09 December 2013

Nasib Kata


Pada peringatan 100 tahun Albert Camus baru-baru ini, di linimasa jejaring sosial tiba-tiba ramai dengan kata “flaneur”. Flaneur adalah bahasa Prancis yang artinya terkait dengan orang yang suka jalan-jalan, keluyuran di dalam sebuah kota tanpa tujuan yang begitu pasti. Camus adalah seorang flaneur, ini diperkuat dengan banyaknya foto dia yang diambil di ruang terbuka; trotoar, misalnya. Seseorang menulis di twitter untuk mempermudah memahami arti kata flaneur dengan mengutip puisi Chairil Anwar : 
Flaneur, pengeluyur mana-suka, pelancong iseng. Mereka pasti ngeh dengan baris dari Chairil ini : “Waktu jalan, aku tidak tahu apa nasib waktu."
Ihwal kenapa Camus begitu ramai dibicarakan di linimasa jejaring sosial di Indonesia, barangkali tidak cukup mengagetkan, setidaknya jika membaca kembali sebuah tulisan Goenawan Mohamad (selanjutnya ditulis GM) yang terhimpun di buku Setelah Revolusi Tak Ada Lagi. GM menulis bahwa ketika Asrul Sani pada tahun 1950-an berkunjung ke Eropa, dia menulis sepucuk surat yang kemudian dimuat di sebuah majalah kebudayaan di Indonesia tentang apa yang dialaminya. Dalam surat itu Asrul Sani menyebut Camus, dia terpikat dengan pemikirannya. Beberapa waktu kemudian Asrul Sani menerjemahkan sebuah lakon karya Camus : Caligula. Selain itu, La Paste, novel Camus, terbit di tahun 1984 yang diterjemahkan oleh Nh. Dini, salah seorang sastrawan Indonesia.

Flaneur
, hanyalah sisi lain dari Camus, atau barangkali sisi lain yang hanya diperbincangan di Indonesia. Tapi ada yang menarik, setidaknya dalam imajinasi saya; jika linimasa diibaratkan kota, dan kata adalah manusia, kira-kira bagaimana nasib Kata (dengan ‘K’ besar)?.

Karlina Supelli, dalam Pidato Kebudayaan yang disampaikan pada tanggal 11 November 2013, di Teater Jakarta, menyebutkan bahwa “informasi menggantikan kebenaran.” Kata, sebagai alat untuk menyampaikan informasi (benar ataupun salah) dan kebenaran, di titik ini bisa dimaknai lebih dalam. Dia bisa saja hanya sehimpunan ucap “aborsi” yang tertulis, terhambur prematur, atau muntah begitu saja tanpa terbebani apa pun yang mengalir dari lereng pikiran dan pemahaman. Dia bisa juga menjadi “seorang”
flaneur di linimasa berkapasitas 140 karakter. Ya, di kota yang sempit itu, dia bisa melancong iseng, bebas, sekaligus terbatasi.

Jika menilik ke beberapa linimasa jejaring sosial yang beragam, ada satu kecenderungan bahwa Kata sebagai pelaku penyampai komunikasi, kerap bernasib lemah. Dia seringkali hanya dipakai untuk menyampaikan komentar (sebuah pengertian untuk sesuatu yang kurang menitikberatkan gagasan), curhat, keluhan banal, dan adu argument tak lengkap (twitter menyebut ini dengan
‘tweetwar’).

Salahsatu pokok dari delapan poin Siasat Kebudayaan yang disampaikan Karlina Supelli adalah;
“Membangkitkan kembali kebiasaan berpikir serius, bukan sekadar melempar komentar.” Jika ‘berpikir serius’ diidentikkan dengan kemauan untuk memilih kata dengan baik, berusaha menyampaikan gagasan dengan jelas, dan ada jeda untuk berpikir yang dalam dan terukur, maka barangkali mayoritas lalulintas linimasa memposisikan sebaliknya.

Dalam ruang publik Kata, sebelum kita larut dalam linimasa seperti sekarang, kita terlebih dahulu mengenal yang namanya blog. Meskipun bisa diakses oleh siapa saja seperti halnya jejaring sosial yang dikenal belakangan, namun blog lebih memberikan ruang untuk menuangkan gagasan secara lengkap. Kalau pun “gagasan” dianggap terlampau “mengawang-awang”, setidaknya curhat pun bisa lebih leluasa mengalirkan hujan emosi dan sensasi-sensasi. Blog memberikan ruang untuk menakar Kata, di sana segala yang ingin disampaikan bisa dihela perlahan-lahan. Jika linimasa adalah jalan, maka blog ibarat rumah. Jika linimasa arena berlari, maka blog tempat istirahat untuk memulihkan energi. Jika linimasa arus deras, maka blog aliran yang bergerak perlahan. Bila linimasa tempat rantau, blog adalah kampung halaman.


Mengertilah kita, kenapa Irwan Bajang--seorang pegiat buku--membuat semacam proyek “mudik” ke blog. Dia mengajak siapa saja yang “pernah” punya blog, untuk kembali ke rumah lamanya untuk sekadar mencabuti rumput liar di halaman rumah. Saya tidak bisa membuktikan dengan angka, namun sekarang ini meninggalkan blog dan bergiat di linimasa bukan lagi sebuah gejala, namun barangkali sudah menjadi budaya. Kita dengan begitu masif menjelma menjadi penikmat respon cepat yang bermujud dalam hujan komentar dan perang argumentasi tawar.


Seorang kawan bilang, “dulu beberapa saat setelah bangun tidur, kita biasanya menulis di blog, sekarang langsung berselancar di linimasa.” Ibarat panggung, blog tidak terutama dibangun dengan gebyar penonton, tempik-sorak, dan hingar-bingar tetabuhan. Dia laksana mimbar kuliah subuh di mula pagi, tempat orang-orang meniti jalan sunyi, mengais sebisa-bisa “arti” yang tersembunyi. Tidak semua memang, sebab di perpustakaan digital raksasa bernama Google pun kita bisa dengan mudah menemukan blog yang berisi cerita-cerita pembangkit birahi. Namun justru semakin menguatkan, bahwa blog bisa sangat leluasa untuk mendedahkan hasrat purba sekalipun. Sebagaimana rumah, kita pun mengenal yang namanya rumah bordil.


Perkembangan piranti digital yang bersemayam dalam gadget, yang kita mengikuti (salahsatunya) untuk sekadar berkomunikasi dalam lautan linimasa, mencuatkan satu identifikasi; bahwa hal yang paling dekat dengan kita, hari ini, adalah Kata. Frase “siasat kebudayaan” sangat mungkin untuk diawali dari yang paling dekat itu. Kata adalah jalan, yang siapa pun bisa menempuhnya.


Dalam dua ruang yang berbeda, blog dan linimasa, setiap kita dan Kata selalu punya pilihan; menjadi
flaneur atau merawat rumah sendiri. Atau mungkin keduanya; keluyuran dulu sepuasnya, untuk kemudian pulang meredakan lelah. Dan di atas keduanya, nasib Kata dipertaruhkan. Dengan permintaan maaf kepada Chairil, saya ingin menutup catatan dengan ini: Waktu menulis, aku tidak tahu apa nasib kata. [irf]


itp, sumur batu