16 August 2015

Komunitas Aleut : Mencintai Kota dari Dekat

“Kotamu nanti bakal mekar menjadi plaza raksasa
Banyak yang terasa baru, segala yang lama
mungkin akan tinggal cerita,
dan kita tak punya waktu untuk berduka.”

(Joko Pinurbo)

***

Seseorang datang ke kantor Pemkot Bandung hendak melihat dokumentasi catatan sejarah tentang kota tempat lahirnya, namun sayang sejarah yang dia cari hanya tersaji pada tiga lembar kertas folio. Tiga lembar saja! Dia adalah Haryoto Kunto (alm). Berangkat dari kekecewaan itulah akhirnya beliau menulis beberapa buku tentang Bandung yang sangat lengkap, di antaranya adalah Wajah Bandoeng Tempo Doeloe dan Semerbak Bunga di Bandung Raya, tak lama kemudian beliau ditasbihkan sebagai Kuncen Bandung.

Kelahiran Komunitas Aleut sedikit banyak dipengaruhi oleh buku-buku Sang Kuncen Bandung itu. Komunitas ini, satu dari beberapa komunitas lain yang—seperti sepenggal puisi Joko Pinurbo yang saya kutip di awal tulisan—merasakan kegelisahan terhadap kondisi kota yang semakin hari kian berubah. Pembangunan merangsek di segala penjuru, yang celakanya kadang kurang memperhatikan unsur sejarah yang menjadi ingatan kolektif warga kota.

Cikal bakal komunitas ini diawali ketika Direktur Program Radio Mestika FM Bandung, yaitu Ridwan Hutagalung, membuat satu program di radionya yang bernama “Afternoon Coffee”. Acara ini sepekan sekali disajikan untuk membahas sejarah Kota Bandung yang sumbernya sebagian besar diambil dari buku-buku Haryoto Kunto.

Ridwan--di tengah tahun 2005, kemudian dilibatkan oleh panitia ospek mahasiswa baru Jurusan Sejarah Universitas Padjadjaran untuk ikut dalam acara yang relatif segar, yaitu ospek tanpa kekerasan, dan sebagai gantinya adalah mengunjungi situs-situs bersejarah di Kota Bandung. Gagasan ini ternyata mendapatkan respon yang positif dari para peserta ospek. Dari situlah kemudian muncul ide untuk mendirikan sebuah komunitas yang fokus utamanya pada apresiasi sejarah kota. Maka pada tahun 2006 resmilah didirikan Komunitas Aleut.

Kata “Aleut” sendiri yang diambil dari Bahasa Sunda—artinya berjalan beriringan, kemudian dipilih sebagai nama komunitas karena sejak dari mula kegiatannya memang berjalan kaki. Ngaleut yang kerap kita lihat pada orang Baduy, atau di tempat-tempat antrian yang mengular, seperti itulah proses jalan kaki yang dilakukan ketika menyusuri sudut-sudut Kota Bandung yang kaya oleh gang-gang sempit.

Dari laku jalan-jalan ini anggota Aleut semakin diperkaya oleh hal-hal menarik yang kerap tidak ada di buku-buku sejarah Kota Bandung. Dengan menyusuri setiap jengkal pojok kota, perjalanan setiap pekan adalah sebuah gerak yang mendekatkan para pegiat Aleut dengan kotanya yang kompleks. Buku, sosial media, dan alat penyebar informasi yang lain, yang cenderung berjarak dengan kehidupan nyata sehari-hari, membuat pegiat Aleut semakin terpacu untuk lebih dekat dengan denyut kehidupan kota, juga sejarahnya yang tercecer. Tak jarang di gang-gang sempit menemukan nisan orang-orang terdahulu yang usianya sudah berpuluh-puluh tahun.

Demi memperkaya perspektif tentang kota yang pada muaranya untuk berbagi, tak terhitung bangunan-bangunan bersejarah, ragam tempat kuliner, jejak tokoh, pemakaman, ruang-ruang publik, dan pusat literasi yang sudah didatangi. Dari sana kemudian informasi yang didapat didiskusikan di antara pegiat, ditulis, lalu dibagikan melalui kanal-kanal daring.

Dalam penulisannya--meskipun amatiran, namun sebisa-bisa tetap didukung oleh data-data tertulis yang dikayakan dengan penemuan-penemuan lapangan tadi. Kini di laman aleut.wordpress.com sudah diunggah lebih dari 600 entry tulisan. Mula-mula rutinitas tulisan yang dipublikasikan seiring dengan kegiatan per pekan, namun kini lebih ditingkatkan lagi. Produktifitas para pegiat Aleut dalam mencatat denyut kotanya lebih dipacu lagi dengan mengadakan liputan-liputan kecil pada beberapa momen penting; yang telah dikerjakan adalah waktu peringatan KAA ke-60, dan sekarang tengah menggarap penulisan bulan Ramadhan sebagai sebuah peristiwa budaya.

Energi menulis yang deras ini sesekali ditopang oleh kegiatan “kelas menulis” yang menghadirkan beberapa narasumber yang inspiratif, atau juga dari para pegiat Aleut sendiri yang dianggap lebih mengusai teknik penulisan. Maka di titik ini, Aleut sebagai sebuah komunitas yang mencatat secara amatiran sejarah Kota Bandung, adalah juga komunitas dengan semangat belajar yang tak pernah sudah.

Dalam perjalanannya, selain mencoba mengembangkan diri dengan belajar menulis sejarah kota, Aleut juga kerap mengadakan acara apresiasi di bidang lain, di antaranya adalah apresiasi dan diskusi tentang musik dan film. Kedua acara ini, meskipun agak keluar dari konteks sejarah kota, namun muaranya tetap pada pengayaan sudut pandang para pegiat, meningkatkan sensitifitas, dan belajar berdialektika.

***

Meskipun pada mulanya komunitas ini—bersama Ridwan Hutagalung, didirikan oleh mahasiswa Jurusan Sejarah UNPAD, tapi seiiring waktu anggotanya semakin banyak dan diisi oleh beragam latar belakang pendidikan, latar daerah, dan ragam usia. Tak sedikit orang-orang yang berasal dari luar daerah namun tengah mukim di Bandung; seperti Sukabumi, Cianjur, Ciamis, dan bahkan dari Batusangkar, yang ikut aktif di komunitas ini. Isinya pun tak melulu para mahasiswa (yang bidang study-nya berbeda-beda), namun ada juga karyawan swasta, PNS, tour guide, pengelola laman daring sepakbola, penulis buku, siswa SMA, dan masih banyak lagi. Hal ini tentu saja mencerminkan bahwa secara usia pun berbeda-beda.        

Kondisi multi seperti ini semakin membuat Aleut kaya akan sudut pandang dari para pegiat. Jadi misalnya jika ada satu objek sejarah yang ditemukan di lapangan, maka pembahasannya bisa dilihat dari berbagai bidang keilmuan. Konsep kegiatan seperti ini menjadikan Aleut sebagai wadah belajar sejarah dengan cara populer dan dan tidak membosankan.

Sampai saat ini, di usianya yang sudah menginjak tahun ke sembilan, anggota Komunitas Aleut sudah lebih dari 700 orang. Dengan proses pendaftaran keanggotaan yang sangat mudah dan murah, yaitu hanya membayar iuran sebesar Rp 10,000.- (sepuluh ribu rupiah) per tahun, maka anggota baru sudah bisa bergabung di kegiatan yang sudah diagendakan sebelumnya.

Acara rutin dalam sepekan yaitu berlangsung di hari Kamis dan Minggu. Pada Kamis, atau pegiat Aleut menyebutnya dengan “Kamisan”, biasanya membahas tentang tempat yang akan dikunjungi dan rute yang akan ditempuh. Diskusi tersebut berlangsung pada sore sampai malam hari. Setelah keputusan dibuat secara musyawarah, barulah agenda untuk hari Minggu tersebut dipublikasikan di berbagai media sosial seperti WA, twitter (@KomunitasAleut), facebook, path, dan instagram.

Dari pekan ke pekan, lalu berganti bulan, kemudian berselang menjadi tahun, Komunitas Aleut terus menjaga nafas agar bisa tetap berkontribusi kepada Kota Bandung, sebab tak sedikit contoh yang memerikan tentang laku orang-orang yang peduli terhadap kota namun berusia pendek; sporadis, menghentak pada awalnya, tapi kemudian mundur teratur dan hilang nyaris tak berbekas.

Di kota yang semakin mekar ini, dan di tengah ingatan warga yang relatif pendek, Aleut hadir dengan langkah-langkah kecilnya, untuk sebisa-bisa menjaga ingatan kolektif dan menularkan kesadaran terhadap warga kota; bahwa kita tidak mesti gagap dengan laju perubahan, dan sejarah sebagaimana kaca spion bukan difungsikan untuk berjalan mundur, namun demi kelancaran perjalanan ke depan.


Hana nguni hana mangkė, tan hana nguni tan hana mangkė. Ada masa kini karena ada masa lalu. Kalau tidak ada dulu, tidak akan ada sekarang. [ ]   

Edisi cetak terbit di Majalah Karsa (Majalah Ekonomi Kreatif)
Volume 4 (Juli - Agustus 2015)

No comments: