30 December 2015

Beberapa Hal yang (Mungkin) Orang lain Lakukan dan Saya (Sebenarnya) Tidak Mau Melakukan


Pertama, ngobrol dengan orang lain selama perjalanan jauh

Kalau sedang berjalan kaki di dalam kota, lalu bertemu dengan tukang parkir, penjual kopi seduh, tukang cuanki, atau tukang ojeg pangkalan; saya senang berbicara dengan mereka. Obrolan yang tidak terlalu lama, berdurasi tak lebih satu gelas kopi dan dua batang rokok. Lalu berjalan lagi. Sungguh, obrolan-obrolan itu tidak mengganggu, saya malah menikmatinya.

Tapi jika dalam perjalalan jauh, misalnya ke Jogja, duduk di bangku kereta api, lalu di sebelah ada bapak-bapak, atau ibu-ibu, atau anak muda, baik laki-laki maupun perempuan, terus terang saja saya enggan ngobrol, sepatah katapun kalau bisa. Selama perjalanan jauh itu saya lebih senang mendengarkan musik, membaca buku, atau hanya melihat ke luar, memperhatikan kehidupan di balik jendela. Yang lebih menjadi persoalan sebenarnya adalah karena saya sering melamun, dan tentu saja obrolan akan membuyarkan lamunan yang tengah saya susun.

Barangkali kawan ingin tahu list lagu yang kerap saya dengarkan ketika dalam perjalanan jauh, saya tak hapal semuanya, tapi begini kira-kira : Ke sana (Float), Pulang (Float), Sementara (Float), Tender (Blur), Sweet Disposition (The Temper Trap), Down River (The Temper Trap), Konservatif (The Adams), Jangan Bakar Buku (ERK), Sebelah Mata (ERK), Rima Ababil (Homicide). Masih banyak sebetulnya, tapi begitulah, sisanya saya lupa.

Selain itu, mungkin kawan juga ingin tahu apa yang sering saya lamunkan? Saya beri tahu, sebaiknya kawan menahan rasa ingin tahu itu, sebab tak semua hal harus diketahui orang lain. Ada ruang yang sebaiknya tetap menjadi milik pribadi. Sebuah tempat yang kata Joko Pinurbo sebagai : “Kau adalah jalan menuju sembunyi, sembuh dari sunyi.”

Kedua, mempublikasikan foto keluarga di media sosial

Barangkali saya pernah, namun entah kapan, sekali-dua memasang foto keluarga di media sosial. Kemarin saya mencoba melacaknya di semua akun yang saya miliki, tapi tak menemukan jejak, yang ada hanya tag-tag dari saudara se-susu dan se-darah. Kemudian saya bergumam, “Ya, mungkin dari dulu saya tidak menyukai hal itu.”

Setiap lebaran, setiap ulang tahun, setiap makan di luar rumah, setiap piknik, dan setiap-setiap yang lain; banyak dari kawan saya yang gemar memajang foto keluarganya di media sosial. Hari-hari ini, terutama di Path, foto-foto bertebaran. Bayi-bayi bermata jernih mengantri di lini kala dengan caption-caption yang lucu, dan kadang-kadang seperti sedang menggugah rasa haru.

Saya sering bertanya-tanya dan bukan bertanya langsung, ihwal motivasi mengunggah dan berbagi di balik foto-foto itu. Yang saya tahu, di lintasan komunikasi berbasis akun-akun itu; saya sedang mewakili diri saya sendiri, dan bukan sebagai duta keluarga. Media sosial sejatinya adalah jalanan, tempat orang yang kita kenal dan yang tidak kita kenal berlalu-lalang, dari polisi sampai bromocorah. Bagi saya, agak riskan sebetulnya, menghadirkan foto keluarga di tengah jalanan seperti itu.

Ketiga, membaca buku lewat e-book

Bagi Ivan Lanin, apalah arti e-book ini, beliau pasti menggantinya menjadi buku elektronik. Kemarin, beliau juga baru mengganti “screenshoot” menjadi “tangkapanlayar”. Tapi di sini, saya tetap ingin memakai kata “e-book”.

Surat kabar cetak, hari-hari ini mulai berguguran. Digital merangsek ke hampir semua lini kehidupan. Seorang wartawan senior menulis esai tentang senjakala media cetak, tapi kemudian diserang oleh (mula-mula) oleh seorang esais muda. Berita daring hadir di genggaman, setiap saat, setiap waktu, dengan kecepatan yang (kadang-kadang) mengerikan. Artinya kesempatan untuk jeda, untuk mengunyah informasi berkejaran dengan derasnya arus.

Begitu pula dengan buku, orang-orang mulai banyak yang mengkampanyekan penggunaan e-book dengan alasan yang sungguh mulia; mengurangi penebangan pohon. Saya sendiri tidak pernah merasa nyaman membaca buku yang hadir di layar elektronik. Kalau membaca tulisan yang lebih pendek seperti esai, saya masih bisa menikmati. Namun untuk menghabiskan jumlah halaman yang banyak seperti buku, saya angkat tangan.

Selain soal kenyamanan, buku cetak juga lebih bisa menghadirkan sisi romantik, seperti misalnya; coretan titimangsa beli, tandatangan, jejak stabilo, tulisan-tulisan yang sengaja dicantumkan di pinggir rata kiri dan kanan, dan lain-lain. Ada jejak personal di dalamnya, jejak yang rasa-rasanya tidak mudah didapatkan di e-book.   

Keempat, mengikuti jadwal film baru dan membicarakannya

Tak pernah sengaja mendengarkan kawan-kawan yang tengah membicarakan film terbaru Star Wars baru-baru ini, namun rasanya saya sudah hampir muntah. Bukan filmnya yang membuat saya mual, tapi cara mereka mengikuti, menyambut, dan membicarakannya, lengkap dengan saling mengingatkan tentang (bagi mereka) bahaya laten spoiler.

Ada pula seorang kawan yang sangat rajin menunggu tayang perdana (premiere) setiap film yang akan hadir di bioskop. Sehari saja terlewat, bagi dia hukumnya haram. Premiere adalah harga mati. Dia pasti punya pengalaman yang berkesan setiap kali menonton film pada tayang perdana itu, kesan yang tak saya pahami ujung pangkalnya.

Saya juga rajin menonton film sebetulnya, hanya saja menempuh jalan yang berbeda. Saya abai pada jadwal tayang film, juga tak membicarakannya dengan siapa pun, kecuali sangat sedikit. Buat saya film adalah tentang bagaimana kita menikmati kisah. Dan kisah, kapan pun ia terjadi, tak pernah menjadi basi. Lagi pula kata “basi” sangat dipengaruhi oleh persepsi.

Maka begitulah, seperti juga membaca, bagi saya menonton adalah salah satu pengalaman personal yang tidak pernah saya rayakan bersama orang lain. Nonton bareng atau berdua memang sesekali pernah, namun saya tak menganggapnya sebagai perayaan, itu hanya sebatas sesaji bagi ritus perkawanan dan percintaan.       

Kelima, pergi ke toko buku tidak sendirian

Tahu kan Bella Swan? Ya, gadis cantik yang kleyengan oleh vampir itu sekali waktu pernah menolak dua orang kawannya untuk menemaninya pergi ke toko buku, “Kukatakan akan menemui mereka di restoran satu jam lagi---aku mau mencari toko buku. mereka sebenarnya bersedia ikut denganku, tapi aku menyuruh mereka bersenang-senang---mereka tak tahu betapa asyiknya aku bila sudah dikelilingi buku-buku, sesuatu yang lebih suka kulakukan sendirian.”

Persis si Bella, saya pun lebih nyaman sendirian jika pergi ke toko buku. Sekali waktu, tanpa disengaja, saya bertemu dua orang kawan di suatu tempat dekat toko buku. Saya memang hendak belanja buku, ya belanja, maklum uang sedang banyak sementara kebutuhan hampir tidak ada. Karena mereka juga sedang tidak punya jadwal, akhirnya turut serta. Dan tahu kau, kawan? Sepanjang di toko buku itu mereka terus saja membuntuti saya, bertanya buku apa yang hendak saya beli, dan sesekali mereka pun meminta pertimbangan saya untuk memutuskan membeli buku atau tidak. Alangkah tidak nyaman. Sebelum mendapatkan semua buku yang saya cari, saya buru-buru ke kasir, menyelesaikan pembayaran, kemudian pulang.

Seperti juga menonton film, bagi saya pergi ke toko buku lebih senang dilakukan sendirian. Saya bisa berjam-jam di sana, membaca banyak sekali narasi di cover belakang buku, menimbang keputusan pembelian, atau sesekali dikejutkan dengan perjumpaan dengan buku yang sudah lama diincar namun peredarannya sudah sedikit. Hal-hal itu tidak bisa saya lakukan jika ada orang lain yang menemani. Beberapa kawan yang sudah tahu kebiasaan saya ini, jika kebetulan bertemu di toko buku, mereka selalu hanya menyapa dan pergi lagi ke sudut rak yang lain. Ya, mereka adalah kawan-kawan yang layak ditraktir sebotol Bintang dingin.               

Keenam, mengucapkan selamat ulang tahun dan yang lainnya

Setiapkali ulang tahun, saya selalu gagap menerima beberapa ucapan selamat. Bukan apa-apa, meskipun bergaul di lingkungan yang terbiasa dengan segala macam ucapan selamat, namun sejak kecil saya tak pernah mengalaminya. Ibu bapak tak sekali pun pernah mengucapkan hal itu. Begitu pun saudara, baru belakangan saja mereka kadang-kadang mengikuti kebiasaan orang banyak. 

Maka kemudian saya tak tahu dan tak mau tahu tanggal kelahiran siapa pun selain diri saya sendiri. Tanggal kelahiran sendiri pun lebih karena Facebook memberi tahu, sebab dulu saya pernah mencantumkannya. Dan begitulah, setiap kali tanggal itu datang dan kawan-kawan memberi ucapan selamat, saya selalu gagap, canggung. Sama ketika kawan-kawan berulang tahun, saya biasanya sangat jarang mengucapkan selamat.

Begitu pula pada momen-momen lain, saya sangat jarang atau bahkan tidak pernah mengucapkan; Selamat Idul Fitri, Selamat Natal, Selamat atas diwisuda, Selamat atas kelahiran anak, selamat atas pernikahan, dll. Buat saya, meski ragam ucapan selamat itu adalah salah satu bumbu dalam kehidupan sosial, namun seringkali hanya jatuh sebagai seremoni belaka, dan tak bermakna apa-apa.

Sampai hari ini, (sepanjang yang saya ingat) saya tak punya masalah pribadi dengan keluarga maupun kawan-kawan. Jadi pelit ucapan selamat tak membuat kehidupan sosial saya koyak karenanya. [ ]