saya, kalau diartikan ke dalam bahasa Belanda, kurang lebih : kabawa sakaba-kaba.

PPKn sudah berlalu setengah jam, waktu kami dengan sedikit malas akhirnya masuk kelas. Kali ini lagi-lagi saya menjadi korban. Saya disuruh masuk kelas duluan dan membuat alasan yang mantap. “Beungeut ente lebih bisa dipercaya daripada urang”, begitu katanya. Lalu, setelah saya menemukan alasan yang mantap, berjalanlah kami ke kelas, dan mengetuk pintu sambil mengucap “sepadaaa!”, tapi kurang keras jadi tidak terdengar oleh pak Eko. Saya ganti ucapannya menjadi “Assalamu’alaikum”, lalu perlahan membuka pintu. Waktu kepala saya nongol dari balik pintu, pak Eko bertanya :

“Wa’alaikumussalam, dari mana saja kalian kok bisa terlambat?,” suaranya tenang dan empuk.

“Maaf pak, tadi habis dari perpustakaan. Keasyikan membaca buku jadi lupa waktu, pas lihat jam, tahu-tahu waktu istirahat sudah habis,” jawab saya tak kalah tenang dan tak grogi sedikit pun. Si Mamen hanya manggut-manggut saja di belakang, mukanya dikondisikan seperti seorang kutu buku. Mungkin karena saya memakai kacamata dan sudah minus satu koma lima, maka pak Eko bisa yakin bahwa saya seolah-olah seorang kutu buku, seorang pemuda harapan bangsa yang banyak bergaul dengan buku, dengan tumpukan kertas yang bisa membuka jendela dunia. Tentu saja anak-anak 100% tidak percaya, maka dengarlah suara mereka :

“Huuuuuhh, maca buku ti Hongkong, paling oge ti ceu Emay geus ngaroko!!”, tapi pak Eko tak terpengaruh, karena beliau tidak mau suudzon kepada siapa pun, termasuk kepada muridnya.

“Ya sudah, cepat duduk”

“Terimakasih pak”. Betul kata si Mamen, pak Eko memang guru yang paling baik se-Kodya Sukabumi. Tak ada sedikit pun kecurigaan dari garis wajahnya, tak ada syak wasangka sedikit pun, padahal kami telah berbohong. Wajahnya betul-betul jernih, penuh dengan gurat prasangka baik. 

***

Pasukan Berani Main 

Sepertinya tak ada satu kelas pun yang dapat melebihi kelas 1-6 dalam hal bermain. Tiap hari main. Tiap hari jalan-jalan tidak jelas. Pulang sekolah tidak pernah dipusingkan dengan PR ataupun tugas, semuanya bisa dibereskan pagi hari waktu serangan fajar : mencontek para pendekar kelas. Tentu ini hanya berlaku bagi gerombolan Troble Maker saja, sebab sisanya adalah tunas-tunas bangsa yang rajin dan berdedikasi penuh kepada pelajaran, dan sebagian anak-anak tanggung : anak-anak yang punya dunia sendiri, abu-abu, gradasi antara suka bermain dan rajin belajar. 

Seperti pada hari Senin itu, ketika bel pulang sekolah berbunyi, seperti biasa para marginal tidak langsung pulang, melainkan duduk-duduk santai di pinggir kelas. Cuaca sedang bagus, sebuah pesawat supersonic terbang jauh di langit, asap putihnya membentuk garis lurus. Dua layang-layang terbang rendah, saling menyerang dan membelit, lalu salah satu putus sebab gelasannya telah rapuh, terdengar suara bocah bersorak di luar tembok sekolah. Si Abank berniat mau mengejar layangan putus itu, tapi diingatkan oleh bung Sapto, bahwa beliau bukan seorang anak kecil lagi, meskipun posturnya demikian. Hari itu tak ada jadwal, acara makan-makan baru sabtu kemarin diadakan di rumah bung Herlan di Ciaul. Tapi anak-anak tak putus asa, setiap pulang sekolah pasti akan keluyuran dulu, dan siang itu akhirnya diputuskan untuk pulang lewat ke Nanggeleng, lewat sawah, meskipun tetap belum ada rencana acara yang pasti. Anak-anak membelah gedong panjang, beberapa rumah dilewati, lalu masuk ke area pesawahan dan berjalan menyusuri setapak sawah, atau kalau ditranslatekan ke dalam Bahasa Prancis artinya : galengan. 

Namanya juga sawah, tentu ada saja makhluk-makhluk kecil yang berkeliaran macam kodok, bancet kole, ulat, atau pun ular. Kawan juga tentu tahu, bahwa tekstur tubuh hewan-hewan itu semuanya menggelikan, sehingga banyak orang yang segan memegang atau bertemu dengan mereka, seperti kawan saya : bung Sapto. Dia paling geli dengan kodok, apalagi kodok hijau, dan saya yakin dia tak pernah sekalipun menyantap swike di warung-warung yang berjajar sepanjang Astana Anyar, Bandung. Hal ini tentu sangat dirahasiahan oleh bung Sapto agar jangan sampai ketahuan anak-anak, sebab kala bocor akibatnya bisa gawat, dia sadar anak-anak punya bakat jahil yang mumpuni. Tapi seperti halnya perselingkuhan para artis, rahasia yang dijaga rapat itu akhirnya bocor juga, si Culonk penyebabnya. 

Karena setapak sawah itu lebarnya hanya cukup untuk satu orang, maka mau tak mau berjalan pun harus berjajar ke belakang, harus antri seperti di ATM, laku orang-orang Baduy Dalam. Yang berjalan paling depan adalah bung Herlan, tubuhnya tinggi besar seperti pohon asem di depan kelurahan, sehingga dia tak mungkin untuk disalip, sebab kalau coba-coba berani, dipastikan tubuh si penyalip itu akan terpelanting ke sawah yang berlumpur. Di belakangnya berdiri bung Mamen, lalu bung Sapto, Culonk, Abank, Jump Punk, Rano, Haris Babat, Rizqa, Yogi Bamay, dan bung Ryan Irung. Barisan itu kalau dilihat dari jauh, kira-kira dari jarak 30 meter, tak jauh beda dengan barisan “ABRI Masuk Desa”, begitu rapi dan teratur. Tapi bagaimana pun rapinya barisan, insting dan sinyal bercanda tetap kencang, tak berkurang sedikit pun. Dan lihatlah siapa yang menghentikan langkah barisan itu?.

Culonk yang posisinya berada di urutan ke empat tiba-tiba jongkok, dan menghentikan barisannya di belakang. Ketika barisan mau protes, dia langsung membungkamnya dengan menyimpan telunjuk di bibirnya yang sengaja dimonyongkan. Sementara tiga orang yang berjalan di depannya terus melaju : Herlan Balon, Mamen, dan Sapto tak tahu dengan konspirasi yang sedang disusun di belakang. Culonk kemudian menangkap seekor kodok yang sedang meloncat-loncat pelan di dekatnya. Lalu dengan gerakan cepat dia berlari mengejar bung Sapto dan melemparkan kodok itu ke tubuhnya. Dengan spontan Bung Sapto berlari menjauh sambil teriak : “Wadaw… Umiii tuluuung..!!!”, dia blingsatan berlari ketakutan. Tapi Culonk langsung berteriak : “Men, jagaan tah si Sapto, tong sina leupas, urang bere bangkong !!”, bung Mamen langsung sigap, dengan di bantu Herlan Balon, mereka menghang-halangi jalan, mencoba menghambat laju bung Sapto. Sementara korban mulai kebingungan, di belakang si Culonk mengejarnya dengan kodok di tangan, dan di depan sudah berdiri dua orang sekutunya. Tiba-tiba Sapto balik kanan, dia mencoba mencari jalan alternatif, tapi mana ada jalan alternatif. Di sebelah kiri : sawah dengan lumpur yang kental seperti coklat yang dipanaskan. Dan di sebelah kanan : kolam ikan yang airnya hijau, juga banyak dihuni oleh kodok dan bancet kole. 

Dia semakin gugup dan kebingungan, sementara si Culonk sudah semakin mendekatinya. Para sekutu kurang ajar pun semakin menyeringai menghalangi jalan. Dia semakin terjepit, satu meter lagi Culonk akan sampai dan pasti akan menghujaninya dengan kodok, di depan tak bisa di tembus karena bung Herlan berdiri tegap mirip Giant musuhnya Nobita. Culonk akhirnya berhasil melemparkan kodok untuk kedua kalinya, kodok meluncur deras menuju muka bung Sapto. Korban berusaha menghindar dengan loncat ke kanan, sebuah loncatan yang benar-benar manja, dan : “gejeburrrr…!!!”. Sapto mendarat di kolam ikan yang airnya hijau pekat, kepalanya menghilang di balik air, gelembung udara terlihat menyembul ke permukaan, tanda nafasnya masih ada. Beberapa detik kemudian kepalanya muncul, dia batuk-batuk karena air kolam menyerang rongga mulut dan hidungnya, istilah kerennya : kabesekan. 

