11 November 2016

Mengenal Blok Tempe Bersama Komunitas Aleut

Minggu (6/11/2016), saya bersama Komunitas Aleut berkesempatan untuk mengunjungi Blok Tempe. Komunitas Aleut adalah sekelompok anak muda yang punya minat terhadap sejarah dan pariwisata, khususnya di Kota Bandung. Komunitas ini berdiri tahun 2006, dan sampai sekarang masih konsisten berkegiatan. Tiap pekannya, minimal mereka punya empat kegitaan rutin, yaitu: nonton film bareng (Selasa), Kamisan yang isinya konsolidasi internal (Kamis), Kelas Literasi (Sabtu), dan Ngaleut (Minggu).

Ngaleut diambil dari kata “aleut”, yaitu sebuah kata dalam bahasa Sunda yang artinya berjalan beriringan, persis seperti kalau kita berjalan di pematang sawah. Mengapa dinamakan demikian? Hal ini karena kegiatannya adalah mengunjungi setiap pojok Kota Bandung dengan cara berjalan kaki. “Karena dengan berjalan kaki, kita bisa melihat lebih banyak tempat yang sering terlewatkan kalau kita memakai kendaraan,” terang Arya Vidya Utama, salah seorang koordinator komunitas tersebut. Maka dengan berjalan kaki pulalah, Minggu itu, kami berkunjung ke Blok Tempe.  

Blok Tempe adalah sebuah kampung kota yang sudah cukup lama menjadi populer setelah Ridwan Kamil (Walikota Bandung sekarang), bersama pemuda setempat melakukan banyak kegiatan posistif yang bersifat sosial. Secara administratif, Blok Tempe berada di Kelurahan Babakan Asih, Kecamatan Bojongloa Kaler. Kampung kota ini mulanya dikenal sebagai daerah tempat tinggal para mantan narapidana yang dipandang sinis oleh warga sekitar. Sampai sekarang, banyak pemudanya yang bertato: sebuah simbol yang kerap diidentikkan dengan premanisme.

Setelah menyusuri banyak sekali gang, akhirnya kami (saya dan Komunitas Aleut) tiba di sebuah bale di Blok Tempe. Kami diterima oleh kang Miki (ketua pemuda), dan rekan-rekannya. Sambutan mereka begitu ramah dan penuh canda. Kami lalu berkumpul, duduk melingkar di bale tersebut. setelah saling berkenalan, obrolan pun mengalir dengan santai. “Kami mah dulu memang dipandang sebelah mata oleh warga.  Karena terus terang saja, dulu kami ini sekumpulan tukang mabuk, dan kerap tawuran dengan kampung sebelah,” ujar Kang Iwan, salah seorang pemuda setempat.

Ia kemudian melanjutkan, “Masih ingat kasus pembunuhan sopir angkot? Itu pelakunya ya anak sini, sampai sekarang dia masih di LP (Lembaga Pemasyarakatan) Bojongwaru.”

Blok Tempe berangsur menjadi kampung yang “normal” setelah salah satu tokoh pemuda setempat, Regi Munggaran, melakukan pendekatan kepada para pemuda tersebut. “Kang Regi itu, dulu, kalau ngobrol sama kita, ya ikut lebur, ikut minum juga,” kata Kang Miki menjelaskan. Proses pendekatan tersebut pelan-pelan membuat para pemuda yang rata-rata mantan narapidana, mulai mengubah sikapnya ke arah yang lebih baik.

Seperti juga yang dituturkan oleh pemuda yang lainnya, Ketua RT pun kemudian melakukan pendekatan dengan cara yang kesannya tidak menggurui dan menasihati. “Pak RT juga dulu mah malah suka sengaja beli minuman kalau mau ngobrol sama kita,” ujar Kang Iwan. Hal ini dilakukan karena para pemuda tidak suka dengan obrolan-obrolan yang bersifat ceramah. Beberapakali ada tokoh masyarakat yang malah diusir karena cenderung menggurui. Hal inilah yang kemudian menjadi inspirasi Ridwan Kamil untuk ikut terlibat dalam pembenahan Blok Tempe, baik secara mental maupun fisik.     

Hari semakin siang ketika kami akhirnya harus berpamitan. “Jangan kapok ya, lain waktu main-main lagi ke sini,” ujar Kang Miki. Kami pun lalu menuju ke rumah salah seorang penggiat Komunitas Aleut yang berada di daerah Pagarsih. Setiap selesai ngaleut, rekan-rekan Komunitas Aleut mengadakan sharing, yang isinya berbagi pengalaman sepanjang mekalukan kegiatan ngaleut.

“Kita sering mendengar idiom ‘mental tempe’ yang artinya lembek. Tapi justru di Blok Tempe, saya menemui hal sebaliknya,” ujar Alex, salah seorang penggiat Komunitas Aleut. [irf]

No comments: