Membaca
mojok.co tentang kampus-kampus, kok ya rasa-rasanya tidak ada yang menulis tentang
kehidupan kampus di Bandung. Padahal jelas di Bandung juga banyak sekali ruang
untuk para mahasiswa belajar. Tapi entah kemana catatan itu, teks seperti
hilang di ruang hampa. Seolah anak-anak Bandung tak biasa menulis, ga doyan
berlarat-larat dengan aksara. Astaghfirullah, ini adalah bahaya laten. Kondisi
ini bakal menegaskan stereotif tentang Bandung yang cuma terkenal konsumtif.
Iya jelas, memproduksi tulisan saja ga becus kok. Maka sebagai anak kandung
kampus Bandung, saya tergerak untuk ancrub
ke medan ini. Berjihad di ruang publik yang selo ini.
Saya katakan
jihad sebab memang tak mudah bagi saya, yang lulus dari kampus dengan kondisi
setengah alien. Memangnya Bung dan Nona tahu POLBAN? Apa coba? Tak jarang orang
menyebut bahwa POLBAN adalah singkatan dari Polisi Bandung. Dan banyak lagi
yang mengkerutkan kening, sebab bagi mereka nama tersebut barangkali seperti
rima-rima zaman Orba.
Kondisi ini
mewajibkan saya untuk bergerak taktis layaknya Menteri Penerangan, menyuluh
masyarakat dengan informasi-informasi yang benar tentang kampus tercinta itu,
walaupun sedikit pahit. Tak apa, toh obat juga pahit namun pada akhirnya bisa
menyembuhkan. Aih, klasik sekali!
Terlahir sebagai Anak Gajah Duduk
Beraroma Tentara
Ketika
pemerintah dan industri merasa ada jarak yang begitu jomplang antara lulusan S1
dengan lulusan Sekolah Menengah Atas, maka lahirlah Politeknik. Lembaga pendidikan
ini terutama dibentuk untuk menjadi semacam kawah candradimuka bagi para calon
buruh berkualitas nomor wahid. Bagaimana tidak, pada mula kelahirannya calon mahasiswa
baru ditempa dengan ospek semimiliter lengkap dengan seragam dan kepala botak
khas tentara. Kemudian jam perkuliahan dibuat sangat ketat. Dari pagi sampai
sore mahasiswa bertungkuslumus di bengkel-bengkel, lab-lab ujicoba, dan
ruang-ruang praktek. Semuanya ikhlas demi memenuhi kebutuhan dunia industri.
Konon,
lulusan POLBAN gampang diserap oleh pabrik-pabrik. Para pemilik modal tertarik
dengan alumninya sebab tampil dengan wajah peranakan. Setengah gajah duduk
setengah tentara. Begini penjelasannya : pada awalnya politeknik-politeknik
negeri belum mampu berdiri sendiri, sebab infrastruktur dan sistem belum
memadai. Maka mereka dititipkan di kampus-kampus besar yang usianya sudah
bangkotan. Dan begitulah pada akhirnya, di Bandung hadir sebuah politeknik
dengan nama Politeknik ITB, ya Politeknik Gajah Duduk.
Para Aktivis HMSC
POLBAN berdiri di desa Ciwaruga,
sebuah desa yang terletak di perbatasan tiga wilayah; Kota Bandung, Kab.
Bandung Barat, dan Kota Cimahi. Posisinya sebagai salahsatu jalan perlintasan
para wisatawan yang hendak indehoy di
Lembang dan di sekujur Bandung Utara yang adem-adem. Jam delapan malam angkutan
kota sudah tidak bisa mengangkut warganya yang hendak pulang.
Kampus paling banter hidup sampai
maghrib, setelah itu mati. Sisa mahasiswa yang masih berkeliaran bisa dihitung
dengan jari. Mereka adalah para aktivis HMSC (Himpunan Mahasiswa Student
Centre) yang sangat guyub dan selo. Ngobrol, main gitar, diskusi, makan, mandi,
main domino, dan tidur di kampus. Pagi-pagi ketika hari baru datang, dan para mahasiswa
serta mahasiswi tengah harum-harumnya, mereka para pejuang HMSC ini kadang
masih asyik sarungan sambil ngorehan
singkong yang mereka masukan ke bara sisa pembakaran tadi malam.
Mereka, anak-anak HMSC itu layaknya
kaum oposan bagi ritme hidup yang kaku di kampus dengan jadwal mirip di barak
tentara; dapat E satu saja bisa bikin DO. Atau nilai D melebihi tujuh biji
dalam satu semester, siap-siap ditendang. SKS dipaket, dan mesti lulus tepat
tiga tahun, tak boleh lebih jika nama ingin tetap harum. Toleransi setahun bagi
para pemalas dan kaum lemah iman, lebih dari itu jangan harap masih bisa kuliah
di sini!
Anak-anak Ndeso Calon Mesin
Diberkahi letak geografis yang
posisinya di pinggiran kota, POLBAN betul-betul pas untuk menempa para peserta
didiknya. Ciwaruga, sebuah desa yang dikepung oleh sawah dan kuburan, juga
akses transportasi publik yang sangat minim, cocok untuk melatih mahasiswa agar
tidak konsumtif. Ah sodara, bukankah Bandung yang gemerlap ini kerap menggoda
tunas-tunas penerus bangsa? Maka menjauhkan bibit-bibit unggul ini dari
pusat-pusat hiburan dan perbelanjaan adalah langkah mulia.
Anak-anak dicetak ndeso dari pergaulan hedonisme, yang
kelak akan mereka panen jika sudah bergaji besar di pabrik-pabrik raksasa nan
terkenal. Untuk sekadar tetap menjadikannya manusia, di kampus hadir beberapa
UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa), dan Organisani Intra Kampus macam BEM, Himpunan,
dan lain-lain. Sementara KAMMI, HMI, LMND, dan antek-antek kepentingan politik
yang lain ditentang habis-habisan. Apa perlunya mereka? Toh, arahnya sudah
jelas, begitu lulus mesin-mesin industri sudah siap untuk menampung mereka.
Buat apa pula ikut-ikutan politik? Maaf ga ada waktu!
***
Dari kampus inilah saya lulus beberapa
tahun ke belakang sebelum tahun 2015. Tiga tahun pas, ga kurang ga lebih,
dengan IPK ga jelek-jelek amat. Lumayanlah sebagai balasan bagi kuliah yang
tidak terlalu serius, alias asal lulus. Beberapakali sempat bekerja di tempat
oranglain, namun nganggur juga ga sebentar, sisanya menghabiskan waktu dengan menulis
hal-hal yang saya sukai. Kawan-kawan telah moncer di pabrik-pabrik besar dan
lembaga-lembaga pemerintah dengan tingkat kesejahteraan yang bikin calon mertua
keras hati lumer pendiriannya. Saya memang tidak suka penyeragaman, jadi menempuh
jalan hidup yang berbeda.
Bagi almamater, saya barangkali
seorang lulusan paria. Kacingcalang
kalau kata orang Sunda, alias penerus tradisi yang tidak diharapkan
kehadirannya karena terkena cacat bawaan. Tak apa, toh saya juga tetap punya
kontribusi dengan menuliskan ini. Menyuarakan almamater agar orang-orang tak
salah lagi dengan menyebutnya sebagai Polisi Bandung. [ ]
Ingatan yang Berarak di Pujasera POLBAN
Ingatan yang Berarak di Pujasera POLBAN