30 September 2015

Kelas Resensi Pekan ke-3

  1. Burung-burung Manyar (YB Mangunwijaya)
Ini adalah kisah tentang sejarah yang tidak tampil dengan narasi hitam putih. Sejarah orang-orang kecil, yang kerap hadir hanya “di pinggiran” catatan resmi, justru membuat sudut pandang kita semakin kaya. Manusia yang hadir di tengah pusaran sejarah, ternyata tak sesederhana tampaknya. Mereka terlibat dalam kegagapan keberpihakan yang kompleks. Dengan demikian, kisah ini memerikan satu hal, bahwa dalam lingkup yang lebih luas, sejarah tak lagi relevan untuk dikutubkan menjadi dua bagian; antara lawan dan kawan, namun lebih layak untuk dihamparkan sebagai riwayat manusia yang bergelut di pusarannya, lengkap dengan keyakinan dan pilihan-pilihan hidup.
  1. Animal Farm (George Orwell)
Sebuah olok-olok terhadap pemerintahan Komunis Uni Soviet. Novel alegori ini—lengkap dengan penokohan para binatang, menghujam tepat di jantung. Sistem pemerintahan yang dianut selama lebih dari 70 tahun, akhirnya runtuh. Komunisme yang didadarkan Orwell di buku ini, tak lebih dari sebuah sistem yang hanya berhasil melahirkan para pemimpin yang diktator. Revolusi kaum Bolshevik yang mulanya menjanjikan perbaikan hidup, pada akhirnya hanya melahirkan kesengsaraan baru bagi rakyat. Novel ini berhasil melambungkan nama Orwell di kancah sastra dunia.
  1. Titik Nol (Agustinus Wibowo)
Setelah berkelana di buku “Selimut Debu” dan “Garis Batas”, di buku ini pun Agustinus Wibowo masih mengarungi kerasnya kehidupan di berbagai belahan dunia. Ia menembus kerasnya Kashmir, Himalaya yang anggun dan misterius, serta gejolak sosial yang mengerikan. Namun buku ini juga menjadi semacam titik balik dari petualangannya yang telah ditempuh selama bertahun-tahun. Ia yang sudah menghabiskan waktunya dalam perjalanan sejauh ribuan kilometer, ternyata justru menemukan makna perjalanan dari seseorang yang tak pernah ke mana-mana sepanjang hayatnya. Si musafir bersujud di samping ibunya yang tengah terbaring sakit.
  1. Siau Ling (Yapi Tambayong)
Yapi Tambayong alias Dova Zila alias Alif Dahya Munsyi alias Juliana C. Panda alias Jubal Anak Perang Imanuel alias Remy Sylado, di buku ini seperti hendak memotret akulturasi antar bangsa, terutama antara Jawa dengan Tionghoa. Lewat kisah yang mengangkat tema cinta, Yapi juga menjelentrehkan bagaimana kekuasaan yang disalahgunakan kerap semena-mena menggasak kehidupan rakyat, termasuk kehidupan cinta. Sesuai sub-judulnya yang berbunyi “Drama Musik Kemempelaian Budaya”, buku ini pun bercerita bagaimana alat musik bisa lahir dari akulturasi budaya.
  1. Oeroeg (Hella S. Hasse)
Ditulis oleh sastrawan Belanda, buku ini berkisah tentang persahabatan dua anak manusia beda ras dan beda bangsa, yang kemudian terpisahkan oleh gejolak politik. Oeroeg, anak pribumi, bersahabat dengan tokoh “aku” yang keturunan Belanda. Mereka—di masa kolonial, sejak kecil sampai remaja bersahabat dengan baik. Sampai kemudian arah politik mulai berubah, dan hubungan keduanya perlahan merenggang. Ditulis oleh seorang yang lahir dan tumbuh di Indonesia, kisah ini begitu hidup menggambarkan lanskap alam dan kehidupan sehari-hari. Karya Hella ini pada akhirnya mencuatkan beberapa pertanyaan, tentang apa sesungguhnya sahabat sejati? Apakah ia layak untuk diceraikan oleh perbedaan-perbedaan yang telah melekat dalam diri manusia?
  1. Jurnalisme Sastrawi (Linda Chrystanty dkk)
Buku ini oleh beberapa pembaca diberi bintang lima dari skala lima, sebagai nilai tertinggi dari kepuasan pembaca. Isinya menuliskan hal yang—di Indonesia relatif baru, yaitu jurnalisme sastrawi. Perpaduan antara jurnalisme yang ketat dan sastra yang melambungkan keindahan, berhasil membuat tulisan-tulisan di buku ini begitu memikat. Dengan mewawancarai puluhan bahkan bisa sampai ratusan narasumber–yang mayoritas adalah rakyat kecil, laporan-laporan yang dihasilkannya sangat kaya dan menarik. Linda Chrystanty, Andreas Harsono, dan yang lainnya, berhasil menghadirkan satu gaya penulisan berita tanpa dihantui oleh resiko yang cepat basi, malah sebaliknya—gaya ini, karena memakai pendekatan sastra, selalu menarik untuk dibaca ulang.
  1. Guerrilla Warfare (Che Guevara)
Pria kelahiran Argentina yang meninggal di Bolivia ini menghabiskan sebagian hidupnya di ladang-ladang pertempuran Amerika Latin. Bersama Fidel Castro ia berhasil menggulingkan pemerintahan diktator Batista. Buku ini disebut-sebut sebagai rujukan perang gerilya di seluruh dunia dengan berbagai macam penerapannya. Perjalanan hidup Che Guevara berpindah-pindah dari satu negara ke negara berikutnya. Ia membantu mereka yang ditindas oleh para pemimpin yang diktator. Prinsip gerilya yang ia terapkan, oleh beberapa kalangan diprediksi karena ia banyak membaca buku Mao, meskipun ia sendiri membantahnya. Inilah salah satu warisan berharga tentang prinsip perang gerilya, dari seorang pejuang yang sosoknya sangat ikonik. [ ]

29 September 2015

Beberapa Kepiluan di Perpustakaan Ajip Rosidi


Kira-kira bulan April atau Mei 2015, saya berkunjung ke perpustakaan Pusat Studi Sunda di Jalan Garut No. 2 Bandung. Perpustakaan itu baru pindah dari daerah Buah Batu, kalau tidak salah di Jalan Karawitan. Di dalam, buku-buku belum tertata, dan hanya ada seorang petugas yang kemudian menginformasikan bahwa perpustakaan tersebut akan diresmikan sekitar bulan Juni 2015. Saya menunggunya dengan sabar. “Teu nanaonlah, sakeudeung deui gė da rėk diresmikeun,” begitu kata saya dalam hati.

Juni kemudian lewat, begitu pun Juli, dan perpustakaan itu belum kunjung diresmikan. Peresmian bagi saya penting, sebab saya berpikir bahwa itulah batu tapal untuk bisa mengakses buku-buku dan dokumen lainnya secara terbuka, termasuk meminjamnya untuk dibawa pulang ke rumah.

Di tengah Agustus, tepatnya hari Sabtu, tanggal 15 Agustus 2015; acara yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Dengan dihadiri Ajip Rosidi, Taufik Ismail, Usep Romli (penulis favoritnya Mang Alex), Deddy Mizwar aka Naga Bonar selaku Wakil Gubernur Jawa Barat, serta beberapa tokoh seni dan budaya Sunda lainnya, perpustakaan itu akhirnya diresmikan dan dan diberi nama “Perpustakaan Ajip Rosidi”.

Hari ini, tanggal 30 September 2015, saya berkunjung ke perpustakaan tersebut untuk mencari beberapa buku tentang sejarah dan kebudayaan Sunda, khususnya wilayah Ciamis dan Pangandaran. Saat masuk ke ruangan perpustakaan, saya langsung mendaftarkan diri untuk menjadi anggota. Prosesnya sebentar, hanya mengisi formulir singkat, difoto, dan membayar uang sebesar 100 ribu rupiah. Biaya untuk menjadi anggota dibedakan menjadi dua. Untuk pelajar dan mahasiswa cukup hanya membayar 50 ribu rupiah, sedangkan untuk dosen, peneliti, dan umum harus membayar dua kali lipatnya.

Ketika proses pendaftaran selesai, dan pembuatan kartu anggota sedang dikerjakan, saya bertanya kepada petugas, apakah saya bisa langsung meminjam buku untuk dibawa pulang atau tidak. Dan jawabannya sangat mengagetkan, bahwa semua buku dan dokumen di perpustakan tersebut tidak bisa dipinjam untuk dibawa keluar!

Bagaimana mungkin sebuah perpustakaan yang mempunyai anggota, dan data anggota tersebut sudah lengkap dimiliki, tapi tidak mengijinkan anggotanya untuk meminjam dan membawa pulang buku. Jadi buat apa segala identitas anggota itu? “Pemilik buku ini, yaitu Pak Ajip, tidak memperbolehkan buku-bukunya untuk dipinjam keluar, kata beliau takut hilang,” begitu terang si petugas. Saya hanya bisa tersenyum pahit.

