“Kotamu nanti bakal mekar menjadi
plaza raksasa
Banyak yang terasa baru, segala yang
lama
mungkin akan tinggal cerita,
dan kita tak punya waktu untuk
berduka.”
(Joko
Pinurbo)
***
Seseorang
datang ke kantor Pemkot Bandung hendak melihat dokumentasi catatan sejarah tentang
kota tempat lahirnya, namun sayang sejarah yang dia cari hanya tersaji pada
tiga lembar kertas folio. Tiga lembar saja! Dia adalah Haryoto Kunto (alm).
Berangkat dari kekecewaan itulah akhirnya beliau menulis beberapa buku tentang
Bandung yang sangat lengkap, di antaranya adalah Wajah Bandoeng Tempo Doeloe dan Semerbak
Bunga di Bandung Raya, tak lama kemudian beliau ditasbihkan sebagai Kuncen
Bandung.
Kelahiran
Komunitas Aleut sedikit banyak dipengaruhi oleh buku-buku Sang Kuncen Bandung
itu. Komunitas ini, satu dari beberapa komunitas lain yang—seperti sepenggal
puisi Joko Pinurbo yang saya kutip di awal tulisan—merasakan kegelisahan
terhadap kondisi kota yang semakin hari kian berubah. Pembangunan merangsek di
segala penjuru, yang celakanya kadang kurang memperhatikan unsur sejarah yang
menjadi ingatan kolektif warga kota.
Cikal bakal
komunitas ini diawali ketika Direktur Program Radio Mestika FM Bandung, yaitu
Ridwan Hutagalung, membuat satu program di radionya yang bernama “Afternoon
Coffee”. Acara ini sepekan sekali disajikan untuk membahas sejarah Kota Bandung
yang sumbernya sebagian besar diambil dari buku-buku Haryoto Kunto.
Ridwan--di
tengah tahun 2005, kemudian dilibatkan oleh panitia ospek mahasiswa baru
Jurusan Sejarah Universitas Padjadjaran untuk ikut dalam acara yang relatif
segar, yaitu ospek tanpa kekerasan, dan sebagai gantinya adalah mengunjungi
situs-situs bersejarah di Kota Bandung. Gagasan ini ternyata mendapatkan respon
yang positif dari para peserta ospek. Dari situlah kemudian muncul ide untuk
mendirikan sebuah komunitas yang fokus utamanya pada apresiasi sejarah kota.
Maka pada tahun 2006 resmilah didirikan Komunitas Aleut.
Kata
“Aleut” sendiri yang diambil dari Bahasa Sunda—artinya berjalan beriringan,
kemudian dipilih sebagai nama komunitas karena sejak dari mula kegiatannya
memang berjalan kaki. Ngaleut yang
kerap kita lihat pada orang Baduy, atau di tempat-tempat antrian yang mengular,
seperti itulah proses jalan kaki yang dilakukan ketika menyusuri sudut-sudut
Kota Bandung yang kaya oleh gang-gang sempit.
Dari
laku jalan-jalan ini anggota Aleut semakin diperkaya oleh hal-hal menarik yang
kerap tidak ada di buku-buku sejarah Kota Bandung. Dengan menyusuri setiap
jengkal pojok kota, perjalanan setiap pekan adalah sebuah gerak yang
mendekatkan para pegiat Aleut dengan kotanya yang kompleks. Buku, sosial media,
dan alat penyebar informasi yang lain, yang cenderung berjarak dengan kehidupan
nyata sehari-hari, membuat pegiat Aleut semakin terpacu untuk lebih dekat
dengan denyut kehidupan kota, juga sejarahnya yang tercecer. Tak jarang di
gang-gang sempit menemukan nisan orang-orang terdahulu yang usianya sudah berpuluh-puluh
tahun.
Demi
memperkaya perspektif tentang kota yang pada muaranya untuk berbagi, tak
terhitung bangunan-bangunan bersejarah, ragam tempat kuliner, jejak tokoh,
pemakaman, ruang-ruang publik, dan pusat literasi yang sudah didatangi. Dari
sana kemudian informasi yang didapat didiskusikan di antara pegiat, ditulis,
lalu dibagikan melalui kanal-kanal daring.
Dalam
penulisannya--meskipun amatiran, namun sebisa-bisa tetap didukung oleh
data-data tertulis yang dikayakan dengan penemuan-penemuan lapangan tadi. Kini
di laman aleut.wordpress.com sudah diunggah lebih dari 600 entry tulisan. Mula-mula
rutinitas tulisan yang dipublikasikan seiring dengan kegiatan per pekan, namun
kini lebih ditingkatkan lagi. Produktifitas para pegiat Aleut dalam mencatat
denyut kotanya lebih dipacu lagi dengan mengadakan liputan-liputan kecil pada
beberapa momen penting; yang telah dikerjakan adalah waktu peringatan KAA
ke-60, dan sekarang tengah menggarap penulisan bulan Ramadhan sebagai sebuah
peristiwa budaya.
