29 May 2016

Merespon Kota dan Membibit Gerakan Literasi

Sesekali atau bahkan berkali-kali, di smartphone muncul broadcast yang isinya informasi dan himbauan untuk menghindari beberapa ruas jalan. Hal itu disebar katanya demi menghindarkan warga kota dari macet jahanam yang menjengkelkan. Selintas hal tersebut—karena kerap muncul, seperti sebuah kebenaran yang tak terbantah. Warga kota yang tergesa dengan agendanya masing-masing tak sudi acaranya dirintangi oleh jalanan yang tersumbat. Keramaian dan keriuhan, apa pun acaranya dan siapa pun penyelenggaranya, semacam telah menjadi musuh alami yang mengejawantah di broadcast yang bertebaran menyusup di semesta smartphone.

Dalam konteks kota sebagai ruang hidup bersama—pada kasus ini adalah Kota Bandung, acara-acara yang melibatkan warga kota sebetulnya adalah sesuatu yang patut untuk dirayakan. Bagaimana tidak? Bukankah tebaran taman yang menghiasi hampir sekujur kota adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan warga atas ruang hidup dan interaksi bersama. Ya, interaksi. Bertemu dengan warga kota lain; bisa tetangga sebelah rumah, warga beda kelurahan dan kecamatan, dll. Atau jika dijelentrehkan dalam strata dan status sosial, di ruang publik itu kita bisa bertemu beragam manusia; pengangguran, pencopet, pasangan yang baru reda dari pertengkaran hebat, anak dan orangtua yang jarang ngobrol, tukang cuanki, PNS yang bosan dengan pekerjaannya, dll.

Pemberitahuan dan himbauan untuk menghindari beberapa ruas jalan yang diprediksi akan macet karena adanya acara yang melibatkan warga kota, sesungguhnya adalah sebuah laku ironi. Kita mengharapkan ruang publik untuk berinteraksi, sementara di lain waktu kita malah menghindari acara yang melibatkan banyak warga.  

Dari perspektif inilah kemudian kami  (Komunitas Aleut) merumuskan dan mengambil sikap, bagaimana caranya merespon setiap kegiatan kota yang melibatkan banyak warga. Sebagai komunitas yang pada mula dan seterusnya concern terhadap—tidak hanya sejarah, namun juga perkembangan kota, kami kemudian memutuskan untuk ambil bagian dan bahkan lebur dengan setiap kegiatan kota.

Meski sikap dan kesadaran ini telah jauh-jauh hari kami rumuskan, namun moment pertama yang paling kentara adalah ketika Peringatan Konferensi Asia Afrika ke-60 tahun kemarin. Dengan semangat kolektif khas komunitas, kami menyambut Peringatan KAA ke-60 dengan jalan meleburkan diri. Kami berusaha larut dengan kerja-kerja liputan—yang meskipun amatiran, tapi kami melakukannya setiap hari hampir tanpa jeda. Kami bertemu dan mewawancarai pedagang kaki lima, warga yang hidup di gang-gang di sekitar Gedung Merdeka, aparat keamanan yang bertugas dan berjaga, tukang yang mengerjakan perbaikan trotoar, tukang membuat plat nomor, dll. Hasil liputan tersebut tidak selalu terlahir menjadi satu tulisan panjang dan utuh, namun bisa juga hanya menjadi informasi-informasi pendek yang kami hadirkan di beberapa saluran media sosial.

Selain menghasilkan beberapa tulisan, liputan ini pun berhasil menjerat beberapa peristiwa dengan bantuan kamera. Foto-foto dengan kualitas sederhana kami simpan dan beberapa dipublikasikan. Bagi kami ini perayaan. Bukan karena gempita dan besarnya biaya yang keluar, namun bagaimana kami sebagai warga kota mencoba larut dalam kegiatan.

Setahun pasca peringatan, seiring dengan semangat literasi yang kembali tumbuh, kami menyunting ulang semua tulisan tersebut. Maka hari ini, di acara soft launching buku “Pernik KAA 2015”, semua tulisan yang terbuhul tersebut adalah hasil kerja kami setahun yang lalu. Begitu pula foto-foto yang kami pajang, semuanya hasil kurasi dari ratusan foto yang kami hasilkan sepanjang liputan.

Acara ini pun sekaligus sebagai penanda atau semacam batu tapal, tentang kami yang hendak berkabar, bahwa ada hari-hari di luar kegiatan NgAleut yang rutin kami lakukan setiap hari Minggu, yang kami isi dengan kerja-kerja literasi yang bahan bakarnya adalah semangat kolektif berkomunitas.

Komunitas Aleut yang sejak lahir dan tumbuh tidak bisa dipisahkan dengan buku, hari-hari ini mencoba tampil tidak hanya sebatas “mengkonsumsi” buku, namun juga mencoba untuk “berproduksi”. Teks-teks lama yang sudah langka, yang kiranya masih relevan dengan sejarah Bandung; kami himpun, ketik ulang, disunting dan diberi pengantar, sebelum akhirnya diterbitkan ulang agar bisa diakses oleh masyarakat luas.  Beberapa teks lama yang telah, tengah, dan akan kami garap di antaranya:

Pertama, “Rasia Bandoeng: atawa Satoe Tjerita jang Benar Terdjadi di Kota Bandoeng dan Berachir pada Tahun 1917” karangan Chabanneau.

Roman ini terbit sekira satu abad yang lalu. Peredarannya amat terbatas, dan ini disinyalir karena isinya terkait dengan aib keluarga dalam satu she atau marga di kalangan masyarakat Tionghoa di Bandung. Penerbitan ulang roman ini dimaksudkan bukan untuk mengorek kembali “luka lama”, namun semangatnya lebih ingin menghadirkan satu gambaran utuh tentang kehidupan warga Kota Bandung di masanya, lengkap dengan lanskap kota yang didadarkan sebagai latar cerita.

Dalam satu acara bedah buku dan bincang-bincang terkait dengan roman ini, kami telah bertemu dengan beberapa anggota keluarga para tokoh yang ada dalam roman. Pada dasarnya mereka menyambut baik penerbitan ulang kisah para leluhurnya, karena bagi mereka hal ini dianggap sebagai satu sisi sejarah kota yang pernah hidup.

Selain itu, kami pun pernah mengangkat roman ini sebagai tema dalam satu kesempatan NgAleut. Rutenya kami ambil dari tempat-tempat yang diceritakan dalam roman, dan kegiatannya dilakukan malam hari bertepatan dengan malam Imlek 2567. Sekarang roman ini sedang dalam proses di tangan penerbit Pustaka Jaya.

Kedua, “Bandung Baheula” karangan R. Moech. Affandi

Naskah ini mula-mula terbit di tahun 1969, dan seperti yang disebutkan di pengantar oleh penulisnya, kehadiran buku ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan bahan bacaan orang Sunda yang masih sedikit. “Didasarkeun kana kabutuh masarakat tatar Sunda nu numutkeun kanjataan masih kirang kénéh ku buku2 dina basa Sunda anu mangrupi aosan…”

“Bandung Baheula” terdiri dari tiga jilid yang isinya bercerita tentang kondisi dan suasana Bandung tempo dulu, namun berbeda dengan buku-buku “sejarah” Bandung lainnya--meski benar-benar pernah terjadi, tapi cara penyajian cerita di buku ini mayoritas cenderung lebih mirip dengan kisah fiksi; nama tempat dan tokoh diganti dan disamarkan. Hal ini ditempuh oleh penulis dengan pertimbangan agar sesuai dengan etika dan estetika kepribadian orang Sunda. 

“Nanging, sanadjan sugri nu ditjarioskeun dina ieu buku kapungkurna leres2 ogé kadjadian, kanggo marganing kautamian, boh tina perkawis wasta tempat, boh tina perkawis wasta djalma miwah kalungguhanana nu kaungel dina masing2 tjarios; di antawisna aja ogé anu ngahadja digentos dibentenkeun tina aslina.

Nja kitu deui djalanna tjarios ogé diolah sinareng diréka deui, disusurup malar pajus, dikekewes malar pantes, dilujukeun kana djiwa kapribadian sélér Sunda nu resep kana gumbira (humor).”

Hal ini tidak lepas dari profesi penulis yang seorang dalang, sehingga memudahkannya untuk—tidak hanya merubah nama tempat dan tokoh, namun juga mereka ulang sebagian kisah yang dianggap kurang pantas menjadi susunan yang lebih sesuai dengan norma kepribadian orang Sunda. Naskah ini telah selesai kami ketik ulang, dan sekarang tengah masuk ditahap penyuntingan. 

Ketiga, “Keur Kuring di Bandung” dan “Saumur Jagong” karya Sjarif Amin.

Dua karya mantan jurnalis senior ini juga bercerita tentang Bandung zaman baheula. Sjarif Amin atau nama aslinya adalah Moehammad Koerdi adalah salah seorang perintis pers di Indonesia. Beliau pernah menjabat sebagai wartawan surata kabar berbahasa Sunda “Sipatahoenan”, redaktur mingguan “Bidjaksana”, dan di zaman Jepang ikut dalam jajaran redaktur koran “Tjahaya”. Pasca kemerdekaan ia menerbitkan surat kabar “Soeara Merdeka” dan “Indonesia”. Sebagai seorang wartawan, Sjarif Amin tentu sudah sangat terbiasa dengan data dan fakta di lapangan, sehingga buku-bukunya yang terkait dnegan “sejarah” Bandung dirasa lebih otentik.

Saat ini kedua buku tersebut sudah sangat langka, sehingga kami berinisitif untuk menerbitkan ulang. Sampai hari ini pengerjaan kedua buku tersebut masih pada tahap pengetikan ulang.    

Di luar kegiatan menerbitkan ulang teks-teks lama, kami pun mencoba menerjemahkan beberapa buku berbahasa Inggris dan Belanda yang tentu saja ada kaitannya dengan sejarah Bandung. Buku pertama berjudul “History of Our Family”. Buku ini berkisah tentang perjalanan keluarga Kerkhoven, salah satu keluarga Preangerplanters yang kiprahnya cukup sukses di lingkungan perkebunan wilayah Priangan. Buku kedua berjudul “Bandung and Beyond” yang isinya bercerita tentang perjalanan sebuah keluarga dalam berkeliling atau ngaleut di dalam dan sekitar Kota bandung. Sedangkan buku berbahasa Belanda yang juga tengah kami terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yaitu “Bandung 1918”. Buku ini mendadarkan pembangunan awal Kota Bandung dalam rangka menyambut rencana pemindahan ibukota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung.

Jika dua kerja literasi di atas (pengetikan ulang dan penerjemahan) terkait erat dengan naskah-naskah milik “orang lain” atau para penulis di luar Komunitas Aleut, maka selain buku “Pernik KAA 2015” kami pun sesungguhnya masih punya beberapa buku yang kami produksi sendiri, yaitu “Memento; Sehimpunan Kisah Masa Kecil” dan “Ensiklopedi Sejarah Bandung”.

“Memento” sesuai dengan subjudul yang mengikutinya adalah kumpulan kisah masa kecil dari para pegiat Komunitas Aleut, dalam rangka menyambut ulang tahun sewindu dan satu dasawarsa Komunitas Aleut. Ya, buku ini memang terbit dua kali; tahun 2014 dan 2016. Apa yang tersaji sekarang merupakan gabungan dari buku yang pertama yang ditulis oleh para pegiat lama, dan tulisan baru karya para pegiat yang hadir belakangan.

Zen RS—mantan kolumnis Jawa Pos, dalam sebuah esainya tentang persahabatan, menulis sebuah kontemplasi Milan Kundera dari novel yang berjudul “Identity”. Terkait penulisan kisah masa kecil ini, kiranya apa yang diutarakan Milan Kundera melalui tulisan Zen RS layak menjadi salah satu bahan perenungan:

“Teman masa kecil, kata Kundera, adalah cermin bagi kita, cermin yang memantulkan masa silam kita. Teman masa kecil dibutuhkan untuk menjaga keutuhan masa silam, untuk memastikan bahwa kita tidak menyusut, tidak mengerut, bahwa diri tetap bertahan pada bentuknya. Untuk itu, ingatan mesti disiram seperti bunga dalam pot. Karenanya kita memerlukan kontak dengan teman dan sabahat masa kecil, sebab merekalah saksi mata dari masa silam.”
Sementara Mircea Eliade—seorang antropolog, dalam buku “Ordeal by Labirinth” menulis, “Setiap tanah air terdiri dari bentangan geografis yang sakral. Bagi siapa pun yang meninggalkannya, kota masa kecil dan remaja akan selalu menjadi negeri dongeng.”

Dalam beberapa pertimbangan, kiranya buku “Memento” ini sengaja ditulis dan dihadirkan terkait dengan dua hal tersebut di atas, selain juga faktor penting lainnya---terutama dalam semangat dan koridor berkomunitas, yaitu cara untuk para pegiat Komunitas Aleut belajar bercerita secara tertulis.

Dan terakhir kerja literasi terberat yang tengah kami jalani adalah menyusun “Ensiklopedi Sejarah Bandung”. Sepenuh sadar kami akui bahwa ini adalah proyek nekad. Kami hanya berbekal buku sebagai sumber tertulis dan semangat berkarya yang terus menyala di kalangan para pegiat Komunitas Aleut. Kami yang semuanya tidak memiliki latar pendidikan sejarah, waktu yang terbatas, bekerja dengan sistem relawan, “tergoda” untuk membuat sebuah karya yang cukup besar. Karya yang seseungguhnya amat erat kaitannya dengan apa yang kami kerjakan secara rutin selama kurang lebih sepuluh tahun terakhir ini.
Proyek besar ini telah berjalan kira-kira satu bulan, dan meskipun kami susun timeline kerja, namun entah kapan kiranya karya ini akan lahir secara atau mendekati utuh. Satu kepastian bahwa kami tetap mengerjakannya.


Di penghujung jejalin paragraph, kami hendak menekankan sekali lagi bahwa apa yang sidang pembaca hadapi dan hadiri hari ini--baik hamparan teks maupun rangkaian acara, adalah dua batu tapal kami untuk mempublikasikan secara serentak apa-apa yang telah, tengah, dan akan kami kerjakan. Bagaimana cara kami merespon kegiatan kota dan membibit kembali gerakan literasi di Kota Bandung, kiranya menjadi salah satu penanda bahwa kami ada dan tetap mengada bagi kota tercinta ini. Salam. [irf]

--Ditulis sebagai pengantar di acara soft launching buku "Pernik KAA 2015" di Braga Punya Cerita (Minggu, 24 April 2016)

Jampang Kulon dan Luka di Dua Kepala

Jampang Kulon dan masa kecil, bagi saya begitu tegas sekaligus sayup-sayup. Kota kecil di selatan Sukabumi itu adalah tempat yang menadah saya mula-mula, kemudian tumbuh, sebelum akhirnya ditinggalkan demi melengkapi mozaik yang bertebaran di tempat entah. Tegas menancap di ingatan, sebab di situlah saya mengukir masa kecil dengan kisah-kisah yang beragam seperti bianglala. Namun kadang sayup-sayup, karena waktu dan jarak telah berkhianat.

Dalam “Ordeal by Labirinth”, Mircea Eliade menulis, “ Setiap tanah air terdiri dari bentangan geografis yang sakral. Bagi siapa pun yang meninggalkannya, kota masa kecil dan remaja akan selalu menjadi negeri dongeng.” Ya, kurang lebih seperti itu Jampang Kulon yang tertatah dalam benak.

Saya lahir dari lingkungan keluarga guru. Sebelum wafat, bapak bertahun-tahun mengajar di sebuah Madrasah Tsanawiyah swasta. Kakak dan paman ada juga yang menjadi guru. Namun kiranya lahir dan tumbuh dari lingkungan keluarga seperti apa pun, masa kecil setiap orang tak terlampau berkaitan dengannya.

Sampai menamatkan Sekolah Menengah Pertama, saya tinggal di Jampang Kulon. Kalau kawan begitu asing dengan nama tempat itu, baiklah saya terangkan sedikit. Kota kelahiran ini adalah sebuah kota kecamatan, yang bisa ditempuh dari Kota Sukabumi dengan durasi kira-kira tiga jam perjalanan mobil. Kalau memakai sepeda motor dan mengendarainya terburu-buru seperti orang yang hendak buang hajat, kawan bisa memangkas waktu yang diperlukan menjadi lebih singkat.