Anak-anak ramai sekali, tertawa dan bersorak, persis seperti pasukan gerilyawan yang telah berhasil memukul mundur musuh. Tubuh saya menggigil karena tawa, dan sambil memegang perut sempat juga saya lihat : bung Sapto merangkak terseok-seok menaiki tebing kolam yang licin, pakaiannya kuyup dan kotor, mukanya mengundang iba, dan tragisnya tak ada seorang pun yang membantunya terbebas dari kolam busuk itu. Dan di sinilah salah satu keajaiban bung Bajuri : setelah berhasil naik, dia pun ikut tertawa, tidak ada sedikit pun dendam, dan penyakit hati lainnya, seolah-olah dia sudah kenyang dengan pengalaman hidup dan sudah lama bergaul dengan Aa Gym. Sebagai bentuk permintaan maaf, anak-anak akhirnya mengantarkan dia sampai ke rumah. Sepanjang jalan bocah-bocah SD menertawakannya, untung saja mereka tidak mengaraknya bagai perlakuan kepada orang gila. 
Sampai di rumah, para marginal malah dijamu makan siang. Ibunya tak tahu kalau anaknya adalah korban kejahatan para begundal. Beliau menyangka bung Sapto terjatuh karena dikejar anjing galak. Demikianlah, setelah puas mendzolimi putranya, kami bersantap siang sampai kenyang. Dan pasukan berani main terus beraksi…

***

Paling tak enak punya nama pasaran. Waktu pagi-pagi sekali melihat hasil UMPTN di koran Pikiran Rakyat, begitu banyak yang bernama Irfan, tapi tak satu pun yang angka registrasinya cocok dengan angka saya : gagal total, Universitas negeri hanya impian. Lalu test di POLBAN dan PNJ : gagal juga, akhirnya pulang kampung sebagai seorang pecundang.

Nama adalah do’a, begitu kata guru ngaji saya di kampung. Dan saya menemukan begitu banyak nama samaran alias nick name yang sepertinya menempel lekat dengan nama aslinya. Contohnya nama Abank selalu melekat pada seorang Putra Bayu Satria Surbakti. Begitu juga dengan nama pasaran, di kelas 1-6 ada beberapa nama kembar yang terkadang sedikit membingungkan guru. Ada Indri Arieska dan Indri Tresnawati, Sri dan Sri (dua-duanya saya lupa nama panjangnya), dan sialan betul, ternyata nama Irfan pun ada dua : Irfan Teguh Pribadi dan Irvan Sapari. Tapi sebenarnya kalau kalian jeli, nama saya itu tidak kembar, tidak sama dengan bung Sapari. Nama saya Irfan, memakai “f” untuk kata “fanta”, sedangkan bung Sapari, nama depannya adalah Irvan, memakai “v” untuk kata “victory”. Tentu yang paling membedakan antara saya dengan bung Sapari adalah pada sepatu. Beliau sering memakai sepatu pantovel, atau yang berbau semi militer, sebab beliau adalah anggota Paskibra SMANSA. Sedangkan sepatu saya, jauh lebih keren, keren bukan buatan, kawan pun tentu belum lupa, sepatunya bintang NBA : John Stockton.

***

Bintang Lima (Sebuah Sisi Melankolik)

Rahman Sidik alias mamen, boleh saja mengklaim namanya menjadi Mamen Durst, meniru vokalis Limp bizkit : Fred Durst. Sama halnya dengan Herlan Balon, boleh saja dia menyukai Helloween, tapi di kamar kedua-duanya tetap saja bisa ditemukan kaset Dewa tanpa 19, album “Bintang Lima”. setelah mengeluarkan album “Pandawa Lima”, Dewa 19 kemudian pecah, personil yang tersisa hanya Dhani Ahmad dan Andra Ramadhan, sisanya keluar : Erwin Prasetya, Ari Lasso, dan Wong Aksan. Setelah lama vakum, kemudian muncul lagi dengan album Bintang Lima, dan tambahan dua personil baru : Tyo Nugros dan Elfonda Mekel aka Once. 

Saya masih ingat, selain Mamen dan Herlan, Yogi Bamay pun ternyata menyukai album ini. Dia katanya paling suka yang lagu “Dua Sejoli”, saya faham waktu itu, kenapa bung Yogi suka banget sama lagu yang itu, alasannya sudah jelas, tapi saya diam saja tak banyak cakap. Maka setiap kali saya main ke rumah mereka, suara Once sering terdengar. Maka ada suatu masa, ketika Ciaul, Nyomplong, dan Kebon Cau dikuasai nada-nada melankolik. Sementara saya sendiri tak bisa menikmatinya di An Nuur, sebab lagu yang begitu sangat dilarang. Penghuni mesjid hanya boleh mendengarkan murotal Al Qur’an dan Nasyid. Meskipun begitu, tapi saya masih ingat lirik yang ini, tapi judul lagunya entah apa, saya lupa lagi :

Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku, 
meski kau tak cinta kepadaku. 
Beri sedikit waktu, biar cinta datang 
karena telah terbiasa.

***

“Dalam diriku mengalir sungai panjang, darah namanya
Dalam diriku menggenang telaga darah, sukma namanya
Dalam diriku meriak gelombang sukma, hidup namanya.”

(Sapardi Djoko Damono)

***

Mungkin hanya anak-anak 1-6 yang memanggil guru dengan panggilan “Paman”. Sebuah panggilan manis yang seolah-olah antara murid dan gurunya mempunyai hubungan darah yang sangat dekat, padahal tidak ada sedikit pun. Waktu itu Word, Excel, Powerpoint, dan kafilah Ms. Office yang lain belum kami kenal. Monitor komputer terlihat hitam bagai jelaga, sebab kami hanya belajar DOS. Kalau mau mengetik, baru datang program yang lain bernama WS, yang ribetnya minta ampun, semuanya menggunakan keyboard, sehingga harus hapal semua tombol dan fungsinya yang tidak sedikit. Dan guru mata pelajaran berbau teknologi itu bernama Samsizar. Nah, karena bernama demikian, maka anak-anak memanggilnya Paman Sam, beberapa orang memanggilnya Uncle Sam, persis seperti keponakan bebek memanggil Paman Gober yang kaya raya. 

***

Hari ke (6)

Lain komputer, lain pula Akuntansi. Guru yang sering menerangkan tentang jurnal ini bergaya sok klasik dengan vespa yang ga unik-unik amat, biasa banget, standar PNS dekade 90-an akhir. Rambutnya keriting merekat, tapi akan lebih renyah kalau gaya rambutnya itu kita sebut saja : galing muntang. Namanya akan mengundang simpati para bobotoh Persib Maung Bandung sa alam dunya, karena namanya persis dengan nama sang legenda : Adjat Sudrajat. Tapi bagi kami, anak-anak 1-6, bukan hal-hal seperti itu yang membuat dia agak terkenal, dongkol sih sebenarnya, yaitu waktu beliau menyuruh kami membersihkan kelas 1-8, sebuah kelas di mana beliau menjadi wali kelasnya. Selain itu beliau juga punya beberapa kosa-kata baru yang dimaksudkan untuk melucu, padahal mah biasa saja. Ya, kosa kata macam : dicaram teuas, getih luhur, dan begieu. Tentu maksudnya adalah : dilarang keras, darah tinggi, dan begini. 

Lalu kenapa kami sampai dihukum dengan pekerjaan seperti seorang pembantu rumah tangga?. Jadi begini, siapa pun pasti tidak akan semangat untuk belajar kalau materi yang diterangkan susah dimengerti, anak-anak rajin yang memaksakan diri untuk belajar hanyalah pura-pura semangat, agar bapak guru tidak merasa kecewa. Mereka memang anak-anak penuh perasaan, toleransi, tenggang rasa, tepa salira, rajin menabung, tidak sombong, minum susu dan cuci kaki sebelum tidur. Intinya, mereka adalah kelompok anak-anak yang tidak akan mengancam IPOLEKSOSBUDHANKAMNAS (ini singkatan apa sih, kok panjang banget, udah disingkat tetep aja panjang!). 

Tapi kali ini, mereka menyerah. Pelajaran Akuntansi, yang sebenarnya tidak terlalu banyak menghitung seperti Fisika dan Matematika, benar-benar membuat mereka bosan dan jenuh. Jangan tanya para gerombolan marginal, pelajaran baru berjalan sepuluh menit, mereka sudah TKO : banyak yang menguap dengan mata berair karena ngantuk yang dahsyat, beberapa orang mulai melamun, pikirannya sengaja dibawa mengembara jauh meninggalkan pak Adjat (jangan lupa untuk selalu menyertakan huruf “d”, sebelum huruf “j”, seperti pada kata “djarum”. Harap maklum beliau kan orang lama, ejaannya belum disempurnakan oleh J.S. Badudu). Sementara di depan, pak Adjat masih semangat menerangkat tentang aset, kas, utang, piutang, biaya tetap, biaya variabel, dan lain-lain. 

Setelah melihat, mendengar, dan merasakan fakta seperti ini, maka pada sebuah siang yang garang, ketika jadwal sudah berputar kembali ke pelajaran Akuntansi, waktu angin barat bertiup kencang mencumbu pohon katapang dan pohon pisang di pinggir kelas, maka semua anak-anak kelas 1-6 desersi dari kelas alias kabur alias melarikan diri alias hoream untuk belajar Akuntansi (bukan meniru tersangka teroris jika banyak aliasnya). Dan pak Adjat yang memang datangnya agak terlambat, akhirnya hanya mendapati kelas yang kosong, kelas yang sunyi bagai orang sedang merenung, pak Adjat kalah WO. Amarahnya beliau tabung untuk pertemuan selanjutnya. 

Dan hari pembalasan pun tiba. Sebelum anak-anak kabur lagi, pak Adjat sudah berdiri menyeramkan di depan kelas. Tanpa basa basi busuk, beliau langsung berucap : “mau hukuman apa kalian?!”, kelas sunyi tak ada satu orang pun yang menjawab. “Suruh siapa minggu kemarin pada kabur?!”, lagi-lagi beliau melepaskan pertanyaan bernada tekanan. “Ryan, coba kamu jawab !!”, sontak bung Ryan Irung kaget bukan kepalang. Dengan terbata-bata dia pun terpaksa menjawab : “nggak ada pak, saya seksi keamanannya”, dia mencoba membela diri dengan membawa-bawa jabatan satpam ,yang sebenarnya di kelas 1-6 tidak pernah ada jabatan formal seperti itu. “Justru seksi keamanannya yang harus paling bertanggungjawab!!”, kali ini bung Ryan Irung tak berkata lagi, kelas semakin sunyi. Dan vonis pun dijatuhkan : semua warga kelurahan 1-6 wajib mengepel kelas 1-8, hukumnya fardu ain !!. 

***

ABSEN :

Saya yakin, dulu waktu naik ke kelas dua, waktu warga 1-6 pecah karena dipisahkan oleh kelas baru yang berbeda-beda, tak ada satu orang pun yang dengan sengaja mem-foto copy absen kelas yang biasa tergeletak di meja guru. Lagi pula buat apa repot-repot harus mem-foto copy?, kaya ga ada kerjaan aja. Tapi kalau pada sebuah waktu yang bagus, misalnya saja saya ikut kuis “Who want to be a milionare”, dan Tantowi Yahya melemparkan sebuah pertanyaan aneh bagaimana?. Pertanyaanya itu adalah : 

“Sekitar tahun 1998-1999, di SMA Negeri 1 Sukabumi terdapat sebuah kelas yang bernama kelas 1-6. Nama wali kelasnya ada bu Zakiah Asma Yunita. Dari puluhan murid yang menghuni kelas tersebut, terdapat seorang siswa yang bernama Yogi Aldila Karmana. Pertanyaannya adalah : di manakah siswa itu bersekolah waktu SMP?

a. SMP Negeri 2 Sukabumi
b. SMP Negeri 3 Sukabumi
c. SMP Negeri 4 Sukabumi
d. SMP Negeri 5 Sukabumi

Pilihan bantuan tinggal Call the friend, karena bantuan Fifty-fifty dan Ask the audience sudah dipakai. Nah, dalam kondisi seperti itulah saya betul-betul butuh bantuan bung Yogi Bamay, atau kawan-kawan yang lain sesama warga 1-6 yang mungkin tahu jawaban tersebut. Tapi kalau tidak tahu nomor teleponnya, dan bahkan lupa lagi nama anak-anak 1-6, saya harus nelpon siapa lagi?. Untuk mengantisipasi kondisi seperti inilah akhirnya saya mencoba mengabsen kelas 1-6 (jangan lupa harus berurutan sesuai alfabet, yang tidak terabsen dan yang namanya kurang lengkap ; wayahna, suruh siapa namanya susah diingat) :

1. Amie Amalia - (Alumni SMP Begég)
2. Andri - (Alumni SMP 2 Sukabumi)
3. Anton - (Alumni SMP 2 Sukabumi)
4. Ari Saptono - (Alumni SMP 9 : sekolahnya kumuh dekat pasar Pelita)
5. Deliana - (Entah alumni mana, lupa lagi, yang jelas pernah sekolah di SMP)
6. Dian Heryanto - (Alumni SMP 1 Sukabumi, rumahnya di Kabupaten)
7. Dinar Lestari - (Sama seperti Deliana)
8. Dita - (Sama seperti Dinar Lestari)
9. Esti - (Kalau ga salah orang Surade : salah satu negara hieum)
10. Fauziah - (Pindah ke Bogor pada caturwulan 2)
11. Fikri Muhammad Abdul Wahab - (Alumni Darul Arqom, Garut)
12. Haris Ahmad Basuki - (Alumni SMP 2 Sukabumi)
13. Herlan Zaelani - (Alumni SMP 2 Sukabumi)
14. Ina - (Sama sperti Dita)
15. Indri Arieska - (Sama seperti Ina)
16. Indri Tresnawati - (Sama seperti Indri Arieska)
17. Irfan Teguh Pribadi - (Moal dibeja-beja ah, bisi comel)
18. Irvan Sapari - (Alumni SMP 2)
19. Lisna - (Sama seperti Indri Tresnawati)
20. Lusi - (Sama seperti Lisna)
21. Mira Dianti Rachman - (Kalau ga salah orang Sagaranten)
22. Neng Anita Rosita - (Alumni YASTI, Cisaat)
23. Putra Bayu Satria Surbakti - (Alumni SMP 1Sukabumi)
24. Rahman Sidik - (Alumni SMP 1 Sukabumi)
25. Rano Rafiudin Al Mubarok - (Alumni SMP An Nuur, Kebonjati-Sukabumi)
26. Rizqa Ahmad Yunus - (Alumni SMP 2 Sukabumi)
27. Ronald Kaunang - (Kalau ga salah alumni SMP Sukaraja)
28. Ryan Firmansyah - (Alumni SMP 6 Sukabumi)
29. Siska Ambarsari - (Sama seperti Lusi)
30. Sri 1 - (Sama seperti Siska Ambarsari)
31. Sri 2 - (Sama seperti Sri 1)
32. Suci Marisa - (Alumni Begég)
33. Syukron Soleh - (Alumni SMP 5 Sukabumi)
34. Vianti Nuruldini - (Sama seperti Sri 2)
35. Yogi Aldila Karmana - (Jawaban yang benar ada pada Tantowi Yahya)

Aduh, hampura Dit, ente teu katulis. Hampura pisan euy pak Guru!.

***

Diucapkan atau pun dituliskan, kata-kata tetap saja punya daya gores yang kuat. Dia tidak bisa sepenuhnya menyembunyikan ketajamannya. Apalagi kalau dia dilepaskan di ruang sosial, tempat bersemayamnya lalu-lintas komunikasi, resikonya pasti selalu mengancam. Tak mustahil banyak telaga darah yang merasa tersinggung, atau pun merasa dilecehkan. Kita dilahirkan berbeda, dan ritus perkawanan hanya berfungsi sebatas mendekatkan yang berbeda itu, lainnya tidak.

Waktu terus mengulang dirinya setepat-tepatnya dan selama-lamanya. Ramadhan sudah menunggu di depan, dia tentu tidak akan pernah menolak, ketika banyak pribadi menitipkan ruhaninya untuk diisi ulang, dia menerima siapa saja yang mau bermetamorfosis. Inilah waktu yang tepat bagi Part 1 - Part 4,5 untuk merunduk meminta maaf, atas hamburan kata-kata yang mungkin tidak berkenan.

Perjamuan itu sebentar lagi akan datang, siapa yang bisa menjamin kita bisa sampai ke Ramadhan tahun ini?, tidak ada. Selamat menyambut perjamuan sejati.

"Aku hilang bentuk, remuk
Aku mengembara di negeri asing
Di pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling". (Ch. Anwar)

***

Hujan. Di luar terdengar suara merdu : air dan bumi beradu. Dari balik kaca jendela yang berembun, terlihat samar air jatuh di daun pohon jambu, di tiang listrik yang kedinginan, di rangka layang-layang yang tersangkut kabel telephon, di atap rumah tetangga, di kubah mesjid yang menyembul di kejauhan, dan di pucuk pohon belimbing. Beberapa burung kecil melayang di udara, gerakannya merobek pemandangan langit yang pucat. Sementara suara hujan terdengar menghantam sendal jepit dan sepeda tua yang disimpan di pekarangan rumah, riciknya terdengar jelas mengalir di selokan kecil dekat kebun belakang. Siapa pun pernah punya waktu seperti itu, pernah merasa bahwa hujan menyapanya dengan mesra. Dan kalau senja perlahan dijemput malam, dan malam pun semakin beranjak mengundang dingin, sementara di luar hujan belum juga berhenti, maka saya akan memilih jalan seperti ini : lampu kamar dimatikan, selimut dirapatkan, jendela dipastikan terkunci, dan menyuruh The Corrs bernyanyi…

…Heaven knows no frontiers
And I’ve seen heaven in your eyes…

***

Hari ke (7)

Hujan. 1998. Bulan sedang November. Saya jongkok dipinggir kelas, di kiri-kanan, anak-anak pun ikut-ikutan, berjajar seperti anak itik kedinginan. Hawa dingin sudah dari tadi menyerang, perut pun mulai berulah, dia minta jalan-jalan ke kantin. Sementara payung terbatas, itu pun dikuasai kaum hawa, tapi bukan hawa nafsu, melainkan anak-anak perempuan. Yang tidak bisa menahan lapar dan tak punya payung, terpaksa lari hujan-hujanan demi mencapai garis finish di warung ceu Emay atau warung tukang bubur. Hawa dingin mengambang di udara. Pohon lengkeng yang berada di luar tembok sekolah terlihat bagai ogoh-ogoh yang sedang bersedih. Saya merenung dan tidak ke kantin, tapi bukan karena saya tak punya uang, kantong masih tebal saudara-saudara, baru dua hari balik dari kampung mengambil subsidi bulanan. Saya tengah membayangkan, akan menjadi apa saya sepuluh tahun yang akan datang?. 

Semenjak lahir sampai merenung di pinggir kelas itu, saya tidak pernah punya cita-cita. Waktu kecil saya bukan tipe bocah seperti di iklan suplemen anak yang punya cita-cita standar, harapan banyak orangtua : menjadi dokter, pilot, polisi, arsitek, tentara, pengacara, ataupun pejabat plat merah di departemen sarang tikus. Kalau ditanya guru mengenai cita-cita, biasanya saya menggelengkan kepala, selebihnya diam. Tapi sebenarnya saya sering punya harapan yang lebih hebat dan lebih romantis : 

• Kalau musim layangan tiba, saya ingin siang lebih lama, ingin seperti di beberapa negara Eropa yang punya waktu siang lebih dari 12 jam, biar ibu tak menyuruh pulang walaupun sudah jam 20.00, karena cahaya matahari masih bersinar terang. Terlebih karena masih banyak layangan musuh yang harus saya kalahkan, dan itu sangat seru (Adu layangan di film “The Kite Runner” mah lewat, kagak ada apa-apanya)

• Ingin punya teropong hebat dengan jarak pandang seperti yang digunakan TNI, biar bisa melihat laut lebih jelas di arah selatan : Ujung Genteng dan Samudera Hindia.

• Setiap kali bulan puasa, saya paling tidak bisa menahan haus, apalagi sehabis main layangan di tanah lapang. Sempat suatu kali saya lupa : haus sudah mencekik kerongkongan, sembilan layangan musuh sudah saya bantai, matahari garang di atas ubun-ubun. Saya pulang ke rumah, dan meluncuk ke dapur, lalu “glek..glek..glekk..”, dua gelas air bening nan dingin mengalis deras membasahi kerongkongan yang kemarau. Lima detik kemudian : “Astaghfirullah!!”, saya baru ingat, bahwa saya sedang puasa. Tapi syukurlah, tak lama setelah itu ibu memberi tahu, bahwa makan dan minum karena lupa tidak membatalkan puasa. Maka waktu kecil saya pun sering berharap agar lupa sedang puasa dari terbit fajar sampai terbenam matahari : kenyang, dapat pahala, dan bonus baju lebaran dua potong, mantap kali genk!!.

Begitu menakjubkannya misteri waktu, saya tidak tahu sedikit pun akan menjadi apa saya sepuluh tahun kemudian. Memang rencana jangka panjang dapat memberikan peta atau gambaran samar mengenai masadepan itu, tapi tak dapat sedikit pun mendahului nasib. Semua harus diidentifikasi, dipersiapkan, dijalankan, dan dievaluasi. Dalam kontek seperti ini hidup adalah pembelajaran tiada akhir, tapi pada perjalanannya pasti selalu digoda oleh amnesia akut yang pada akhirnya menyeret kita pada kondisi yang sering kita sebut “tidak ideal”. Tapi asli, waktu saya merenung di depan kelas waktu hujan itu, saya tidak berpikir sedikit pun tentang teori hidup, yang saya pikirkan adalah :

1. Saya ingin jalan-jalan ke Belanda. Ingin tahu seperti apa sih negaranya Marco van Basten itu?, sampai bisa melahirkan banyak betul para jempolan lapangan hijau. Menjadi turis tentunya agak riskan, sebab akan banyak menghamburkan uang, dan itu tidak baik bagi kesehatan financial. Kalau petanya sih sudah sering saya lihat, sebab di rumah ada atlas dunia yang lengkap, yang covernya berwarna oranye, yang dibeli bapak waktu saya masih SD. Tapi sudut-sudut kotanya tidak tahu sama sekali, waktu itu saya belum kenal dengan internet, jadi tidak bisa mengintip lewat dunia maya. Lalu saya mencoba membuat “rute perjalanan” untuk sampai ke negara kincir angin tersebut :

a. Les Bahasa Inggris sampai bisa cas cis cus, dengan skor TOEFL minimal 550. Kemudian setelah lulus SMA harus bisa tembus ke Jurusan Hubungan Internasional UI atau UNPAD. Lalu harus bisa menjadi staff KBRI di Den Haag. Tidak mesti menjadi diplomat, menjadi tukang administrasi pun gapapa, yang penting bisa sampai ke Belanda.

b. Kalau tak bisa menjadi staff KBRI, karena mungkin saingannya seabreg atau kalah saing oleh sindikat KKN, maka harus mencari beasiswa S2 ke Belanda. Kalaupun tidak bisa kuliah di Belanda, minimal harus S2 di negara Eropa yang berdekatan dengan Belanda.

c. Kalau dua rute tersebut tidak bisa terlaksana, terpaksa deh akhirnya harus jadi backpaker alias turis gembel setelah menabung minimal dua tahun dari hasil kerja keras di sebuah perusahaan media.

2. Kalau bukan karena polusi pergaulan dan pengaruh lingkungan, saya tidak akan pernah berminat sedikit pun untuk ikut-ikutan melamar kerja di bank, di pabrik motor, di perusahaan gas bumi, dan di departemen sarang tikus alias menjadi PNS. Meskipun demikian, tapi Alhamdulillah, saya tak pernah berhasil menembus company-company seperti itu. Waktu saya merenung di depan kelas, saya malah ingin kerja di sebuah koran nasional. Ingin menulis kolom seperti Miranda Risang Ayu dan Zaim Uchrowi, seperti di rubrik Resonansi, di koran Republika langganan bapak. Atau mengisi rubrik jalan-jalan yang liputannya pasti menyenangkan. Nah, itulah sebabnya kenapa muncul poin “c” di rute saya menuju Belanda.

3. Sebelum saya diajar biologi oleh bu Zakiah Asma Yunita, saya salah satu bocah yang menyukai ilmu tentang makhluk hidup tersebut. Diam-diam saya ingin mengawinkan pohon durian dengan rambutan, dan membayangkan hasilnya : buah rambutan sebesar durian yang akan bikin kenyang hanya dengan melihatnya, atau buah durian sebesar rambutan alias sekali “hap”, dan tentu menjadi lebih praktis karena bisa dimasukkan ke dalam tas. Like this kalau itu bisa terwujud. Tapi keinginan itu harus gulung tikar ketika biologi menjadi pelajaran yang tidak menyenangkan hanya karena gurunya kurang cakap dalam menerangkan.

4. Siapa sih managernya The Corrs?. Kira-kira kalau nanti saya sudah jago bahasa Inggris ada ga ya lowongan kerja untuk jadi managernya The Corrs?, atau jadi crewnya juga bolehlah. Bayangkan saudara, kalau anda menjadi manager atau crewnya The Corrs : bekerja sambil sesekali asyik dengerin musik dari 1 + 3 personilnya yang cantik-cantik (yang paling cantik drumernya), juga bisa sambil jalan-jalan kalau lagi tour, bisa sambil melancarkan bahasa Inggris, dan dapat salary pula, mantap kan?!. (Eh, ngemeng-ngemeng, bung Adri Subono dan kafilah JAVA Musikindo-nya udah pernah ngedatengin The Corrs belum sih ke Indonesia??). Tapi ini memang bukan pekerjaan mudah, karena saya yakin iklan loker ini tak akan pernah dimuat di koran Kompas dan Pikiran Rakyat. Saya harus usaha ekstra.

“Dueerr”, suara petir membuyarkan lamunan. Anak-anak perempuan menjerit sok manja, lalu berebut masuk kelas dengan payung setengah diseret. Saya hanya kaget sedikit. Di sebelah kanan, bung Mamen juga terlihat sedang melamun, entah membayangkan apa. Hujan turun semakin deras, jam istirahat sudah habis, tapi pak Nuzwan, guru matematika pengganti bu Sumi belum juga datang. Saya malah berharap beliau tidak datang, bukan apa-apa, cuaca kelabu dan dingin begini tidak cocok untuk bergelut dengan rumus dan angka, lebih baik belajar geografi dan membahas tentang bentang alam atau lapisan atsmosfer yang menyelimuti bumi. Tapi akan lebih mantap, kalau tidak ada guru sama sekali, sebab saya bisa pergi ke warung : pesan kopi dan membakar cigarette sambil terus membuat rute perjalanan menuju negeri kincir angin. 

Tapi sayang saudara-saudara, pak Nuzwan akhirnya datang juga. Pak guru yang berstyle Umar Bakri ini muncul dengan langkah yang kurang meyakinkan dan tas jinjing yang terbuat dari kulit buaya imitasi. Wajahnya matematika banget, beraroma seorang scientist jempolan, dan tentu kadang-kadang seperti asyik dengan dunianya sendiri, sebuah dunia yang jauh tak terjangkau oleh anak-anak marginal yang berjalan terseok mengejar kecepatan rumus-rumus menyebalkan. Tapi bagi saya tidak terlalu masalah, selain karena jarang menyuruh mengerjakan soal di depan, juga jarang menegur anak-anak yang melamun di barisan belakang, maka saya pun melanjutkan bayangan masadepan yang tadi sempat buyar oleh suara petir yang datangnya didahului oleh cahaya kilat yang terang benderang. Ya, karena kecepatan suara lebih lambat daripada kecepatan cahaya. (Jarak antara Bumi dan planet Pluto kurang lebih 300.000 tahun cahaya. Kebayang ga lo kalo jarak sejauh itu ditempuh dengan memakai ojek?, minimal harus memiliki 300 juta pantat cadangan biar ga gempor).

***

Masih hujan. Matematika telah habis. Kini giliran bahasa Indonesia. Anak-anak relaks luar biasa. Betapa tidak, pak gurunya jarang sekali menerbitkan rasa segan. Pelajaran pun tak jauh dari mengisi lembar kosong di LKS : menjodohkan kalimat, isilah titik-titik dibawah ini, buatlah sebuah kalimat dengan kata bla.bla.bla, apakah kalimat ini sudah benar?, dan yang paling tenar adalah pilihan berganda. Semua berputar di sekitar tata bahasa, tak jauh dari itu. Anak-anak tidak pernah diberi tugas menulis yang panjang macam esay, kolom, cerpen, bahkan sebuah puisi pun tidak!!. 

Dan saudara, cara pengajaran begini rupanya berlanjut juga sampai di kelas 2 (agak mendingan karena kelas 2-4 pernah dikasih tugas membuat sebuah puisi) dan kelas 3. Semuanya kerontang dari sastra dan kampanye menulis. Anak-anak pun hanya mengenal dua orang tokoh sastra : Chairil Anwar dan Taufik Ismail (ini pun setelah program “Siswa Bertanya, Sastrawan Menjawab” yang diadakan oleh majalah sastra Horison lewat ke Sukabumi, dan diselenggarakan di sebuah gedung di SCAPA POLRI Bhayangkara). Tujuh tahun kemudian, di roman Bumi Manusia (Bagian pertama dari Tetralogi Buru), karangan Pramoedya Ananta Toer, hal 312-313, yang diterbitkan oleh Lentera Dipantara, saya dapati penggalan cerita berikut :

Satu-satunya guru yang tidak berubah tetap Juffrouw Magda Peters, guru bahasa dan sastra Belanda. Dan inilah kata-katanya waktu untuk pertamakali turun dari Netherland memasuki ruangan kelas :

“Selamat siang, para siswa H.B.S. Surabaya. Namaku Magda Peters, guru baru kalian untuk bahasa dan sastra Belanda. Acungkan tangan barang siapa tidak suka pada sastra.”

Hampir semua mengacungkan tangan. Malah ada yang sengaja berdiri untuk menyatakan antipati.

“Bagus. Terimakasih. Duduklah yang tertib. Suatu masyarakat yang paling primitif pun, misalnya di jantung Afrika sana, tak pernah duduk di bangku sekolah, tak pernah melihat kitab dalam hidupnya, tak kenal baca-tulis, masih dapat mencintai sastra, walau sastra lisan. Apa tidak hebat kalau siswa H.B.S. paling tidak nyaris sepuluh tahun duduk di bangku sekolah, bisa tidak suka pada sastra dan bahasa?. Ya, sungguh hebat.”

Tak ada yang tertawa dan menertawakan. Sunyi senyap.

“Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai. Sebagian terbesar dari kalian belum pernah melihat Netherland. Aku dilahirkan dan dibesarkan di sana. Jadi aku tahu, setiap orang Belanda mencintai dan menghormati karya sastra Belanda. Orang mencintai dan menghormati karya lukis van Gogh, Rembrant, para pelukis kita dan dunia. Mereka yang tidak mencintai dan menghormati, dan tidak belajar mencintai dan menghormati dianggap sebagai Belanda yang kurang adab. Lukisan adalah sastra dalam warna-warni. Sastra adalah lukisan dalam bahasa. Siapa tidak mengerti mengacung.”

Dia telah menggenggam para murid itu dalam tangannya. 

***

Setelah perjalanan panjang, akhirnya tibalah saya di sepuluh tahun ke depan yang pernah saya bayangkan itu. Ya, akhirnya saya tiba di tahun 2008, persis di bulan November yang basah, dan mendapati diri sedang membaca buku di sebuah kost-an yang murung, sunyi, dan kusam. Saya tidak sedang kerja di KBRI di Belanda, juga tidak sedang kuliah dengan beasiswa di Eropa, tidak pula sedang kerja di sebuah perusahaan media, dan tidak menjadi managernya The Corrs. Saya hanya sedang duduk di ruangan 3x3 yang terasa dingin. Angin kencang meniup air hujan sehingga menampar-nampar kaca jendela kamar di lantai dua. Buku-buku di rak berdiri tegap seperti sedang memperhatikan saya. 

Apa yang terjadi di sepuluh tahun yang pernah saya bayangkan itu adalah sebuah keadaan di mana saya sedang membuka-buka koran, mencari kerja dengan gaya konvensional. Sesekali menulis cerpen dan membakar kretek. Suara radio terdengar kemerosok, tuningnya minta di putar mencari gelombang lain. Dua hari yang lalu dari kampung terdengar suara ibu menanyakan kabar di ujung ponsel. Waktu terus berputar di ujung jam dinding. Saya melihat langit dari balik jendela. Kabut mengambang di tengah kebun singkong. Saya membakar kretek terakhir. 

***

“When I get older, I will be stronger
They'll call me freedom just like a wavin' flag
And then it goes back, and then it goes back
And then it goes back, oh…”

World cup 2010 sudah lewat hampir sebulan yang lalu, tapi lagu itu masih saja menjadi penghuni playlist. Seperti malam itu waktu saya menulis (16) Days of Bazak – Part 5. Tetangga sebelah ramai menonton tv, tertawa kekuda-kudaan melihat Opera van Java. Dari suaranya jelas sekali bukan hanya seorang yang tertawa itu, mungkin tiga atau empat orang. Konsentrasi sedikit buyar karena terus menerus dihantam tertawa yang mirip kuda. Ingin rasanya saya keluar kamar dan menghampiri mereka sambil berkata : “Hai, dilarang berserikat dan berkumpul, tawa kalian sangat mengganggu!!”, tapi urung saya lakukan, sebab begitulah hidup di alam sosial, harus pandai menghargai kesenangan orang. Apalagi mereka tetangga saya, orang-orang yang paling intens berinteraksi dalam keseharian. 

Ms. Word sementara saya tutup, lalu beralih ke jejaring sosial, dan di Home terlihat si Ivan Beruang bikin status (Maksud saya beruang, bukan ber-uang yang artinya punya banyak uang alias kaya, tapi beruang di sini adalah sejenis hewan yang doyan makan ikan salmon. Kalau tidak mengerti coba buka kamus Inggris-Indonesia, niscaya akan saudara dapati kata “bear”, nah itulah artinya beruang. Masih tidak mengerti juga?, silahkan saudara pergi ke toko, tapi jangan toko besi, dan bilang sama si pelayan : “mbak, beli susu cap beruang”, pasti saudara dikasih susu dalam kaleng putih yang bergambar hewan. Nah, itulah beruang yang saya maksud. Kalau tetap tidak mengerti juga : tong wawuh deui jeung urang. Ampun pisan, cape euy, nepika panjang nerangkeun nu kieu oge). Apa maksudnya coba dia bikin status macam begini : 

“Eh minta pin kamu dong?, nih pin aku yah..104814..pin atm”

Sebuah status yang beraroma bagai seorang ababil. Saya lihat ada beberapa orang yang kasih comment. Tetangga sebelah masih ramai, Opera van Java berhasil mengeraskan volume suara tertawa mereka. Word belum saya buka lagi, waktu saya akhirnya kasih comment juga di statusnya :

Uwa : 
Kalo anda ditodong dan disuruh ngeluarin duit dari ATM, maka pijitlah pin terbalik : misal 2345 menjadi 5432, uang anda tetap akan keluar, dan langsung akan memberi kode bahaya ke kantor polisi. Jangan lakukan ini dalam keadaan aman!!

Ivan Bear :
Masalahnya rekening saya kosong gak ada isinya...teu ngaruh. Wa, saya ada rencana mau memindakan ibukota ke Jampang.

Uwa : 
Kurang strategis, soalnya Jampang berbatasan degan Samudera Hindia, tidak ada satu pulau pun yg melindungi jika suatu saat Australia melancarkan serangan laut, saya lebih setuju kalo pindahnya ke Eindhoven, kotanya masih relatif sepi.

Ivan Bear : 
Tapi dalam hati kok gak tega liat ibu kota pindah, kasian bapak kota kalo malem gak ada lawan tarung. Masa ibu sama bapak pisah ranjang. Wa, minggu ini saya mau ke Jakarta, ada hajat. Milu entreup yah.

Uwa : 
Tidak boleh, cari donk hostel katanya backpaker. Hajat dimana maneh?

Ivan Bear : 
Di Kebon Jeruk...teman nikah, sekalian mau nonton Indonesia Idol. Moal molor di sia beul, rek maok buku hungkul.

Uwa : 
Sabtu available, ahad ada pemotretan di Ciledug. Anda bawa buku saya kasih buku, buku memelihara ikan lele tidak diterima. Tong poho Kartika Sari rasa keju.

Ivan Bear : 
Iya sabtu beurang ke lokasi...soalnya hajatnya sabtu malam da, udah itu lanjut check in sama cewek. Urang mah rek mawa awak hungkul lah, repot babawaanna, masa ke hajatan bawa tas.

Uwa :
Susah memang kalo kedatangan orang kere, banyak betul argumennya. Okelah siap, kita mabuk kopi ginseng, tapi urang gawe heula setengah poe.

Ivan Bear : 
Yah..sabtu gawe...Yahudi pisan eta Miwon. Bolos...bilang ada keluarga mau nikah gitu.

Uwa : 
Tidak bisa, my company bermazhab keong racun. Jam 1 siang baru ada di kostan, jangan banyak nawar bung, ini bukan tradisional market macam Ciroyom, geus ah...nanti telp aja, itu pun kalo maneh punya pulsa.

Ivan Bear : 
Saya pasca bayar bung ingat, tidak ada kamus habis pulsa...paling di blokir belum bayar tagihan.

Stop. Saya tinggalkan status si Ivan Bear dan segera log out. Suasana sudah tidak kondusif untuk meneruskan (16) Days of Bazak Part - 5, lagi pula mata mulai minta jatah untuk diistirahatkan. Angin kencang bertiup dari arah apartemen Cempaka Mas dan mencoba masuk ke kamar saya di lantai dua. Langit sudah dari tadi tidak menampakkan benda-benda yang letaknya sangat jauh. Jangankan planet Venus, sepotong bulan kelabu pun tidak ada. Seragam kerja menggantung di luar, dan dia juga minta jatah untuk dirapikan. Kipas angin yang menggantung di atas terus saja berputar, seperti seorang jongos yang tunduk setia pada Tuannya. Suara tertawa kuda mulai reda, berbarengan dengan itu hujan mulai turun membawa rahmat ke permukaan bumi. “Oh ternyata mau hujan, pantes saja tadi anginnya kencang.”

Besoknya Part-5 saya upload, padahal belum sepenuhnya selesai. Sambil mengerjakan job desk harian di depan monitor yang menerkam penglihatan, dan di tengah suara printer manual yang merisaukan, saya teruskan sisa Part-5, lalu dikasih nama Part 5,5 (Tapal Batas). Dan kurang lebih beginilah jadinya cerita yang tertunda itu :


Hari ke (8)

Apa jadinya kalau pelajaran eksak hanya cukup dengan dihafal saja?, tentu tidak akan mengerti. Itulah sebabnya kenapa bung Fikri Muhammad sering terlihat duduk di bangku pojok kanan, di barisan paling depan, sendirian. Kalau kelas sedang gaduh karena guru tak hadir, maka dia tidak terlalu berminat untuk ikut-ikutan tumpuk cue, mengobrol, atau menggoda anak-anak perempuan seperti yang sering dilakukan oleh bung Culonk dan bung Ryan. Dia konsentrasi penuh, tangan tak mau diam mencorat-coret buku dengan operasi matematika yang memusingkan. Sesekali tangannya berhenti, muka menengadah ke atas, tapi bukan sedang melihat langit-langit kelas. “Inilah dia yang namanya mencari ilham,” begitu pikir saya waktu melihat gesture aneh itu.

Saya tak berani mendekatinya, takut pusing. Hanya anak-anak rajin yang menghampiri dia sambil membawa buku dan pensil 2B Steadler made in Germany. Saya hanya memperhatikan saja dari jauh, dari bangku paling belakang, di bawah poster kecil lukisan Pangeran Diponegoro. Mereka yang sedang menikmati rumus-rumus itu terlihat amat serius dengan air muka cerah, seolah-olah baru saja menang lotre dengan hanya membeli permen telor cicak. Dari jarak yang cukup ideal, saya dapat dengan jelas melihat, bagaimana anak-anak pintar + rajin itu sangat antusias belajar dan berdiskusi bersama, “Amboi, begini rupanya kalau para pendekar berhitung sedang berkumpul,” gumam saya pelan sekali. Bung Fikri Muhammad bagai magnet yang dikelilingi besi, banyak betul yang mengerubunginya.

Lama-lama saya juga penasaran, tapi saya sabar sedikit, menunggu besi-besi yang mengelilinginya bubar. Setelah dia sendirian, barulah pelan-pelan saya menghampirinya. “Ehm..ehm..duh rajin pisan euy,” sebuah pembukaan sederhana saya lempar. “Eh, Pes, biasalah ngalancarkeun,” memang saudara, orang pintar itu tidak selamanya sombong, beberapa diantaranya seperti bung Fikri ini, rendah hati dan buku PR-nya sering menjadi korban anak-anak yang mencontek. “Ngalancarkeun ?, naon maksadna tah Fik?, naha kadanguna jiga nuju diajar sapedah?,” lihatlah saudara, nyata betul bahwa saya tidak faham cara belajar sang pendekar berhitung ini, memalukan. Fikri diam dan menarik nafas sejenak, gesturenya dapat diterjemahkan : “harus bagaimana saya menerangkannya??!”.

Tapi tak lama kemudian dia berucap : “Yeuh, Pes, dangukeun. Mun urang diajar pelajaran eksak alias ilmu berhitung yang saklek, urang ulah ngan saukur ngapalkeun rumus, tapi kudu rajin berlatih. Kudu daek ngerjakeun soal-soal latihan nu aya di buku. Ari ku sering mah insyaAlloh kin oge jadi lancar, komo mun soal-soal nu biasa ku urang dikerjakeun teh heug kaluar dina ulangan, pan janten rada gampang panginten?,” bukan main saudara, brilian betul cara belajarnya. Saya hanya manggut-manggut saja bagai pesakitan di pusat rehabilitasi narkoba. “Nyeta Fik saya mah sok bentrok ari diajar kitu teh,” ujar saya menimpali keterangannya. “Bentrok jeung naon?”, tanya Fikri menyambar. Saya diam dulu agak lama, kemudian : “bentrok jeung hoream,” …..&*^$%&*^#@$#$$!@@#$$!!^%&*….., ”ah teu baleg ente mah, nanaon oge ari diadukeun jeung hoream mah pasti eleh atuh!!”.

Saudara, semenjak dari SD, sudah sering belaka saya mendengar pepatah ini : “Barang siapa yang berteman dengan tukang minyak wangi, tentu dia akan kecipratan wanginya. Dan barang siapa berteman dengan pandai besi, dia juga akan terkena baunya”. Dulu saya percaya seratus prosen dengan kata-kata itu, tapi pada perjalanannya kepercayaan saya mulai memudar. Bagaimana tidak saudara, saya dan bung Rano yang berkawan cukup karib dengan bung Fikri Muhammad, tapi tidak pernah terbawa-bawa menjadi jagoan kelas. Jangankan masuk sepuluh besar, mempertahankan posisi agar tidak terjun ke jurang degradasi saja repotnya minta ampun. Padahal sebenarnya bukan pepatah yang kurang akurat, tapi karena saya dan bung Rano kurang bersungguh-sungguh dalam belajar.
Baru-baru saya khatam sebuah novel yang hampir menembus angka penjualan sejuta umat, tak lain dan tak bukan novel tersebut bertitle “Negeri 5 Menara”, karangan Ahmad Fuadi. Saudara pun mungkin sudah baca belaka, bahwa penulisnya membawa pesan yang cukup bertenaga : “Man Jadda Wajada” (Siapa yang bersungguh-sungguh, dia akan sukses), ada juga pesan “Going The Extra Mile” (Melebihkan usaha di atas rata-rata). Nah, saudara, apa yang terjadi pada bung Fikri ternyata sama belaka dengan pesan novel tersebut. Bayangkan, dari kelas satu caturwulan 1, sampai kelas tiga caturwulan 3, dia tak goyah sedikit pun, tetap menjadi jawara di setiap kelas yang dia tempati. Lalu dengan mulus masuk jurusan Meteorologi IPB, brilian!!.

Sementara selepas SMA, kondisi saya begitu menyedihkan : saya terseok-seok, susah betul menembus perguruan tinggi negeri, sampai harus nganggur dulu satu tahun di kampung, pahit sekali, itulah balasan bagi orang-orang yang malas!!. 

***

Waktu akan membuatku lupa, 
tapi yang kutulis akan membantuku mengingatnya. 

(Pidibaiq)

***

Hari ke (9)

Seperti ada yang mau mengabadikan waktu, ketika pada sebuah siang yang teduh anak-anak berkumpul di belakang kelas, modalnya sederhana, hanya sebuah kamera manual dengan risiko gambar terbakar sangat tinggi. Padahal waktu tidak bisa diabadikan, dia hanya bisa diperangkap dalam selembar photo, itu pun hanya sedikit, sangat sedikit, tidak sebanding dengan perjalanannya yang panjang dan berliku, menyusuri jenak-jenak kehidupan setiap yang bernyawa, bahkan yang tidak bernyawa. Dan seperti halnya selembar photo, sebuah tulisan sesungguhnya tidak bisa mengabadikan waktu, dia hanya bisa merekamnya dengan terbatas, dengan bantuan kata-kata yang punya risiko distorsi cerita. Tapi siapa sesungguhnya sang penguasa waktu?, Dialah yang menciptakan waktu. Manusia hanya bisa takjub dengan semua misteri waktu. Dalam buku “Einstein’s Dreams” karya Alan Lightman, seorang Einstein hanya bisa terpesona dengan kemungkinan-kemungkinan waktu, tapi dia tak bisa mengusainya. Bahkan dalam sebuah penggalan cerita dia sempat berucap : “Aku ingin mengerti waktu, karena aku ingin mendekati Tuhan.”

Kalau saja kamu masih ingat, di siang yang teduh itu anak-anak perempuan berjajar dengan pose standar, siap untuk diphoto. Sekilas pose mereka mengingatkan kita jauh ke belakang, kepada penampilan gadis-gadis era 80-an. Bahkan ada beberapa orang yang rambutnya bergelombang, sangat mirip dengan photo-photo potongan rambut yang selalu terpajang di salon-salon sederhana. Sementara anak laki-laki diphoto di depan kelas, posenya lebih berantakan, seperti ingin menunjukkan bahwa ada perbedaan tegas antara maskulin dan feminin. Tapi wajahnya nampak masih sangat lugu, tidak terpancar sedikit pun rona manusia yang penuh dengan energi bercanda, semuanya memasang muka ceria, bagai anak-anak yang masih dalam perlindungan kak Seto. Pasti waktu itu hampir semuanya tidak sadar, bahwa waktu yang berhasil diperangkap oleh kamera, semuanya akan menjadi cerita yang menggantung di dinding masadepan.

Dari puluhan photo yang berhasil di cetak, tak ada satu pun guru yang ikut nongkrong di photo-photo tersebut, beliau-beliau itu bagai trauma dengan kamera, maka gambar pun dikuasai sepenuhnya oleh murid saja. Terakhir saya mendapatkannya dari bung Herlan Balon Zaelani yang bermarkas di Ciaul, waktu itu kerja sedang libur, matahari di langit Sukabumi sedang bersinar hangat. Sekarang di rumah bung Herlan sudah tersedia scanner, jadi USB saya yang berkapasitas 2 GB bermerek Kingston dapat dengan mudah menampung gambar-gambar yang sudah dirubah ke dalam bentuk jpg. Gambar-gambar itu sebenarnya lebih cocok dipasang di acara Metro Files - Metro TV, daripada di Facebook. 

***

Pasukan Berani Main (Beraksi Kembali)

Setelah beberapa waktu sebelumnya sukses menceburkan bung Sapto ke kolam kodok dan bancet kole, kini Pasukan Berani Main (untuk selanjutnya saya tulis PBM) siap beraksi kembali. Ke mana operasi selanjutnya?. Bel pulang sudah berbunyi, anak-anak menghambur ke luar kelas, wajah mereka cerah ceria. Ironis. Di saat anak-anak di belahan Indonesia yang lain, yang tempatnya lebih terpencil macam Jampangkulon, anak-anak di sana cerah ceria belaka waktu lonceng masuk berbunyi karena akan segera mendapatkan berkah ilmu, di sini, di kelas 1-6 mayoritas malah layu ketika guru pelajaran di jam pertama memasuki kelas. Dan saya pun terseret-seret pula oleh kondisi seperti ini. Seperti siang itu saya juga menghambur keluar sambil teriak : “Balik euy !!.” Tapi tiba-tiba ada yang teriak lebih keras lagi : “Wooii, ulah waka baralik, urang ulin heula!!,” dari logat suaranya dapat dipastikan yang berteriak itu adalah bung Ryan Irung. Anak-anak pun kemudian berkumpul di pinggir kelas, menunggu komando selanjutnya. 

PBM sudah berkumpul, hampir lengkap, hanya minus bung Yogi yang katanya mau mengerjakan PR fisika, dan mas Anton yang alasannya kurang jelas. Semuanya duduk santai sambil berembuk menentukan tempat operasi. Tapi setelah setengah jam berlalu, lokasi yang tepat belum juga disepakati, sementara anak-anak mulai kesal dengan kondisi ini. Di saat-saat seperti inilah tiba-tiba bung Haris Babat mengemukakan idenya yang out of the box : jalan-jalan ke Bhayangkara, melihat hewan-hewan yang dibawa siswa SCAPA dari seluruh Indonesia. Good idea !!. Sebenarnya kami “Euweuh gawe”, ya, memang euweuh gawe, tapi kami sangat menikmatinya waktu itu. Beruang madu yang ada di dalam sangkarnya yang bagus menjadi hewan favorit anak-anak PBM selain burung elang Jawa yang terlihat gagah, apalagi si Abank, terlihat betul bagaimana sesungguhnya dia itu memang masih pantas di sebut balita, sampai tangannya mau di masukkan ke dalam sangkar saking gemesnya, tapi dengan cepat sekali langsung dicegah bung Sapto, padahal kalau telat sedikit saja tangan si Abank akan kena cakar. Bersyukurlah hei kau anak gang Ajid !!.

Lain peristiwa “bonbin” SCAPA, lain pula peristiwa rumah sakit Bunut. Suatu kali babehnya bung Sapto mengalami kecelakaan lalu-lintas di daerah Cicurug, beliau langsung dibawa ke Bunut untuk dirawat di kelas 1, ruang anggrek, yang lantainya terbuat dari keramik berwarna putih pucat bagai ingin memberi tahu bahwa inilah dia ruangan bersih untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Waktu itu anak-anak tidak membawa apa-apa, maklum boke, lagi pula kita kan anak sekolah yang duitnya masih disubsidi, jadi cukuplah kita bantu dengan do’a saja, begitu mufakat yang kami peroleh dari rapat alot sepulang sekolah di bawah pohon katapang. Sebagai pimpinan kafilah, kami menunjuk bung Rano, alasannya karena beliau hafal beberapa potong do’a. Nanti di rumah sakit tidak boleh ada yang merokok, begitu perintah pimpinan kafilah. Maka kami pun berangkat dengan hati damai dan niat yang bersih seperti langit biru di musim kemarau.

Sesampainya di Bunut bung Sapto sudah siap menjemput di pintu gerbang rumah sakit, amboi mukanya campur aduk antara sedih karena kecelakan yang menimpa babehnya, dan gembira karena anak-anak PBM datang. Pada saat seperti ini terlihat juga betapa kasihnya seorang anak pada bapaknya. Perasaan sentimental antara orangtua dan anaknya memang kadang-kadang tak bisa ditolak, bahwa ekspresi itu memang ada dan tidak dapat disembunyikan, sebuah ekspresi yang sering kita lihat di iklan-iklan susu formula. Di dalam ruang anggrek babehnya bung Sapto terbaring lemah, nyata betul pada garis mukanya masih ada ekspresi menahan sakit karena luka di beberapa bagian tubuhnya. Anak-anak mengelilinginya sambil tanya ini-itu mirip kelakuan polisi di sebuah TKP. Setelah dirasa cukup lama, akhirnya bung Mamen mencolek tangan bung Rano sang pemimpin kafilah, yang posisinya paling dekat dengan pasien untuk segera mengakhiri acara menjenguk, juga sebagai isyarat agar bung Rano segera memipin do’a untuk kesehatan babehnya bung Sapto. 

Oke, inilah dia saatnya, mungkin begitu apa yang ada di pikiran bung Rano waktu tangannya dicolek. Tapi saudara, apa yang terjadi kemudian? : waktu bung Rano mengangkat kedua tangannya, tiba-tiba babehnya bung Sapto menyambut tangan bung Rano itu untuk bersalaman sambil berkata, “terimakasih ya anak-anak”. Mau ga mau akhirnya terjadi salaman perpisahan antara pasien dan para penjenguknya, acara do’a batal, padahal sejak dari sekolah bung Rano sudah mencoba melancarkan hafalan do’anya. Ketika keluar dari ruang anggrek tawa anak-anak pecah setelah ditahan sejak dari dalam, hua..ha..ha...ha.., dan belegugnya bung Sapto juga ikut-ikutan tertawa, malah dia paling keras, kacau sekali. Dan kata siapa aksi mereka sudah berakhir sampai di sini??.

***

Dari rumah ke rumah :

Jam di ponsel baru menunjukkan pukul 06.00 pagi, embun belum sepenuhnya luruh, tapi lihatlah sepagi itu saya sudah duduk syahdu di bangku bus way yang meluncur ke arah Harmoni. Saya memakai t-shirt hitam lengan pendek yang di depannya bertuliskan “Work for Gengster” dengan warna kuning cerah, seperti kuning Golkar, fontnya mantap, dan saya merasa keren. Hari sedang ahad, jalan raya tidak terlalu ramai, dan langit sedikit mendung. Ini angin dari mana sih, kok dingin banget?, padahal jendela bus tidak ada yang terbuka. Saya baru sadar waktu menengok ke atas, rupanya hawa dingin itu berasal dari AC, dan di tersistem central sehingga saya tidak bisa mengecilkan hembusannya secara manual. Mau bilang ke pak sopir, malas, soalnya saya duduk di bangku paling belakang. 

Lalu saya pakai jaket berwarna oranye, jaket almamater sebuah kampus di pelosok Bandung, dan merapatkannya sampai ke kerah, tudung yang menempel pada jaket, saya tutupkan ke kepala, maka dapat kamu lihat bahwa selintas saya seperti seorang angota Yakuza yang kedinginan. Jendela bus tiba-tiba diserang oleh banyak arsiran, oh hujan sudah mulai turun rupanya. Pak sopir putar lagu-lagu jadul dengan volume yang sangat sopan untuk para penumpang yang masih setengah mengantuk dan lulungu. Biasanya love song made in barat, macam Ronan Keating dengan If Tomorrow Never Come-nya. Tapi pagi itu lagunya local punya, tapi jadul juga, Koes Plus. Dan, hei, coba kamu teruskan lirik ini : “Di sana rumahku, dalam kabut biru…..”

Baiklah jangan terlalu banyak cakap, sekarang waktunya untuk mengabsen rumah-rumah yang pernah saya singgahi, yang hampir semuanya menyediakan banyak makanan bagai sebuah restaurant. Oke, dari rumah siapa dulu?, apa, perempuan dulu?, oke, ladies first :

1. Uchie 
Awalnya dia tinggal di gang Murni, di jalan Pelda. Lalu pindah ke Cianjur, tepatnya di Pasir Hayam. Ingat, nama tempat tidak boleh diterjemahkan !!. Pasir Hayam, ya Pasir Hayam saja, tidak boleh diganti menjadi Bukit Ayam. Kalau coba-coba diterjemahkan nantinya bakal seperti yang terjadi di kampung saya. Beberapa hari sebalum lebaran, PBB (Persatuan Babu-Babu) yang merantau ke kota pada mudik. Waktu sampai di kampung dan turun dari bis, mereka langsung diserbu tukang ojek yang berebut mendapatkan penumpang. Seorang tukang ojek yang beruntung akhirnya berhasil mendapatkan seorang Babu itu, dan dia bertanya ,”rumahnya di mana neng?”. Si babu lalu menjawab, “Air Bambu Ikat, bang”. Kontan saja si tukang ojek bingung bukan buatan, soalnya di kampung kami tak ada daerah yang bernama Air Bambu Ikat. “Sudahlah, abang jalan aja, nanti saya tunjukkan arahnya”, ucap si babu penuh percaya diri. Motor pun melaju, tidak sampai sepuluh menit sudah tiba di tempat yang dituju. Sambil memberikan uang kembalian, si tukang ojek berucap, “beuh, mentang-mentang baru pulang dari kota, semuanya pakai bahasa Indonesia. Bilang dong neng dari tadi, Ciawitali gitu!”.

Juga jangan pernah mau sok keren dengan menerjemahkan nama tempat ke dalam bahasa Inggris. Dini, adik kelas saya waktu kuliah di kampus Bandung coret, wajahnya ya ampun manis banget sih, bikin saya selalu deg-degan, bikin saya mendekatinya. Suatu hari, waktu habis makan siang di jam istirahat, waktu saya duduk kekenyangan di kursi kantin, eh dia lewat di depan saya. Busyet dah, kok kalo dia lagi keringetan tambah manis ya?. “Din, kadieu sakeudap,” lalu dia menghampiri saya. “Ada apa A?,” beuh dia manggil saya Aa. “Gini Din, sebentar lagi kan mau diadain Ospek Jurusan, untuk kelengkapan data, kita sebagai panitia harus tahu alamat rumah semua peserta Ospek, biar kalo ada apa-apa gampang menghubunginya,” jawab saya penuh dusta (akting doang, padahal mah alamat siswa baru dapat diakses di bagian Administrasi Jurusan). “Deket kok A, rumah Dini mah di Bandung,” liat tuh, dia tetap manggil saya Aa. “Iya, tapi Bandung kan luas, saking luasnya coba aja Dini ukur pakai penggaris, InsyaAlloh ga bakalan selesai 2 tahun. Jadi maksud saya, persisnya alamat rumah kamu di mana, sayang?” (tentu saja kata terakhir saya ucapkan di dalam hati). Dini sedikit tersenyum dengan jawaban konyolnya. “Euh…di situ A, di…di…Broken Horse Water,” “?????????????.” Setelah berpikir sebentar, Aha!!, saya tahu di mana rumahnya nona manis ini : Cikudapateuh !!. Setelah pamit, kemudian dia berlalu, meninggalkan saya yang masih duduk di kursi kantin sambil membakar cigarette.

Kembali ke laptop. Di Pasir Hayam saya pernah kenyang, soalnya kami ngaliwet. Dengan memanfa’atkan bis jurusan Sukabumi-Bandung, akhirnya kami tiba di sebuah belokan yang tidak jauh dari semacam kuburan Cina yang nisannya segede-gede Gaban. Orang kelaparan dikasih nasi liwet, siapa coba yang bisa menolak?. Maka tidak butuh waktu lama untuk menghabiskan hidangan mantap itu. Btw, katanya neng Uchie ini punya saudara di Jampangkulon. Setelah dikonfirmasi ternyata benar belaka kabar tersebut, dan ternyata rumah saudaranya itu tidak jauh dari rumah saya, kira-kira hanya selemparan batu saja. Dunia seluas daun kelor!!. 

2.Amie 
Jangan pernah menyuruh saya pergi ke rumahnya sendirian, karena saya tidak hafal. Judulnya sih termasuk wilayah Kota Sukabumi, tapi untuk sampai ke rumahnya harus naik dulu angkot warna hijau tua dan akan membawamu melewati jalan yang susah dihafal : Balandongan. Saya bisa ke rumah neng Amie karena pergi bareng-bareng dengan kawan sekelas, waktu beliau ulang tahun. Namanya juga ulang tahun, pasti banyak makanan, dari kue yang manis-manis berdosis gula tinggi, sampai makan nasi dengan lauk-pauk yang aduhai lezat sekali. Waktu itu kamu boleh makan sepuasnya sampai perut dan jidat sama kerasnya. Dasar RW 06 !!. 

Rumahnya berhalaman luas, pohon-pohon rindang tumbuh subur, tempat beberapa ekor burung hinggap di dahannya yang lembab. Dulu di salah satu pojok halaman itu terdapat sebuah meja hijau untuk bermain pingpong, saya juga pernah mencobanya, dan anak-anak 1-6 tak ada yang berhasil mengalahkan saya, lagian mana ada yang bisa tahan kalau harus bertanding melawan mantan juara Porseni se-kecamatan Jampangkulon?. Kalo gak salah, Amie punya seorang adik laki-laki yang dulu masih sangat kecil. 

3. Dita
Rumahnya di bawah. Maksud saya, kamu harus pergi melewati jalan R.A. Kosasih, dan di sebelah kiri jalan itu ada sebuah perkampungan yang posisinya lebih rendah daripada jalan. Mirip seperti Amsterdam yang letaknya berada di bawah permukaan laut. Waktu tiba di rumahnya, langit menangis, hujan turun deras. Tidak banyak yang dikerjakan di rumahnya neng Dita, hanya makan cemilan sambil nonton film. Film apaan??, yang tahu jawabannya silahkan angkat tangan. 


4. Yogi
Dinding rumahnya bernuansa oranye, tapi dia malah menjadi pendukung kesebelasan Inggris dan Jerman, menyebalkan sekali. Malah waktu dia pulang dari England karena urusan kerja, dia sengaja beli jersey timnas Inggris yang asli, cap Umbro, beli dua : putih dan merah. Lalu apa maksudnya coba, pas saya main ke bung Mamen, eh dia datang dengan jersey barunya itu. Sambil memamerkan senyum Pepsodent, dia terlihat sangat bangga dengan jerseynya. Sehari setelah itu saya langsung menyusun mimipi dan rencana, bagaimana caranya agar saya bisa pergi ke Amsterdam : jersey timnas Belanda akan saya borong sebanyak dua kodi !!.

Jalan menuju rumahnya beraspal, meskipun tidak terlalu halus, tapi bersih seperti rajin disapu. Nama daerahnya terdengar kampungan : Kebon Cau. Kalau kamu naik angkot no 14 yang berwarna putih, kamu harus berhenti di dekat SMP YAD (Yayasan Ahmad Djuaeni—type sekolah Islam yang ditinggalkan zaman dan tidak laku). Sekali waktu anak-anak pernah makan ke rumahnya, menu utamanya saya masih ingat : Pepes Ikan Mas. Tapi dasar bung Yogi ini bertype Pemuda Harapan Bangsa, maka sebelum makan-makan diadakan dulu acara pendahuluan, yaitu mengerjakan PR fisika. Amboi, pusing bung!!. Dalam setahun, hanya sekali itu saja kami makan-makan di rumahnya, sisanya berkeliling ke rumah kawan-kawan yang lain. Yang sedikit unik adalah bahwa dia punya kakak laki-laki yang namanya berinisial “Y”, dan punya adik perempuan yang juga berinisial “Y”, dia sendiri sudah jelas berinisial “Y” juga. Tapi sebenarnya ga unik sih, masih kalah oke dengan nama 7 bersaudara : saya, adik saya, dan kakak saya. Nama lengkapnya semua berakhiran “I”. 

Masih banyak rumah lain yang masih saya simpan di Ms. Word, semantara empat rumah dulu, lain kali disambung lagi. Sudah sore kawan, malam besok insyaAlloh kita sudah mulai sholat taraweh. Jangan kaget kalau di hari pertama sampai hari ke sepuluh, mesjid tiba-tiba menjadi sempit, jama’ah luber sampai keluar. Tentu sudah tidak pantas kalau kita masih main petasan dan kembang api, itu kelakuan dulu, waktu kita masih bocah, sekarang sebagian dari kita sudah punya bocah sendiri. Ya, mereka itulah titipan Sang Pencipta, mudah-mudahan yang sudah diberi kepercayaan dengan kehadiran seorang anak, dapat menjaganya agar tetap berjalan sesuai fitrah. Amin. Dan matahari semakin terbenam ke barat. [irf]