28 October 2015

Gerakan yang Tak Perlu Dikibarkan

"Cikaracak ninggang batu, lila-lila jadi legok." Bagi saya, ini adalah sikap air yang konsisten dan tak hendak menonjolkan diri. Ia dengan tetes-tetesnya, begitu sabar menatah batu tanpa kegaduhan. Kebosanan yang berparade di titian waktu, ia lawan dengan sikap istiqomah. Kerjanya kemudian membuahkan hasil, batu akhirnya menyerah. Banyak sekali kerja-kerja seperti ini yang dilakukan oleh benda-benda tak bernyawa. Jarum jam misalnya, ia terus saja berputar, meski tak sedikit yang mengabaikannya, tahu-tahu banyak manusia yang merasa rugi karena kehilangan banyak waktu.

Orang-orang yang kemudian menjadi ahli atau pakar di bidangnya, semuanya ditempa lewat kerja panjang dan berulang. Mereka seperti juga orang-orang kebanyakan, melaluinya dengan serangkaian kegagalan, namun sikap tak hendak menyerah yang menjadi pembeda. Orang-orang seperti ini sejatinya tak membutuhkan sorot kamera media, sebab tanpa itu pun riwayat panjangnya telah menjadi lentera; tempat orang bertanya atau sekadar menyapa.

Konsistensi atau istiqomah dalam kerja-kerja kecil yang panjang, sejatinya adalah gerakan menyalakan lentera. Ia tak butuh bendera untuk dikibar-kibarkan agar dilihat orang lain, sebab dalam dirinya ada dian yang tak kunjung padam. Dian ini bisa jadi penerang di tikungan jalan, obor di jalan yang tak lempang, atau kerlip cahaya di gulita masa. Sumbunya akan tetap panjang seiring dengan daya tahannya untuk tetap bergerak, terus bekerja tanpa menoleh kiri kanan untuk mengintai siapa saja yang memperhatikannya.

Ada beberapa kisah tentang orang yang menghancurkan batu demi mengalirkan air ke perkampungan. Ada juga yang berkeliling pakai sepeda untuk membagi-bagikan buku kepada warga sekitar. Mereka pada mulanya tak dihiraukan, bahkan mungkin ada yang menganggapnya aneh. Namun lagi-lagi waktu membuktikan, bahwa tak ada kerja yang percuma jika dilakukan dengan sepenuh daya yang tak lelah. Ya, karena memang jarak ribuan kilometer pun pada awalnya ditempuh dari langkah pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. 

Hari-hari ini ketika begitu banyak gerakan yang menggelepar di tengah jalan, kehabisan nafas sebelum waktunya, atau mati mengenaskan tanpa meninggalkan bekas; barangkali salah satu penyebabnya karena niat awalnya keliru. Seperti kehidupan yang entah kapan berujung, sebuah gerakan juga semestinya sadar dan bersiap untuk liku yang panjang. Ini bukan lari jarak pendek yang akan segera disambut sorak, namun jarak jauh yang memerlukan kesetiaan dan kesabaran.

Maka di titik ini bendera tak perlu dikibar-kibarkan, sebab angin pun segan bertiup bagi sebuah gerakan instan. Bekerjalah terus sepenuh minat dan dedikasi, nanti riwayat akan menatahnya sendiri. Tak perlu berdandan menor, jadilah diri sendiri tanpa topeng-topeng. Siapa yang bertahan lama, kelak akan bergema tanpa perlu pengeras suara. Jadi--meminjam Chairil, "berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian." [ ]         
    

Buku-buku yang Menunggu

Beberapa tahun ke belakang, saya pernah menulis "27 Masakan Ibu". Isinya adalah tentang buku-buku yang--bersandar pada pengalaman personal, begitu keren, asyik, dan menghanyutkan. Dulu saya memang rakus betul membaca buku. Sekarang--meminjam istilah Kang Ibing, karena pabeulit dengan neangan beas, maka waktu untuk membaca pun menurun. Hal ini tak sejalan dengan kebiasaan saya dalam membeli buku. Akhirnya buku semakin menumpuk, dan kian banyak yang belum dibaca. Meski saya aktif di satu riungan buku di Bandung, namun kegiatan ini tak membuat saya kalap dalam membaca, ya paling-paling dalam seminggu hanya menyelesaikan sebuah buku tipis, kalau agak tebal sedikit pasti tidak rampung.  

Ada beberapa buku yang dari dulu diincar namun baru dapat belakangan. Buku-buku ini pun ikut dalam antrian yang kian panjang, menunggu si empunya menginjak pedal gas dalam membaca. Sinopsisnya memang telah saya baca, namun hiburan macam apa yang didapat dari (hanya) membaca sinopsis? Buat saya, membaca buku mula-mula untuk hiburan dan melatih imajinasi. Ilmu dan pengetahuan saya tempatkan di entah nomor berapa, tapi yang pasti bukan yang pertama dan utama. 

Wawasan yang bertambah dari membaca buku saya anggap sebagai bonus saja, toh bukan itu yang saya cari. Kalau banyak waktu yang saya pakai buat membaca, ya memang artinya hidup saya penuh dengan hiburan. Piknik berkepanjangan. Jadi buat saya membaca itu benar-benar pengalaman personal. Ia seperti sekelompok orang yang masuk ke pasar tradisional, lalu berjalan secara terpisah. Meski pasarnya sama, namun pengalamannya pasti berbeda-beda. 

Namun belakangan, membaca juga beririsan dengan pekerjaan. Ada beberapa naskah yang harus saya tulis, juga beberapa referensi yang sengaja dihadirkan demi menunjang sebuah penelitian. Di titik ini membaca tak lagi senikmat dulu. Ia tak lagi "bebas-lepas" dari tanggung jawab yang menggantang. Ada target-target yang mesti dipenuhi, ada tenggat yang harus segera diselesaikan. Apa boleh buat, saya harus berjalan di titian ini, demi menyambung hidup, meyambut rezeki yang berhamburan bagi siapa saja yang bersegera menjemputnya.

Kini kualitas hiburan dari membaca buku agak menurun. Namun saya yakin, nanti waktu seperti itu akan datang lagi. Sebab selalu ada jenak kosong dari setiap gerbong kesibukan memenuhi tanggung jawab. Ya, buku-buku itu nanti akan kembali menemui saya yang "asli", yang "kosong", dan bersiap dengan segala kisah yang hendak dihamparkan. [ ]

21 October 2015

Kelas Resensi Pekan ke-4

      1) Jalan Raya Pos Jalan Daendels (Pramoedya Ananta Toer)

Dengan cara bertutur yang mengalir, Pram mencoba mengulas Jalan Raya Pos yang memakan korban ribuan warga pribumi. Dari kota ke kota, tiap titik Pram ulas lengkap dengan sejarah kerajaan pra kolonial, juga potensi masa lalunya. Ada juga hal-hal yang sebetulnya tidak relevan dengan Jalan Raya Pos, tapi dipaksakan untuk ditulis; seperti kisah pribadi si penulis ketika singgah di Cirebon. Dari Anyer sampai Panarukan, Jalan Raya Pos terbentang dan menjadi warisan penting bagi infrastruktur Pulau Jawa. Dan di jalan ini pula ribuan manusia meregang nyawa.


2) Sekali Peristiwa di Banten Selatan (Pramoedya Ananta Toer)

Ini adalah kisah yang disandarkan para hasil reportase singkat Pram ke wilayah Banten Selatan; sebuah masyarakat yang miskin dan tertindas. Pemberontakan panjang dari DI/TII masuk juga ke wilayah ini, dan masyarakat terseret menjadi korban. Dengan latar waktu di sekitar tahun 50-an, kisah ini mencuatkan satu kesadaran, bahwa penindasan dan kesewenang-wenangan dapat dilawan dengan persatuan dan gotong royong. Dan kebenaran, walau bagaimanapun harus diperjuangan. Pram menulis “Di mana-mana aku selalu dengar; yang benar juga yang menang. Itu benar. Benar sekali. Tapi kapan? Kebenaran tidak datang dari langit, dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar.”

3) Larasati (Pramoedya Ananta Toer)

“Kalau mati dengan berani. Kalau hidup dengan berani. Kalau keberanian tidak ada, itulah sebabnya setiap bangsa asing bisa jajah kita.” Roman “Larasati” memotret kehidupan revolusi pasca proklamasi. Di dalamnya terhampar kisah yang tidak hanya bait-bait kepahlawanan, namun juga sisi-sisi lain yang kerap terabaikan, seperti; kemunafikan, pengkhianatan, dan percintaan. Para pelaku revolusi, semuanya begulat di pusaran-pusaran seperti itu. Revolusi dalam narasi yang dibangun oleh Pram, bukanlah sebuah periode suci yang steril dari polusi omong kosong, bahkan sebaliknya. Pram dengan brilian menyigi revolusi dari kacamata manusia-manusia republik.

4) Humor-humor Sufi (Massud Farzan)

Baru-baru ini di media sosial muncul kata “kurang piknik”, sebagai sindiran bagi orang-orang yang, di antaranya; jika berbeda pendapat cepat tersulut emosi. “Piknik” sebagai laku bersenang-senang adalah bentuk latihan untuk mengendurkan urat syaraf. Dalam perspektif lain, “piknik” juga kerap diartikan sebagai memperkaya wawasan dan berlatih mengontrol emosi. Dari sini, frase “kurang piknik” kemudiaan dilekatkan. Sufi sebagai orang yang telah mencapai derajat tertentu dalam koridor keagamaan, dalam teks-teks yang hadir di keseharian, sering tampil dengan luwes, punya selera humor yang bagus, namun mencuatkan petuah-petuah yang tak menggurui. Buku yang ditulis oleh Massud Farzan ini mencatat hal yang demikian.    

5) Manėhna (Sjarif Amin)

Syarif Amin alias Moehammad Koerdie adalah seorang sastrawan Sunda yang sekaligus salah satu tokoh perintis pers Indonesia. “Manėhna” adalah salah satu karyanya dari sekian banyak buku yang telah ia lahirkan. Buku ini berbahasa Sunda, bercerita tentang momentum. Tentang waktu yang tersia-siakan, dan tak akan pernah kembali lagi. Adalah seorang pemuda yang hatinya patah sebab tidak jadi menikah dengan kekasihnya. Kegagalan itu disebabkan karena si pemuda tidak bisa memanfaatkan momentum dengan baik. Ketika waktu telah lewat sedetik, maka sedetik sebelumnya telah menjadi masalalu yang tak bisa disinggahi lagi.

6) Suara Penyair (Khalil Gibran)

Gibran di Indonesia begitu ramai diperbincangkan dan diapresiasi. Beberapa grup band lokal tak segan untuk mengadopsi dan mengadaptasi syair-syairnya ke dalam lirik lagu. Lebih dari itu, bahkan ada yang mengutipnya secara langsung dan terang-terangan. Penyair kelahiran Lebanon ini memang begitu memesona. Cinta ditakar dalam diksi-diksi dan kisah yang menggetarkan. Kebijaksanaan hidup dihamparkan dalam syair-syair yang memukau. Di Indonesia, Gibran adalah salah satu penyair asing yang karya-karyanya begitu terkenal, dan mungkin yang paling populer.   


7) Tuan Tanah Kawin Muda (LEKRA)

Lembaga kebudayaan yang diisi oleh para seniman organik ini, sekurangnya dalam satu dekade kejayaannya telah menggoreskan riwayat penting dalam sejarah Indonesia. Lekra bekerja dan menggarap ladang-ladang kebudayaan yang mata airnya digali dari kehidupan rakyat sehari-hari, dari mulai seni rupa, tari, drama, lundruk, puisi, dll. “Tuan Tanah Kawin Muda” merupakan kumpulan catatan yang menjelaskan hubungan Lekra dengan seni rupa.   



8) Perang, Cinta, dan Revolusi (Anton Kurnia-ed)

Perang selamanya menyajikan kekerasan dan penderitaan. Kumpulan cerita pendek dalam buku ini menghamparkan kengerian kisah perang dari berbagai sudut pandang. Manusia yang hadir di pusarannya tak bisa menghindar, namun selalu diberi insight sebagai mata pisau. Kiranya sehimpunan kisah yang terbuhul dalam buku ini semacam catatan kontemplasi. Perenungan dari dari riwayat perang yang berparade di sepanjang titian zaman. Sebuah antologi yang hadir untuk melihat masa lalu, namun ditujukan agar  masa kini tidak segelap waktu ke belakang.    


9) Anak Tanah Air (Ajip Rosidi)

Ajip kerap menulis cerita pendek dan novel yang disandarkan pada kisah hidupnya sendiri, “Anak Tanah Air” pun demikian. Jika kita membaca “Hidup Tanpa Ijazah”, memoarnya yang diterbitkan pada ulang tahun dia yang ke-70, maka kisah yang diceritakan di novel ini persis seperti yang dituturkan pada buku memoar, hanya saja tokoh-tokoh yang hadir diberi nama lain. Dalam berbahasa, Ajip pun tak hendak membagus-baguskan dengan bunga-bunga, ia begitu datar. Novel ini sendiri membicarakan para seniman di pusaran politik Indonesia, yang akhirnya membuat mereka terkutub-kutub.


10) Baruang ka nu Ngarora (Daeng Kanduruan Ardiwinata)

Buku ini menceritakan tentang perbedaan kelas sosial yang berimbas kepada perlakuan yang merugikan kepada pihak lain. Ujang Kusen, Nyi Rapiah, dan Aom Usman adalah tokoh-tokoh yang dibangun oleh Ardiwinata untuk menjelentrehkan persoalan ini. Periode ketika menak dan rakyat jelata jaraknya begitu jomplang, Ardiwinata—yang punya darah Makassar, menuliskannya dalam cerita yang begitu menohok. Buku yang terbit pertama kali pada masa Balai Pustaka ini, menambah daftar kisah tentang pertentangan kelas, sesuatu yang selama ini dikenal berasal dari tanah Minang, cerita “Siti Nurbaya” misalnya. “Baruang ka nu Ngarora” kiranya pengecualian, kisah dari tanah Sunda yang menyoroti ketimpangan kelas. [ ]

18 October 2015

Andrea Hirata dan Kemiskinan yang Tak Hendak Menyerah


Indonesia sebagai negara kepulauan tentu mempunyai banyak sekali pemerintah daerah. Dan karena bukan berbentuk federasi atau negara bagian, maka ada yang namanya pemerintah pusat. Pembagian pemerintahan ini pada akhirnya berimbas juga kepada kehidupan masyarakat, terutama masalah kesejahteraan, sebab anggaran di atur di pusat, dan dana yang diterima daerah kerap tak sesuai dengan kebutuhan, artinya sering kekurangan.

Kondisi ini, sebelum akhirnya peraturan otonomi daerah diberlakukan, sering memicu ketidakpuasan yang beberapa di antaranya—bercampur dengan berbagai kepentingan, menimbulkan protes dan bahkan pemberontakan. Wajah ketidakadilan antara pusat dan daerah, yang paling jelas tercermin dari kemiskinan. Miskin sarana pendidikan, miskin akses informasi, dan lain-lain.

Tetralogi kisah yang ditulis oleh Andrea Hirata, terutama bagian “Laskar Pelangi” dan “Sang Pemimpi”, mengkritisi kondisi ketimpangan ini dengan gaya bertutur yang meskipun telak menghantam, namun tetap enak untuk dibaca. Andrea menyatukan tangis dan tawa, pilu dan gembira, serta kegetiran yang tetap melahirkan senyum meskipun pahit.

Sebagai penghasil timah terbesar di Indonesia, Andrea pun dengan sangat jelas menulis tentang potensi dan juga tragedi yang disebabkan oleh perusahaan timah yang bercokol di Belitung sejak zaman kolonial. Watak korporasi yang kerap gagal mensejahterakan masyarakat setempat, di mana mereka menggali potensi alam dan menjalankan bisnisnya dengan keuntungan besar, rupanya berlaku juga di tambang timah tersebut.  

Masa kecil para tokoh Lakar Pelangi, yang sekolah di lembaga pendidikan Islam—yang sebetulnya besar, namun di Belitung (sebagai wakil yang mencerminkan daerah) kondisinya begitu memprihatinkan. SD Muhammadiyah harus terseok-seok bersaing dengan lembaga pendidikan negeri yang disokong oleh negara. Kata “bersaing” sebetulnya terlalu mewah, sebab Andrea menulisnya dengan deskripsi yang begitu mencolok.

Anak-anak para pegawai PN. Timah, sebagai generasi yang diberkahi rahmat korporasi, mendapatkan fasilitas pendidikan yang sangat lengkap. Sedangkan tetangganya—yaitu sekolah para Laskar Pelangi, untuk bertahan hidup saja mesti bertarung dengan kecemasan yang menggantang. Sekolah itu, pada satu titik waktu, mesti mempunyai minimal 10 orang murid sebagai syarat agar tak ditutup oleh pemerintah.

“Guru-guru yang sederhana ini berada dalam situasi genting, karena Pengawas Sekolah dari Depdikbud Sumsel telah memperingatkan, bahwa jika SD Muhammadiyah hanya mendapat murid baru kurang dari sepuluh orang, maka sekolah paling tua di Belitong itu harus tutup. Karena itu sekarang Bu Mus dan Pak Harfan cemas sebab sekolah mereka akan tamat riwayatnya, sedangkan para orangtua cemas karena biaya, dan kami, sembilan anak-anak kecil ini yang terperangkap di tengah cemas kalau-kalau kami tak jadi sekolah.”

Bayangkan, sekolah seperti apa yang hampir ditutup gara-gara kekurangan murid? Ini barangkali bisa ditafsirkan sebagai kemiskinan yang menahun. Hal ini kemudian diperkuat oleh Andrea dengan penggambaran sekolah yang memang lebih dari mengkhawatirkan :  

“Tak susah melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami adalah salah satu dari ratusan atau mungkin ribuan sekolah miskin di seantero negeri ini yang jika disenggol sedikit saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan.”

Pada “kambing yang senewen ingin kawin”, Andrea jelas tengah melontarkan parodi. Ia mencoba mengakrabi kemiskinan dengan kalimat yang berpotensi mengundang senyuman. Tokoh-tokoh yang dibangun pun--terutama anak-anak Laskar Pelangi, direka sedemikian rupa sehingga tampil dalam wujud yang komikal.

Namun demikian, SD Muhammadiyah yang miskin dan juga dihuni oleh murid-murid miskin, mempunyai sosok yang mampu mengobarkan semangat belajar. Pak Harfan yang menjabat sebagai kelapa sekolah, dan Bu Mus yang menjadi guru anak-anak tersebut—dalam sosoknya yang sangat heroik, adalah para penyelamat nasib pendidikan yang berada dalam situasi sulit. Dua tokoh ini semacam bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan wajah pendidikan.

Pada novel “Laskar Pelangi”, ada dua kekuatan yang menelikung sekaligus. Pertama, negara yang abai terhadap pemerataan kualitas pendidikan di daerah, dan kedua adalah korporasi yang diwakili oleh PN. Timah; mengeksplotasi alam namun kurang peduli dengan kehidupan warga di sekitarnya, terutama pendidikan.

Tapi kemudian, meskipun berada di situasi tersudut seperti ini, Andrea menghamparkan cara bertahan yang meskipun getir, namun melambungkan inspirasi. Bagaimana misalnya Lintang, seorang anak dari nelayan miskin, namun dikaruniai kegigihan belajar dan kecerdasan yang gilang gemilang. Atau Harun, sosok yang terbelakang secara mental, hadir dengan keluguan dan kebaikan.

Sedangkan pada “Sang Pemimpi”, Andrea menghadirkan tokoh Arai yang telah menjadi yatim piatu sejak kecil. Meski tak seberuntung Ikal—bocah yang sebetulnya dibesarkan oleh orangtua yang juga miskin, namun Arai tampil begitu mengesankan. Ia yang sebetulnya layak untuk meratapi hidup, namun justru menatahnya dengan keceriaan dan semangat yang meluap-luap. Ia justru yang kerap “menerangi” Ikal—kawan sekaligus saudaranya, ketika berada di posisi “gelap” karena kebodohan dan bimbang.

Di episode ini, Andrea lagi-lagi menegaskan, bahwa kemiskinan yang meringkus tidak serta merta menjadi sebab untuk menyerah pada hidup. Ada nilai yang tetap bisa digali dari keterbatasan. Dan Andrea dengan lihai meramunya menjadi narasi yang menarik. Lalu tiba-tiba saja penuli dari Belitung ini—meskipun tidak punya latar belakang sastra, menjelma menjadi pengarang yang karya-karya selalu ditunggu para pembaca.

Namun demikian, keberhasilan Andrea mewarnai dunia sastra Indonesia dengan penjualan buku yang mencengangkan, tetap tak bisa imun dari pisau kritik yang menghujam. Nurhady Sirimorok dalam bukunya yang berjudul “Laskar Pemimpi”, menggeledah karya-karya Andrea dengan begitu tajam dan pedas. Ia berpendapat bahwa kisah-kisah yang dihamparkan oleh Andrea terlalu memuja Barat, ia menulis bahwa polusi orientalisme begitu menyengat di dalamnya.

Jika dilihat dari sudut pandang lain, kritik yang terbuhul dalam satu buku utuh inipun merupakan sumbangan berharga bagi dunia sastra Indonesia. Dengan kata lain, kekurangan karya Andrea berhasil menjadi pemantik bagi tradisi kritik sastra yang telah lama mati suri.

Karya-karya Andrea sudah banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Oleh karena itu,  kiranya kehadiran “Laskar Pelangi” dan sekuelnya di gelaran Frankfurt Book Fair 2015 tidak terlampau mengagetkan. Satu hal yang terpenting dari kehadirannya yaitu bahwa isu pendidikan, di belahan dunia manapun, harus tetap menjadi perhatian. Ia tidak boleh menjadi monopoli pihak-pihak tertentu, namun mesti terdistribusi dengan baik.

Dalam film “Laskar Pelangi” besutan Riri Riza terdapat satu adegan yang barangkali menjadi inti pesan, yaitu ketika anak-anak Laskar Pelangi membacakan pasal terakhir dari Pancasila di dalam kelasnya yang menyerupai gudang kopra, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” [ ] 

PS : Tak sempat naik :)

Amba dan Laksmi Pamuntjak; Ketegaran di Tengah Badai Kontroversi

Senin, 26 November 2012, di harian Kompas hadir sebuah esai yang ditulis oleh Elya Utama yang berjudul “Dua Wanita”. Penulis yang belakangan ditengarai bukan nama sebenarnya, dalam esainya mencoba menggeledah novel “Amba” (2012) dan “Saman” (1998). Ia, lewat pendeteksian kalimat dan gaya bertutur, menyimpulkan bahwa dua karya yang ditulis dua wanita tersebut (Laksmi Pamuntjak dan Ayu Utami), sebenarnya adalah karya satu orang yang entah siapa.

Di sebuah paragraf sebelum penghujung esai, Elya Utama menulis begini, “Menyangkut kemiripan atau bahkan persamaan kedua arsitektur novel di atas, saya ingin berspekulasi dengan cara seperti bagaimana kedua novel itu melakukan spekulasi, yakni dengan menyebut poin-poin kemungkinan. Pertama, penulis kedua meniru penulis pertama. Bukan tiruan yang jelek, sangat sempurna, bahkan mendekati kloning. Kedua, penulis pertama dan kedua berasal dari latar pendidikan arsitektur yang sama, mendirikan firma yang sama, dan bekerja bersama-sama. Ketiga, dua karya itu sebenarnya karya arsitek yang sama, namun menggunakan nama yang berbeda-beda.”

Pendapat ini—sedikit banyak, tentu menyeret dua karya tersebut dan sekaligus penulisnya pada ruang pencampakan yang serius. Sebuah karya yang konon adalah anak rohani dari pengarang, dituduh sebagai anak haram yang lahir dari sebuah “perzinahan” proses kreatif. Namun demikian, apakah pada perjalanannya “Amba” dan “Saman”, juga Laksmi dan Ayu, menjadi tunduk pada prasangka-prasangka? Ternyata sebaliknya.

Serangan Elya Utama terhadap “Amba” dalam esainya di harian Kompas, hanyalah satu contoh dari sekian banyak gugatan, perdebatan, dan kritik yang mengiringi perjalanan karya tersebut. “Amba” sebagai anak kandung Laksmi, di jalanan pembaca yang keras, telah melalui serangkaian perkelahian sengit. Dan sampai hari ini, ia mampu bertahan. Kondisi ini barangkali yang dimaksudkan oleh Muhidin M. Dahlan dalam pengantar di blog pribadinya :      

“’AkuBuku’ adalah 'blog neraka' yg berisi sehimpun review atau komentar atas apa-apa yang pernah kubuat dan kutuliskan sekian waktu dalam beberapa buku, baik fiksi atau nonfiksi. Wadah ini adalah sebentuk ruang bagaimana ‘anak-anak ruhani’ itu lepas-hidup dan dimaknai kehadirannya di jalanan kota pembaca yang kerap sengit, ganas, dan amat jarang berbelas kasih. Tapi inilah hidup. Ini neraka. Ini bukan surga. Di sini, perkelahian selalu berlaku. Maka bertahanlah secara kreatif. Jangan merunduk. Kalaupun merunduk, janganlah terlalu terbenam. Kalaupun terbenam, janganlah terlalu lama.”

Jelang gelaran Frankfurt Book Fair 2015, bahkan jauh-jauh hari sebelumnya, “Amba” telah banyak diapresiasi oleh para pembaca. Novel ini pernah masuk 5 besar Anugerah Sastra Khatulistiwa tahun 2013. Selain itu, karya ini pun disebut-sebut sebagai sebuah pencapaian gemilang dari perpaduan antara tema kemanusiaan berlatar peristiwa gempa politik 1965, dan jejalin kalimat puitis yang manis.

Kaki dashi-nya berbunyi sedemikian rupa, “Di pulau Buru, laut seperti seorang ibu: dalam dan menunggu. Tapi, sesekali, sesuatu bisa terjadi di pulau ini—sesuatu yang begitu khas dan sulit diabaikan—dan orang hanya bisa membicarakannya sambil berbisik, seperti angin di atas batu yang terus-menerus membalun dan menghilang melalui makam orang-orang tak dikenal....”

Dalam sebuah wawancara dengan kru 17.000 Islands of Imagination, Laksmi menjelaskan tentang konsepnya dalam menulis “Amba”. “Karena saya sangat tidak nyaman dengan perspektif sejarah yang hanya satu sisi. Orde Baru mengatakan bahwa Komunisme itu jahat, setan, harus diberangus, dan adalah sebuah paham yang tidak bisa dibiarkan di Indonesia. Hal itu selalu membuat saya miris, membuat saya betanya-tanya, apakah ini interpretasi satu-satunya yang ada tentang 65. Yang saya lakukan tidak untuk mengoreksi sejarah atau tidak juga untuk mengatakan siapa yang salah atau benar, tapi yang ingin saya tunjukan adalah karena manusia itu kan berkali-kali dalam setiap budaya dan negeri, mengalami begitu banyak intoleransi dan juga sangat biasa untuk menunjukkan apa yang mereka percaya lewat kekerasan,” terangnya.

Terkait bahwa karyanya terinspirasi dari cerita Mahabharata, dan bahkan tokoh-tokohnya sama persis dengan beberapa tokoh di cerita klasik tersebut, Laksmi menerangkan, “Dan itu (Mahabarata) saya lihat sebagai sesuatu yang sangat pas untuk juga menunjukan warisan budaya kita yang luar biasa. Ada sesuatu yang jauh lebih purba, jauh lebih tua, dan juga sama kayanya dengan Islam misalnya, yang baru datang belakangan ke Indonesia. Jadi saya mau menunjukan kebhinekaan Indonesia, termasuk cara berpikir dan kearifan-kearifannya.”

Sejak terbit di tahun 2012, “Amba” telah beberapakali naik cetak. Juga telah diterjemahkan ke bahasa Inggris dan diterbitkan oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama dengan judul “The Question of Red”. Dalam bahasa Jerman, “Amba” diterbitkan oleh penerbit Ullstein Buchveerlage  dengan judul “Alle Farben Rot”. Sementara dalam bahasa Belanda menjadi “Amba of de Kleur van Rood” dan diterbitkan oleh penerbit Xander Uitgevers.

“Alle Farben Rot” sebagai versi Jerman dari “Amba” berhasil menempati posisi satu sebagai karya fiksi terbaik dari negara-negara di luar Jerman. Karya-karya tersebut diseleksi oleh para penulis dan kritikus Jerman berpengaruh seperti Ilija Trojanow. Karya Laksmi itu mengalahkan karya pengarang Irak (Hassan Blasimm-“Der Verruckte vom Freiheitsplatz”), Jepang (Shuntaro Tanikawa-“Minimal”), Kuba (Leonardo Padura-“Die Palme und der Stern”), Kolombia (Tomas Gonzalez-“Mangroven”), Mexico (Antonio Ortuno-“Die Verbrannten”), dan Korea (Hoon Kim-“Acht Leben”). 

“Amba” akan hadir di Frankfurt, menghamparkan sejarah luka bangsa yang teramat sulit untuk disembuhkan, juga membawa sekerat cerita tentang perjalanannya yang diliputi kontroversi. Karya ini tak menjanjikan apa-apa, namun ia mencoba jujur di hadapan kelam catatan sejarah, lalu melalui perjalanan para tokohnya, ia menjelentrehkan bahwa kekerasan tak akan pernah menghasilkan apa-apa, selain luka dan dendam. [ ]

PS : Tak sempat naik :)

Sheila Rooswitha Putri dan Produktifitas Komikus Perempuan

Beberapa komikus Indonesia akan ikut hadir di gelaran Frankfurt Book Fair 2015, salah satunya ialah Sheila Rooswitha Putri. Ia termasuk komikus yang cukup produktif dalam berkarya. Bersama Tita Larasati—di Frankfurt nanti, Sheila adalah perwakilan komikus perempuan Indonesia yang jumlahnya tidak terlampau banyak.

Lala, begitu ia biasa dipanggil, pada tahun 2009 melahirkan buku “Cerita si Lala”. Karyanya ini adalah graphic diary yang disajikan dengan gambar yang detail dan cerita yang menggelitik. Diangkat dari kisah sehari-hari, karya Lala begitu hidup. Beberapa pembaca menilai “Cerita si Lala” hampir menyerupai film animasi karena gambarnya begitu dinamis.

Trinity—penulis buku best seller “The Naked Traveler” mengatakan, “Graphic diary ‘Cerita si Lala’ cute banget! Paduan cerita yang simpel dan gambar yang sangat detail membuat graphic diary ini menyenangkan untuk dibaca, seperti menikmati album foto sambil diceritakan langsung dari mulut Lala. Kalau tulisan perjalanan saya bisa dituangkan ke dalam gambar, saya tahu yang saya mau. Tulisan saya harus digambar oleh Lala, karena dialah yang terbaik!” Hal ini kemudian terwujud di tahun 2010 ketika Trinity dan Erastiany menulis buku “Duo Hippo Dinamis : Tersesat di Byzantium”. Buku ini berbentuk graphic travelogue, dan gambar-gambarnya digarap oleh Lala.   

Ketika diwawancara oleh Riesma Pawesri, Lala menjelaskan, “Membuat komik adalah semacam terapi untuk saya. Saya bisa mengkespresikan perasaan dalam cerita komik. Itu juga sebabnya mengapa saya fokus membuat komik tentang kehidupan saya dan keluarga sehari-hari atau sering disebut graphic diary. Dengan graphic diary, saya berbagi kepada pembaca suka-duka mengasuh anak-anak, kejadian-kejadian lucu yang berkesan dan yang lebih menarik lagi adalah karena hal-hal tersebut nyambung juga dengan kehidupan pembaca karya saya. Riang, hangat dan kekeluargaan, adalah ciri khas karya saya.”

Beng Rahadian—komikus yang sekaligus Kepala Sekolah Komik di “Akademi samali”, mengatakan bahwa “Cerita si Lala” adalah “bentuk curhat paling ideal bagi seorang komikus, yang tidak hanya menggambar dengan tangan, mata, dan memori, tapi dengan hati yang penuh cinta dan rasa syukur.”

Selain dua buku tersebut, Lala pun telah melahirkan beberapa karya lain. Tahun 2009, ia ikut dalam buku “Antologi Tujuh”, sebuah karya yang terispirasi dari Scott McCloud dengan konsep 24 Hour Comics, yaitu membuat satu halaman serita bergambar dalam satu jam selama 24 jam berutut-turut. Dengan mengadopsi konsep ini, “Antologi Tujuh”--yang Lala ikut terlibat di dalamnya, menyajikan karya dari para kontributor yang membuat satu halaman cerita bergambar dalam satu hari, dan dikerjakan selama tujuh hari berurut-turut.

Sedangkan di tahun 2012, Lala membuat dua volume buku yang berjudul “Komikriuk 1” dan “Komikriuk 2”. Kedua karya ini bercerita tentang hal-hal ringan yang kerap hadir di keseharian, misalnya etika nonton di bioskop dan seputar gosip para artis yang kerap muncul di televisi.  

Pada tahun 2014, bersama Muhammad “Mice” Misrad dan Haryadhi, Lala membuat buku “Mengintip Metropolitan”. Karya ini menceritakan perilaku warga Jakarta lengkap dengan segala keunikan dan kekonyolannya, dilihat dari sudut pandang tiga orang kartunis. “Mengintip Metropolitan” melengkapi karya-karya serupa yang sebelumnya telah dibuat oleh para kartunis yang lain. Dan di tahun 2015, Lala membuat “Urban Sketch Story”. Selain itu, masih di tahun yang sama--bersama Erastiany Asikin yang berposisi selaku penulis, mereka membuat “Laut Milik Semua”, dan Lala sebagai ilustratornya.

