26 February 2017

Yang Terlupakan dari Pram

Satu hal yang menjadi ramai seiiring dengan perkembangan media sosial adalah kutipan. Beni Satryo, penulis buku puisi Pendidikan Jasmani dan Kesunyian, merekam hal ini dengan cukup baik di satu puisinya yang berjudul Berita Duka: “Di ujung jalan / ada nisan tanpa nama / Kuburan pengetahuan / Bertaburan manis bunga-bunga kutipan.”
Kutipan-kutipan tersebut biasanya diambil dari tulisan-tulisan tokoh nasional, sastrawan, pesepakbola, dan percakapan dalam film. Di Indonesia, ada beberapa orang yang amat populer di dunia kutipan. Kata-katanya terpampang di kaos, dinding kota, Instagram, Twitter, dll. Tan Malaka, Sukarno, Chairil Anwar, Wiji Thukul, dan Pramoedya Ananta Toer mempunyai tempat yang amat terhormat dalam masyarakat yang gandrung kutipan.
Setiap tanggal 6 Februari dan 30 April, di dua titimangsa kelahiran dan kematian Pram tersebut, media sosial dipenuhi oleh kutipan dari penulis yang belasan tahun hidup dalam bui dan kamp konsentrasi. Kebanyakan tentang berbuat adil, keberanian, menulis dan kerja. Berikut beberapa kutipan yang kiranya paling populer dari seorang Pram:
“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan.”
“Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri, dan maju karena pengalamannya sendiri.”
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.”
Terlepas apakah kutipan-kutipan tersebut menjadi motivasi, penyemangat, kompas hidup, atau hanya pemanis rutinitas, namun ada satu hal yang kiranya agak terlupakan dari diri Pram, yaitu keluarga. Hal ini sebetulnya sangat benderang dari hampir semua karya Pram. Dalam Tetralogi Buru yang kesohor, Pram menulis keluarga Herman Mellema yang beristrikan seorang nyai. Anak pertamanya melakukan kejahatan incest terhadap adik kandungnya. Ia sendiri menjadi lemah, dan biduk keluarga kemudian diambil alih oleh istrinya yang menjelma menjadi seorang perempuan perkasa. Ada pula Minke—tokoh kesayangan pembaca dalam roman tersebut, ia beberapakali menikah dan tak sekalipun dikaruniai anak.
Banyak sekali kutipan yang dipungut dari tetralogi ini, namun amat jarang yang berkaitan langsung dengan keluarga. Baik hubungan orangtua dan anak, ataupun hubungan sepasang suami dan istri. Padahal beberapakali Pram menyinggung soal keluarga. Ketika Minke bersujud di hadapan ibunya dan memohon ampun, ibunya kemudian berucap, “Pernah kudengar orang kampung bilang: sebesar-besar ampun adalah yang diminta seorang anak dari ibunya, sebesar-besar dosa adalah dosa anak kepada ibunya.”
Dalam perjalanan menuju Blora, juga ketika sudah sampai di rumah kampung halamannya, Pram dalam tokoh aku menulis ihwal istrinya yang cerewet, bapaknya yang sakit keras, adik banyak dan masih kecil-kecil, serta rumah orangtuanya yang sudah tua. Sebagai anak tertua, ia berniat memperbaiki rumah, namun diberati ongkos yang tak sedikit. Persoalan keluarga mengepung. “Apabila rumah itu rusak, yang menempatinya pun rusak,” ucap seorang tetangga yang ditemui tokoh aku ketika berjalan di sekitar rumah. Roman Bukan Pasar Malam yang menjadi favorit Romo Mangun tersebut menjelentrehkan kehidupan keluarga Pram yang multi soal, merawankan hati, dan menegaskan bahwa Pram tak melulu tampil dengan karakter kuat dan pemberontak, ia juga bisa luluh hatinya dan mencoba berdamai dengan bapaknya yang tengah sakit.
Dalam tulisan-tulisan awalnya yang terhimpun di buku Menggelinding 1, Pram banyak menulis cerita pendek dan memoar semasa muda dan ketika tinggal di Belanda: beberapa di antaranya tentang keluarga. Ia berkisah tentang prajurit yang dianggap mati oleh keluarganya (Terondol), istri yang diberati persoalan kecantikan (Yang Cantik dan Yang Sakit), kehidupan pasangan muda yang hancur karena watak istri yang pemalas (Lembaga kehidupan Telah Hancur Sebuah Lagi), kasih seorang bapak terhadap anak (Suatu Pojok di Suatu Dunia), kehidupan keluarga seorang pengarang (Jalan yang Amat Panjang), kesetiaan seorang suami dari godaaan selingkuh (Tentang Emansipasi Buaya), hingga kehidupan pasangan suami istri yang tuna netra (Family Tanus yang Buta).
Meski Pram pernah sekali gagal dalam kehidupan rumahtangganya, namun keluarga kiranya menjadi tema penting dalam karya-karyanya. Atau mungkin justru karena kegagalan itulah yang menjadikan Pram begitu memperhatikan tema ini. Seperti sudah diketahui, Pram menikah pertamakali dengan Arvah Iljas. Setelah menikah, ia bersama beberapa orang adiknya kemudian hidup di rumah mertuanya, namun karena waktu itu kondisi Pram masih seorang pengarang yang tengah berjuang memperkenalkan karya dan meningkatkan taraf ekonumi, maka percekcokan timbul berkali-kali.
Salah seorang adik Pram menulis hal ini dalam buku Bersama Mas PramMemoar Dua Adik Pramoedya Ananta Toer, “Semua itu di tengah ekonomi seorang pengarang yang baru mulai menapaki jenjang kepengarangan, dan di masa itu, ketika apresiasi pembaca sastra nasional belum seberapa, dan pembaca internasional apa lagi, tentunya merupakan beban berat bagi Mbak Arvah. Maka tidak mengherankan kalau akhirnya ia pernah mengucapkan kalimat ekstra keras kepada Mas Pram, yang seolah palu godam bagi putusnya ikatan perkawinan mereka.”
Pram sebagai anak, kakak, ayah, dan suami, sebagaimana tokoh lain—misalnya Chairil Anwar dan Wiji Thukul, kerap terabaikan dan terlupakan, setidaknya dalam kutipan-kutipan. Mereka terlampau dilihat sebagai persona yang memesona di lini lain, di kehidupannya yang keras dan meletup-letup. Kalimat-kalimat seperti, “Aku mau hidup seribu tahun lagi,” “Hanya ada satu kata: lawan!”, atau pun “Kalau mati dengan berani, kalau hidup dengan berani”: rasa-rasanya tidak mewakili sisi kehidupan keluarga, dunia di mana mereka—utamanya Pram, mengalami jatuh bangun, berlindung atau pun berlari darinya.
Karya dan keberanian Pram yang menonjol, diproduksi berulang-ulang dalam banyak media. Kutipan yang menggambarkan satu sisi kehidupan Pram dibiakkan dan dikampanyekan di mana-mana. Lewat kutipan-kutipan, Pram hampir atau telah dikultuskan. Padahal memoar Sunyisenyap di Siang Hidup mendadarkan kondisi Pram yang limbung selepas bercerai: ia tinggal di kontrakan yang darurat, kondisi ekonomi morat-marit, dan baru divonis TBC. Ajip Rosidi dalam buku Mengenang Hidup Orang Lain merekam satu peristiwa yang menggambarkan bagaimana Pram benar-benar dalam kesulitan ekonomi: “Kau ada nasi tidak? aku sudah beberapa hari tidak makan,” ucap Pram.

Satu narasi ditonjolkan, dan narasi lain dilupakan, sementara Pram sudah berpesan agar sudah adil sejak dalam pikiran. Pram tidak tumbuh sendirian, ia ditempa oleh kehidupan keluarga yang berliku dan membekas dalam karya-karyanya. Keluarga bagi Pram adalah “Mula kehidupan manusia. Payung yang melindungi keturunan manusia daripada hujan dan terik pergaulan hidup. Titik permulaan di mana tiap suami dan istri mendapat atau tidak mendapat kebahagiaan.” [irf]
Disalin dari Pustaka Preanger

Pohon Kapuk

Pagi jahanam. Saat kamu terlelap tidur sehabis dihajar lelah yang berparade, dan udara dingin mengepung, bunyi alarm meraung-raung dari sebuah ponsel milik kawanmu, berulang-ulang. Alarm yang nirmanfaat, sebab kawan pemilik ponsel itu amat jarang terbangun, atau jika terbangun hanya membunuh bunyinya sebentar untuk kemudian meraung lagi. Bunyi-bunyi yang menyerupai panggilan niaga tukang es krim, atau lagu asing yang menyebalkan. Kamu naik pitam dan selalu terlintas di pikiran untuk melemparkan ponsel itu ke jalan agar digilas ban mobil sampai remuk, atau menggetok batok kepala kawanmu dengan ponselnya. Tapi kamu sadar, bahwa yang namanya kawan harus selalu mempunyai cadangan kesabaran, persis seperti orang-orang yang mengantri di BPJS kesehatan, atau calon pembeli kopi yang mengular di jalan Banceuy. Lalu kamu memilih mencuci muka, minum air putih, menyeduh kopi dan merokok, sambil perlahan melepaskan keruh hati yang biasanya akan hilang ketika siang mulai datang, dan keruh lagi saat malam dijemput pagi. Harapanmu hanya satu, setidaknya sebelum kiamat tiba, kawanmu itu diberi hidayah, menginsyafi satu hal bahwa kupingmu bukan sebatas daging tumbuh, bukan pula semacam kikil sapi, namun sebenar-benar indera pendengar yang masih berfungsi.
Kamu tidak memonopoli kesal, sebab kawanmu yang lain merasakan hal yang sama, kadarnya saja yang mungkin berbeda. Sering kamu dapati seorang kawan yang lain telah duduk menghadapai kopi, rambutnya terurai, dan diselubungi asap rokok produksi Djarum: Agus namanya. Pada perjumpaan yang mula-mula, kamu bergumam dengan lirih, bahwa kawanmu ini masuk kafilah muklas (muka klasik), sebuah kelompok perwajahan yang bersahaja berkawan, rendah hati, dipenuhi narasi menunggu, dan bisa didefinisikan oleh sebuah lagu aduhai berjudul Di Ambang Sore. Ia pendiam pada awalnya, penyimak yang baik, dan pelaku blunder umum seperti: salah kamar chatting, berkomentar keluar konteks, dll.
Di perkemahan Capolaga yang digenggam angin lembah, saat kesibukan berderet-deret, kamu mendapati Agus membereskan banyak hal, tak menunggu komando, tak banyak cakap, sendirian. Ia kemudian menambah perbendaharaan kawan yang masuk kategori: bisa diandalkan. Keringat berleleran dari anak rambutnya yang digulung tanpa tusuk konde. Sesekali pertanyaan keluar dari mulutnya, ihwal pekerjaan apalagi yang mesti ia selesaikan. Saat itu kamu berniat menawarkannya segelas kopi jagung dan sebatang rokok, namun karena tiba-tiba perutmu mulas, kamu akhirnya bergegas pergi ke sebuah sudut perkemahan.
Dalam acara diskusi buku, Agus beberapakali membahas novel tak populer dengan karakter tokoh yang klise: pencinta alam, murung, pembaca buku, setia, namun kisah cintanya pahit. Novel-novel itu selalu mengingatkanmu pada buku Catatan Seorang Demonstran. Kamu lalu bersuudzon, bahwa kawanmu ini tengah berjuang mencari identitas, bongkar pasang idola, dan ho-hokgie-eun. Tapi kamu kemudian meyakinkan diri bahwa itu adalah soal interpretasi saja, sebuah rumusan yang diambil dari pergaulan sehari-hari, namun tak menjamin mampu menyelami pedalaman yang sebenarnya.
Belakangan, dalam lautan percakapan di sebuah grup komunitas, Agus kerap diserang oleh banyak kawan terkait dengan pasang surut kisah kasihnya: serangan-serangan guyon namun terkadang tajam. Sebut saja Aip (nama panggilan sebenarnya), kawanmu yang satu ini kerap mencecar Agus serupa para kombatan Perang Teluk menghantam musuh dengan rudal Scud B buatan Uni Soviet. Kamu sadar, kawanmu yang membaca tulisan ini ingin tahu contoh serangan Aip tersebut, maka kamu pun menyalinnya di sini:
  1. Agus: “Makanan yang mengandung vitamin B apa aja ya?”
Aip: “Searching di Google sateh tonk manja!”
  1. Agus: “Beneran pan urang time traveler”
Aip: “Punya privilese keliling ruang waktu, tapi tak belajar apa pun darinya, buat apa?”
  1. Di twitter:
Agus: “Setia kadang membuat luka, dan waktulah yang akan menjadi penawarnya”
Aip: “Halah kontol”
Sebagian kawanmu pasti ada yang tidak paham dengan beberapa contoh percakapan di atas, demikianlah adanya, sebab percakapan-percakapan tersebut tidak terlepas dari konteks yang tidak semua kawanmu mengetahuinya. Agus rupanya cukup tertekan dengan kondisi tersebut, sampai akhirnya terlontar sebuah kalimat, “Mun aing ngetik si Aip pasti kaluar.” Kamu tertawa berderai-derai mendengar kalimat tersebut. Tak lama setelah itu, beberapakali kamu mendapati Agus tengah mendengarkan lagu-lagu dengan lirik menyayat, diulang-ulang, lalu menyanyikannya secara lirih dengan bantuan suara gitar. Ketika melihat Agus di titik seperti itu, kamu teringat pohon kapuk: saat buahnya merekah suasana di jalanan menyerupai hujan salju karena seratnya yang putih beterbangan di udara, namun saat kemarau ia meranggas.

Hujan salju seorang Agus sering kamu lihat di keseharian: ia sigap dalam perjalanan kelompok, gesit mengantarkan dan mengawal kawan perempuan yang pulang larut malam, ulet mengerjakan tugas-tugas desain, rokoknya serupa brosur iklan kredit motor (boleh diambil siapa saja), dan beberapa hal lainnya. Dan sebelum tulisan ini jatuh menjadi sehimpun puji-pujian, kamu hendak menutup hujan salju interpretasimu tentang Agus dengan sebait puisi dari Jokpin: “Bahwa sumber segala kisah adalah kasih / bahwa ingin berawal dari angan / bahwa segala yang baik akan berbiak / bahwa orang ramah tidak mudah marah.” [irf]
Disalin dari Pustaka Preanger

Ayah

Apa yang seringkali kamu lupakan? Mungkin salah satunya adalah bahwa kamu pernah dibesarkan oleh seorang ayah, oleh seorang laki-laki yang agak pendiam, tak banyak cakap, tak pernah terlihat menangis, kadang-kadang doyan cigarette, dan setia kepada keluarganya. Dalam sebuah sore yang hangat, lelaki yang kadang-kadang doyan cigarette itu mengajarimu naik sepeda di ujung jalan yang agak sepi. Waktu kamu terjatuh dan lututmu berdarah, dia, lelaki yang tak banyak cakap itu, menyemangatimu untuk bangkit dan belajar lagi.
Kalau siang hari hujan turun deras, kamu sudah pulang dari sekolah, dan di luar rumah; kawan-kawanmu sangat menggoda dengan salah seorang memegang bola, maka kamu akan keluar mengendap-ngendap, dan berlari ke tanah lapang, mandi hujan dan pesta lumpur. Di rumah, kalau ibumu sudah menunggu dan siap memarahimu, lelaki yang agak pendiam itu justru bersikap sebaliknya, dia akan memberimu uang agar kamu dapat membeli bakso. Dia mengetahui hal-hal yang menyenangkan, karena dia juga pernah menjadi anak laki-laki.
Ketika kamu beranjak dewasa dan mulai terlihat cantik, usiamu bergerak mendekati kepala dua, organ tubuhmu seperti ada yang bertambah, dan kamu betah berlama-lama di depan cermin, maka lelaki yang tak pernah terlihat menangis itu akan hati-hati mengamatimu dari jendela, ketika kamu pergi dengan seorang laki-laki yang tanduk di kepalanya belum terlalu terlihat.
Karena kamu agak sedikit mudah digoda, maka akhirnya kamu pulang malam. Rumah telah redup, kamu hati-hati mengetuk pintu, ibumu bangun dengan mata pedas karena masih ngantuk, lalu kamu setengah berjingkat masuk ke kamarmu dan mencari cermin untuk melihat senyum. Laki-laki yang tanduk di kepalanya belum terlalu terlihat telah membuatmu merasa menjadi istimewa. Apakah kau tahu sayang? Tadi, waktu kamu berjalan berjingkat, di sudut ruang tamu, di bawah remang pantulan cahaya lampu, ayahmu duduk menunggu kedatangannu. Dia mencemaskanmu. Dia belum tidur sekejap pun sebelum bidadari kecilnya sampai di rumah.
Pidibaiq pernah bilang, “Aku juga sepertimu, berasal dari sorga yang turun ke bumi dengan cara diam-diam diselundupkan oleh ayahku di sebuah kamar pengantin, lalu keluar dari ibuku di sebuah kamar rumah sakit.” Tapi ayah sesungguhnya bukan seorang penyelundup, dia hanya menangkap gemuruh, membaluri cinta, dan dengan sebaik-baiknya berusaha merawat anak-anak terbaik yang diamanatkan Tuhan kepadanya, dengan caranya sendiri, yang kadang-kadang terasa lirih dan sunyi.
Coba tanyakan pada ibumu, apa yang sering diberikan ayahmu kepada istri tercintanya? Pasti ibumu mengerutkan dahi dan sedikit bingung, sebab lelaki yang kadang-kadang doyan cigarette itu jarang sekali memberikan sesuatu. Dia tak pandai memberikan kejutan, apalagi memberikan hadiah-hadiah yang mewah. Tidak, dia tidak punya uang sebanyak itu. Tak banyak yang dia diberikan kepada istri tercintanya, kecuali bangun di tengah malam untuk mengganti popokmu yang basah, kecuali terlihat senang dengan masakan ibumu yang sederhana, kecuali memperbaiki genteng bocor dengan tangannya sendiri, kecuali tak pernah menginap ketika pergi ke luar kota karena ingin segera pulang, kecuali menikmati dengan penuh khidmat kopi di pagi hari yang sudah tersaji dari tangan sang istri, kecuali tak pernah menggoda perempuan-perempuan cantik yang ditemuinya di luar rumah, dan kecuali bersikap jujur kepada istri tercintanya.
Dari mana mereka, ayah-ayah kita itu belajar mencintai pasangan dan keluarganya? [irf]

Disalin dari Pustaka Preanger

21 February 2017

Youtube: Hadiah Tak Tepermanai untuk Hidup yang Suntuk


15 Februari 2005, Youtube diluncurkan di Amerika Serikat. Dan hidup manusia tidak pernah sama lagi setelah itu, termasuk di Indonesia—maksudnya termasuk hidup saya yang sering dihadang suntuk. Youtube tak hanya memberikan hiburan yang aduhai, namun juga kengerian yang kadang ditonton berulang-ulang.  

Ketika acara televisi dihiasi berita orang-orang yang tewas karena miras oplosan, saya lari ke youtube, lalu mendapati ada orang mati karena mengkonsumsi daging kuda nil. Ya, manusia makan daging kuda nil. Tak percaya? Silakan ketik “Man dies after eating hippo meat” di kotak pencarian. Luar biasa. Tak dinyana jika ada manusia yang melahap hewan yang kerjanya hanya berendam di air dan menguap itu. Perhatian kuda nil, diam saja sudah lucu, dan ini ada manusia yang amat tega menyantap hewan selucu itu. Miras oplosan hanya paduan dari nekad dan kebodohan, tapi mengkonsumsi daging kuda nil memerlukan citarasa humor yang gelap.

Saya tinggal di Bandung, namun semua media sibuk mengabarkan pertarungan di Pilkada Jakarta. Apa pentingnya? Buat saya jelas sekali tidak menghibur. Dan obat penawar hati yang kecewa siapa lagi kalau bukan youtube. Di sana, pertarungannya lebih elegan, gentle, dan tak perlu buzzer. Lihatlah pertarungan antara macan tutul melawan landak. Mereka duel satu lawan satu, masing-masing tak memerlukan wakil. Macan tutul menyerang dengan ganas, namun landak dengan sigap melindungi dirinya dengan duri super tajam yang membuat macan tutul tersebut menggaruk mukanya sendiri, paduan antara sakit dan gatal. Ada pula pertarungan badak melawan singa, buaya versus macan tutul, ular melawan buaya, dll. Sungguh pertarungan mereka lebih menghibur daripada Pilkada Jakarta.

Untuk mengusir suntuk, saya kadang ingin mengajak seorang kawan bepergian keliling Indonesia memakai motor matic. Bertemu dengan orang-orang dan merapal kata-kata Soe Hok Gie dengan penuh perasaan, “Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya.” Lalu perjalanan kami ditulis, bukunya laku dan menginspirasi banyak orang, kemudian kami tampil di acara Kick Andy. Atau perjalanan itu menghasilkan foto-foto ciamik untuk diunggah di Instagram, follower kami banyak, dan orang-orang mulai beriklan, lalu kami menjadi selebgram dan kaya raya. Tapi itu semua serupa mimpi yang disudahi adzan subuh ketika saya membuka youtube dan melihat seseorang menari-nari di langit bersama aurora. Ketik segera “Sky Dancing with Aurora”, dan hidupmu yang seolah keren itu tak ada maknanya, persis seperti mimpi saya yang rerak berhamburan.

Dalam kondisi suntuk, saya kadang merasa lapar. Untuk kuliner, meskipun tengah suntuk, saya tak berpikiran untuk makan yang aneh-aneh. Dalam kamus hidup saya tak ada yang namanya extreme foods. Bukan latah mengikuti mantan presiden Amerika Serikat, tapi salah satu makanan favorit saya adalah sate kambing. Setelah itu masakan Padang. Kalau bosen yang bersantan, saya lari ke warteg. Dan di atas itu semua, masakan rumah juaranya. Saat lapar menghebat, saya tak pernah berpikir untuk makan daging kelelawar, trenggiling, landak, berang-berang, koala, ataupun lumba-lumba. Sekali waktu memang pernah makan daging biawak, itu pun karena ditipu seorang kawan. Tak jarang, sambil makan saya membuka youtube, dan sekali waktu saya tersesat ke sebuah video tentang orang-orang kelaparan di Afrika yang berebut menggasak daging Gajah. Saya mengklik sebuah video berjudul “Starving African eat elephant and strip it to the bone”: seketika mual dan ngeri.

Setelah makan, saya tentu membutuhkan kesegaran yang hakiki. Meski menurut ilmu kesehatan mengkonsumsi buah-buahan baiknya sebelum makan, namun apalah daya, mulut yang masih menyisakan gurih sisa sate atau kubangan santan tak mau berkompromi dengan tips kesehatan tersebut. Maka sehabis makan, saya kerap melahap pisang, semangka, melon, buah naga, anggur, jeruk, dan buah-buahan lain yang kehadirannya bergantian, dipengaruhi oleh kondisi keuangan. Kalau uang sedang berlimpah dan saya mulai bosan dengan buah-buah tersebut, maka youtube akan mencoba memandu saya melihat buah-buahan mahal yang ada di dunia. Sambil mengunyah anggur yang masih tersisa, saya mengetik “10 Most Expensive Fruits In The World”. Dan aduhai mantap, ternyata buah yang paling mahal adalah buah pir berbentuk Buddha! Sudah mahal, sayang pula kalau sampai dimakan. Akhirnya saya tak melanjutkan menonton video tersebut.

Konon, sate kambing dapat membuat kepala pusing, baik yang atas ataupun yang bawah. Untuk soal yang satu ini pun, youtube telah menyediakan layanannya yang prima. Bukan tentang sate kambingnya, tapi ihwal kepala yang pusing tadi. Apabila bigo live yang sedang ramai itu tak sempat diikuti secara telaten, dan video-video aduhai terlewat begitu saja, maka larilah ke youtube. Ia menyediakan rekaman yang hot, setengah hot, sampai yang buka-bukaan. Youtube menjadi media arsip yang bisa diandalkan, dan membuat lega para pegiat bigo live yang terlampau sibuk mengejar urusan duniawi sehingga melupakan sesuatu yang lebih hakiki.        

Kalau suntuk datang malam hari, dan saya belum kapok nonton televisi, maka youtube ternyata hadir juga di sebuah program salah satu televisi nasional. Ia dicuplik, disusun tematik, diberi peringkat, dan dihamparkan ke hadapan pemirsa yang seolah semuanya hidup di pelosok negeri dan tak mengenal internet. Produksi murah meriah, tinggal diberi tulisan “courtesy of youtube”, selesai sudah. Di titik ini youtube tak lagi aduhai, tak lagi cocok untuk menemani hidup yang suntuk.

Dan sialnya, tulisan ini pun hampir sama dengan program acara televisi tersebut! [irf]