24 November 2016

Rajapati di Pananjung: Kasih Tak Sampai, Kegembiraan, dan Kematian

Penulis : Ahmad Bakri
Penerbit : Kiblat Buku Utama
Halaman : 89
Tahun Terbit : April 2010 (Cetakan ke-2)

“Basisir simpé, laut éndah, bulan ngebrak, mamanahan mudal ku deudeuh jeung asih, ninggang di anu bolostrong. Puguh-puguh pangajak sétan, pajarkeun téh cenah haréwos asmara… Mangga manah…”

Rajapati di Pananjung adalah sebuah cerita berbahasa Sunda yang dibuka oleh rencana sekelompok anak muda yang hendak bervakansi ke Pangandaran. Di perjalanan dalam kereta api, anak-anak muda ini bertemu dengan seorang lelaki setengah baya yang menceritakan kehidupannya yang getir. Pertemuan itu terjadi selintas lalu, namun tersusun dalam satu bingkai cerita yang utuh.

Adalah Yoyo, salah seorang dari sekelompok anak muda itu yang pada mulanya enggan turut dalam perjalanan. Ia mempunyai kenangan pahit yang kerap merawankan hatinya. Pantai dan debur ombak selalu membawanya kembali ke masa lampau di mana cintanya bersemi, tumbuh subur, sebelum akhirnya direnggut sang takdir.

Dulu, di bibir pantai itu, di tengah semilir angin dan air yang berebut mencium pasir, Yoyo berbisik kepada kekasihnya, “Lamun engkang bisa hiber, eulis rék dibawa ngapung, diteundeun di méga malang. Mana teuing tibrana haté, taya karisi karingrang eulis nu engkang sorangan, moal rempan jungjunan diiwat batur.” Setelah itu, ia memasukkan sebuah cincin ke jari kekasihnya. Sebuah cincin pusaka, peninggalan ibunya. Ya, tapi itu dulu. Kenangan yang tak hendak ia ungkit kembali.

Sehari setelah ia dan kawan-kawannya tiba di Pangandaran, mereka kemudian pergi ke cagar alam Pananjung, lalu menuju bibir pantai. Ketika kawan-kawannya berlarian, berlomba menikmati panorama dan suasana pesisir yang indah, Yoyo malah ragu-ragu dan tertegun. Bayangan masa lalunya kembali berkelebat, membuka luka lama yang belum lama kering.

Ketika tengah melamun, tiba-tiba dari belakang ada yang memanggilnya. Yoyo terhenyak, ternyata yang memanggilnya itu adalah mantan kekasihnya yang kini telah menjadi istri orang dan tengah mengandung. Dalam rikuh dan perasaan sedih yang mengepung, kekasihnya yang tengah mengandung itu meminta maaf sambil mengembalikan cincin:

“Kang Yoyo, ieu nyanggakeun kagungan téa. Hapunten, teu énggal-énggal diwangsulkeun. Tadina mah badé dianggo jimat, étang-étang wakil, nanging diémut-émut nambihan waé panyakit, unggal karérét unggal kasuat. Mangga ieu nyanggakeun…”

Malamnya harinya, suasana memanas. Suami mantan kekasihnya mendatangi penginapan Yoyo dan kawan-kawan untuk menanyakan cincin. Dari sana kemudian masa lalu yang selama ini ditutup rapat olehnya terbongkar semua. Pertengkaran terjadi. Yoyo dituduh masih menyimpan perasaan, dan hendak merusak rumah tangga orang. Yoyo naik pitam, ia menggebrak meja, lalu berucap: 

“Keur naon dipake nyeri, alam dunya lega, hayam jago megar dibarengan ku bikangna, jelema hirup dituturkeun ku jodona. Lalakon jeung Nining itung-itung impian riwan, méméh srangéngé meleték gé geus poho deui!”     

Setelah suami mantan kekasihnya pergi, Yoyo kemudian pergi ke sebuah pojok halaman penginapan, tak jauh dari bibir pantai. Ia merenung, mencoba melepaskan semua gundah. Ketika malam hampir larut, ia melihat sesosok bayangan berkelebat mendekatinya. Yoyo terkesiap, sementara malam kian gelap, dan debur ombak makin bergemuruh.

Esoknya, terdengar ada yang meminta tolong dari kejauhan. Seorang nelayan menemukan sesosok mayat tergeletak kaku di sebuah perahu dengan bilur biru dan bengkak di bagian leher. Mayat itu adalah suami mantan kekasihnya!

Siapa pelaku pembunuhan tersebut? Bagaimana kelanjutan kisah Yoyo dan kawan-kawannya? Ahmad Bakri dengan gaya berbahasa yang kocak dan trengginas dalam bertutur, membuat cerita ini mengundang penasaran, dan pembaca digiringnya untuk terus melahap sampai ke penghujung. Aroma kasih tak sampai, kegembiraan, dan kematian: menguar dari kisah Rajapati di Pananjung. [irf] 

No comments: