10 April 2017

Membebaskan Pegiat Literasi dari Skorsing Telkom University

Foto: Antara
Malam sudah datang di Jalan Gelapnyawang, Bandung. Jumat, 10 Maret 2017, Fidocia Wima Adityawarman atau Edo duduk di sebuah warung kopi menunggu kawannya, Sinatrian Lintang Raharjo atau Momon, dan Asri Vidya Dewi sebagai pendamping hukumnya. Edo dan Momon adalah dua dari tiga orang mahasiswa Telkom University yang diskorsing oleh kampusnya.

Skorsing itu tertuang dalam Surat Keputusan Rektor bertitimangsa 20 Februari 2017. Mereka dianggap melakukan hal-hal berikut: (1), kegiatan membuka lapak buku untuk umum tanpa izin di lingkungan Universitas Telkom, (2), melakukan kegiatan yang berpotensi menyebarkan faham komunisme di lingkungan Universitas Telkom, (3) memutarbalikkan fakta dan menyebarkan tuduhan tidak benar kepada unsur pimpinan Universitas Telkom yang merusak citra baik kampus, dan (4) melakukan unjuk rasa dengan melakukan ujaran kebencian terhadap unsur pimpinan Universitas Telkom.

Rabu, 9 November 2016, seperti biasa Perpustakaan Apresiasi tengah membuka lapak baca buku gratis di selasar Gedung Dekanat Telkom University. Hari itu Edo, Momon, dan seorang kawannya yang telah lulus kebagian jaga. Pukul 15.20 Wakil Rektor (Warek) IV Bidang Kemahasiswaan Telkom University Dr. M. Yahya Arwiyah, SH. MH., berdasarkan rilis Perpustakaan Apresiasi, menghampiri lapak baca tersebut dan bertanya, “Izin dari mana berjualan di sini?”

Salah satu dari mereka menjelaskan bahwa buku-buku tersebut bukan barang jualan melainkan untuk dibaca secara gratis.

Warek IV mendapati buku Manifesto Partai Komunis dan Seri buku TEMPO: Orang Kiri Indonesia edisi Njoto dan Musso. Ketiga buku itu kemudian dibawa dengan alasan tidak boleh beredar di lingkungan kampus Telkom University.

“Muso sama Njoto. Satu lagi yang Manikom itu. Terus (kata Warek IV) ‘Ini saya bawa dulu, ini gak boleh di sini, di Telkom University gak boleh,’” terang Edo.

Merasa tidak puas dengan sikap Warek IV, salah satu dari mereka mencoba bertanya, “Kenapa gak boleh? ‘Pokoknya gak boleh,’ dijawabnya pake 'pokoknya pokoknya',” lanjut Edo.

Momon menambahkan bahwa mereka sudah mencoba membela diri dengan menerangkan bahwa itu buku-buku sejarah, dan yang disediakan oleh mereka juga bukan hanya buku-buku tentang komunis, penerbitnya juga jelas dan legal.

“Kalo memang gak boleh, lewat penerbitnya aja, Pak,” tambahnya.

Perpustakaan Apresiasi sudah berjalan sejak akhir 2014, dan mereka berdua bergabung setahun kemudian. Kegiatan lapak baca buku mula-mula diadakan di kantin kampus, kemudian berpindah-pindah tempat ke beberapa fakultas.

“Ngelapak, ngadain diskusi-diskusi buku,” ujar Edo.

Edo melanjutkan bahwa lapak buku dan acara diskusi yang diadakan oleh Perpustakaan Apresiasi, selain diikuti oleh mahasiswa Telom University, juga beberapa kali diikuti oleh para dosen kampus tersebut.

“Dosen ada beberapa kali (yang ikut diskusi), terus di akhir-akhir tahun ini kita ngadain diskusi bareng sama dosen ngerayain ulang tahun komunitasnya dosen-dosen juga bareng-bareng. Ya, bedah buku gitu. Kemarin, sih, kaya George Orwell, sastra sih, novel, Pram, gitu-gitu kemaren,” ungkapnya.

Beberapa saat setelah kejadian pengambilan buku, Perpustakaan Apresiasi membuat rilis terkait hal tersebut dengan judul: “Perampasan Buku oleh Warek IV Bidang Kemahasiswaan Tel-U”.

