05 September 2016

Mengingat Mimpi, Membangun (lagi) Imajinasi

Masa kecil begitu jauh sekaligus dekat. Jauh dicekik saat yang terus bergerak. Dekat karena jejaknya berarak di lereng ingatan. Masa kecil juga selalu menjadi lonceng yang kerap berdentang: mengingatkan kita bahwa berkurangnya usia berparalel dengan tanggungjawab yang kian menggantang, beban hidup yang mulai terasa, dan orang-orang tercinta yang diambil waktu satu-persatu. 

Dulu, barangkali mimpi serupa kupu-kupu yang beterbangan, selaksa warna, dan mengeram di kepala. Imajinasi berpendaran, berlesatan, tentang pertempuran hebat dengan senapan pelepah pisang, terbang ke bulan dengan pesawat kertas, menjadi putri dengan Barbie di tangan, atau mengangankan seorang pangeran penguasa kastil.

Usia kanak dan  teman masa kecil di dalamnya, kata Milan Kundera, adalah cermin bagi kita, cermin yang memantulkan masa silam kita. Ia dibutuhkan untuk menjaga keutuhan masa silam, untuk memastikan bahwa diri tidak menyusut, tidak mengerut, bahwa diri tetap bertahan pada bentuknya. Mungkin Kundera tak sepenuhnya benar, karena ternyata mimpi dan imajinasi kita di masa kecil perlahan menyusut, mengerut, bahkan hilang: sebuah dunia yang semakin tak tergenggam. 

Tanggal 10-11 September 2016, Komunitas Aleut berencana mengadakan kemping ke Kapulaga-Subang. Sebuah kegiatan yang dirancang--dengan terutama untuk bersenang-senang: merayakan persahabatan, menyesap alam, kontemplasi sederhana (kalau ada), dan bisa juga untuk meretas “jalan pulang”, menengok lagi mimpi dan imajinasi yang terlanjur compang-camping. 

Kelas Literasi sebagai kegiatan rutin komunitas yang sebisa-bisa tak pernah jeda, mencoba memadu-padankan tema. Ada kumpulan naskah cerita masa kecil karya kawan-kawan yang terbuhul dalam buku “Memento”. Para penulis telah bersedia membuka kisah masa lalunya ke khalayak ramai. Tentu tujuannya bukan untuk menenggelamkan diri di masa yang telah lewat, namun belajar mengguratkan kisah dalam jejalin aksara. Selain itu, yang paling penting adalah mengapresiasi sepenggal jenak, bahwa kita hari ini sejatinya adalah sebangun rangkaian gerbong, dan masa kecil mempunyai saham di dalamnya.

Mestikah kita menutup katup jenak itu? Masa lalu-masa kini-masa depan adalah rangkaian kesejarahan yang membentuk pribadi kita. “Belajarlah dari masa lalu, cermati masa kini, dan bangunlah masa depan. Bukan sekadar dilanjutkan, melainkan membuat pilihan dan mengambil prakarsa, itulah hidup,” begitu kata Fuad Hasan. 

Maka Kelas Literasi kali ini mencoba meraba kembali hal tersebut. Atau bila dirasa terlampau normatif, kiranya mari bersenang-senang saja. Sambil bertukar senda di tengah nafas alam, mari mengingat lagi mimpi-mimpi masa kecil, siapa tahu kita masih berhasrat untuk mewujudkannya. Dan imajinasi, selamanya bagi manusia, adalah penanda bahwa kita tak sepenuhnya takluk oleh batas ruang dan waktu. “Orang-orang yang tak memiliki imajinasi adalah orang-orang palsu” demikian sabda TS. Elliot. [irf]⁠⁠⁠⁠