“Jadi di sini hanya boleh difotocopy, itu pun proses fotocopy-nya harus sama petugas,” begitu lanjutnya. Kemudian saya bertanya, “Kalau misalnya ada pengunjung, dan dia tidak terdaftar sebagai anggota, apakah bisa memfotocopy juga?” Petugas langsung langsung menjawab, “bisa.” What? Naon maksudna ieu? Atuh euweuh bėdana antara anggota jeung nu lain anggota! Nyaho kieu mah kuring teu kudu jadi anggota!

Saya mencoba meyakinkan diri sendiri dengan bertanya lagi, “Yang bukan anggota bisa memfotocopy juga?!” Barulah kemudian petugas itu menyadari, dan memberikan jawaban yang bernada ralat, “Oh, kalau yang bukan anggota mah tidak bisa memfotocopy.” Har, ari tadi ngajawabna “bisa”. Inilah kepiluan yang pertama; buku yang tak bisa dipinjam ke rumah, dan petugas yang nampaknya tidak menguasai peraturan perpustakaan yang mereka buat—kalau ada ini juga.

Dengan kecewa saya akhirnya mencoba berdamai, “Geuslah teu nanaon teu bisa dibawa balik gė, nu penting bukuna aya.” Lalu mendekati rak yang berjajar untuk mencari buku yang dibutuhkan. Dan lagi-lagi timbul keprihatinan, ternyata buku-buku itu belum dikelompokan dan diklasifikasi. Semuanya masih bercampur. Dalam satu rak berjejal buku-buku sejarah, sastra, budaya, dan filsafat sekaligus!

Fiksi dan non fiksi campur aduk dalam satu rak. Selain itu, buku-buku itupun masih banyak yang belum tersusun rapi, beberapa malah tergeletak begitu saja. “Gusti, asa asup ka leuweung ari kieu carana mah, kuring kudu nėangan hiji-hiji sabari teu jelas kelompokna di mana.” Saya menggelengkan kepala. Begitu memilukannya perpustakaan ini. Tapi saya belum menyerah, saya dekati petugas dan menanyakan barangkali ada mesin pencari untuk memastikan bahwa buku yang saya cari ada, jadi kalau pun harus tersesat di rimba rak, tapi kalau bukunya ada, pencarian saya tak akan sia-sia.

“Oh ada, itu cari aja di komputer,” begitu jawabnya. Kemudian saya pun memasukan judul-judul buku yang dibutuhkan, dan semuanya tak ada. Entah memang tidak ada, atau mungkin belum dientry oleh petugasnya. Akhirnya saya angkat tangan. Harapan besar pada perpustakaan yang namanya diambil dari seorang yang sebagian besar hidupnya diabdikan kepada kebudayaan Sunda itu, akhirnya perlahan pupus.

Sebagai orang Sunda, dan berminat kepada kebudayaan Sunda--menghadapi perpustakaan yang koleksi bukunya sebagian besar milik budayawan Sunda itu, bagi saya sangat mengecewakan. Betapa buruknya pengelolaan, sedangkan statusnya sudah diresmikan. Saya sebetulnya amat bertoleransi sekiranya perpustakaaan itu belum diresmikan. Kalau belum siap, bo ya jangan dulu diresmikanlah, jangan php-in oranglah ya.

Sebelum pulang, akhirnya saya menulis beberapa buku di secarik kertas, dan diserahkan ke petugas. “Dua hari lagi, insyaAlloh saya kembali, dan usahakan bukunya sudah ada, sekalian kalau bisa mah boleh dipinjam ke rumah.” Kemudian saya turun ke tempat parkir, sementara kartu anggota belum juga selesai. Dan kepiluan semakin berparade. [ ]


Postscript :

Ini adalah catatan otokritik. Sebagai orang yang berkhidmat di ruang baca kecil yang bernama Pustaka Preanger—meski tak diresmikan oleh Wakil Gubernur dan tak pernah dikunjungi oleh para seniman kondang, saya juga belum berhasil mengelolanya dengan baik.               


Kelas Resensi Pekan ke-2

Memasuki pekan ke-2, peserta bertambah satu orang. Seperti pada pertemuan sebelumnya, kali pun buku-buku yang dibaca masih didominasi oleh teks-teks sastra; tiga kumpulan cerita pendek, dan dua novel. Sisanya tentang sejarah Kota Bandung dan kumpulan esai tentang budaya sehari-hari di Jepang.
Beberapa peserta, selain meresensinya secara lisan, juga mulai ada yang menuangkannya dalam bentuk tulisan. Belum banyak memang, tapi setidaknya menegaskan satu hal, bahwa membaca dan menulis adalah dua sisi yang tak bisa dipisahkan. Menulis kerap, atau bahkan selalu lahir dari proses membaca terlebih dahulu.
Berikut daftar buku yang diresensi pada pekan ke-2 itu :
  1. Sebuah Usaha Menulis Surat Cinta (Puthut EA)
Ini adalah buku kumpulan cerita pendek. Diterbitkan–salah satunya, dalam rangka memperingati 15 tahun kepengarangan penulisnya. Dari 15 cerita yang disajikan, pasangan hidup—setidaknya menurut Puthut, adalah pangkal dan muara luka. Dalam jenak hidup manusia, terutama yang sadar betul akan identitasnya sebagai makhluk sosial, mempunyai pasangan tentu bukan perkara aneh. Lumrah bahkan. Namun serupa barang pecah belah, hubungan antar manusia yang kerap didominasi oleh perasaan ini, pada perjalanannya acapkali rumit.
  1. Hidup Hanya Sekali (Remi Sylado)
Kisah dengan latar kota Bandung ini menceritakan tentang dua insan yang saling jatuh cinta, namun ternyata—setelah perjalanan panjang cerita, mereka adalah bersaudara. Mereka, dua orang yang saling jatuh cinta itu adalah Satria Sofiandi dan Madalena. Sepanjang cerita, penulis banyak membangun kebetulan-kebetulan antar peristiwa. Sulur ini terus mengalir sampai di penghujung. Selain itu, barangkali salah satu kebiasaan Remi, ia mengomentari banyak hal; mulai dari kebiasaan menganggukkan kepala, sampai kecenderungan anak muda yang menyukai filsafat eksistensialisme.
  1. Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (Haryoto Kunto)
Dalam salah satu karya “Kuncen Bandung” ini termuat ihwal; latar belakang kelahiran kota, cerita-cerita nostalgia tempo dulu, pernik kejayaan kota, pudarnya wajah dan citra Bandung tempo dulu seiring berjalannya waktu, kisah dan nasib bangunan-bangunan bersejarah, serta Bandung dalam kerangka harapan dan kenyataan yang mesti dihadapi oleh warga kota. Cara penulis yang lancar dalam bertutur meski tak selalu kronologis, juga dilengkapi dengan kutipan-kutipan lagu dan puisi, serta ilustrasi yang menarik, membuat buku ini seolah naskah dongeng tentang perjalanan panjang sebuah kota.
  1. Semua Untuk Hindia (Iksana Banu)
Penulis kisah fiksi yang latar ceritanya seputar masa kolonial dan penjajahan, tak banyak yang bertutur dari sudut pandang “orang lain”. Di Indonesia, ketika sejarah ditulis dengan gelegak semangat nasionalisme, akhirnya hanya memposisikan dua kubu yang berlawanan secara abadi, yaitu kita (pribumi, si terjajah) dan mereka (orang asing, si penjajah, orang lain). Buku ini adalah sedikit dari pengecualian. Di tangan Iksana Banu, dengan menggunakan sudut pandang orang Belanda dan Indo, sejarah tak melulu sehimpun narasi hitam-putih, namun ada juga wilayah abu-abu yang kadang ditumbuhi oleh benih kemesraan kemanusiaan.
  1. Orang dan Bambu Jepang (Ajip Rosidi)
Ini adalah pengalaman dan pandangan Ajip Rosidi selama bertahun-tahun merantau di Jepang. Sebagai seorang gaijin atau orang asing, Ajip melihat dengan dekat kebudayaan sehari-hari masyarakat di sana. Buku berisi 28 esai ini, di satu sisi, bisa dijadikan semacam panduan bagi warga asing, khususnya Indonesia, yang hendak tinggal di Jepang. Namun di sisi lain, karena ada—sedikit banyak, laku membandingkan-bandingkan dengan budaya di Indonesia, maka buku ini jadi terkesan terlampau banyak menyindir.
  1. Cinta Tak Pernah Tua (Benny Arnas)
Antologi cerita pendek ini, dari satu kisah ke kisah berikutnya, tidak seperti antologi cerpen lain yang relatif mandiri antar cerita, di buku ini justru memiliki keterkaitan. 12 cerita yang dihimpun, semuanya menceritakan Tanjung Samin dan keluarganya. Poligami, cemburu, kehilangan anak, hingga kesetiaan; semuanya muncul dalam rangkaian cerita pendek ini. Diksi dan kiasan yang cenderung berlarat-larat, membuat antologi ini—bagi sebagian pembaca, agak sulit dipahami dan dinikmati.
  1. A Farewell to Arms (Ernest Hemingway)
Entah disengaja atau tidak, novel yang menurut beberapa pembacanya terasa membosankan, juga ternyata menceritakan prajurit yang sudah bosan dengan perang. Ia lalu melarikan diri dari pertempuran bersama kekasihnya. Semua peristiwa dari mula pertempuran, terluka di medan laga, melarikan diri dalam situasi peperangan, dan sampai kekasihnya meninggal—semua adegan yang mestinya subur dengan aroma ketegangan, luapan emosi, dan letupan kecemasan, justru dihamparkan dengan datar begitu saja. Seorang kawan pernah menulis, “gaya Hemingway terbaik di eranya, tapi pembaca dia di generasi setelahnya punya pandangan lain.” Sekali ini, ungkapan itu barangkali benar. [ ]

Kelas Resensi Pekan ke-1

Sabtu depan, tepatnya tanggal 5 September 2015, Kelas Resensi Buku Komunitas Aleut akan memasuki pekan ke-10. Telah puluhan buku yang berhasil dibaca dan diceritakan ulang secara lisan. Ya, “berhasil”, sebab tak semua orang punya waktu dan minat yang cukup, untuk mengkhatamkan satu buku dalam waktu satu minggu.


Pada pekan ke-1, peserta kelas resensi buku hanya berjumlah enam orang. Awal yang kecil memang. Namun dari sini pula, ke depan, semangat yang telah ditabur oleh beberapa orang itu, bisa menular ke kawan-kawan yang lain. Adapun buku yang dibaca, meskipun Aleut adalah komunitas yang amat kental irisannya dengan sejarah, namun dalam kelas resensi ini, keragaman tema dan genre buku justru yang coba diangsurkan.
Ya, buku yang dibaca dan diceritakan ulang, tidak melulu tentang sejarah, namun ada pula buku tentang sastra, filsafat, budaya, dan lain-lain. Inilah catatan pendek dari beberapa buku yang dibaca pada pekan ke-1 itu :
  1. “Jalan Lain ke Tulehu” (Zen RS)
Kisah yang berlatar kerusuhan berbau agama di Timur Indonesia ini, bercerita tentang sepakbola dan kenangan yang berarak di tempurung kepala, serta ingatan yang mengejar. Gentur, seorang wartawan dari tanah Jawa terperangkap dalam kerusuhan yang pelik. Ia kemudian terdampar di sebuah perkampungan Muslim yang terlibat konflik tersebut. Dalam kondisi yang serba berbahaya, beberapa kali nyawanya sempat terancam. Namun pada akhirnya sepakbola berhasil membuka “jalan”. Sepakbola beberapakali meredakan ketegangan antar yang bertikai, juga Gentur dengan kenangannya.
  1. “Ayah” (Andrea Hirata)
Novel terbaru dari pengarang “Laskar Pelangi” ini bercerita tentang hubungan ayah-anak yang begitu karib. Namun karena hubungan ayah dan ibunya tidak mulus, terpaksa keduanya berpisah. Dengan gaya bertutur yang khas, penulis kembali menampilkan tokoh die hard yang begitu komikal. Namun justru di tokoh seperti itulah dia menyematkan pesan-pesannya.

  1. “Jugun Ianfu; Jangan Panggil Aku Miyako” (Rokajat Asura)
Kasus perbudakan seks di zaman Jepang, setidaknya di Indonesia, tidak terlalu banyak yang mengangkatnya ke dalam teks-teks fiksi. Novel berlatar sejarah ini mencoba mengetengahkan Jugun Ianfu dengan balutan kisah romantisme cinta segitiga di tengah kecamuk revolusi.


  1. Zaman Perang (Hendi Jo)
Narasi sejarah yang ditulis secara resmi oleh negara, jarang mengemukakan kisah tentang orang-orang kecil. Jutaan rakyat yang ikut berdenyut dalam pusaran sejarah, seolah hanya tokoh pinggiran yang kiprahnya tidak penting untuk diabadikan dalam catatan ingatan kolektif bangsa. Di titik ini, kumpulan kisah yang terbuhul dalam buku karya Hendi Jo, adalah sebuah ikhtiar untuk menimbang ulang; bahwa rupa sejarah bangsa, juga diwarnai oleh beragam kisah heroik orang-orang kecil. Mereka yang terpinggirkan dalam teks resmi itu, adalah–seperti kata penulisnya; “Orang biasa dalam sejarah luar biasa”.
  1. Burung Kecil Biru di Naha (Linda Chrystanti)
Kumpulan esai dan reportase berbentuk jurnalisme sastrawi ini mempunyai benang merah tentang kekerasan, konflik, dan tentu saja luka. Linda yang telah lama bergelut di dunia ini, lihai meramu fakta-fakta baru lalu menyajikannya dengan ketajaman dan kepekaan kemanusiaan. Dalam tulisannya, selain membibit semangat rekonlisiliasi, Linda juga menegaskan bahwa ketidakadilan bisa hadir dengan mengatasnamakan apa saja; suku, ras, agama, maupun ideologi. Bagi Linda semua isme hanyalah gagasan, yang bisa dinilai adalah praktek para pelakunya; apakah berguna bagi kemanusiaan atau malah sebaliknya.
  1. Dracula (Bram Stocker)
Inilah kisah vampir legendaris dari Rumania. Buku yang mula-mula terbit di tahun 1897 ini adalah cikal bakal bagi cerita-cerita drakula yang ditulis setelahnya. Drakula, sosok yang lemah di hadapan bawang putih, salib, dan roti sakramen ini hadir dalam beberapa fragmen kisah cinta manusia. “Dracula”, bisa jadi, adalah magnum opus-nya penulis yang meninggal di usia 64 tahun tersebut. [ ]

25 September 2015

Surat Kereta untuk Alina


Alina sayang, apa kabar?

Ini entah surat yang keberapa. Aku tak menghitungnya. Keberadaanmu yang entah di mana, membuat semua risalah tak menemukan alamatnya. Namun aku tak pernah bosan menulisnya untukmu, Alina. Dan sekali ini, aku ingin berbagi cerita tentang perjalananku ke Semarang dan Ambarawa menggunakan moda transportasi kesayangan kita. Ya, bukankah pada waktu-waktu yang telah lewat kita kerap melakukan perjalanan dengan kereta api? “Dari balik jendela kereta, pemandangannya bagus,” katamu waktu itu.

Tanggal 16 September 2015, aku bersama beberapa kawan dari Komunitas Aleut, ikut bergabung bersama komunitas lain untuk melakukan perjalanan malam menggunakan Kereta Api Wisata Priority. Sore menjelang malam, Bandung diselimuti lembayung tipis. Sembari menunggu kereta berangkat, kami berkumpul di ruang tunggu VIP, sisi Timur Statiun Bandung. Ketika waktunya tiba, di muka gerbong kami disambut oleh para petugas kereta wisata dengan ramah.

Alina, sewaktu aku melihat fasilitas yang ada di kereta wisata priority, seketika wajahmu memenuhi benak. Aku membayangkan, alangkah nyamannya jika kita—aku dan kamu, membelah Pulau Jawa dengan menggunakan kereta ini. Di dalamnya ada mini bar, bagasi yang luas, toilet bersih, dan kita bisa karaoke! Ya, kamu yang suka bernyanyi-nyanyi kecil, bisa memanjakan hobimu di dalam kereta ini. Selain itu, setiap kursi dilengkapi juga dengan audio/video on demand (AVOD) seperti layaknya di pesawat terbang. Bukankah kita bisa menikmati lagu dan film berdua saja, Alina?

Kereta kemudian melaju, dari balik jendela kelip lampu Kota Bandung berkejaran. Perjalanan wisata yang dilakukan dalam rangka ulang tahun PT. KAI yang ke-70 ini diorganisasi oleh kawan-kawan dari Altour Travel Indonesia; keduanya memberikan pelayanan yang prima. Dalam sejuknya ruangan gerbong, aku mendengarkan lagu-lagu dari Bon Jovi.

Tak lama berselang, kawan-kawan mulai menikmati hidangan yang tersedia di mini bar. Sebagian lagi ada yang mulai olah vocal di tempat karaoke. Suasana begitu cair, kegembiraan meliputi semua yang hadir. Trinity, penulis buku “The Naked Traveler” yang karya-karyanya kerap kamu baca, juga ikut hadir dalam perjalanan itu. Ya, tentu saja kamu akan iri, Alina. Betapa penulis favoritmu itu kini hadir nyata, dan aku beberapakali berbincang dengannya.

Jelang tengah malam, ketika perut sudah kenyang, lelah bernyanyi, dan udara begitu sejuk; kawan-kawan mulai bertumbangan. Mereka lelap tertidur dengan bantal dan selimut yang nyaman. Sementara mataku masih belum terpejam. Bukannya tidak ngantuk, tapi kenangan dan ingatan tentangmu masih saja berparade di lereng ingatan. Kerete berjalan mulus, guncangan hampir tak terasa, dan kelip lampu sesekali terlihat dari balik jendela.

Akhirnya aku pun jatuh tertidur. Ketika bangun di luar masih gelap. Tiba-tiba aku ingat sepotong puisi Chairil Anwar yang pernah kamu bacakan; “Semarang makin dekat saja / Menangkup senja / Menguak purnama.”

Subuh akhirnya datang, dan kereta pun telah tiba di Stasiun Tawang, Semarang. Setelah istirahat beberapa saat, perjalanan kemudian dilanjutkan ke arah Ambarawa. Sebelum masuk ke kota palagan itu, sejenak menikmati dulu kopi sambil sarapan. Menjelang siang, akhirnya kami tiba di Ambarawa.

Di sana kereta api uap sudah menunggu. Di stasiun yang dulu bernama Stasiun Willem I, beberapa lokomotif tua tersimpan rapi. Ya, ini memang museum kereta api yang mengabadikan perjalanan panjang kiprah kereta api di Indonesia. Jejak-jejak yang tersisa menguarkan kesadaran sejarah. Peristiwa yang telah berlalu terpahat rapi dalam benda-benda mati.

Ketika kereta api uap yang kami tumpangi berjalan, pemandangan dari balik jendela terhampar indah. Orang-orang menyapa dan melambaikan tangan, para petani yang dirahmati tanah subur, dan gunung yang membiru di kejauhan. Kawan-kawan sibuk membidikan kamera, kereta mendesah, dan angin menelusup lewat jendela. Seorang purnatugas dari PT. KAI menerangkan sejarah perjalanan kereta api uap yang tengah kami tumpangi. Bapak yang telah berusia senja itu masih bersemangat berbagi pengetahuan dan pengalaman.

Kereta kemudian tiba di Statiun Tuntang; statiun kecil yang rapi. Tak lama kemudian kembali ke Ambarawa. Dari sana perjalanan dilanjutkan ke Lawang Sewu di Kota Semarang. Bangunan peninggalan zaman kolonialisme ini masih kokoh dan terawat. Kata “sewu” yang artinya seribu, dalam budaya Jawa konon untuk melukiskan sesuatu yang begitu banyak. Ya, pintu yang ada di bangunan itu memang sangat banyak, Alina.

Waktu matahari telah lama tergelincir, dan siang telah dijemput senja, kami kemudian beranjak dari Lawang Sewu dan menuju ke Klenteng Sam Poo Kong. Patung Laksamana Cheng Ho berdiri gagah di salah satu sudut lapangan luas komplek klenteng. Bau dupa sesekali hadir, dan nuansa merah menguasai. Kawan-kawan sibuk berpose dengan latar klenteng, sementara hari hampir gelap.

Di penghujung kegiatan, kami berkumpul di Kampung Laut untuk makan malam sembari menikmati lagu-lagu dengan iringan musik keroncong. Ketika door prize mulai dibagikan, aroma perpisahan tercium kuat. Ya, perpisahan Alina, sebagaimana kamu tahu, kerap tak menyisakan apa-apa selain kehilangan. Berpuluh-puluh surat telah aku buat, namun semuanya tak menemukan alamat, dirimu raib ditelan entah. Tak ada kabar sama sekali. Kali ini, perjalanan bersama PT. KAI dan Altour Travel Indonesia pun akan segera berakhir.  
     
Namun demikian, Alina, Traveling by Train bersama kereta wisata priority benar-benar memuaskan. Pengalaman bepergian dengan layanan prima, serta mengunjungi objek-objek menarik, sekali ini, menambah pembendaharaan perjalananku. Sekira jam sembilan malam, kereta yang akan membawaku pulang ke Bandung telah bersiap. Ketika rindu padamu belum juga surut, tiba-tiba pluit dan lokomotif telah melengking. Dan kereta perlahan meninggalkan Semarang. [ ]

















23 September 2015

Yang Populer dari Para Pelancong yang Mencatat

Beberapa tahun terakhir, di Indonesia cukup marak aktifitas jalan-jalan yang kemudian dituliskan ke dalam berbagai catatan perjalanan. Laku pakansi yang semula sederhana, artinya hanya melepaskan kepenatan dari rutinitas, kini mulai bersalin rupa dalam wujudnya yang lebih populer. Para pelancong (traveller) menceritakan ulang perjalanannya di berbagai media sosial yang sangat sibuk dengan lalu lintas komunikasi. Untuk beberapa orang, jalan-jalan hampir dan telah sampai pada titik sebagai gaya hidup.
Perucha Hutagaol, atau lebih dikenal dengan nama Trinity, adalah salah satu pelancong Indonesia yang namanya di dunia literasi sangat populer. Ia, yang akan hadir di Frankfurt itu, buku-buku catatan perjalanannya diserap pasar dengan baik. Para pembacanya memberikan testinomi yang hampir seragam: tentang perjalanan Trinity yang seru dan “tak biasa”.
Mula-mula, seperti umumnya para pekerja di Indonesia, Trinity adalah karyawan kantoran biasa yang kerap berhitung tentang jatah cuti dan libur yang sangat sempit. Dorongan jalan-jalan yang kuat dan keterbatasan waktu ini membuat ia akhirnya membuat keputusan untuk memilih jalan-jalan sebagai “pekerjaannya”, atau ia menyebutnya sebagai full-time traveler and freelance travel writer.
Catatan perjalanannya ke berbagai daerah di Indonesia dan beberapa negara kemudian dia publikasikan di blog. Tulisan-tulisannya yang informatif dan menghibur ternyata menginspirasi banyak orang untuk melakukan perjalanan yang sama. Karena peminat tulisan-tulisannya semakin hari kian bertambah, akhirnya atas saran teman-teman dan penerbit, ia kemudian membukukan catatan-catatannya. Buku yang kemudian diberi judul “The Naked Traveler”, sampai hari ini telah masuk seri ke-4.
Buku seri ke-4 ini, pada tahun 2013, telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh penerbit B first (kelompok Bentang Pustaka) dengan judul “The Naked Traveler; Across The Indonesian Archipelago”. Di buku ini Trinity tentang menulis perjalanannya ke Aceh, Jambi, Bangka, Lombok, Flores, Kalimantan, Raja Ampat, Gorontalo, Wakatobi, dan beberapa tempat lain.
Yang menonjol dari catatan-catatan perjalanan Trinity adalah karena ia tak hanya menulis hal yang indah-indah saja, namun juga sisi-sisi buruk dari perjalanan yang ia alami. Jika selama ini tulisan serupa lebih banyak yang bertendensi surga--sebagai pelancong-penulis, Trinity tak hendak menyeret tulisan-tulisannya ke arah sana.
Terkait dengan program penerjemahan buku yang disubsidi pemerintah, Trinity berinisiatif untuk mencari penerjemah sendiri untuk versi Jerman-nya. “Katanya sih dapat hibah, dan aku sudah berinisiatif sendiri mencarikan penerjemahnya, juga sudah menghubungi penerbit terkait hal ini,” ujanya.
Selain menulis serial “The Naked Traveler”, bersama beberapa penulis lain, ia juga menerbitkan dua buku antologi perjalanan, yaitu; “Travelove (Dari Ransel Turun ke Hati)” dan “The Journeys”. Lalu ia pun bersama Erastiany dan Sheila Rooswitha membuat sebuah graphic travelogue berjudul “Tersesat di Byzantium”.
Terkait gelaran Frankfurt Book Fair, Trinity yang ditemui di sesela acara temu penulis dengan Komite Nasional, menjelaskan ihwal posisi buku-bukunya:
“Salah satu buku saya yang dibawa ke sana (Frankfurt), mungkin satu-satunya buku (perjalanan) pop berbahasa Inggris yang berbicara tentang Indonesia, dan ditulis oleh orang Indonesia, karena selama ini buku tentang Indonesia yang menulis orang asing. Jadi menurutku buku ini menjual, karena kita punya selera humor yang berbeda. Dan perjalanan antara orang lokal dengan orang asing tentu berbeda juga. Kepada orang asing kan semua ramah, foto bareng dan segala macem gitu kan. Kalau ke orang lokal berbeda pengalamannya,” terangnya.
Lalu ia juga menyoroti satu sudut pandang tentang kiprahnya selama ini. “Orang Indonesia itu tidak terkenal sebagai yang tukang jalan-jalan. Lalu begini, aku ini kan dari negeri eksotis yang justru pergi ke negara-negara lain, menurutku ini poin yang menarik,” sambungnya.
Di Jerman nanti, kehadiran karya-karya peraih penghargaan Travel & Tourism Awards 2010 sebagai In­donesia’s Leading Travel Writer ini tentu akan menarik. Kiprahnya di dunia jalan-jalan mungkin akan membuka pemahaman baru bagi publik dunia, bahwa Indonesia—negeri dengan ribuan pulau yang mengambang di garis khatulistiwa itu, melalui tulisan-tulisan Trinity, bisa dibaca ulang melalui pengalaman warganya dalam mengunjungi tanah airnya sendiri.
Selain itu, jika selama ini dikenal sebagai penyaji objek wisata yang eksotis, melalui perjalanan Trinity ke berbagai negara, Indonesia juga mesti mulai diperhitungkan sebagai konsumen potensial yang akan menyerap pasar pariwisata internasional.

Dan di Frankfurt, “The Naked Traveler”—sekali lagi, akan menunjukkan “kenekatan dan ketelanjangannya”. [irf]

Postscript : 
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.