Meski suasananya pedesaan, namun Jampang Kulon tak terlalu elok seperti gambaran desa yang kerap ditayangkan di FTV. Tak ada sungai besar dengan air jernih dan batu-batu besar yang menghiasi. Jika Jaka Tarub tersesat di kampung saya, dan ia iseng hendak mencuri selendang gadis desa yang tengah mandi di sungai, niscaya dia tak akan menemukannya. Air yang menghidupi sawah hanya mengandalkan tadah hujan, tak ada sistem irigasi yang bisa diandalkan.

Beberapa bukit (pasir dalam bahasa Sunda) berjajar di Selatan. Ada Pasir Pogor, Pasir Gundul, Pasir Hiris, Pasir Hanjuang, dan dipungkas oleh Pasir Malang. Rumah saya persis di bawah Pasir Pogor yang konon dihuni oleh Haji Uril, jin penunggu bukit itu. Kalau ada anak kecil yang terus menangis, para orang tua biasanya menakut-nakutinya dengan Haji Uril. “Dibikeun geura siah ka Haji Uril!” Setelah mantra itu terlontar, biasanya bocah-bocah yang tangisnya sulit diredakan seketika akan berhenti, dan di wajahnya ada segores ketakutan.

Tak jauh dari rumah, ada alun-alun--tempat yang menjadi saksi bahwa saya pernah brilian dalam sepak bola, sebelum akhirnya ditinggalkan bakat, setelah kaki terlampau banyak dihujam beling, paku, dan duri putri malu. Kalau sedang cedera karena benda-benda tajam brengsek itu, saya hanya duduk di pinggir lapang menyaksikan kawan-kawan bermain bola dengan kelihaian abal-abal. Kalau bulan puasa datang, alau-alun ramai oleh orang-orang yang bermain layangan. Tua-muda doyan bermain layangan, saya pun begitu. Ada satu masa ketika saya pernah mengalahkan puluhan layangan musuh dengan gelasan andalan buatan Ciaul. Karena tak kalah-kalah, sampai adzan magrib berkumandang yang artinya waktu berbuka puasa tekah tiba, saya masih asyik menatap langit. Ketika melihat sekeliling, alun-alun telah sepi.

Di timur alun-alun ada pasar, di utara berdiri gedung serba guna yang paling sering dipakai untuk bermain badminton. Di selatan terdapat perumahan penduduk yang dibatasi bukit-bukit, dan di barat ada mesjid. Tempat yang disebut paling akhir--bagi anak-anak, selain untuk belajar tata cara ibadah, adalah juga tempat bermain yang sempurna.

Mang Rohman namanya, ia kini sudah almarhum, seorang penjaga mesjid yang galak betul. Kata bapak, ia adalah mantan narapidana dengan spesialisasi mencuri kerbau. Dalam waktu tak lebih dari sepuluh menit, satu truk bisa penuh dengan kerbau curian. Konon caranya begitu mudah, hanya menarik ekornya, kerbau-kerbau itu akan loncat ke dalam truk yang pintunya telah terbuka. Dalam riwayat masa lalunya yang kelam, masih kata bapak, ia katanya pernah ditembak polisi di bagian kaki. Ini terbukti dari cara jalannya yang terpincang-pincang. Di hari tuanya hidayah datang, beliau mengabdi di masjid, menyerahkan hidup sepenuhnya pada Tuhan, meskipun kerap diganggu setan-setan kecil yang tak tahu adat, termasuk saya di dalamnya.

Cucu-cucu Mang Rohman adalah kawan karib saya waktu kecil. Mereka seperti juga kawan-kawan yang lain, tak pernah kapok untuk bermain dan mengacau di masjid. Orang-orang shalat taraweh, kami malah bermain petasan di pelataran. Stok air buat wudhu menipis, kami malah membuka semua keran dan tak hendak menutupnya. Siang hari ketika masjid sepi, kami bermain sepak bola di dalamnya, karpet mulus seperti lapangan futsal. Kenakalan standar sebetulnya, namun bagi penjaga masjid tak ada yang bisa ditoleransi.

Dengan tak bermaksud riya, terus terang saja saya pernah pintar di riwayat akademik. Sampai kelas tiga Madrasah Tsanawiyah (sekolah setingkat SMP), tiga besar selalu di tangan, tepatnya di posisi kedua. Tapi ada yang unik, posisi satu yang tak pernah berhasil direbut selalu ditempati oleh orang yang itu-itu saja, menjengkelkan memang. Di Sekolah Dasar, dari kelas satu sampai lulus, saya selalu dipecundangi Retno Kurniawati, si juara satu itu. Ia kini tinggal di Tulungagung. Sementara di Madrasah Tsanawiyah, giliran Siti Jenab yang membuat saya tak berkutik, terus-menerus di posisi dua sampai karatan.

Di sekolah, selain persaingan abadi mempertahankan tiga besar, saya punya kawan abadi sebangku. Dari kelas satu SD sampai kelas tiga Mts, kami selalu duduk berdampingan. Abu Sofyan namanya. Rumahnya hanya sepelemparan batu dari pintu dapur. Ya, kami memang bertetangga. Diberi nama Abu sebab waktu ia lahir gunung Galunggung tengah murka. Abu vulkaniknya sampai ke Jampang Kulon. Atap rumah memutih diselimuti abu. Demi mengenang masa itu, maka dilekatkanlah nama ke-Arab-araban.

Dia anak paling besar, sementara saya anak nomor lima. Dia menerima curahan pertama perhatian orang tua, saya mesti melewati dulu empat kakak. Dia minta tas baru, besoknya sudah ada. Saya meminta tas baru, lima bulan kemudian baru dibeli. Tasnya bermerek “Exsport”, keren dan penuh gaya. Sementara tas saya hanya bergambar Goggle V, resletingnya hampir dol, dibelikan mama di pasar kecamatan. Sepatunya Docmart  berlampu, sepatu saya kstaria pemanah alias warrior hitam nan legendaris. Dia tinggi putih seperti Ryan Hidayat, saya tak jelek-jelek amat. Saya ranking dua sampai lulus, dia entah di mana, terperosok di jurang kelas. Orangnya bersahaja berkawan. Kami bersahabat sampai sekarang. Kini dia tinggal di Leuwi Panjang, telah menikah dua kali, raut mukanya nampak lebih tua melebihi usia, sementara saya masih muda dan tetap keren.         

Dari sekian banyak cerita masa kecil yang saya lalui, kiranya ada dua yang peristiwa yang amat susah terlupakan, yaitu ihwal dua kepala yang terluka; kepala atas dan kepala bawah.

Sekali waktu di bulan puasa, mama menyuruh seseorang untuk mengambil kelapa muda yang masih betah bergelantungan di pohon. Ajo namanya, pemuda ini memamg ahli dalam hal memanjat pohon. Maka dengan berbekal golok, berangkatlah ia ke kebun yang jaraknya agak jauh dari rumah. Ketika melintas alun-alun, saya dan beberapa orang kawan bertanya kepadanya tentang hendak pergi ke mana. Dan begitulah, kami akhirnya ikut dengan Ajo.

Tak salah memang ia dijuluki sang penakluk pohon, serupa beruk ia memanjat pohon kelapa dengan begitu cepat. Lalu beberapa kelapa muda mulai berjatuhan. Dirasa sudah cukup dan hendak melemparkan golok, ia kemudian berteriak, “lari ke utara!” kawan-kawan kemudian berlarian ke utara, tapi anehnya saya justru lari ke selatan, ke arah mata angin tempat Ajo melemparkan golok. Sedetik kemudian kepala saya dihantam benda keras. Saya berpikir sebuah kelapa muda telah berlaku kurang ajar, namun tak lama kemudian darah mengucur dari kepala, saya seperti tengah dikeramas shampoo berwarna merah. Lalu saya menangis.

Dengan kaget dan terburu-buru saya kemudian digendong Ajo pulang ke rumah. Di jalan, karena melalui pematang sawah yang licin, kami beberapakali terpeleset ke lumpur dan rumpun padi. Sesampainya di rumah, langsung di bawa ke puskesmas, disuntik bius, lalu kepala dijahit. Sampai sekarang, saya masih ingat bagaimana jarum itu bergerak bebas di kulit kepala. Kalau kawan tidak percaya, tunggu nanti jika saya dicukur tandas. Niscaya kawan akan melihat segaris pitak yang tak ditumbuhi rambut di kepala saya yang mulia.

Mungkin karena hantaman golok di kepala, ketika masuk SMA dan kuliah, prestasi akademik menjadi hancur. Di SMA hanya menjadi penghuni 20 besar, dan di bangku kuliah lulus dengan IPK 2,A (Dua koma Alhamdulilah). Dalam jurang keterpurukan itu kadang saya mengingat kembali masa kecil yang gilang gemilang, ketika banyak guru dan orang tua yang mengeluh kenapa anak-anak yang lain tak sepintar saya. Mohon ini jangan dianggap sebagai riya, siapalah saya ini? hanya sumpit lumpia basah yang sedang mengenang masa kejayaan.

Peristiwa dihantam golok itu terjadi sekira empat bulan pasca kepala saya yang lain terluka. Ketika tongkat pusaka akhirnya harus disembelih, saya bergetar ketakutan. Namun demi melangsungkan hajat besar ini, bapak dan kakak-kakak kerap membujuk dan menyederhanakan rasa sakit. “Ga usah takut, rasanya kaya digigit semut rangrang doank kok,” begitu kata kakak yang nomor tiga. Saya waktu itu belum bisa berpikir jernih, percaya begitu saja. Belakangan baru sadar bahwa itu semua tipu muslihat belaka. Bagaimana mungkin kakak yang nomor tiga itu tahu rasanya dikhitan, nyatanya dia seorang perempuan.

Maka hari bersejarah itu datang juga akhirnya. Pagi-pagi setelah selesai shalat berjamaah subuh, bapak-bapak yang dari masjid datang ke rumah saya. Muka mereka jernih sebetulnya, namun dalam pandangan saya menjadi menyeramkan. Dalam kegugupan di detik-detik menjelang tongkat pusaka diserahkan kepada bengkong (dukun khitan), dalam benak saya mereka seperti rombongan pengiring di altar persembahan.

Kawan harus tahu, betapa menderitanya saya. Peristiwa itu terjadi di pekarangan rumah. Tak disuntik bius, tak direndam dulu dalam sungai yang dingin, tiba-tiba tongkat pusaka dengan semena-mena dipenggal ujungnya. Allohu Akbar! Sakit betul! Darah segar memencar berbarengan dengan tangis yang membelah kesunyian pagi. Lalu bapak-bapak itu bershalawat kepada Rasul junjungan. Saya dipangku bapak menuju ruang tengah, sementara darah terus mengalir seperti tak mau berhenti. Kemudian datang Pak Haji Obar, waktu itu usianya kira-kira sudah 70 tahun. Beliau mendekati saya dan bapak, lalu komat-kamit, mungkin membacakan beberapa do’a. Dan ajaib, darah yang semula terus mengalir dari yang mulia tongkat pusaka tiba-tiba berhenti. “Geus tong ceurik, sakeudeung deui ge cageur!,” begitu ucapnya sambil berlalu.

Sehari setelah peristiwa mengerikan itu, ibu guru wali kelas dan kawan-kawan sekolah datang menjenguk. Entah kenapa saya lupa lagi, tongkat pusaka yang masih belum kering itu tak ditutupi apa-apa. Bebas merdeka menghirup udara kamar, tempat saya terbaring menunggu kering. Ketika rombongan yang menjenguk datang, barulah saya tersadar bahwa kawan-kawan perempuan dan ibu guru akan sangat leluasa mengamati tongkat pusaka yang tengah terluka. Dalam gugup, saya menemukan solusi. Agar tak terlalu malu, saya langsung pura-pura tidur demi menghindari wajah-wajah yang tersenyum geli.

Ketika sudah sembuh dan bisa sekolah lagi, di kelas kawan-kawan banyak yang mengolok-olok tentang pemandangan di kamar, ketika saya pura-pura tidur. Ya, apa boleh buat, nyatanya dalam sepetong riwayat hidup, benda sakti ini pernah menjadi tontonan banyak orang.  

Itulah sepenggal kisah tentang dua kepala yang terluka di masa kecil, dan sampai sekarang tetap berarak di lereng ingatan. Saya tak hendak melupakannya, biarlah itu selamanya menjadi kenang-kenangan hidup, diceritakan ulang, dan menjadi penghibur di kala bosan. Sementara siang ini sambil mengenang masa kecil, saya duduk di depan laptop. Jalan Solontongan tak begitu ramai. Saya tengah menghitung jejak langkah saya sendiri. [ ]