04 October 2015

Azhari dan Kisah-kisah Luka dari Aceh

Aceh ialah riwayat panjang tentang luka. Negeri Serambi Mekah ini tak lekang dihajar konflik, sejak dari masa kolonialisme sampai pasca tsunami dahsyat di penghujung 2004, gejolak selalu ada. Kabar yang menguar ke luar hampir selalu diwakili oleh media. Berita bertubi-tubi di koran, majalah, radio, dan layar televisi. Sangat sedikit yang mengabarkannya melalui karya sastra. Pendekatan hingar-bingar media kerap tak menyisakan ruang untuk kisah, yang ada hanya timbunan peristiwa.
Dalam kondisi seperti ini, Azhari--seorang pemuda Aceh, datang dengan berbagai kisah yang memotret serangkaian luka dan kepiluan yang bersemayam di tanah kelahirannya.
Dalam rentang tahun 2001 sampai 2004, beberapa cerita pendeknya kerap dimuat di Koran Tempo, Jawa Pos, Media Indonesia, dan Kompas. Ia menelusup di antara teks berita yang terhampar di surat kabar. Karya yang tercecer tersebut kemudian diterbitkan menjadi buku oleh penerbit AKYPress, dan diberi judul “Perempuan Pala”.
Ada 13 cerita pendek yang dihimpun di buku tersebut. Semuanya berkisah tentang Aceh dengan segala cabik dan bilurnya. Benang merah yang diceritakan Azhari selalu berpangkal pada lembaga kehidupan yang mula-mula, yaitu keluarga. Utamanya tentang ayah dan ibu yang hubungannya menjadi koyak ditelikung konflik.
Maka tak heran jika di halaman persembahan, Azhari menulis: “Untuk perempuan Aceh, dari kampung manapun, yang sedang menunggu lelakinya pulang. Kelak dari ingatan dan mulut kalian akan melahirkan banyak cerita.”
Sebuah ungkapan yang pilu dan begitu mengharukan.
Pada kisah “Yang Dibalut Lumut”, menyeruak dengan tajam aroma kehilangan. Azhari mengisahkan tentang mayat-mayat yang mengapung di sungai, begitu banyak, sampai kehadirannya sudah tidak lagi memicu kekagetan. Hanya satu yang dikhawatirkan Ranie—tokoh utamanya, yaitu kalau bapaknya yang telah hilang mengapung menjadi mayat di sungai itu. Ibunya yang gila, atau dalam bahasa Ranie--“Sebenarnya sejak bapak diculik, ibu memang agak payah, suka mengurung diri di kamar, tak hendak mengerjakan sesuatu apapun,” selalu ia beri ikan bakar, sebab “Ibuku gila, kata orang. Tapi orang gila juga perlu makan kan?”
Ibu Ranie, perempuan yang kerap mengurung diri pasca suaminya diculik dan tak pernah kembali itu, adalah wujud nyata dari kehilangan yang mendalam. Perempuan Aceh, yang meskipun dalam berbagai narasi sejarah diwakili oleh karakter yang kuat semacam Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, dan Inong Balee—baik sebagai pasukan janda-janda pahlawan pimpinan Malahayati, maupun bagian dari laskar GAM, namun tak sedikit juga yang tak berdaya di hadapan angkara. Mereka, semacam ibu Ranie itu, adalah korban dari kobar perang yang terus berkecamuk.
Dalam kisah lain yang berjudul “Hikayat Asam Pedas”, kali ini seorang nenek yang miskin mesti diringkus oleh pihak yang tengah bertikai. Mulanya Nenek Sani hendak membuat Asam Pedas—masakan khas Aceh yang terbuat dari krimen, ikan laut dengan banyak tulang, dan bumbu rempah-rempah. Karena miskin, ia kemudian mengumpulkan bumbu Asam Pedas itu dari para tetangganya satu persatu. Adapun ikan krimen ia dapatkan dari Pawang Lemplok (seseorang yang dimusuhi orang gunung karena dianggap sebagai kaki tangan penguasa). Maka ketika ia memasak Asam Pedas, dan masakannya itu hampir matang sempurna—sebelum bisa dinikmati, Nenak Sani keburu ditangkap orang gunung yang mencurigai dirinya waktu menemui Pawang Lemplok. Ya, Nenek Sani adalah contoh tentang orang-orang yang tidak tahu apa-apa namun ikut menjadi korban di tengah konflik yang terjadi.
Ada pula cerita “Menggambar Pembunuh Bapak”. Kisah ini kiranya adalah pendadaran yang jitu dalam menggambarkan kondisi Aceh pasca konflik berkepanjangan. Binhad Nurrohmat dalam sebuah catatannya tentang buku “Perempuan Pala” menulis, “Cerita ini gambaran yang menyentuh tentang tragedi yang banyak menimpa lelaki dewasa di Aceh yang terbunuh maupun hilang. Cerita ini secara samar mengatakan tentang hilangnya atau terputusnya tali antargenerasi lewat cara yang sangat memilukan. Ada bibit dendam dan juga percik rindu yang memerihkan batin manusia yang telah tertorehkan sejak usia dini, dan inilah yang kemudian bisa menajid bom waktu yang kelak meledak.”
Buku “Perempuan Pala” karya Azhari yang menjelentrehkan luka Aceh, rupanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul “Nutmeg Woman” dan terbit di tahun 2015. Beberapa cerita pendek karya penulis kelahiran 1981 ini berhasil meraih penghargaan, di antaranya; “Hikayat Kura-kura Berjanggut” terpilih sebagai salah satu cerita pendek terbaik Indonesia 2009 versi Pena Kencana, sementara “Pengantar Singkat untuk Rencana Pembunuhan Sultan Nurruddin” terpilih di tahu berikutnya pada penghargaan yang sama. Sampai hari ini, selain bahasa Inggris, beberapa karya Azhari telah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis, Jerman, Belanda, dan Swedia.

Kisah karya penulis yang pernah menerima fellowship dari International Institute for Asian Studies ini akan hadir di Frankfurt Book Fair 2015, Oktober mendatang. Keberanian untuk menghadirkan luka Aceh di hadapan publik dunia, mencerminkan tentang kondisi Indonesia hari ini, di mana masyarakat dan juga pemerintah telah begitu terbuka terhadap riwayat berdarah di Negeri Serambi Mekah tersebut. Tujuannya tentu bukan hendak menyulut luka baru, namun meneguhkan rekonsiliasi antar pihak yang bertikai, dengan sejumput pesan; bahwa konflik tidak memberikan apa-apa selain kepiluan yang berparade di titian waktu dan generasi. [irf]

Postscript : 
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.

No comments: