04 January 2015

Suatu Pagi dari Ciwaruga


Seno Gumira Ajidarma dalam cerpennya yang sangat terkenal; Sepotong Senja untuk Pacarku, menulis begini :
Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata.
Tadinya saya ingin meniru Seno, sengambil sepotong pagi dan memasukannya ke dalam amplop yang tertutup rapat. Namun tak bisa, lagi pula catatan ini bisa jadi hanya sekadar kata-kata.
***
Ciwaruga. Nama ini tidak asing buat saya. Dulu waktu masih kuliah, saya ngekos di daerah ini, tepatnya di dekat persimpangan POLBAN-Ciwaruga-Cimahi. Pondok Barak nama kosannya, letaknya persis di sebuah tebing yang curam, di belakang-bawah jejeran warung nasi, warung kopi, warung buah-buahan, bengkel, dan pangkalan ojeg. Baru-baru tak jauh dari persimpangan itu ada juga pos polisi kecil yang setiap bulan ada seorang polisi yang menyambangi kosan saya untuk bertemu dengan bapak Rauf (pengurus kosan), entah untuk apa. Konon mengambil “uang jajan” karena kosan kami yang juga kabar burung; listriknya “ngambil dari belakang”.
Sekilas orang-orang akan ngeri jika melihat kosan saya, maklum saja di tebing itu dibangun puluhan kamar dengan pondasi yang terlihat kurang menyakinkan. Saya pun dulu kadang-kadang merasa ngeri, membayangkan bagaimana jika tiba-tiba terjadi longsor.
Kata orang-orang, daerah ini dinamakan Ciwaruga sebab di sana terdapat banyak sekali kuburan. Waruga artinya jasad, ya jasad yang sudah ditanam di dalam tanah. Memang saya juga pernah melihat dengan mata kepala sendiri, bahwa di Ciwaruga memang terdapat banyak kuburan.
Saya pernah pindah kosan ke daerah Ciwaruga bagian atas dekat persimpangan yang mau ke Gegerkalong Hilir. Di halaman belakang kosan saya yang baru itu adalah makam keluarga, jadi kalau saya menjemur baju otomatis kaki menginjak kuburan. Namun karena mungkin sudah terbiasa, saya tidak merasa takut.
Tapi itu sudah lewat hampir sepuluh tahun yang lalu, sebab sekarang saya tinggal di Ciwaruga lebih atas lagi yang arah ke Parongpong, tak jauh dari batas desa. Penghuni resmi kontrakan ini sebenarnya teman saya, namun karena dia sedang pulang ke Sukabumi, maka saya bisa leluasa menempatinya.
Suatu pagi, tepatnya hari Jum’at, karena bosan di kontrakan, dengan menunggangi sepeda motor saya memutuskan untuk pergi jalan-jalan ke atas, ke arah Parongpong.
Mula-mula saya berhenti di daerah Cigugur Girang untuk makan semangkok bubur ayam. Ada sedikit kecewa; buburnya tidak enak, encer betul. Lagi pula bumbunya kurang banyak. Tapi lumayan juga untuk mengganjal perut yang kosong dan menghangatkan tubuh dari cuaca yang cukup dingin.
Jalanan menuju Parongpong rusak; berlubang dan berdebu. Di kiri kanan jalan rumah-rumah penduduk tidak terlalu banyak, tapi menjadi catatan tersendiri buat saya yaitu mulai menjamurnya cluster dan villa di sepanjang jalan tersebut. Memang semakin ke atas pemandangannya semakin bagus, kota Bandung yang dikelilingi gunung di sebelah selatan dapat terlihat dengan jelas. Kabut yang muncul malu-malu dari sesela gunung dan bukit menambah keindahan pemandangan.
Cigugur Girang ini boleh dikatakan adalah sebuah perkampungan dan jauh dari pusat kota, namun saya kaget waktu mengetahui bahwa di pinggir jalan yang tidak terlalu besar dan berlubang itu, terdapat sebuah minimarket modern (entah Alfamart atau Indomaret, saya lupa lagi) dan ATM BCA.
Tak jauh dari sana, The Peak sudah menanti. Di sinilah tempat yang paling pas untuk melihat pemandangan di selatan. Kemudian saya melewati Cihideung yang terkenal dengan kebun bunganya. Tiba-tiba saya ingat Ajip Rosidi yang dulu pernah mukim di daerah Cihideung, namun tepatnya entah di mana. Terus ke utara sampailah saya di sebuah simpang jalan antara Cihideung-Cisarua-Ledeng, tepatnya tak jauh dari terminal Parongpong, dan jalannya bernama Kolonel Masturi. Memang jalan itu kalau diteruskan ke kanan akan tembus ke terminal Ledeng, dan kalau ke kiri akan menuju ke Cisarua yang ujungnya akan tembus ke Padalarang.
Saya mengambil ke kiri, tak jauh dari sana saya melewati komplek militer yang bernama Denkavkud (Datasemen Kavaleri Kuda).  Lalu ada juga Universitas Advent, konon kampus ini adalah kampus teologi. Baik Denkavkud maupun kampus Universitas Advent, sama-sama terlihat rapi dan asri. Dari kampus Advent pemandangan ke selatan sungguh sempurna.
Jalanan kemudian menurun dan memasuki kawasan yang rimbun dengan pepohonan, saya agak mengenalnya, dan ternyata tak jauh dari rimbun pepohonan itu terdapat obyek wisata Curug Cimahi yang dulu sekira tahun 2008 pernah saya kunjungi. Kali ini saya tidak singgah, namun memilih melanjutkan perjalanan.
Di sebelah kanan jalan terdapat Rumah Sakit Jiwa yang cukup luas. Tadinya saya mau foto gerbang utamanya, namun ada dua orang satpam yang berjaga, takut dilarang akhirnya saya urungkan. Di sebelah rumah sakit tersebut terdapat semacam bumi perkemahan, dan di seberang jalan ada komplek rumah yang entah diperuntukkan bagi siapa, mungkin untuk karyawan rumah sakit.
Semakin ke barat udara semakin dingin, lagi pula hujan rintik-rintik mulai turun. Pada sebuah minimarket saya berhenti untuk membeli rokok, tak jauh dari SMP Negeri Cisarua. Kepada karyawan minimarket yang berjenis perempuan saya bertanya ihwal jalan. “Kalau terus ke barat akan tembus ke Padalarang Pak,” jawabnya. Dia menyebut saya bapak, padahal saya belum tua-tua amat; baru 30 lebih dua tahun.
Kemudian perjalanan berlanjut, dan sampailah saya di sebuah persimpangan dekat Sekolah Polisi Cisarua. Sebelum persimpangan tersebut terdapat penunjuk jalan yang menyebutkan bahwa kantor Bupati Bandung Barat berada di sebelah kiri persimpangan. Namun saya tak melanjutkan, melainkan putar balik ke arah Parongpong.
***
Sebelum meluncur langsung ke Ciwaruga, di dekat Denkavkud saya berhenti dulu untuk ngopi. Mantap betul, gorengan dan kopi hitam ditambah rokok adalah perpaduan yang pas di cuaca sedingin itu. Di sebelah saya duduk dua orang tentara yang sedang asyik ngobrol, mungkin mereka habis olahraga jika dilihat dari pakaiannya.
Tak jauh dari warung kopi ternyata ada markas Viking Parongpong, sayang tempatnya lagi tutup. Setelah membayar akhirnya saya kembali ke Ciwaruga.
Perjalanan di sepotong pagi itu cukup mengesankan, sebab saya dimanjakan dengan pemandangan yang menyegarkan mata. Meskipun dulu pernah tinggal selama tiga tahun di Ciwaruga, namun perjalanan kali ini adalah yang pertama. Dan saya ingin mengulanginya. [irf]
Angkot yang melewati Ciwaruga adalah sebagai berikut :
  1. Cimahi – Ledeng (warna hijau)
  2. Gerlong – POLBAN (warna hijau)
  3. Sarijadi – Parongpong (warna kuning)
  4. Sarijadi – Pasantren (warna biru)

3 comments:

Kus said...

Wah ada post tentang Ciwaruga. Biasanya kalau googling dapatnya iklan perumahan atau property :))
Meluruskan. Kata waruga dalam bahasa sunda bukan jasad melainkan gemuruh/ mirip suara guludug (petir). Nama Ciwaruga diambil dari fenomena suara gemuruh banjir yang biasa terjadi di lembah sebelah barat Ciwaruga. Terima kasih ya atas tulisannya.

Kus said...

Wah ternyata saya juga salah. Maaf ya kang. Ingatan saya malah ke cerita Lebak Cigugur dari uyut saya. Ingat-ingat lagi, ternyata Ciwaruga lebih ke badan air untuk pertanian/awak cai. Merujuknya pada wahangan/sungai yang mengalir dari utara desa yang menjadi pembatas dengan Cihanjuang. Nah ini menjadi sumber air untuk pertanian awal di Ciwaruga.

Rasanya saya tahu bekas kostan akang. Seingat saya menjadi sepi semenjak ada yang gantung diri di sana. Sekarang sudah ediruntuhkan. Sekali lagi terima kasih sudah ada yang menulis tentang Ciwaruga :))

Irfan Teguh said...

Wadaw, pernah ada yg gantung diri?!

Iya, terakhir lihat kosan itu dari arah Sariwangi memang telah rata, hhh...