Terkait kerja-kerja kreatifnya sebagai seorang komikus dan illustrator, Lala sendiri--pada sebuah wawancara dengan areamagz.com, mengatakan, “Hidup saya adalah menggambar. Sejak kecil, walau dimarahi guru, saya selalu menggambar. Saat kesal, senang, jatuh cinta, saya ungkapkan dengan menggamabar. Bahkan, teman-teman saya menyebut saya ‘Lala si Tukang Gambar’. Kini, saya mengerjakan yang saya sukai,  mendapat apresiasi dari pembaca, dan mendapat bayaran. I am living my dream!”, begitu ungkapnya.

Di Frankfurt Book Fair 2015 yang sebentar lagi akan segera digelar, karya-karya Lala akan dipamerkan bersama karya para komikus Indonesia lainnya. Inilah talenta besar salah seorang komikus perempuan Indonesia, yang karyanya layak untuk dihadirkan dan diapresiasi secara luas di hadapan publik dunia, untuk meneguhkan bahwa potensi Indonesia—khususnya di bidang komik, mampu bersaing di kancah internasional. [irf] 

PS : Tak sempat naik :)

Eksplorasi Bahasa Ala Nukila Amal

Sejak novel “Cala Ibi” terbit di tahun 2003, Nukila Amal langsung menyita perhatian publik sastra Indonesia. Karyanya disebut-sebut sebagai salah satu alternatif baru dalam gaya bertutur dan gaya ungkap. Dalam banyak selubung makna yang diracik dengan diksi dan rima yang kadang mengagetkan, “Cala Ibi” banyak mendapat pujian. Novel ini kemudian berhasil masuk 5 besar Khatulistiwa Literary Award.

Dua tahun berikutnya, karya kedua Nukila Amal, yaitu “Laluba” terbit. Kali ini kisah yang disajikan dalam bentuk kumpulan cerita pendek. Dan lagi-lagi, karya ini pun banyak mengundang perhatian. Bambang Sugiharto—Guru Besar Ilmu Filsafat Universitas Parahyangan, menyebutnya sebagai “Cerita-cerita pendek Nukila, menyeret kita ke ceruk batin manusia yang paling dalam dan misterius. Membacanya adalah sebuah pengalaman kebahasaan yang pelik, menyentuh, indah dan menakjubkan.”

Sementara Laksmi Pamuntjak  berkomentar, “Prosa Nukila Amal tidak hanya memuat puisi dalam presisi rima dan diksi; tetapi juga menggunakan metafor yang segar, kerap mengagetkan, cermat dan liris, yang terpadu ke dalam struktur yang ketat bahkan nyaris matematis.”

Namun demikian, kisah yang dihamparkan oleh Nukila Amal, karena kerap menggunakan bahasa yang cukup pelik, berpeluang membuat pembacanya gagap dalam memahami apa yang hendak ia sampaikan. Dalam catatan sastra-indonesia.com, Budi Darma memberikan penilaian begini, “Bahasa metafora yang digunakan Nukila Amal serba menabrak logika. Karena mimpi dipuja, realitas ditabrak, realitas digempur, sebagai konsekuensinya filsafat diusung masuk.”

Dalam frase “mimpi dipuja” dan “realitas digempur”, kiranya memang menjadi tak mudah bagi pembaca untuk mengikuti sulur cerita yang berwajah seperti itu. Bahasa sebagai alat komunikasi, yang muaranya untuk bisa saling memahami maksud para penuturnya, rupanya punya wajah lain, ia bisa juga menjadi pelik dan menabrak logika. Dalam timbangan seperti inilah kisah-kisah karya Nukila Amal ditatah.  

Kondisi ini akhirnya melahirkan beberapa kutub pembaca. Sebagian—yang kebanyakan para sastrawan, tak jeri memberikan pujian. Sementara sebagian lagi, yang mayoritas pembaca umum, malah meberikan penilaian sebaliknya. Memang tidak sampai dinilai buruk, namun bagi pembaca yang tak biasa dengan kemungkinan dan lorong-lorong bahasa, karya Nukila Amal dinilainya sebagai kisah yang lelah untuk diikuti.

Pemerhati sastra, Maman S. Mahayana menjelaskan bahwa persoalan kualitas pada karya sastra memang terbuka. Artinya, karya seperti apapun senantiasa dapat didiskusikan. “Karena itu, seorang penulis tidak boleh surut oleh komentar, kritik, dan penilaian pembaca maupun kritikus. Mereka memang punya hak dan otoritas, tetapi hakikat teks adalah ruang terbuka yang senantiasa mengundang siapapun untuk datang dan menilainya. Gak usah kuatir, penulis mengalir dalam imajinasi, dan kreasi berpuncak pada gunung religi dalam beragam wajah,” ungkapnya.

Dan di sisi lain, Maman juga menjelaskan, bahwa “Teks, bagaimanapun indahnya sebagaimana dimaksud oleh pengarang dan penulis, tetapi tetap berpulang sejauh mana ia bermakna bagi pembaca.”

Pada “Cala Ibi” dan “Laluba”, terhampar berbagai kisah yang barangkali akan membawa para pembaca kepada pengalaman bahasa yang, meskipun terkadang pelik, namun seperti kata Manneke Budiman--setiap tapak kata adalah elan vital yang menyempurnakan dan menggenapi.

Selain dua karya tersebut, Nukila Amal juga--bersama Hanafi, di tahun 2013 sempat menulis buku “Mirah Mini; Hidupmu, Keajaibanmu”, dan satu cerita pendeknya terpilih dalam antologi cerita pendek Kompas yang terbit dengan judul “Smokol” di tahun 2009.

Hari-hari ini, Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015, tengah bersiap dengan kesibukan yang mendorong para pelakunya semakin bergegas. Di puncak acara nanti, karya-karya Nukila Amal akan dipamerkan di hadapan publik dunia yang hadir di Frankfurt. Inilah satu lagi karya penulis dari semesta wajah sastra Indonesia yang berani mengekspolasi kekayaan bahasa. [irf]    

PS : Tak sempat naik :)

10 October 2015

Muhidin M. Dahlan dan Tiga Inspirator Besar Literasi

Sebagai pameran buku tertua di dunia, Frankfurt Book Fair tak hanya menjadi ajang niaga antara penjual dan pembeli buku, namun lebih luas lagi. Di sana ada pembacaan karya, diskusi, pameran naskah kuno, pertunjukan seni dan budaya, jual beli copyright buku dan izin penerbitan, serta masih banyak lagi.
Tahun ini, Indonesia yang tampil sebagai Tamu Kehormatan, tak hanya membawa buku dan para penulis, namun juga para pegiat literasi yang selama ini “menghibahkan” dirinya di dunia baca tulis yang posisinya tidak terlalu populer di negeri ini. Salah satu pegiat literasi tersebut adalah Muhidin M. Dahlan atau dikenal juga dengan panggilan Gus Muh.
Gus Muh yang lahir dan tumbuh di Donggala - Sulawesi Tengah, pada perjalanan hidupnya kemudian “hijrah” ke Yogyakarta untuk meneruskan sekolah. Di kota tersebut ia lalu berkhidmat kepada dunia baca tulis, dan total dalam menjalaninya. Namun sebetulnya ketertarikan Muhidin pada buku telah dimulai ketika ia masih berada di kampung halamannya. Ketika dihubungi ia yang pernah tinggal di pesisir pantai barat Donggala itu, menceritakan masa-masa awal persentuhannya dengan buku :
“Saya punya kebun cengkeh, tapi saya tidak kuat memanjatnya. Bahkan memindahkan tangga yang dipakai untuk memetiknya pun saya butuh teman sebaya yang lebih kuat. Saya bisa saja menjadi nelayan, tapi Gus Muh kecil berumur 12 tahun ngos-ngosan mendayung tiap subuh dan senja, untuk mencari ikan-ikan di rumpon. Kerena pertimbangan kekuatan fisik yang lemah itulah saya menemukan buku. Dan ternyata saya kuat membaca lama. Dan Jogja adalah kota terbaik untuk itu. Bukan saja total dalam dunia literasi, tapi juga memilih untuk tinggal sepenuhnya di kota yang mendaku diri kotabuku ini,” tuturnya.
Setelah hijrah ke Yogyakarta, bersama beberapa koleganya, Gus Muh kemudian mendirikan Indonesia Buku (Iboekoe), sebuah yayasan yang berkhidmat di dunia literasi. Dari yayasan ini pula kemudian lahir Radio Buku dan Warung Arsip. Keberadaan pusat literasi ini telah banyak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Dan meskipun mengandalkan semangat sukarelawan, namun eksistensinya teruji sampai hari ini.
Radio Buku mulanya lahir dari obrolan antara Gus Muh dengan Taufik Rahzen. Di tahun 2007 mereka berbicara banyak tentang perlunya keberadaan televisi buku di dunia literasi. Dari obrolan itu Gus Muh kemudian menyiapkan konsep hingga rundown harian dan nama program TVBuku. Namun sayang rencana itu gagal.
Lalu di tahun 2011, karena televisi buku sulit diwujudkan, akhirnya Gus Muh mendirikan Radio Buku. Ia membuka lagi dokumen dan transkrip yang selama ini ia simpan rapi. Dengan pengetahuan yang terbatas tentang dunia radio, ia kemudian mem-breakdown program televisi menjadi radio internet. Untuk mendukung pengelolan awal Radio Buku, ia menggandeng penyiar profesional dari Eltira FM bernama Endah SR untuk jadi tutor, dan dari dia juga akhirnya Gus Muh belajar mencintai ‘sejarah suara’.”
Teks dalam laku membaca dan menulis kerap berseberangan dengan tradisi lisan. Namun Radio Buku sebagai media yang penggerak utamanya adalah lisan dan pendengaran, dalam sudut pandang Gus Muh justru hadir sebagai pelengkap dari ikhtiar untuk membumikan budaya melek aksara.
“Lisan dan aksara adalah dua mata literasi kita yg saling melengkapi. Sedikit memodifikasi Sukarno, yang banyak bicara dan banyak baca. Sukarno nyontohin dua kultur itu. Radio Buku memfasilitasi orang yang jago ngomong, tapi malas baca. Atau jago baca, tapi kurang fasih ngomong juga diberi tempat. Radio Buku kemudian berada di lajur sejarah suara, mengarsipkan suara literasi yang dibutuhkan telinga. Karena radio buku dibangun dari kultur perpustakaan dan pengarsipan, maka dalam perjalanannnya radio ini menjadi semacam laboratorium pengarsipan suara,” terangnya.
Sementara Warung Arsip yang juga ia bertindak sebagai salah satu pendirinya, menghimpun benda-benda literasi yang dalam perjalanan masyarakat Indonesia, mengandung nilai sejarah yang layak untuk disimpan dan dilihat ulang. Arsip-arsip tersebut terentang dari masa kini sampai masa yang jauh ke belakang. Arsip yang berhasil disimpan terekam dalam bentuk buku, koran, majalah, kamera, kaset, dan video. Maka tak heran keberadaan Warung Arsip amat beririsan dengan Radio Buku.
Dalam proses penulisan dan pengarsipan, Gus Muh yang juga telah melahirkan beberapa buku, banyak dipengaruhi oleh para pendokumentasi kawakan yang pernah dimiliki oleh Indonesia, yaitu Pramoedya Ananta Toer, H. B. Jassin, dan Notosutardjo. 

“Pram baru saya temukan pada tahun 2000. Jadi sebelum itu literasi dalam hidup saya adalah gapaian tanpa kompas. Karena Pram yang saya temukan dalam sastra Indonesia, maka Pram yang utama. Orang kedua adalah H. B. Jassin. Orang ketiga adalah Notosutardjo. Ketiga orang itu yang membuat saya tergila-gila dengan ‘praktik purba’ peninggalan abad 20: mengkliping koran,” ungkapnya.

Ketiganya adalah inspirator besar bagi kerja-kerja literasi Muhidin M. Dahlan. Bersama cahaya yang dipendarkan oleh hayat dan karya tiga orang itulah Muhidin menyala-nyalakan literasi di Jogjakarta dan berbagai tempat lainnya.
Kegilaannya pada dunia kliping kemudian ia dikembangkan menjadi proyek pengklipingan nasional dengan skala besar. Bersama kawan-kawannya, ia mencoba berkhidmat untuk meneruskan tradisi tiga orang pendokumentasi tadi dengan mengkliping 100 Tahun Indonesia. Kerja pengarsipan yang membutuhkan dedikasi tinggi itu berhasil mengumpulkan renik peristiwa—setiap hari dan tentang apapun, yang terbentang dari 1 Januari 1908 hingga 31 Januari 2008.
Dalam proyek gigantik yang bernama “Kronik Seabad Indonesia” itu, Gus Muh memimpin sekira 80-an remaja dan mahasiswa Yogyakarta yang dibawa ke Jakarta, lalu bekerja bergantian selama 7 bulan. Dari proyek inilah, salah satunya kemudian lahir buku “Trilogi Lekra Tak Membakar Buku”, yang kehadirannya kemudian terlarang.
Kiprah Gus Muh tak berhenti sampai di situ, ia bersama koleganya di Iboekoe menggagas sebuah kerja literasi yang eksekusinya adalah menulis sejarah kampung dengan melibatkan peran aktif warga. Ihwal ini Gus Muh menjelaskan “Menulis sejarah kampung ‘dari dalam’ terinspirasi dari kata-kata Romo Mangunwijaya saat dia mau berkeringat membikin sekolah dasar di desa; yaitu untuk mengenal sejarah lebih besar, kenali sejarah di sekitarmu. Dan itu mesti dilakukan secara organik. Melibatkan ‘orang dalam’ secara utuh dalam pengerjaannya. Bahkan Iboekoe tak lebih sebagai fasilitator belaka, walau dari awal jadi mesin generator.” Menurut keterangannya, proyek menulis sejarah kampung ini sudah terselenggara di Kediri, Pacitan, Solo, Jepara, Majalengka, dan Donggala.
Gus Muh dalam semesta riwayatnya di dunia literasi, kiranya tak berlebihan jika disebut sebagai orang yang keras kepala. Dalam berbagai keterbatasan, ia seperti tak pernah letih menyalakan obor literasi dengan kerja-kerja kreatif dan berdedikasi. Di ajang Frankfurt Book Fair 2015 sosok ini akan hadir membawa ide-ide segar tentang jejak dan pengembangan dunia literasi, dan darinya, semangat yang menyala itu barangkali akan menular.
Pada pameran buku ini pula Gus Muh menyimpan beberapa harapan yang terkait dengan dunia literasi. “Siapa tahu ada kesadaran balik untuk memperbaiki infrastruktur literasi kita. Barangkali dengan momentum ini, pemerintah bisa menyusun blue print dan ngasih budget besar untuk program penerjemahan 4 arus; nasional ke daerah dan sebaliknya, nasional ke internasional dan sebaliknya. Jika infrastruktur penerjemahan kita baik, kita tak akan segugup ini menjadi tamu kehormatan. Tapi semoga literasi warna/gambar dan bunyi/suara yang sudah mendahului, bisa menutupi kegugupan di literasi teks/buku,” ungkapnya. [irf]


Postscript : 
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.

05 October 2015

Kehidupan Warga Kota dalam Karya Muhammad "Mice" Misrad

Setiap hari Minggu, di harian Kompas selalu ada rubrik kartun yang temanya beragam, dari kritik sosial politik sampai parodi kehidupan sehari-hari. Salah satu yang cukup menyita perhatian pembaca yaitu “Mice Cartoon”. Strip komik yang di usung Mice atau Muhammad Misrad adalah tentang kondisi kontemporer kehidupan sehari-hari. Dengan gaya satirenya, Mice memotret bagaimana laku hidup sehari-hari layak bukan hanya untuk ditertawakan, namun juga mencuatkan insight baru yang kerap luput disadari.
Kartunis kelahiran Jakarta 45 tahun lalu itu adalah lulusan Desain Grafis, Fakultas Seni Rupa, Institut Kesenian Jakarta. Mulanya ia berprofesi sebagai grapic desainer di salah satu biro konsultan desain di Jakarta. Sejak tahun 1997, ia memutuskan untuk menggeluti profesi sebagai kartunis. Ia bersama Benny Rachmadi kemudian membuat strip komik di harian Kompas, yang mulai 4 Juli 2010 “pecah kongsi”. Ruang yang semula diisi oleh karya kolaborasi tersebut kemudian diganti oleh “Mice Cartoon”.
Selain rutin mengisi di media cetak, Benny & Mice pun telah beberapakali melahirkan buku, di antaranya; “Jakarta Luar Dalem”, “Jakarta Atas Bawah”, “Lagak Jakarta”, “Talk About Hape”, “100 Tokoh yang Mewarnai Jakarta”, “Lost in Bali 1”, “Lost in Bali 2”, dan lain-lain. Perpisahan Benny dan Mice sempat disayangkan oleh beberapa kalangan, terutama para pecinta kartun yang kadung menjadi penggemar “duet maut” tersebut. Namun mereka berdua kemudian menjawabnya dengan karya yang tidak meninggalkan ciri khas yang selama ini mereka usung, yaitu satire, nakal, dan kocak. Pasca berjalan sendiri, Mice telah menerbitkan beberapa karya, antara lain; “Little Mice, Game Over!!”, dan “Kamus Istilah Komentator Bola“.
“Kalau saya sih sederhana aja, mungkin udah kelamaan kali kita berdua ya, 20 tahun, bosen juga gitu, bosen dalam tanda kutip ya,” ujar Mice ketika diwawancara oleh “Tukar Posisi”-- sebuah portal yang menyajikan pelbagai informasi dan tips, ihwal perpisahannya dengan Benny.
Sejak masih bersama Benny, karya Mice kerap menampilkan potret keseharian yang tajam. Terkait ini Mice menjelaskan, “Banyak yang bilang karya-karya saya itu hasil observasi atau penelitian yang dalam, padahal engga juga sebenarnya. Karena karya saya lebih dekat keseharian, tentang orang Indonesia dan khususnya orang Jakarta dan kota-kota besar, dan tema-tema itu saya tinggal mencomot aja dari kejadian yang nyata.”
Dalam berkarya, tokoh utama yang dibangun Mice untuk menyampaikan pesan-pesannya sering digali dari orang-orang terdekat. Karakter itu ia pertahankan secara konsisiten. “Dan saya tetap bertahan dengan karakter saya sendiri. Saya menciptakan satu karakter baru yang gendut item yg kumisan itu, mungkin pembaca yang ngikutin karya saya tahu lah ya, itu wujudnya memang ada, namanya Leon. Tapi kadang kalau tanpa ditemenin sama si Leon, atau misalnya sedang bosan sendiri, saya menciptakan tandemnya bisa keluarga saya; bisa anak saya, istri saya, dan akhirnya bisa bermacam-macam tokoh yang bisa mendampingi saya”, ujar Mice menjelaskan.
Dalam dunia yang ia geluti, seperti umumnya di berbagai ladang kehidupan, ada suka dan duka yang menyertai. “Kalau karya saya bisa menghibur oranglain sekaligus bisa menghibur diri sendiri, itu yang sangat saya syukuri. Dukanya kalau besok harus terbit, dan belum ada tema yang diangkat atau ide cerita, itu bisa bikin saya guling-gulingan di kasur tiga jam sendiri,” ujar Mice.
Di Frankfurt Book Fair 2015, Indonesia memberikan kesempatan yang cukup lapang kepada para kartunis untuk memamerkan karya-karyanya. Dunia kartun dan komik, di Indonesia--seperti kata Beng Rahadian, sedang indah-indahnya. Hal ini berdasar pada beberapa hal, yaitu; keragaman gaya, keragaman genre dan tema, mulai menjadi media ekspresi populer anak muda, menjadi buruan penerbit, event yang banyak, tumbuhnya komik di institusi pendidikan formal, kekuatan komunitas, berkontribusi dalam pergaulan internasional, menjadi media darling untuk liputan budaya, sosio urban, dan pendidikan, serta yang terakhir—dan ini modal utama dan pertama, yaitu keras kepala para pelakunya.
Di kondisi seperti inilah karya Mice hadir mewarnai dunia kartun Indonesia. Karyanya akan ikut hadir di Frankfurt. Kehidupan sehari-hari warga kota yang kerap berada dalam kegagapan, atau larut mengikuti arus perkembangan zaman, serta peristiwa sehari-hari yang kadang lebih aneh dari fiksi, berhasil Mice potret dalam gambar dan teks yang menggelitik.

Riwayat panjang perjalanannya dalam mengkhidmati dunia kartun, kiranya akan terus berlanjut. Pada sebuah kesempatan Mice menegaskan, “Walaupun saat ini misalnya ada pilihan lain, saya tetap memilih menjadi kartunis.” [irf]

Postscript : 
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.