Energi
menulis yang deras ini sesekali ditopang oleh kegiatan “kelas menulis” yang
menghadirkan beberapa narasumber yang inspiratif, atau juga dari para pegiat Aleut
sendiri yang dianggap lebih mengusai teknik penulisan. Maka di titik ini, Aleut
sebagai sebuah komunitas yang mencatat secara amatiran sejarah Kota Bandung,
adalah juga komunitas dengan semangat belajar yang tak pernah sudah.
Dalam
perjalanannya, selain mencoba mengembangkan diri dengan belajar menulis sejarah
kota, Aleut juga kerap mengadakan acara apresiasi di bidang lain, di antaranya
adalah apresiasi dan diskusi tentang musik dan film. Kedua acara ini, meskipun
agak keluar dari konteks sejarah kota, namun muaranya tetap pada pengayaan
sudut pandang para pegiat, meningkatkan sensitifitas, dan belajar
berdialektika.
***
Meskipun
pada mulanya komunitas ini—bersama Ridwan Hutagalung, didirikan oleh mahasiswa
Jurusan Sejarah UNPAD, tapi seiiring waktu anggotanya semakin banyak dan diisi
oleh beragam latar belakang pendidikan, latar daerah, dan ragam usia. Tak
sedikit orang-orang yang berasal dari luar daerah namun tengah mukim di Bandung;
seperti Sukabumi, Cianjur, Ciamis, dan bahkan dari Batusangkar, yang ikut aktif
di komunitas ini. Isinya pun tak melulu para mahasiswa (yang bidang study-nya
berbeda-beda), namun ada juga karyawan swasta, PNS, tour guide, pengelola laman daring sepakbola, penulis buku, siswa
SMA, dan masih banyak lagi. Hal ini tentu saja mencerminkan bahwa secara usia
pun berbeda-beda.
Kondisi
multi seperti ini semakin membuat Aleut kaya akan sudut pandang dari para
pegiat. Jadi misalnya jika ada satu objek sejarah yang ditemukan di lapangan,
maka pembahasannya bisa dilihat dari berbagai bidang keilmuan. Konsep kegiatan
seperti ini menjadikan Aleut sebagai wadah belajar sejarah dengan cara populer
dan dan tidak membosankan.
Sampai
saat ini, di usianya yang sudah menginjak tahun ke sembilan, anggota Komunitas
Aleut sudah lebih dari 700 orang. Dengan proses pendaftaran keanggotaan yang
sangat mudah dan murah, yaitu hanya membayar iuran sebesar Rp 10,000.- (sepuluh
ribu rupiah) per tahun, maka anggota baru sudah bisa bergabung di kegiatan yang
sudah diagendakan sebelumnya.
Acara
rutin dalam sepekan yaitu berlangsung di hari Kamis dan Minggu. Pada Kamis,
atau pegiat Aleut menyebutnya dengan “Kamisan”, biasanya membahas tentang tempat
yang akan dikunjungi dan rute yang akan ditempuh. Diskusi tersebut berlangsung
pada sore sampai malam hari. Setelah keputusan dibuat secara musyawarah,
barulah agenda untuk hari Minggu tersebut dipublikasikan di berbagai media
sosial seperti WA, twitter (@KomunitasAleut), facebook, path, dan instagram.
Dari
pekan ke pekan, lalu berganti bulan, kemudian berselang menjadi tahun,
Komunitas Aleut terus menjaga nafas agar bisa tetap berkontribusi kepada Kota
Bandung, sebab tak sedikit contoh yang memerikan tentang laku orang-orang yang
peduli terhadap kota namun berusia pendek; sporadis, menghentak pada awalnya,
tapi kemudian mundur teratur dan hilang nyaris tak berbekas.
Di kota
yang semakin mekar ini, dan di tengah ingatan warga yang relatif pendek, Aleut
hadir dengan langkah-langkah kecilnya, untuk sebisa-bisa menjaga ingatan
kolektif dan menularkan kesadaran terhadap warga kota; bahwa kita tidak mesti
gagap dengan laju perubahan, dan sejarah sebagaimana kaca spion bukan
difungsikan untuk berjalan mundur, namun demi kelancaran perjalanan ke depan.
Hana nguni hana
mangkė, tan hana nguni tan hana mangkė. Ada masa kini karena ada masa lalu. Kalau
tidak ada dulu, tidak akan ada sekarang. [ ]
Edisi cetak terbit di Majalah Karsa (Majalah Ekonomi Kreatif)
Volume 4 (Juli - Agustus 2015)
No comments:
Post a Comment