16 December 2017

Deklarasi Djuanda dan Ikhtiar Menyatukan Laut Indonesia


Di atas jalan beraspal, di rimbun hutan kota, di bendungan, di udara, nama Djuanda Kartawidjaja melekat. Ya, tokoh nasional kelahiran Tasikmalaya, 14 Januari 1911, ini menghiasi nama ruas jalan, taman hutan, waduk, hingga bandara. Seperti dalam sepenggal perjalanan hidupnya yang terus-menerus mengisi ruang di lingkaran para pengambil kebijakan (sempat menjadi Menteri Perhubungan, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Pertahanan, Perdana Menteri).

Namun di atas semuanya, resonansi nama Djuanda yang paling menggetarkan adalah terkait dengan politik kewilayahan yang membuat posisi Indonesia sebagai negara kepulauan semakin kuat, yaitu Deklarasi Djuanda.

Jika diurutkan berdasarkan linikala, Deklarasi Djuanda yang berisi tentang satu kesatuan wilayah melengkapi kepingan ke-Indonesia-an yang sebelumnya didahului Sumpah Pemuda 1928 sebagai perlambang kesatuan bangsa, dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagai wujud kesatuan negara. 

Deklarasi ini dicetuskan Perdana Menteri Ir. H. Djuanda Kartawidjaja pada 13 Desember 1957. Deklarasi Djuanda merupakan pernyataan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia, menyatu menjadi satu kesatuan kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perjalanan Panjang menuju Kedaulatan Laut
Pada mulanya, Deklarasi Djuanda mendapat tantangan keras dari hampir seluruh dunia karena dianggap bertentangan dengan Hukum Internasional. Saat itu, kekuasaan laut suatu wilayah hanya diakui selebar tiga mil yang diukur dari masing-masing pulau. Hukum Laut Internasional belum secara jelas mengakui laut dalam dan gugus kepulauan yang ribuan jumlahnya sebagai kesatuan wilayah.

Sebelum Deklarasi Djuanda, wilayah Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnatie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan warisan kolonial ini, pulau-pulau di Indonesia dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Hal ini berarti kapal asing bebas berlayar di atas perairan laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut. Dengan kata lain, kedaulatan setiap pulau di Indonesia dalam kondisi rentan. 

Prof. DR. Awaloedin Djamin, MPA, penyunting dan salah satu penulis buku Ir. H. Djuanda: Negarawan, Administrator, dan Teknokrat Utama (2001), menjelaskan bahwa dengan adanya undang-undang kolonial tersebut, Indonesia secara politik dan ekonomi sangat dirugikan. Tanah dan air Republik Indonesia belum terwujud dalam satu kesatuan yang utuh.

Langkah pertama memperjuangkan cita-cita kesatuan wilayah adalah dengan membawanya ke Konvensi PBB ke-1 tentang Hukum Laut di Jenewa pada Februari 1958. Dan seperti sudah diduga sebelumnya, karena oposisi yang terlalu keras, akhirnya Indonesia menarik kembali usulnya sebelum ditolak secara resmi oleh dunia internasional.

“Memang lebih bijaksana untuk mematangkannya terlebih dulu sebelum mengajukannya dalam suasana konferensi internasional, yang bila suasananya belum matang malahan dapat menolaknya, yang berarti dapat mematikan konsep itu sendiri,” tambah Awaloedin.

Menjelang Konvensi PBB ke-2 tentang Hukum Laut di Jenewa pada April 1960, pemerintah Indonesia kemudian meresmikan isi Deklarasi Djuanda melalui Undang-Undang/Prp No. 4/1960 pada Februari. Kenyataannya, konferensi tersebut tidak lagi membicarakan masalah negara kepulauan, namun memusatkan perhatian kepada batas terluar dari laut wilayah (3 mil, 12 mil, atau 6 mil laut wilayah ditambah 6 mil zona perikanan), yang ternyata kemudian juga gagal mencapai kesepakatan.

Sementara di dalam negeri, pemerintah Indonesia tetap menjalankan Undang-Undang/Prp No. 4/1960, meski mendapat banyak protes dan kecaman dari dunia maritim internasional. Implementasi undang-undang tersebut adalah menetapkan Peraturan Pemerintah No. 8/1962 tanggal 25 Juli 1982 untuk mengatur lalu lintas laut damai bagi kendaraan air asing yang melalui perairan Nusantara Indonesia, dan Keppres No. 103/1963 yang menetapkan seluruh perairan Nusantara Indonesia sebagai satu lingkungan laut yang berada di bawah pengamanan Angkatan Laut Republik Indonesia.

Sepuluh tahun setelah Deklarasi Djuanda diumumkan, timbul berbagai pemikiran di dunia internasional untuk membahas kembali masalah kelautan. Hal ini, menurut Awaloedin Djamin, dilandasi beberapa hal: 

(1) Makin banyaknya negara-negara di Asia dan Afrika yang baru merdeka, yang merasa tidak pernah ikut membuat Hukum Laut Internasional pada masa lalu, dan karena itu ingin lebih berperan dalam menentukan dan membela kepentingannya.

(2) Terjadinya kecelakaan kapal tangki Torrey Canyon pada 1967 di Selat Dover yang menimbulkan polusi laut di pantai Inggris dan Prancis, yang kemudian menimbulkan permasalahan hukum perlindungan lingkungan laut.

(3) Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan yang memungkinkan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam di dasar laut dalam, yang terletak jauh dari wilayah nasional, sehingga menimbulkan masalah kepemilikan atas kekayaan alam tersebut. 

(4) Makin maraknya eksploitasi perikanan di laut oleh negara-negara penangkap ikan jarak jauh yang tidak membawa keuntungan apa pun bagi negara-negara pantai yang lebih dekat dengan sumber perikanan tersebut.

(5) Semakin menghebatnya Perang Dingin yang memerlukan mobilisasi angkatan laut masing-masing melalui selat-selat dan laut-laut yang sangat strategis, terutama di Asia Tenggara.

Poin-poin itulah yang mendorong dunia internasional untuk mengadakan Konvensi Hukum Laut Internasional PBB ke-3 yang berlangsung dari 1973 sampai 1982. Hal ini tentu saja menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk kembali memperjuangkan isi Deklarasi Djuanda agar diakui dunia. 

Kali ini langkah Indonesia semakin kuat dengan didahului serangkaian upaya penggalangan dukungan. Forum-forum resmi yang bersifat akademis digelar di tingkat internasional, terutama dukungan dari sesama negara kepulauan seperti Filipina, Fiji, dan Mauritius, negara-negara Asia-Afrika (khususnya yang tergabung dalam Asian African Legal Consultative Committee).

Selain itu, Indonesia juga mengembangkan kerja sama dengan beberapa negara pantai di Asia-Afrika dan Amerika Latin. Negara-negara maju yang memiliki garis pantai panjang seperti Kanada, Australia, Selandia baru, Norwegia, dan Eslandia, juga dijajaki.

Pada kesempatan ketiga inilah Indonesia tidak hanya memperjuangkan konsep kesatuan wilayah darat dan laut, tapi juga udara. Ini berarti seluruh kekayaan alam yang terkandung dalam bumi Indonesia. 

Unsur-unsur kesatuan kewilayahan ini yang kemudian diakui dalam Konvensi Hukum Laut PBB di Montego Bay, Jamaika, pada 10 Desember 1982. Tiga tahun kemudian, 31 Desember 1985, Indonesia meratifikasi Konvensi melalui Undang-Undang No. 17/1985, yang berlaku secara internasional sejak 16 November 1994.

Dalam Hukum Perikanan Nasional dan Internasional (2010), Marhaeni Ria Siombo menjelaskan, negara kepulauan yang dimaksud dalam Konvensi Hukum Laut tersebut adalah negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih gugusan kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.

“Berdasarkan Konvensi Hukum Laut tersebut Indonesia diakui sebagai Negara Kepulauan (Archipelago State). Untuk itu pengembangan potensi budaya, sosial, politik, dan hukum ke-Indonesia-an dapat membangun ciri khas kelautan sebagai identitas bangsa Indonesia,” tulis Mhd Halkis dalam Konstelasi Politik Indonesia: Pancasila dan Analisis Fenomenologi Hermeneutika (2017) terkait keberhasilan Indonesia di Montego Bay. 

Dengan diakuinya Indonesia sebagai negara kepulauan, maka apa yang dicita-citakan puluhan tahun sebelumnya dalam Deklarasi Djuanda, boleh dibilang telah tunai. Hari ini, cita-cita tersebut dipertaruhkan lewat visi "Indonesia sebagai poros maritim dunia" besutan Presiden Joko Widodo. (tirto.id - irf/ivn)

Tayang pertamakali di tirto.id
tanggal 13 Desember 2017

10 December 2017

S.M. Ardan, Sastrawan Pemotret Kehidupan Orang Betawi


Beberapa hari sebelum wafat, sastrawan S.M. Ardan ditabrak sepeda motor yang pelakunya kemudian melarikan diri. Peristiwa itu terjadi di jalan dekat rumahnya, di Rawabelong, Sukabumi Ilir, Jakarta. Kepalanya mengalami pendarahan, sementara kaki kanannya patah. Setelah beberapa hari koma, Ardan akhirnya meninggal dunia pada 26 November 2006. 

Penulis yang mengidentifikasi dirinya sebagai orang Betawi itu lahir di Medan, 2 Februari 1932. Nama aslinya Sahmardan, sebagian sumber menulisnya Syahmardan. Menurut Ajip Rosidi dalam catatan pendeknya bertajuk "Ardan Orang Betawi" dan "Ardan Pembina Seni Betawi", ibunya berasal dari Cigombong, Bogor, sementara ayahnya orang Betawi. 

Ketika usianya baru menginjak enam bulan, Ardan dibawa pulang ke Jakarta. Di kota inilah ia melanjutkan hidup: bersekolah, bekerja, dan berkeluarga sampai akhir hayatnya.

“Dia sendiri lebih merasa sebagai orang Betawi daripada sebagai orang Sunda, walau di lingkungan keluarganya waktu masih tinggal bersama ibu dan abangnya hidup di Gang Ajudan (kemudian jalan Kramat II akhirnya jadi Jalan Kembang III), Kwitang, dia kadang-kadang berbahasa Sunda,” tulis Ajip.

Semasa sekolah di Taman Madya Siswa, Jakarta—seperti kebanyakan pelajar pada masa itu, Ardan pun banyak terlibat dalam berbagai kegiatan kebudayaan. Maka, tak heran jika kemudian ia sudah memublikasikan sejumlah puisinya ketika masih duduk di bangku sekolah.

Setelah lulus, menurut Maman S. Mahayana dalam buku Kitab Kritik Sastra, Ardan memilih dunia menulis dan profesi kepengarangan sebagai jalan hidup. Karya-karyanya, baik puisi, cerpen, maupun esai mulai banyak menghiasi rubrik kesusastraan berbagai media massa.

Pada dekade 1950-an, ketika penerbitan majalah dan surat kabar begitu semarak, ia bersama Ajip Rosidi dan Sukanto S.A menjadi redaktur majalah Arus (1954). Kemudian, pada 1955-1956, bersama Sobron Aidit ia ikut menangani Genta, rubrik kebudayaan mingguan Merdeka

Lalu, pada 1958 Ardan menerbitkan majalah Trio bersama Trisnojuwono. Memasuki zaman Orde Baru, tepatnya tahun 1966, Ardan ikut pula mendirikan majalah Abad Muslimin. Ketika perfilman Indonesia mencapai masa keemasannya, ia menerbitkan majalah Citra Film (1981-1982). Ardan juga pernah menjadi pemimpin grup drama “Kuncup Harapan” di Jakarta pada 1963-1965. 

Karyanya yang paling menonjol dan paling diingat terkait dengan kecintaannya kepada Betawi dan masyarakat Jakarta adalah Terang Bulan Terang di Kali. Kumpulan cerpen yang diterbitkan ulang oleh Pustaka Jaya (1974) dan Masup Jakarta (2007) ini berhasil memotret keseharian masyarakat Betawi yang hidup di ibukota lengkap dengan segala persoalannya.

H.B. Jassin, seperti dikutip di laman Ensiklopedia Sastra Indonesia mengungkapkan, “Meskipun nama kumpulan itu diambil dari satu pantun romantis, kehidupan yang dilukiskan adalah kenyataan sehari-hari yang keras, avontur manusia tak punya, yang didekati dengan pengertian yang mesra meresap dan penyerahan yang menyatu. Pemakaian dialek Jakarta dalam kumpulan cerpen itu menciptakan suasana yang wajar dan tidak terlalu mengganggu karena disertai sekadar keterangan dalam bahasa Indonesia.”


Sementara itu, Ajip Rosidi, meski pendapatnya sama, namun secara teknis menilai bahwa Terang Bulan Terang di Kali bukanlah kumpulan cerpen, melainkan kumpulan sketsa. Menurut Ajip, istilah “cerita” kurang tepat, karena—kecuali dalam satu-dua judul—tidak ada cerita sama sekali.

“Ardan tidak menjalin ‘cerita’, dia hanya membuat potret suasana saja,” ujarnya.

Ya, dalam Terang Bulan Terang di Kali—seperti ditulis Ajip, Ardan memang banyak melukiskan suasana kehidupan masyarakat bawah ibu kota: tukang becak, gelandangan, buruh kecil di percetakan, penari doger, dan semacamnya. Yang dilukiskan juga pengalaman sehari-hari seperti membawa anak ke rumah sakit, gelandangan yang mencari emper toko untuk tidur, penganggur melamar kerja, atau gadis yang uang gajinya dicopet waktu naik trem.

Kisah-kisah ini ia ambil dari lingkungan sehari-harinya. Ketika tinggal di Jalan Ajudan, Kwitang, rumah Ardan terletak hampir di ujung barat jalan, berbatasan dengan kali Ciliwung. Rumahnya berdempetan dengan rumah-rumah lain yang secara sepintas saja kelihatan bahwa mereka tidak termasuk orang berada. Ketika kecil, belum banyak pendatang yang tinggal di sekitarnya, sehingga lingkungan itu relatif merupakan lingkungan masyarakat Betawi.


Dengan menggunakan dialek Betawi yang kental, dalam kumpulan cerpennya itu, Ardan membingkai cerita yang sederhana untuk melukiskan masyarakat yang dikenalnya dengan penuh kecintaan. Hal ini berlanjut ketika ia menikah. Ardan dan istrinya sempat tinggal di Rawamangun, tetapi kemudian pindah dan menetap di Rawabelong, Sukabumi Ilir. Meski di Rawabelong kemudian mulai banyak pendatang, suasana masyarakat Betawi kelas bawah masih terasa kental. 

“Ardan seakan tidak mau keluar dari kepompongnya: lingkungan masyarakat Betawi. Mungkin dia tidak betah lama tinggal di Rawamangun juga karena di sana suasana Betawinya sudah pudar,” tambah Ajip.

Sementara menurut Boejoeng Saleh (mantan redaktur majalah Kebudayaan Indonesia), Ardan adalah seorang penulis insider. Ia berakar pada masyarakat Jakarta, khususnya Kwitang tempat ia bertempat tinggal. Seperti menggunakan kamera berlensa tajam, Ardan tidak hanya menangkap hal-hal yang eksotis dan romantis pada kehidupan rakyat Jakarta, tetapi juga realitas pahitnya.

“Senda gurau dan humor adalah senjata rakyat. Di dalam realitas hidup yang penuh dengan penderitaan dan kegetiran, rakyat tidak tenggelam ke dalam pesimisme ataupun spekulasi filsafat yang bersifat absurd. Mereka tetap optimis sekalipun tidak menemukan jalan keluar,” tambahnya.

Kiprahnya sebagai sastrawan dimulai lewat penulisan puisi. Dua puisinya yang berjudul "Dengan Tengkorak" dan "Skets" pertama kali dimuat di majalah Pujangga Baru, No. 4, Oktober 1950. Setelah puisinya banyak dimuat berbagai majalah, Ardan kemudian mulai menulis cerita pendek. Cerpen awalnya yang berjudul "Adik, Tetangga, dan Asni" dimuat di majalah Nasional, No. 49, Th. III, 1952. 

Beberapa media yang memuat buah karya S.M. Ardan waktu itu, di antaranya majalah Pujangga BaruSiasatKisahZenithDuta SuasanaMimbar IndonesiaMerdeka, dan Djaja. Total, cerpen Ardan yang tercecer di berbagai media massa itu berjumlah sekitar 40-an cerpen. (Maman S. Mahayana, Kitab Kritik Sastra)
Selain aktif di berbagai media massa dan menulis karya sastra, Ardan juga dikenal sebagai tokoh Betawi yang peduli dengan kesenian tradisionalnya. Kebangkitan lenong, topeng Betawi, dll, tidak lepas dari perannya. 

“Sejak tahun 1969, ia aktif membina kesenian Betawi, khususnya Lenong. Dari sana pula, ia ‘terpaksa’ menulis sejumlah naskah lenong. Sayangnya, naskah-naskah lenong yang dihasilkannya masih tercecer dan belum dipublikasikan dalam bentuk buku,” tulis Maman S. Mahayana.

Sejak tahun 1985, Ardan tercatat sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta. Ketika usianya memasuki kepala tujuh, selain mengurus pekerjaan rutinnya di Pusat Perfilman Usmar Ismail, ia juga mencurahkan sebagian waktunya dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh Lembaga Kebudayaan Betawi.


Semasa hidupnya, Ardan melahirkan beberapa karya yang terdiri dari kumpulan cerpen: "Terang Bulan Terang di Kali" (1955) dan "Cerita dari Sekeliling Jakarta" (2006). Juga kumpulan sajak Ketemu di Djalan (bersama Ajip Rosidi dan Sobron Aidit, 1956), naskah sandiwara tiga babak Nyai Dasima (1965), dan skenario film Di Balik Dinding (1956), Si Pitung (1970), Si Gondrong (1971), Pendekar Sumur Tujuh (1971), Berandal-berandal Metropolitan (1971), Pembalasan Si Pitung (1977), Rahasia Wisma Mega (1978).

Ketika seorang pengendara motor menghantamnya di jalan, usia Ardan belum genap 75 tahun. Di Rawabelong, Sukabumi Ilir, tempat tinggalnya di lingkungan masyarakat Betawi kelas bawah yang dicintainya, ia terkapar menuju tempat peristirahatannya yang terakhir. 

Ardan yang ditinggal kabur oleh penabraknya, seperti tokoh-tokohnya yang ia ceritakan dalam Terang Bulan Terang di Kali, harus menghadapi kenyataan yang getir. Atau, seperti frasa dari Boejoeng Saleh, “realitas yang sepahit-pahitnya.” (tirto.id – irf/msh)

27 November 2017

Sejarah Modal di Balik Kemolekan Pariwisata Bali


“Dumun nike tanah tiange gus, mangkin sampun beli bule. Mangkin kanggeang tiang ngerereh maman sampi driki. (Dulu itu tanah saya, tapi sekarang sudah dibeli oleh bule. Sekarang saya hanya di tanah ini mencari rumput untuk makan sapi),” ujar Ketut Pugeg (65) saat berhenti di sebuah lahan penuh rumput di wilayah Kerobokan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, seperti ditulis I Ngurah Suryawan dalam buku Bali Antah Berantah: Refleksi di Dunia Hampa Makna Pariwisata.

Beberapa saat sebelumnya, sebuah mobil BMW biru melaju tepat di belakangnya yang membuat ia bergerak ke tepi jalan. Seorang lelaki bule berkacamata hitam membuka kaca pintu, lalu memandangi Ketut Pugeg dari ujung kaki hingga ke ujung rambut. Tak ada senyum, keduanya hanya saling pandang. Lalu mobil itu pergi meninggalkannya, ia sendiri melanjutkan perjalanan sebelum akhirnya berhenti di lahan penuh rumput itu.

Tanah itu miliknya yang tersisa. Letaknya di tepi jalan, kiri kanan telah dipenuhi villa-villa mewah. Para makelar dan beberapa saudaranya membujuk ia untuk menjual tanah tersebut kepada investor. Sempat juga terbetik dalam hatinya untuk menuruti bujukan tersebut, namun hal itu kemudian ia urungkan setelah beberapa kali mengalami mimpi buruk. 

Dalam mimpinya, Ketut Pugeg dimarahi para leluhurnya karena ia hendak menjual tanah warisan itu. Pasca kejadian tersebut, ia pun bertekad untuk tidak menjual tanah itu sampai akhir hayatnya.

Ketut Pugeg hanyalah satu contoh kecil tentang semakin terdesaknya warga tempatan di Bali, khususnya di Badung, oleh serbuan investor yang tergiur bisnis pariwisata. I Made Sujaya dalam buku Sepotong Nurani Kuta: Catatan Seputar Sikap Warga Kuta dalam Tragedi 12 Oktober 2002 menulis bahwa pada 1986, jalan-jalan di Kuta dan Kerobokan masih seperti kubangan kerbau. Malam hari jalan-jalan itu tanpa penerangan, gelap gulita berkuasa. Pantai Kuta, Seminyak, dan Loloan Yeh Po sangat kotor. Perahu-perahu nelayan berjejer menunggu melaut.

Industri pariwisata mulai menguasai Kuta ketika dokter Made Mandara membenahi rumahnya untuk dijadikan penginapan temannya yang seorang bule. Hal ini kemudian diikuti warga lain yang ikut membenahi rumahnya untuk dijadikan penginapan murah. Pembangunan infrastruktur kemudian mengikuti perubahan ini, nyaris setiap depa tanah di Kuta dijadikan objek pariwisata. Pasca kerusuhan reformasi 1998, daerah di sekitar Kuta diincar oleh para investor baru yang menganggap wilayah tersebut aman untuk berinvestasi.

“Petani-petani Desa Kerobokan menjadi gagap, seolah tak percaya ketika para tukang kapling tanah membujuk mereka menjual tanah dengan harga yang menggiurkan ketika itu. Tak kuat menahan bayangan rupiah yang melimpah, tanah leluhur di Kerobokan perlahan-lahan namun pasti ludes terjual,” tulis Suryawan lagi.

Situasi ini bukannya tanpa antisipasi, sejak geliat pariwisata mulai menerjang, desa pakraman (desa adat)—lanjut Suryawan, melarang warganya menjual tanah, namun investor menyiasatinya dengan berbagai cara, di antaranya dengan meminjam KTP (Karta Tanda Penduduk) krama desa pakraman, mengawini gadis Bali, atau “kerjasama” dengan krama desa pakraman untuk berusaha.

Hal seperti inilah yang kemudian menyeret Bali pada ganasnya penetrasi global melalui investasi pariwisata, yang kemudian menjadi pemantik perubahan sosial budaya paling nyata dalam keseharian.

“Kisah tersebut, paling tidak, bisa merefleksikan bagaimana manusia Bali memang benar-benar berada di wilayah frontier (garis depan). Ruang-ruang di garis depan bertemunya kekuatan-kekuatan global dalam rangka mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada di Bali,” tambahnya.

Abad-abad Muram dan Surga Buatan

Wajah Bali yang bergelimang citra keindahan eksotis sejatinya dilatari abad-abad yang muram. Di permulaan abad ke-20, Bali dilumuri perang saudara, pemberontakan, dan perebutan kekuasaan raja-raja. 

Selain itu, Geoffrey Robinson dalam Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik menjelaskan bahwa dari abad ke-17 sampai ke-19 ekspor utama Bali adalah budak. Sebanyak 2.000 budak diekspor per tahun selama abad ke-17. Budak-budak tersebut dikirim ke Batavia, Hindia Barat, Afrika Selatan, dan ke penjuru pulau-pulau di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Populasi budak di Batavia pada pertengahan abad ke-17 kira-kira 18.000 jiwa, sekitar setengahnya adalah orang Bali. Michel Picard dalam Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata menambahkan bahwa perdagangan budak adalah kegiatan utama pulau Bali, dirangsang oleh kebutuhan tenaga kerja VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang bermarkas di Batavia. 

Selebihnya, Bali sejak dulu dikenal bangsa-bangsa Eropa sebagai pulau dengan penduduk yang tangguh, yang dapat ngamuk secara tak terduga. Hal ini diperkuat olehnya dengan mengutip dari Adrian Vickers dalam Bali: A Paradise Created, “bahwa orang-orang Bali sejak lama terkenal penjarah kapal-kapal karam, dan raja-raja mereka dianggap tak lebih daripada penguasa lalim merangkap pedagang budak, kejam, dan pengumbar nafsu, yang memaksakan para jandanya mengorbankan diri dengan terjun ke dalam api.”

Setelah VOC dibubarkan, Bali yang sebelumnya kurang menarik Belanda dan bangsa Eropa lainnya karena tidak ada rempah-rempah, maupun lahan pertanian yang cocok untuk usaha perkebunan, mulai diperhatikan Belanda. Hal ini terkait dengan perang Napoleon di Eropa yang efeknya sampai ke Nusantara dengan semakin tajamnya ketegangan antara Belanda (taklukan Perancis) dengan Inggris, terutama di pulau Jawa. Dan karena secara geografis Bali dekat dengan Jawa, maka pulau ini kembali mendapat perhatian.

Ketika hubungan diplomatis dengan raja-raja Bali gagal, Belanda akhirnya melakukan intervensi militer. Tak kurang dari tujuh kali ekspedisi militer dilakukan oleh Belanda untuk menaklukkan Bali secara keseluruhan. Pembantaian terjadi di mana-mana, yang di seselanya dihiasi kisah heroik perang puputan.

Rezim kolonial Belanda yang melakukan penaklukan secara brutal dengan kekerasaan dan penghilangan nyawa terhadap manusia Bali, direspon oleh dunia internasional dengan timbulnya kegemparan. Hal ini kemudian menjadi sumber rasa malu pemerintah kolonial Belanda.

Untuk memulihkan pandangan buruk tersebut, pemerintah kolonial Belanda kemudian melakukan Baliseering atau pem-Bali-an yang dimulai sejak tahun 1920-an dengan “mengunci” citra Bali sebagai tanah tradisi yang mooi

“Selanjutnya agar kekejaman intervensinya dilupakan orang, mereka berusaha menampilkan suatu gambaran positif dari kebijaksanaan kolonialnya di Bali, suatu pencitraan yang didasarkan pada pelestarian budaya Bali berikut promosinya melalui pariwisata,” tulis Michel Picard.

Kebijakan kultural ini menghasilkan ditampilkannya kembali gaya busana, bentuk arsitektural, tarian, dan tata krama berbicara tradisional. Orang Bali harus berbusana Bali. Teknik-teknik konstruksi modern, tak peduli betapapun praktis atau menariknya bagi para pemakainya, ditetapkan sebagai buruk secara estetis, dan karena itu dihindari. Bahasa Bali digalakkan, dan pengawasan ketat terhadap kode penanda statusnya dikuatkan sebagai hukum adat.

Pada masa itu pemakaian celana panjang oleh laki-laki atau kebaya (baju Jawa) oleh perempuan menjadi tindakan subversif. Penggunaan tingkatan bahasa Bali yang tidak tepat, atau penggunaan bahasa Melayu, dipandang oleh otoritas pemerintah sebagai tindakan perlawanan yang kurang ajar, dan bisa dihukum di Raad van Kerta (lembaga peradilan adat ciptaan pemerintah kolonial yang pernah mengatur sistem kehidupan sosial-adat Bali). (Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik, 2006, hal 75)

Di periode yang sama ketika diberlakukannya Baliseering, perusahaan pelayaran Belanda yaitu KPM (Koninklijk Paketvarrt Maattschapij), mempropagandakan Bali sebagai daerah tujuan wisata. Sementara yang dianggap sebagai wisatawan pertama di Bali adalah Heer H. van Kol (anggota parlemen Belanda) yang mengunjungi Bali pada 4 Juli 1902, jauh sebelum Baliseering.

Dalam catatan I Gde Pitana yang disiarkan oleh Bali Post tahun 1999, setelah mengunjungi Bali, “wisatawan pertama” ini kemudian menulis buku Uit Onze Kolonien (Dari Koloni Kami) yang terbit di Leiden pada 1902. Dalam buku setebal 826 halaman tersebut, 123 halaman menceritakan tentang Bali. 

Lebih lanjut Michel Picard menjelaskan bahwa citra keseimbangan dan harmoni yang diciptakan oleh serangkaian relasi kuasa kolonial, yang melibatkan produksi bahasa, tingkah laku, dan citra yang tanpa sadar menjadi cikal bakal terbentuknya Bali hingga kini. Pulau ini seolah sekerat tanah surga yang siap dikonsumsi kapan saja oleh bisnis pariwisata.
Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa
Bali kontemporer, pasca dihantam bom dua kali pada 2002 dan 2005, pariwisatanya sempat terguncang dahsyat. Pemerintah langsung mengambil langkah-langkah pemulihan dengan berbagai program dan slogan. Kementerian Kebudayan dan Pariwisata meluncurkan program pemulihan pariwisata Bali dengan tajuk Seribu Langkah Menuju Bali. 

“Mari kita kunjungi lagi Bali, agar Pulau Dewata ini kembali berdenyut,” kata Menteri Budaya dan pariwisata saat itu, I Gede Ardika. 

Sementara Kementerian BUMN (Negara Badan Usaha Milik Negara) menggagas program bernama Bali for the World yang ditandai dengan kegiatan perayaan malam tahun baru 2003 di pantai Legian yang dihadiri Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Dalam acara tersebut dicanangkan juga Tahun Kedamaian dan Tahun Antikekerasan.

Banyak pihak, terutama masyarakat Bali yang melontarkan kritik terhadap program-program tersebut. Dalam Bali Menuju Jagaditha: Aneka Perspektif, Darma Putra memaparkan bahwa program pemulihan pariwisata Bali for the World yang menghabiskan dana milyaran rupiah itu menjadi pentas bagaimana kuasa pusat pada Bali, termasuk menentukan program pemulihan yang dirancang sangat sentralistik.

Lebih lanjut I Ngurah Suryawan, masih dalam Bali Antah Berantah: Refleksi di Dunia Hampa Makna Pariwisata menjelaskan bahwa jargon citra “Adiluhung Budaya Bali” seolah menegaskan budaya Bali itu harmoni, cinta damai, yang siap dikonsumsi pariwisata sekaligus sebagai pembius simpati dunia.


“Padahal di balik upaya pengembalian citra tersebut, alam bawah sadar manusia Bali dilupakan. Bagaimana sejarah kekerasan dilenyapkan dari ingatan dan diganti dengan ingatan baru bernama pariwisata. Representasi dan relasi kuasa menimbulkan apa yang pantas diingat dan dilupakan. Keterpurukan pasca Bom Bali 2002 dan 2005 mendapatkan perhatian luar biasa karena ia menyentuh denyut jantung Pulau Bali. Pemerintah Bali dan Indonesia memelihara citra pariwisata Bali tersebut. mengembalikan citra Bali seolah harga mati,” tambahnya.

Kiwari, isu yang tengah menghangat di Pulau Dewata adalah rencana reklamasi teluk Benoa yang ditentang masyarakat. Tokoh adat, nelayan, petani, seniman, dan elemen masyarakat lainnya lantang menyuarakan penolakan. 

Lagu perlawanan didendangkan dan resonansinya sampai juga ke beberapa sudut Nusantara:

“Bangun Bali subsidi petani/ Kita semua makan nasi/ Bukannya butuh reklamasi/ Keputusan bau konspirasi/ Penguasa pengusaha bagi komisi/ Konservasi dikhianati.”

Ada tarik-menarik kepentingan antara investor, pemerintah, dan masyarakat. Ketiga elemen ini, dalam fragmen-fragmen keseharian manusia Bali yang berelasi dengan dunia global bernama pariwisata yang mengepung Bali dari hulu ke hilir, oleh I Ngurah Suryawan diibaratkan sebagai lukisan Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa -- judul novel karya YB. Mangunwijaya. 

“Perumpamaan Ikan Hiu menggambarkan kekuatan kapital (kuasa modal). Ikan Ido mencitrakan ketamakan penguasa lokal (negara) yang dengan semena-mena memakan Ikan Homa, yang tidak lain adalah rakyatnya sendiri. Pada akhirnya, Ikan Ido juga termakan oleh keganasan Ikan Hiu,” tulisnya.

Inilah kemuraman yang diam-diam terpapar di balik kemolekan Bali. (tirto.id – irf/zen) 

Tayang pertama kali  di tirto.id 
tanggal 18 November 2017

12 November 2017

Melayu dalam Warisan Raja Ali Haji


“Apa memang karena kuping Melayu/ suka yang sendu-sendu/ lagu cinta melulu/ Kita memang benar-benar Melayu/ suka mendayu-dayu...”

Lirik lagu tersebut, yang didendangkan kelompok musik tempatan Jakarta, mungkin menggambarkan Melayu bagi generasi belakangan adalah kebudayaan yang terpencil di sempadan zaman. Ia kerap dipersepsikan sebagai irama semenanjung belaka. Jelas keliru dan menyesatkan.

Pada Oktober yang didapuk sebagai bulan sumpah bahasa dan sumpah yang lainnya, tak silap kiranya apabila menengok lagi kisah Raja Ali Haji—seorang tokoh bahasa Melayu dari pulau Penyengat di kepulauan Riau, sebagai pengingat bahwa bahasa Melayu sebagai lingua franca atau bahasa pergaulan yang sudah berabad-abad hadir di Nusantara, adalah tulang punggung bahasa Indonesia.

“Sastra melayu pada masa silam dihasilkan dan digunakan (dibaca, dibacakan dan terutama didengarkan) di seluruh Kepulauan Nusantara. Tempat-tempat hidupnya sastra itu yang disebut-sebut dalam buku ini meliputi Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumbawa, malah juga Bali. Teks-teks yang dibahas berlalu-lalang dari Aceh ke Maluku. Sastra Melayu selama kurun waktu antara abad ke-14 sampai ke-19, mempersatukan berbagai suku Indonesia, yang waktu itu terpecah-pecah atas berbagai negeri dan kerajaan, sekalipun negeri dan kerajaan itu kadang berperang satu sama lain,” tulis Henri Chambert-Loir dalam Iskandar Zulkarnain, Dewa Mendu, Muhammad Bakir, dan Kawan-kawan: Limabelas Karangan tentang Sastra Indonesia Lama.

Awal abad ke-19, tepatnya tahun 1809, Raja Ali Haji lahir di pulau Penyengat dari perkawinan antara putri Selangor bernama Hamidah dan Raja Ahmad anak Raja Haji (yang gugur dalam peperangan melawan Belanda tahun 1784). Seperti dijelaskan di buku Dalam Berkekalan Persahabatan: Surat-surat Raja Ali Haji kepada Von de Wall yang disusun oleh Jan van der Putten & Al Azhar, tahun lahir ini diperoleh dari salah satu karyanya, Tuhfat al-Nafis yang salah satu bagiannya menjelaskan bahwa Raja Ali menunaikan ibadah haji saat berusia 19 tahun pada 1828. Sepulang dari tanah suci inilah kemudian nama Haji dilekatkan di belakang namanya menjadi Raja Ali Haji.

Karya pertama Raja Ali Haji di bidang linguistik yaitu Bustan al-Katibin lis-Subyan al-Muta’allimin atau lebih dikenal dengan Bustanul Katibin saja. Kitab kompilasi juru tulis bagi kanak-kanak ini secara umum mendeskripsikan tata cara penulisan bahasa Melayu yang sesuai dengan ejaan Arab-Melayu. Hasan Junus dalam Raja Ali Haji: Budayawan di Gerbang Abad XX menerangkan bahwa buku ini pertama kali dicetak pada tahun 1875 dengan teknik litografi (percetakan batu) dan dicetak ulang di Singapura. Bustanul Katibin pernah dialihbahasakan ke dalam bahasa Belanda oleh Ph. S. van Ronkel dan dimuat dalam sebuah jurnal Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap XLIV/1909.

10 pasal utama dalam buku ini dimulai dengan mukadimah atau pendahuluan yang menjelaskan tentang kaitan antar bahasa dengan adat, adab, dan budi pekerti. Untuk memahami buku ini, Raja Ali Haji mensyaratkan kepada pembacanya lima perkara, yaitu al-himmah (kesungguhan), al-mudarasah(analisa), al-muhafazah (penghafalan), al-mudzakarah (kajian lebih lanjut), dan al-muthala’ah (kajian lebih mendalam). Lima syarat ini kiranya menunjukkan semangat keilmuan dan kerendahhatian Raja Ali Haji terhadap karya yang dibuatnya.

Buku selanjutnya yang ditulis oleh Raja Ali Haji di bidang linguistik yaitu Kitab Pengetahuan Bahasa yang merupakan kamus bahasa Melayu, yang mula-mula terbit pada tahun 1929 di Singapura. Dalam Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji sebagai Bapak Bahasa Indonesia, Hasan Junus menjelaskan bahwa penulisan kamus ini memakai teknik persajakan (menjelaskan arti sebuah lema, dengan cara mengambil sebuah bait syair atau pantun yang mengandung lema yang dimaksud kemudian dijelaskan, sehingga penjelasan sesuai dengan konteks kalimat bait itu) dan teknik kaufah, yakni melihat entri kamus dari persamaan suku kata pertama dan terakhir. 

Sebagai contoh penulisan lema dan artinya—seperti dikutip laman rajaalihaji.com, Hasan Junus mengambil kata “Arung/Harung” yang mempunyai dua makna. Pertama, arung: berjalan di dalam air, dalamnya sekurang-kurangnya lepas bukulali/matakaki. Dan kedua, makna harung itu datang kepada pinggang orang yang ramping cantik seperti kata syair Melayu disindirkan kepada perempuan yang cantik dengan katanya:

“dadanya bidang pinggangnya harung – menentang wajahnya berahi terkurung
tunduk menyeling pandangan serong – manisnya seperti sakar sekarung”

Sementara dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), sebagai perbandingan gaya penulisan kamus, kata “Arung” bermakna sebagai berikut: 

arung, mengarung: berjalan menyeberang (sungai, hutan, dsb)
mengarungi: berjalan menyeberangi
arung-arungan: bagian sungai yang dangkal tempat orang menyeberang.

Selain kedua karya di atas, Raja Ali Haji juga menulis Tuhfat al-Nafis, Gurindam 12, dan beberapa syair, di antaranya Syair Sinar Gemala Mestika Alam dan Syair Nasehat Kepada Anak.

Gurindam 12 yang merupakan karyanya yang paling populer ditulis Raja Ali Haji di Pulau Penyengat, Riau, pada 1847 dalam usia 38 tahun. Karya ini terdiri dari 12 pasal dan dikategorikan sebagai Syair al-Irsyadi atau puisi didaktik, karena berisikan nasihat dan petunjuk hidup yang diridai Allah.     

Secara penulisan, seperti dijelaskan dalam pengantar buku Gurindam Dua Belas Raja Ali Haji yang diterbitkan oleh Kiblat Buku Utama tahun 2012, “Gurindam biasanya terdiri dari sebuah kalimat majemuk yang dibagi menjadi dua baris bersajak. Tiap-tiap baris itu merupakan sebuah kalimat dan hubungan antara kalimat biasanya merupakan hubungan anak kalimat dan induk kalimat. Jumlah suku tiap-tiap baris tidak ditentukan, demikian pula iramanya tidak tetap.”

Sementara Raja Ali Haji menerangkan gurindam sebagai “perkataan yang bersajak pada akhir pasangannya, tetapi sempurna perkataannya dengan satu pasangannya.”

“Jika hendak mengenal orang berbangsa, lihat kepada budi dan bahasa.
Jika hendak mengenal orang yang berbahagia, sangat memeliharakan yang sia-sia.
Jika hendak mengenal orang mulia, lihatlah kepada kelakuan dia.
Jika hendak mengenal orang yang berilmu, bertanya dan belajar tiadalah jemu.
Jika hendak mengenal orang yang berakal, di dalam dunia mengambil bekal.
Jika hendak mengenal orang yang baik perangai, lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai.”(pasal kelima Gurindam 12)

Penulis Melayu Pasca Tradisi Tanpa Kolofon

Sebelum abad ke sembilanbelas, tradisi tulis Melayu di Riau menafikan para penulis naskah. Beberapa naskah yang berhasil diselamatkan biasanya diistilahkan sebagai “tradisi istana Melayu”. Para penulis hanya bekerja tanpa diketahui identitasnya. Setiap naskah, baik syair, prosa, hikayat, dan puisi dibuat tanpa kolofon. Semua karya tulis dianggap sebagai milik tradisi bukan milik individu. 

Dengan demikian, pencapaian individual seorang penulis tidaklah ikut berperan di dalamnya. Sastra atau tulisan mendasari dan mengajukan kepentingan umum keluarga diraja. Karena itulah tidak ada alasan bagi seorang penulis atau penyalin memperkenalkan diri mereka, termasuk menandai karya itu dengan namanya.

“Dalam tradisi ini karya-karya asli dibuat dan naskah-naskah yang semula ada disalin oleh orang-orang yang dipekerjakan raja dan atau oleh kerabat diraja itu sendiri. Para penulis tidak hanya menghasilkan hikayat dan syair, jenis prosa dan puisi Melayu paling lazim yang menghidangkan berbagai topik sebagai hiburan dan sarana pembelajaran bagi masyarakat. Mereka juga mengurus pembukuan istana dan menulis surat-surat resmi serta maklumat untuk rakyat. Di samping itu, mereka juga menyusun dan menyalin teks-teks agama (dikenal sebagai ‘kitab’) dan kronik-kronik penting tentang keluarga diraja untuk merekam dan mengabsahkan perkembangan dan sejarah kerajaan.” (Dalam Berkekalan Persahabatan, hal. 11)

Memasuki abad ke sembilanbelas, salah satunya berkat dorongan makin tumbuhnya perhatian Belanda terhadap alam Melayu, tradisi ini perlahan mengalami perubahan. Istana tidak lagi memonopoli naskah dan tradisi tulis, namun mulai direcoki pihak kolonial. Orang-orang Eropa, khususnya Belanda, dengan alasan filologis menganggap penting identitas penulis setiap naskah. Mereka berkepentingan untuk mengetahui beberapa hal, seperti bilamana, di mana, dan oleh siapa suatu naskah ditulis atau disalin.

Dalam buku surat-menyurat antara Raja Ali Haji dengan Hermann Von de Wall, hal ini dilakukan karena pejabat pemerintah Belanda di Batavia dan di Den Haag menganggap bahwa pengetahuan yang memadai di bidang bahasa dan tradisi tempatan sangatlah mendesak, pasca mereka berhasil merebut kembali kendali kekuasaan di Nusantara dari Inggris di awal abad ke sembilanbelas.

Di periode perubahan tradisi tulis Melayu inilah Raja Ali Haji lahir dan menulis, hingga karya-karyanya sampai kepada generasi sekarang dengan identitas beliau, tunak diperbanyak dan dipelajari sebagai warisan literasi Melayu yang mustahak dijaga dan dilestarikan.

Persahabatan dengan Hermann Von de Wall

Dari 1857 sampai akhir 1872, Raja Ali Haji melakukan korespondensi dengan Hermann Von de Wall—seorang sarjana kelahiran Jerman, pegawai pemerintah Hindia Belanda yang bertugas menyusun kamus bahasa Melayu-Belanda. Surat-menyurat yang dilakukan selama limabelas tahun ini memberi gambaran keseharian seorang penulis Melayu masyhur dengan hubungannya dengan para pegawai kolonial Belanda. Hal ini barangkali bisa menepis anggapan tradisional masyarakat tentang Raja Ali Haji yang dianggap membenci Belanda.

Sebagai salah satu proyek pemerintah, penyusunan kamus Melayu-Belanda tentu ditopang oleh pendanaan yang cukup. Hal ini karena pada pengerjaannya melibatkan beberapa juru tulis. Terlebih Raja Ali Haji sebagai seorang ahli dan informan dalam penyusunan kamus tersebut, juga mendapat tunjangan.

Meski demikian, pada awalnya hubungan antara keduanya belum didasarkan pada landasan formal, artinya imbalan yang diterima oleh Raja Ali Haji belum berupa uang tunai, melainkan berbentuk hadiah-hadiah yang sifatnya barang seperti sepucuk senapan, buku-buku yang dipesan, dan penjilidan buku dengan kulit yang bagus.

Surat-menyurat yang berlangsung belasan tahun ini kemudian mengikat keduanya dalam persahabatan yang karib. Dalam beberapa suratnya Raja Ali Haji menyampaikan bahwa ia menganggap sarjana Eropa tersebut sebagai seorang saudara yang dapat menyimpan rahasia kehidupan pribadinya.

“Inilah sebenar-benarnya khabar kita. Itupun daripada sangat ikhlasnya serta putih hati kita kepada paduka sahabat kita maka kita terangkan hal kita ini, karena pada perasaan kita yang sahabat kita itu saudaralah kepada kita. Pasti sahabat kita tutup juga mana-mana yang jadi kemaluan atas kita adanya,” tulis Raja Ali Haji. (Surat 22 April 1862, baris 44-49)

Komunikasi dan persahabatan Raja Ali Haji dengan pegawai kolonial dalam upaya menyusun kamus Melayu-Belanda, apalagi kemudian ia dibayar secara profesional, barangkali mengundang antipati dari sebagian masyarakat yang menganggap sikap tersebut sebagai laku kompromi dengan kaum kolonial. Namun, tentu ia juga mempunyai pertimbangan kontekstual di zamannya.     

Di Gurindam 12 pasal ketujuh beliau menulis, “Apabila kurang siasat, itulah tanda pekerjaan hendak sesat”. Barangkali sikap ini adalah salah satu siasat tersebut. (tirto.id - irf/zen)

Tayang pertama kali di tirto.id
tanggal 6 November 2017

08 November 2017

J.E. Tatengkeng, Pramoedya, dan Sastra Bernapas Kristen


Di mata air, di dasar kolam,
Kucari jawab teka-teki alam.
Di kawan awan kian kemari,
Di situ juga jawabnya kucari.
Di warna bunga yang kembang,
Kubaca jawab, penghilang bimbang.
Kepada gunung penjaga waktu,
Kutanya jawab kebenaran tentu.
Pada bintang lahir semula,
Kutangis jawab teka-teki Allah.
Ke dalam hati, jiwa sendiri,
Kuselam jawab! Tiada tercerai.

Begitu tulis Jan Engelberth Tatengkeng pada 1934 yang terangkum dalam buku kumpulan sajak Rindu Dendam.

Judul buku sajak itu barangkali masih lamat-lamat teringat oleh beberapa generasi, sebagai informasi amat pendek di buku-buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia tentang karya penyair kelahiran Sangihe, Sulawesi Utara.

Sepanjang hayatnya, memang Rindu Dendam inilah yang lekat dengan J.E. Tatengkeng. Beberapa puisinya yang lain dimuat di majalah Pujangga Baru dan majalah yang lain. Pada 2016, Rindu Dendam masih diterbitkan oleh Pustaka Jaya, sebagai sebuah ikhtiar untuk tidak cepat melupakan penyair yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Negara Indonesia Timur pada 1949-1950 ini.

J.E. Tatengkeng dilahirkan di Kolongan, Sangihe, pada 19 Oktober 1907. Sejak kecil, ia dididik secara Kristen. Ayahnya seorang guru Injil yang merangkap sebagai kepala sekolah Zending. Saat berumur delapan tahun, ia bersekolah di Zendingsvolkschool atau sekolah rakyat yang dikelola oleh gereja Kristen. Di sekolah inilah bakatnya sebagai pengarang mulai nampak, khususnya mengarang pantun.

Selepas itu, ia melanjutkan ke HIS (Hollands Inlandsche School) Zending di Manganitu. Bakat mengarangnya terus tumbuh karena di sekolah ini terdapat pelajaran berpidato dan mengarang yang diberikan secara teratur dan baik. 

Pada 1925, seperti ditulis Moeljono dalam buku Drs. J.E. Tatengkeng: Karya dan Pengabdiannya, ia melanjutkan sekolah ke Christelijke Middagkweekschool di Bandung, yaitu sekolah guru (Kweekschool) berdasar agama Kristen. 

Setelah selesai di Bandung, ia melanjutkan lagi Christelijke Hervormde Kweekschool Surakarta. Pada 1932, ia menjadi guru bahasa Melayu di Tahuna. Selain mengajar, kegiatannya yang lain adalah memimpin surat kabar pemuda Kristen, Tuwo Kona, yang berarti tumbuh setinggi-tingginya. Ia juga membantu surat kabar Soeara Oemoem (Surabaya), Soeloeh Kaoem Moeda (Tomohon), dan Pemimpin Zaman (Tomohon). Di tahun yang sama, J.E. Tatengkeng menikah.

Setelah menikah, ia kemudian pindah ke Waingapu, Sumba, bekerja pada Gereformeerde Zending, menjadi kepala sekolah dan guru bahasa Melayu pada Zendingstandaardschool yang terdapat di Payeti, Sumba. Selama bekerja di sini, ia sering berkorespondensi dengan Soetan Takdir Alisjahbana dan mengirimkan karya-karyanya ke majalah Pujangga Baru. Waktu tinggal di sinilah Rindu Dendam, karyanya yang paling populer diterbitkan oleh lembaga penerbitan Kristen bernama Djawi di Surakarta.

Kiprahnya di dunia pendidikan terus berlangsung, bahkan ketika Perang Dunia II meletus dan Jepang datang pada awal 1940an. Sambil ikut di badan perjuangan yang bernama Barisan Nasional Indonesia, ia tetap menjalankan pekerjaannya sebagai pendidik. Ketika pemerintahan Indonesia berbentuk federal, J.E. Tatengkeng menjabat sebagai perdana menteri merangkap menteri pengajaran Negara Indonesia Timur.

Didikan Kristen yang amat lekat pada dirinya sedari kecil sampai akhir hayat (6 Maret 1968 di Rumah Sakit Angkatan Darat Pelamonia, Makassar) membuatnya tak bisa lepas dari napas Kristen. Termasuk dalam sajak-sajaknya. Meski beberapa sajaknya dihiasi pertanyaan dan kegelisahan, pada akhirnya ia pasrah menerima kasih Tuhan. 

Untuk menelisik sajak J.E. Tatengkeng, Ajip Rosidi dalam Mengenang Hidup Orang Lain: Sejumlah Obituari sempat membandingkannya dengan karya Sanusi Pane, Madah Kelana.

“Sebagai penyair yang seperti Sanusi Pane tak henti-hentinya mencari kedamaian dan ketenangan, Tatengkeng pun mencoba mencari jawaban atas kegelisahan hatinya itu... Dia tak habis-habisnya bertanya... Tapi kalau Sanusi Pane menemukan kedamaian yang dicarinya itu dalam hatinya sendiri seperti dapat kita ikuti dalam Madah Kelana, maka Tatengkeng menemukannya dalam Tuhan,” tulis Ajip.

“Masuklah, ya, Tuhan dalam hatiku!” tulis si penyair dalam "Panggilan Pagi Minggu." 

Sementara itu, dalam puisi "Akhir Kata", ia menulis:

O, Tuhanku
Biarkan aku menjadi embunmu
Memancarkan terangmu
Sampai aku hilang lenyap olehnya...
Soli Deo Gloria!”

Sebagai penyair angkatan Pujangga Baru yang sajak-sajaknya banyak menyuarakan rohani Kristen, J.E. Tatengkeng relatif tidak terlalu terkenal. Meski demikian, wacana kesusastraan Kristen di Indonesia sebenarnya pernah dicoba dibahas oleh Pramoedya Ananta Toer dalam majalah Star Weekly 7 Januari 1956 dengan judul "Kesusastraan Kristen di Indonesia: Mengajak Mempertimbangkan Suatu 'Persoalan yang Tak Pernah Terdengar di Indonesia'—Untuk kawan Tatengkeng."

Pram menyoroti ihwal fungsi sastra Kristen yang menurutnya semestinya bisa melepaskan diri dari hanya “agama ke pokok pembicaraan dan dari pokok pembicaraan ke agama”, melainkan mesti ditulis individu bermoral Kristen untuk tiap orang, bukan sifatnya tulisan antar kita belaka.

“Kegiatan agama seyogyanya bukanlah hanya menarik pengikut dan beribadah dan memuja hal-hal yang dianggap kudus belaka, tetapi ia harus pula dapat menciptakan koral agama agar kegiatan itu tiada menjadi tandus bagi pergaulan bersama,” tambahnya.

Penulis yang kemudian terkenal dengan roman Tetralogi Pulau Buru itu menyebut sastra Kristen di Indonesia sebagai sesuatu yang masih beku, dan baru sampai pada taraf penyebaran pekabaran Injil saja. Cara seperti ini menurutnya benar-benar tidak memikat mereka yang berada di luar agama Kristen.

Pram lalu memberikan contoh kesusastraan Kristen yang hidup, tak beku, yang berhasil menjadi persoalan kita. Ia menyebut The Matter of The Affair karya Graham Greene dan Cry the Beloved Country buah tangan Alan Paton. Menurutnya, dalam karya Alan Paton, kegalauan dan kebangkrutan orang kulit hitam dalam berhadapan dengan ekspansi orang kulit putih, moral Kristen terdengar nyaring. 

“Ia tak membeku dalam melebarkan pekabaran Injil di dalam romannya ini. Ia memberi iklim moral Kristen ini dalam persoalan yang bergalau. Ia juga berkhotbah di dalam romannya ini, tetapi bukanlah berkhotbah antara kita belaka, tetapi kepada bangsa kulit hitam, bangsa kulit putih dan seluruh dunia Kristen, seluruh umat manusia, untuk ikut memikirkan nasib bangsa kulit hitam yang terusir dari negeri tumpah darahnya sendiri,” tulisnya.

Pada 1935, dalam majalah Pujangga Baru edisi No.1 bulan Juli, J.E. Tatengkeng sejatinya pernah menulis esai dengan judul "Penyelidikan dan Pengakuan". Dalam tulisan tersebut, jika mengacu contoh yang disodorkan Pram, ia menyadari tentang pentingnya referensi pengarang asing dalam proses mengembangkan kesusastraan Indonesia.

“Kesusastraan Indonesia akan tumbuh sebaik-baiknya, kalau ia tidak dipagarkan dalam lingkungan tanah kita saja. Seni, kesusastraan kita, harus mendapat ilham dari seluruh alam. Tidak benar yang pengaruh asing itu melemahkan saja. Kita harus berakar sedalam-dalamnya di tanah kita, tetapi juga kita harus mengembangkan cabang-cabang ke kiri, ke kanan dan ke atas supaya kita peroleh udara yang sesehat-sehatnya yang dibawa angin dari segala penjuru alam,” tulisnya.

Namun demikian, tampaknya sampai 1956—ketika Pram menulis tentang kesusastraan Kristen—dalam amatan Pram, tidak ada karya J.E. Tatengkeng dan para pengarang Kristen lainnya yang keluar dari pagar pekabaran Injil semata. 

Maka dari itu, setelah memberikan beberapa contoh karya pengarang asing, Pram kemudian menulis: 

“Akhir-akhirnya agama bukan hanya suatu keimanan dan keibadahan kepada Tuhan belaka, tetapi secara positif juga mengatur pengikutnya dalam perhubungan antara manusia. Bukan hanya karena agama menyuruh, tetapi pertama-tama karena ada kesadaran, ada tanggungjawab terhadap baiknya perhubungan antara manusia.” (tirto.id - irf/msh)

Tayang pertama kali di tirto.id 
tanggal 4 November 2017 

07 November 2017

Saya Enggan Menulis Obituari

“Rima ini kurancang untuk menentang mitos
hegemoni rezim dewa logos.”

Di ruang depan rumah kontrakan saya, televisi masih menyalak untuk mengabarkan warta-warta buruk yang membosankan. Masyarakat di suatu kecamatan di daerah Jakarta Barat sedang cemas karena terancam digusur akibat putusan hukum mengatakan bahwa sertifikat tanah mereka tidak absah. Rakyat di Sidoarjo sudah setahun dilahap lumpur akibat pekerjaan buruk korporat yang hanya mencari untung tanpa mau memikirkan akibatnya pada lingkungan. Dan “kocokan arisan” jabatan menteri di kabinet baru saja menemukan pemenang-pemenang baru serta menyingkirkan para pecundang. Saya tak menonton kabar-kabar via televisi malam ini. Selain karena saya sibuk mengetik naskah ini, juga karena saya tak sedikit pun merasa perlu menyaksikan peristiwa-peristiwa yang hanya akan membuat saya semakin merasa nelangsa hidup di negeri yang orang-orangnya doyan korupsi. Saya sempat menguping warta olahraga, tapi saya kembali tak peduli karena yang saya dengar justru soal kekalahan tim nasional sepak bola Indonesia. Mungkin mereka hanya akan menang jika bertanding melawan kesebelasan hansip tukang intip janda kembang, itu juga kalau para pengurus organisasinya bisa membedakan mana tukang intip dan mana Manchester United.

Saya memang tak pernah berpikir tentang negara. Saya lahir di sebuah negara yang bahkan aturan-aturannya tidak pernah saya ikuti pembuatannya. Negara raib ketika tagihan listrik rumah saya tiba-tiba naik luar biasa padahal saya jarang menyalakan lampu-lampu dan memusuhi televisi. Saya tak bertemu dengan negara ketika, seperti yang sering dikatakan oleh para penerbit buku, harga kertas naik tajam, tata niaga perbukuan berantakan, dan biaya kirim barang via kantor pos ternyata sangatlah mahal. Tapi negara ujug-ujug muncul saat saya harus bikin KTP, bayar pajak, atau balapan dengan konvoi patroli polisi. Ternyata saya, juga Anda tentunya, selalu diintai oleh negara.

Negara ini, setahu saya, bukan keturuan bangsa Arya yang dalam runut silsilah versi Hitler adalah kaum terbaik sejagat raya. Masyarakat di Indonesia lebih mengenal nasi basi daripada Nazi fasis. Galibnya, di negeri ini tak mungkin ada orang berlagak mirip Goebbels yang membakar buku-buku di zaman logo swastika mengalahkan singa Britania. Tapi saya wajib untuk bertanya kenapa sebuah acara diskusi di toko buku saja sampai harus didemonstrasi oleh kelompok yang merasa paling tahu sejarah bangsa? Buat apa si Pam diciduk aparat hanya karena ikut diskusi soal gerakan kiri internasional? Kenapa seorang pemuda yang menulis novel sampai harus dianggap kafir oleh orang-orang yang seagama dengannya? Saya pikir cukuplah lagu-lagu pop patriotic-romantik yang bicara soal “zamrud Khatulistiwa nan elok dan sejahtera”. Biarkan aparat desa saja yang bilang soal “jalan kelurahan segera diaspal” padahal cuma akan ditempeli pasir dan koral. Saya tak merasa perlu ikut-ikutan hipokrit. Entah kalau Anda.

Negara ini kocak, para pemimpinnya sibuk bermimpi, masyarakatnya pura-pura baik, dan semuanya menjemukan. Lantas saya berusaha mencari jalan via hiburan di TV yang katanya bisa melupakan kebosanan kita hidup di Indonesia. Saya tonton Extravaganza dan saya mual: ada yang mencontek acting Jim Carey, ada yang tampak sangat senang menjadi artis, ada yang merampok gaya lelucon Srimulat, sisanya adalah barisan pelawak gagap. Saya pindah saluran, menonton talk show yang kabarnya sangatlah lucu. Ternyata garing. Pun ketika bolak-balik saya diajak kembali ke laptop.

Lalu malam ini saya menyelesaikan tahap akhir penulisan. Awalnya buku ini diniatkan untuk tidak seserius seperti bayangan banyak kawan. Saya menggarapnya hanya karena senang pada apa yang saya anggap punya nilai hiburan. Menulis, buat saya, juga relaksasi. Termasuk untuk lepas dari hal-hal yang saya tulis dalam empat paragraf di atas.

Tapi buku ini juga lahir dari provokasi. Saya adalah korban provokasi beberapa penerbit buku. Bukan kebetulan pula jika mereka adalah kawan-kawan saya sehingga dengan santainya menyuruh saya menulis soal sejarah dan perkembangan penerbitan di Jogja. Isinya diharapkan menjadi semacam gambaran tentang dinamika para penerbit Jogja yang keberadaan dan perbincangannya sudah muncul sejak awal kelahiran mereka. Percakapan dan diskusi-diskusi soal mereka sebelumnya memang banyak muncul dalam berita-berita di media massa, obrolan-obrolan sambil lalu, juga diskusi di berbagai milis perbukuan. Namun sampai kini belum ada buku utuh yang mengungkap ihwal mereka. Kawan-kawan saya yang energi kreatifnya berbanding lurus dengan libido terhadap bini-bini mereka itu merasa semua hal tersebut lebih baik dicatatkan dalam bentuk penulisan buku. Sejak awal saya sadar bahwa kesediaan saya menulis tentang penerbit Jogja berbanding lurus dengan kemungkinan sulitnya saya memposisikan “diri-sebagai-penulis” dan “diri-sebagai-subyek tulisan”. Semoga ketika akhirnya penulisan ini terselesaikan maka belitan tersebut bisa dilepaskan dan posisi saya cukup tampak jaraknya.

Semula agitasi mereka tidak lantas mendorong saya untuk segera menulis. Saya justru mengingat kembali apa yang saya dan kawan-kawan dekat dulu memulainya. Termasuk fase ketika sebuah obrolan ringan yang dilakukan di pinggir Selokan Mataram akhirnya meletupkan gagasan sok keren dalam ungkapan: “Bagaimana kalau kita mendirikan penerbitan?” Secara pribadi, saya selama tujuh tahun menggeluti pekerjaan buku namun tak pernah berpikir untuk mencatatkan pengalaman itu dalam semacam reportase, retrospeksi, kritik-diri, apologi pseudo-ilmiah, ataupun bela diri dan silat lidah. Saya merasa bekerja di dunia buku tidaklah berbeda dengan orang-orang yang berjibaku mencari nafkah dan kepuasan diri di bidang yang lain. Sudah lama saya menganggap bahwa tidak ada yang perlu ditulis-ulang atau dibicarakan tentang kerja penerbitan di Jogja. Kisah-kisah buruknya tercatat dalam memori media, para penulis yang kecewa, penerjemah yang dibayar tidak lumrah, petinggi wacana yang merasa dilangkahi, kaum akademisi yang ilmunya dicuri, juga orang-orang yang mencintai buku tapi menyayangkan kesompralan cara bekerja para penerbit Jogja. Semua itu sudah terekam sebagai kotoran kalkun bertumpuk duri, banyak orang yang sudah mencium baunya, lewat gosip maupun berita, dari kabar burung ataupun laporan cuaca, yang entah pada siapa harus dirunut kebenarannya.

Tak ada maksud saya untuk meluruskan apa yang mucul dalam warta di luar sama. Seperti ingatan saya pada seruputan kopi Mas Arif di rumah Pak Ong sambil menjentik abu sigaret dan berkata: “Ini bukan soal benar dan salah lho, Bung!” Saya menolak caranya mengadopsi gaya sapaan “Bung” ala Tan Malaka rembugan revolusi dengan Djamaludin Tamin, tapi saya bersepakat dengan Mas Arif soal tujuh kata di depan Bung. Pak Ong terkekeh sambil meneruskan kenangan romantiknya pada era pra-JUC. Saya menyabot rokok si pimpinan toko buku dan berpikir: apa yang mesti diluruskan ketika sejatinya kita hidp di kawasan negeri berpagar kapas yang patok-patoknya kebanyakan bengkok, melengkung, patah, dan rubuh. Masih pentingkah seseorang memberitahu yang “katanya benar” di tengah masyarakat yang menyaksikan “katanya salah” nyaris dalam setiap dengus napas berat dan lenguh mulut berbusa peluh? Jari telunjuk itu hanya empat senti dari jempol, dan kita lebih sering memanjakan telunjuk untuk mendakwa daripada mengizinkan ibu jari mengacung tanda apresiasi.

Saya sendiri merasa tidak perlu menambahi daftar teriak para pemberontak, rockstar yang lelah dengan lirik agitatif, seniman kritis yang berkarya secara estetik-argumentatif, juga berkisah soal penerbitan dengan gaya lelakon epos Perang Peloponesos dalam gambaran Thucydides. Cukup Kiansantang yang merasa diri jagoan kanuragan namun berkeringat sebanyak air di kolah mushola hanya untuk mencabut tongkat yang ditancapkan Syekh Ali di Mekkah. Hidup tak selalu harus dianggap sama definitifnya dengan bualan para aktivis bisnis multi-level. Jagat penerbitan di Jogja adalah ruang yang tak harus sama gelapnya dengan kamar cuci-cetak tukang foto keliling, atau sama remangnya dengan warung-warung nafsu di jalan raya sepanjang Indramayu. Mencoba menerangkan yang gelap atau menggelapkan yang terang adalah pekerjaan yang sama mudharatnya dengan guru SD yang menyuruh anak didiknya menghitung jumlah bintang di langit milik Tuhan. Kalau netra hanya sampai di horison, kita tak perlu pura-pura tahu letak ruang ganti tujuh bidadari yang berniat mandi di kali. Dan saya merindukan Bojing yang khatam bicara perihal “proposisi” dan “proporsi” dalam cara ungkap yang melebihi Gorrys Keraf menulis buku Komposisi.

Saya tak tertarik pada lampu pijar bikinan Thomas Alfa Edison yang sekarang faedahnya dirasakan umat sejagat, tapi saya lebih memilih untuk membaca kisah Benjamin Franklin yang hampir mati tersengat petir. Saya tidak menganggap piramida besar di Mesir sebagai karya agung peradaban pra-modern. Segitiga gunung gadungan itu adalah cemooh kaum budak yang ikhlas mengangkat batu-batu seukuran banteng karena mereka senang disuruh membangun kuburan Ramses sang proto-diktator. Saya tidak gumun dengan selebrasi kaum urban hari ini yang melahap buku layaknya gulali impor bernama Wrigley’s. Tapi saya selalu membungkuk seperti samurai ketika saya melihat ibu-ibu di lingkungan kantor penerbitan kawan saya sibuk mengangkat, melipat, dan menyusun kertas hasil cetakan sambil bercanda tentang harga beras yang katanya naik lebih gesit dibanding ongkos pasang togel langganan suami mereka. Kerja buku, setidaknya menurut saya, adalah kolektif bebas-kelas, komune non-dominasi, persekutuan diam-diam, dan ibadah kaum tabah. Demokrasi sudah lama diteorikan, kita tinggal mencari tahu rumusannya dalam diktat-diktat sekolahan atau sajak-sajak Wiji Thukul. Tapi kita bisa langsung merasakan nuansanya jika mau menyaksikan alur kerja buku, bukan dalam konteks produk melainkan pada etos pekerjaan. Mulai sekarang kita sepertinya tidak wajib untuk takjub ketika barang segi empat berbahan kertas atau biasa kita sebut buku itu bisa juga mampir ke tangan lentik Bunga Citra Lestari.

Saya sebenarnya sering malas berbincang dan menulis perihal jagat pustaka yang sering saya kira sangat tinggi dan luar biasa seram. Apalagi saya masih sangat menikmati dunia dalam madat keentengan yang terasa kontras dengan keseriusan lingkungan perbukuan. Wajar kiranya jika saya lebih suka masuk venue macam-macam gig, menyimak album terbaru Children of Bodom, atau silaturahmi ke rumah Pak Dukuh sebagai kedok bagi saya yang tak pernah ikut ronda. Ketika akhirnya saya memulis naskah buku ini, maka alasan saya (kalau memang setiap aktivitas harus punya alasan) adalah ketertarikan personal pada etos kerja para pekerja buku yang setia pada pilihannya. Bukan apa-apa, di luar sana para pemuda hedon lebih banyak dikusi soal Jack Daniels daripada Jacques Derrida. Leher saya pasti menengok ke samping jika di sebelah saya sekumpulan orang sedang bercakap tentang cara menyetrika baju paling mutakhir: lipat di bawah bantal, lalu tiduri sambil bermimpi menjadi model majalah Maxim. Saya menyukai yang sepele tapi gede.

Niat saya semakin kuat karena saya tahu bahwa sebagian besar dari para penerbit itu adalah kalangan muda dengan semangat ala Vasco da Gama yang terus saja mengangkat sauh dan mengarungi semua lautan di dunia. Saya selalu berminat pada orang-orang yang vitalitasnya melebihi takaran obat kuat. Saya juga tahu bahwa basis kemanusiaan mereka tak akan membuat mereka selalu sama hebatnya dengan ekspedisi barbarian bangsa Viking menuju Anglo. Saya sadar bahwa menulis tentang penerbitan Jogja tidak akan menghasilkan bacaan seperti tambo Perang Kartago yang khas para hero di zaman kuno. Kerja buku di Jogja juga ternyata bisa selugu Sayuti, sebingung Paman Kikuk, sedangkal kolom di koran kuning, sekritis Bart Simpson, seberani lirik lagu Teknoshit, serugi PT KAI, seuntung bisnis duren Haji Sanusi, selucu cara jalan Mbok Tenong dari Pasar Kranggan, sepintar Eka Anash meniru dandanan The Strokes, dan sesabar padi yang diperkosa belalang tiap hari. para penerbit Jogja membangun identitas sebanyak jumlah kata dalam kamus Echols-Shadily.

Tidak seperti para penerbit buku itu, saya enggan membicarakan perubahan-perubahan dalam peradaban dunia karena saya justru konsisten menikmati isinya. Bahkan saya tidak setiap saat memeluk buku seperti yang dilakukan kawan-kawan saya yang pintar itu. Saya lebih suka membaca majalah Metal Hammer daripada jurnal politik. Saya lebih memilih untuk meyakini Lennonisme daripada Leninisme. Saya juga malas berbincang tentang Syekh Siti Jenar yang namanya rajin sekali muncul dalam diskusi-diskudi di kalangan penerbitan. Tapi saya lantas mahfum karena dengan segala keterbatasannya para penerbit Jogja sebenarnya telah mengambil-alih beberapa peran negara dalam “memberi makan” warga negara melalui bacaan. Saya juga lalu memaklumi kalau mereka amat sibuk memikirkan dunia penerbitan. Setidaknya begitulah yang saya lihat karena saya pun menjadi bagian dari para pekerja buku di Jogja. Sayangnya, mereka punya banyak problem serius yang bisa menghambat kerja-kerja apik penerbitan.

Lalu, apa yang tidak menarik dari sebuah kota yang menyimpan banyak kisah tentang penerbitan buku? Kisah tentang lahirnya sekian banyak penerbit yang tidak terjadi di kota-kota lain. Fakta tentang keberanian mereka mencetak buku-buku yang susah dijual. Bukti kemunculan orang-orang yang menjadi representasi gerakan estetika sampul buku. Kisah sukses buku-buku Kahlil Gibran pasca-Pustaka Jaya. Heboh nasional akibat efek penerbitan Jakarta Undercover. Cerita unik tentang sebuah penerbit yang dipantau hampir sebulan oleh orang-orang dari partai politik tertentu karena dianggap menerbitkan buku dengan sampul yang membunuh karakter tokoh besar panutan mereka. Kota yang memunculkan sederet penulis muda berdaya ledak tinggi. Fenomena Yusuf Agency yang bikin miris para penerbit dan toko buku. Juga cerita-cerita muram perihal “perang” antara penerbit versus distributor, konflik penerbit versus penulis, intrik antar-penerbit, dan sebagainya.

Di dunia kecil bernama Jogja, penerbitan menjadi medan koalisi dan konfrontasi, kesenangan dan pertengkaran, serta banyaknya silang jalan yang memaksa niat apik harus berpamitan pada deretan angka di kalkulator kusam yang menyeringai sambil berkata: “Masih mau jadi pendekar atau ikut saya di jalur financial?” Hingga hari ini saya masih terus bertanya: untuk apa kita membela sesuatu yang sering kali membuat kita senang dan kecewa, sebanyak peristiwa yang membuat kita tetap melakoninya? Saya, mungkin juga beberapa kawan yang hidup dari dan menghidupi penerbitan, sepertinya punya semacam “keimanan” yang berbeda dari orang kebanyakan. Suatu kepercayaan pada pilihan untuk mengerjakan tugas rumit di jagat buku yang tentu saja menarik tapi tidak menjadi pilihan semua orang. Dari zaman sampul buku mirip gombal rombeng hingga era Rieke Dyah Pitaloka kegirangan di Matabaca bahwa “Dunia Penerbitan Itu, Menggiurkan!” Buku adalah pijakan yang bertumpu pada “pilihan” dan bukan “kewajiban”. Dan bagi para penerbit Jogja, eksistensi tidak butuh sejumlah pasukan.

Memori saya ikut terloncat di depan segelas teh hangat dan batangan rokok yang menemani saya di depan komputer ketika mengetik pengantar ini. Serpihan ingatan berkelojotan di muka saya. Tentang sepuluh tahun kreativitas kawan-kawan saya yang tak bosan mendiami kamar belakang sebuah rumah bernama Indonesia, tanpa tahu kapan mereka bisa duduk di ruang depan sambil menikmati makan malam dengan menu berbahan organik bebas wereng coklat yang diambil dari lumbung padi milik sendiri. Saya selalu ingat pada Brent yang menghisap sisha di Jalan Solo sambil berkata: “That’s irony, fella! But you’ve to do your choosen job. There’s no enemy, just irony.” Tiba giliran Sudjud menghisap, lalu berkisah tentang subkultur pasca-Hebdige dan serangan gadget. Widi minum dan menimpali, “Opo sih bedane royalti buku karo kaset, Dhe? Kok royalti album bandku gak jelas yo!” Saya harap para penerbit buku tetap bekerja, pun ketika tak semua orang memahaminya dan negara masih tak mengindahkannya.

Di titik ketika saya memutuskan untuk meneruskan penulisan buku ini, saya merasa ada banyak hal yang bisa dicatatkan tentang mereka. Penulisan buku ini sudah digagas sejak 2005 ketika beberapa penerbit merasa perlu untuk mengevaluasi dan melihat-kedalam segi-segi penerbitan yang mereka kelola. Namun seperti penyakit saya yang lainnya, saya selalu tidak bisa fokus untuk menggarapnya. Waktu itu saya pikir banyak hal lain yang harus dilakukan daripada menulis kisah tentang orang-orang yang setiap hari mengurusi buku di negeri yang warganya lebih betah nonton sinetron dan enggan untuk menemukan pengetahuan. Seberapa menarik sebuah buku yang isinya ihwal buku bagi masyarakat yang tak dekat dengan buku? Buat apa orang-orang mengetahui perkembangan pabrik-pabrik buku di Jogja sementara perut setiap orang di negeri ini belum terisi karena jatah makan mereka dikorupsi?

Saya akhirnya terlecut untuk merampungkan naskah buku ini, tentunya untuk kepentingan pribadi saya juga. Saya kembali membongkar dokumentasi kliping koran dan majalah yang pernah dikumpulkan, melakukan wawancara dengan para pekerja buku, juga mengutak-atik file naskah awal buku ini yang lama teronggok di komputer. Lalu saya mendatangi orang-orang yang memprovokasi itu, meminta nasihatnya yang kuno dan sangat membosankan, serta merayu mereka untuk membantu proof-reading. Saya menderetkan kembali nama orang-orang yang harus menjadi narasumber penulisan. Beberapa di antaranya cukup membuat saya malas mewawancarainya, bukan karena tak punya waktu melainkan karena dari awal saya tahu cara pandang dan pola pikirnya berbeda dengan saya. Tapi harus memakluminya, toh saya juga bagian dari mereka walau saya letih dengan basa-basi dalam segala bentuk penulisan buku yang harus sering berkompromi dengan pihak-pihak yang ada di dalamnya. Termasuk dalam fase ini adalah intensitas saya berkumpul dengan kawan-kawan dalam lokus “Toga mas School” (in humorous personal relation means, not a kind of publishers serious cluster in town!)

Saya lumayan kesulitan untuk menulis buku ini karena banyak seklai hal yang muncul dan penting untuk disebutkan dari keberadaan mereka. Apalagi dalam beberapa hal perlu memasukkan perkembangan terbaru yang terjadi di Jogja. Tentu saja karena kebaruan aspek-aspek perbukuan serta penerbitan secara umum maupun khusus. Itulah kenapa saya berusaha memadatkannya dengan melihat aspek-aspek yang menonjol dalam dinamika penerbit Jogja, sejak awal kemunculan mereka di era 1990-an, pasca-Soeharto, hingga perkembangan mutakhir mereka tahun 2007. Saya tidak cukup punya daya untuk menuliskannya selengkap sebuah kronik sejarah atau kaleidoskop bahkan eksiklopedia nan komprehensif. Buku ini mungkin bukan proyek dokumentasi yang mumpuni melainkan lebih tampak sebgai semacam catatn untuk kepentingan refleksi dan progresi kolektif penerbit buku di Jogja. Tentu saja publik umum bisa ikut menikmatinya sebagai pengetahuan tentang kisah sebuah kawsan perbukuan yang menjadi bagian dariindustri penerbitan di negeri ini.

Nyaris setiap hari saya masih bertemu dengan mereka: para penerbit buku di Jogja yang selalu sibuk dengan ide penerbitan di otaknya, sebanyak jumlah angka dan hitungan uang yang berputar di pikiran mereka. Saya menyaksikan kawan-kawan dengan semangat dan kerja yang luar biasa. Buku-buku baru menggelontor dari kamar-kamar produksi serupa botol-botol C4 yang diimpor untuk adonan bom. Para pemasar bersaing dengan becak-becak es krim Wall’s yang berkeliaran di setiap sudut kota. Para penggagas tema terbitan adalah Dr Faust yang sibuk mengaduk pengetahuan. Sementara penata acara-acara pameran buku bekerja selincah para mekanik Williams Renault. Dunia buku sepertinya tak pernah menemukan ujung di Jogja. Bahkan mungkin kota ini bisa mati jika urat penerbitan tidak lagi berdenyut. Saya menyaksikannya dan mengagumi mereka sepenuh rasa hormat saya. Kalaupun kelak saya akan menulis lagi, saya enggan menulis obituari.

Dengan segala keterbatasannya semoga buku ini bisa bermanfaat untuk siap pun yang merasa perlu tahu tentang jagat buku dan penerbitan di Jogja. Khususnya tentang para penerbit Jogja generasi 1990-an dan pasca-Soeharto. Saya menuliskannya, silakan Anda semua membacanya tanpa pernah merasa diajari oleh saya.

Jogja, Mei 2007

Pengantar Adhe Maruf untuk buku karyanya yang berjudul Declare! Kamar Kerja Penerbit Jogja (1998-2007)