Salah satu poin yang ditulis yaitu ihwal status buku-buku yang diambil yang sifatnya legal, diterbitkan oleh penerbit besar, dan dijual di toko buku besar. Selain itu, Perpustakaan Apresiasi juga berpendapat bahwa membaca buku, apapun bukunya, adalah hak.  

Sehari kemudian, Humas Telkom Unversity mengeluarkan klarifikasi dengan judul “Rektorat Tel-U Tidak Pernah Merampas Buku Mahasiswa”.

Poin ketiga dari lima poin yang dijelaskan oleh humas kampus adalah: “Warek IV kemudian menanyakan sejumlah pertanyaan kepada mereka termasuk buku-buku yang mereka jejerkan di tempat itu. Lalu Warek IV memilih tiga buku untuk dipinjam dan dipelajari. Sebagai bukti peminjaman, Warek IV berinisiatif untuk difoto. Tidak ada pemaksaan, kondisinya yang ada saat itu bersahabat.”

Kejadian ini mengundang reaksi sejumlah mahasiswa yang kemudian melakukan unjuk rasa. Namun hal tersebut direspon oleh pihak kampus dengan menskorsing seorang mahasiswa pimpinan unjuk rasa, Lazuardi Adnan Faris namanya.

“Faris itu dianggap memimpin unjuk rasa yang waktu itu bersolidaritas. Teman-teman habis bukunya diambil itu kita nyebar kronologi, ada beberapa teman datang ke kita terus ngajakin aksi. Di kampus itu kita aksi. Nah, Faris itu tergabungnya di situ,” ujar Edo.

Menyikapai kasus ini, Vidya yang mendampingi ketiga orang mahasiwa ini mengungkapkan bahwa pihaknya tidak akan melakukan langkah litigasi dengan menggugatnya ke PTUN. Ia mempertimbangkan dua hal yaitu waktu dan biaya.

Dalam pandangan Vidya, jika kasus ini dibiarkan maka terjadi pengabaian terhadap hukum. Untuk itu ia dan rekan-rekannya melakukan pembelaan terhadap ketiga mahasiswa ini.

“Itu makanya yang kita akan lakukan secara non-litigasi, tapi jika memang pada akhirnya harus DO ya ini akan ada sangat banyak kerugian bagi Momon, Edo, dan Faris. Akan ada langkah-langkah hukum lain,” tuturnya.

Edo diskorsing selama tiga bulan, Faris tiga bulan, dan Momon enam bulan. Mereka tidak mengetahui mengapa lama sanksi terhadap mereka berbeda, “Di suratnya enggak dijelasin. Kita juga enggak tahu kenapa,” ujar Edo.

Selama empat bulan lebih, terhitung sejak peristiwa pengambilan buku sampai sekarang, kegiatan Perpustakaan Apresiasi terhenti. Menurut Momon, ia dan kawan-kawannya sudah mencoba berkonsilidasi agar aktifitas literasi seperti membuka lapak buku dan diskusi terus berjalan, namun kawan-kawannya masih merasa ketakutan.

Ia menambahkan, “Pernah sekali ngelapak tapi itu ya ada satpam datang wara wiri, jadi ga nyaman.”

Dedi Kurnia Syah Putra, Assistant Manager of Public Relations Telkom University, ketika dihubungi via aplikasi pesan menjawab bahwa Telkom University tidak pernah melarang buku. Ia bahkan menyebutkan beberapa agenda terkait dengan kegiatan literasi yang diadakan oleh Telkom University.

“Dari mana dasar kami melarang buku? Kami punya program terkait literasi banyak sekali: open library punya agenda Literacy Day. Lalu tiap ada momen strategis nasional, apakah itu Hari Perempuan Dunia, Peringatan Anti Korupsi, dan lain-lain. Kami seringkali adakan kompetisi terkait literasi, entah itu esai, debat, musik (jingle), bahkan film dan foto,” ungkapnya.

Ia menjelaskan bahwa pihaknya tidak membatasi aktifitas literasi dengan alasan apa pun. Sanksi yang dijatuhkan kepada ketiga mahasiswa itu, menurutnya, karena aktifitas lapak buku tidak mengindahkan regulasi universitas dan menggelar aksi unjuk rasa dengan ujaran yang irasional dan melebih-lebihkan. Sementara pihaknya amat menjaga ketertiban untuk keteduhan iklim akademik.

“Ujaran yang tidak mendasar, semisal menghasut dengan diksi ‘merampas buku’, padahal tidak ada aktifitas yang demikian. Seolah-olah mereka sedang melawan ketidakadilan, padahal yang betul adalah mereka melanggar regulasi,” ujarnya.

Selasa, 14 Maret 2017, beberapa individu, akademisi, pegiat literasi komunitas, dan organisasi lainnya yang menamakan diri Komite Rakyat Peduli Literasi mengadakan aksi solidaritas dan mimbar akademik jalanan. Aksi dimulai dari sayap timur Gedung Sate, yang kemudian dilanjutkan ke depan kantor pusat Graha Merah Putih Telkom di Jalan Japati, Bandung. Mereka memberikan dukungan kepada Edo, Momon, Faris, dan aktifitas literasi lain pada umumnya.

Sehari pasca aksi solidaritas, yakni hari ini 15 Maret 2017, rektorat Universitas Telkom melakukan mediasi dengan tiga mahasiswa yang diskorsing tersebut. Setelah mediasi selesai, Komite Rakyat Peduli Literasi mengadakan jumpa pers dengan menghadirkan ketiga orang mahasiswa yang bersangkutan beserta pendamping hukumnya di Gedung Indonesia Menggugat.

Faris menjelaskan, mediasi tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan, salah satunya yaitu tidak akan ada lagi pembatasan terhadap kegiatan literasi di Universitas Telkom. Perpustakaan Literasi akan dijadikan komunitas atau studi grup untuk ruang dikusi dan demokrasi, serta ke depan akan dijadikan UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa). Selain itu, tema diskusi serta jenis buku yang dibaca tidak akan dibatasi.

“Lantas untuk yang pencabutan skorsing, kita masih harus menempuh mekanisme selanjutnya. Masih ada mekanisme, kata pihak kampus sedang melakukan proses banding. Skorsing saya, Lintang, dan Edo, masih tanda tanya. Belum ada kesepakan pencabutan skorsing. Cuma untuk ruang-ruang demokrasi itulah yang bisa dikatakan sebagai angin segar di civitas akademika Telkom University,” lanjut Faris.

Edo menambahkan ihwal pencabutan skorsing yang menjadi tuntutan dalam aksi yang dilakukan Komite Rakyat Peduli Literasi, “Di situ (mediasi) kita ngobrolin masalah skorsing, kepastiannya bagaimana. Bahwa tanggal (akhir masa berlaku skorsing) saya yang seharusnya juga hari ini sudah selesai, tapi ternyata masih harus melalui proses-proses.”

Selain itu, Edo juga menjelaskan bahwa meski masa skorsing untuk dirinya telah selesai, namun skorsing harus tetap dilakukan melalui mekanisme pencabutan dari pihak rektorat.

Meski ada beberapa poin yang sepakati, tapi proses mediasi yang di antaranya dihadiri oleh Warek II (Bidang Keuangan dan Sumber Daya) dan Warek IV (Bidang Kemahasiswaan), dan Badan Eksekutif Mahasiwa itu tidak ada bubuhan hitam di atas putih sebagai bukti tertulis. Momon menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena waktu yang terlalu terburu-buru. Namun besok mereka akan mendatangi bidang kemahasiswaan untuk meminta hasil kesepatakan mediasi dalam bentuk tertulis.

“Kami besok akan ke bidang kemahasiswaan, akan mencari legalitas hasil mediasi barusan,” ujar Momon.  

Mediasi tersebut selain membahas kebebasan aktifitas literasi dan skorsing yang menimpa para pegiatnya, menurut penuturan Faris, juga ada himbauan dari pihak Universitas Telkom agar kasus ini sebaiknya tidak diumbar keluar dan cukup diselesaikan secara kekeluargaan dalam internal civitas akademika Universitas Telkom. (tirto.id - irf/zen)

Tayang pertamakali di tirto.id
tanggal 16 Maret 2017
 

No comments: