29 September 2017

Kota Fasis yang Sempurna: Naik Kereta Api di Jakarta


Kalau anda naik kereta api di Jakarta, berhati-hatilah: pemandangan yang anda lihat di balik jendela mungkin akan membuat resah anda yang bukan wartawan perang atau dokter. Terlihat ratusan ribu orang merana tinggal di sepanjang jalur kereta.  Rasanya seperti seluruh sampah di Asia Tenggara ditumpahkan di sepanjang rel kereta; mungkin sudah seperti neraka di atas bumi ini, bukan lagi ancaman yang didengung-dengungkan oleh ajaran agama.

Memandang keluar dari jendela kereta yang kotor, anda akan melihat segala macam penyakit yang diderita oleh manusia. Ada luka-luka yang terbuka, wajah terbakar, hernia ganas, tumor yang tak terobati dan anak-anak kurang gizi berperut buncit. Dan masih banyak pula hal-hal buruk yang bisa anda lihat yang bahkan sulit untuk digambarkan atau difoto.

Jakarta, ibu kota negara yang oleh media Barat diberi predikat ‘demokratis’, ‘toleran’ dan ‘perekonomian terbesar di Asia Tenggara’ sebenarnya adalah tempat dimana mayoritas penduduknya tidak memiliki kendali atas masa depan mereka sendiri. Dari dekat makin nyata bahwa kota ini punya indikator sosial yang levelnya lazim ditemui di Sub-Sahara Afrika, bukan di Asia Timur. Selain itu, kota ini juga semakin keras dan tidak toleran terhadap kaum minoritas (agama maupun etnik), termasuk mereka yang menuntut keadilan sosial. Perlu kedisiplinan yang luar biasa untuk tidak menyadari ini semua.

Slavoj Zizek, filsuf Slovenia, menulis dalam bukunya The Violence:

“Disini kita temui perbedaan Lacanian antara kenyataan (reality) dan yang Nyata (the Real): ‘kenyataan’ (‘reality’) yang dimaksud disini adalah kenyataan sosial dari orang-orang yang benar-benar terlibat dalam interaksi dan dalam proses produksi, sementara yang Nyata (the Real) adalah sesuatu yang ‘abstrak’ yang tak dapat ditawar, logika menakutkan dari ibukota yang menentukan apa yang terjadi dalam kenyataan sosial. Kita dapat melihat kesenjangan ini secara jelas ketika kita pergi ke suatu negara yang kehidupan masyarakatnya berantakan. Banyak kita lihat kerusakan lingkungan dan penderitaan manusia. Namun, yang bisa kita baca hanyalah laporan dari para ekonom bahwa kondisi ekonomi negara ini ‘baik secara finansial’ – realitas tidak penting, yang penting adalah kondisi di ibukota…”

Kondisi di ibukota dan para elitnya baik-baik saja, meskipun dibalik itu negara dalam kondisi morat-marit. Tapi mari kita lihat lagi masalah kereta api kita.

Saya memutuskan untuk naik kereta api ekspres dari Stasiun Manggarai ke Tangerang (tempat di mana beberapa tahun lalu diterapkan hukum syariah yang walaupun tidak konstitutional namun tetap berjalan dengan absolut impunitas), untuk satu alasan saja: melihat apakah ada upaya nyata dalam ‘melawan/mengatasi’ apa yang disebut keruntuhan total infrastruktur Jakarta, alias kemacetan total (total gridlock) .

Seperti halnya berbagai masalah di Indonesia, kemacetan punya sejarah yang menarik:

Sejak tahun 1965 (tahun dimana terjadi kudeta militer brutal yang didukung oleh Amerika Serikat yang membawa Jendral Soeharto ke puncak kekuasaan dengan menghabisi nyawa 800,000 hingga 3 juta jiwa. Mereka yang terbunuh antara lain dari golongan kiri, kaum intelektual, masyarakat minoritas Cina, serikat pekerja dan kaum ateis atau sederhananya bisa saja mereka yang pada waktu itu memiliki istri yang lebih cantik, tanah yang lebih luas atau sapi yang lebih gemuk), pemerintah Indonesia bekerja keras untuk menjamin bahwa kota-kota di Indonesia tidak memiliki transportasi publik, tidak memiliki taman yang luas dan tempat pejalan kaki. Ruang publik secara umum dianggap sangat berbahaya karena bisa saja disana masyarakat akan berkumpul untuk mendiskusikan isu-isu ‘subversif’ seperti rencana menggulingkan pemerintahan.

Taman-taman publik diambil alih oleh kontraktor untuk dijadikan lapangan golf pribadi untuk kaum elit. Tempat pejalan kaki juga dihilangkan karena tidak menguntungkan dan dianggap ‘terlalu sosial’. Pada akhirnya, transportasi publik menjadi milik swasta dengan kualitas yang turun menjadi angkot dan metromini yang mengeluarkan  asap hitam dari knalpotnya dan bajaj India bekas yang bahkan sudah tidak dipakai lagi selama beberapa dekade di negara asalnya.

Itu terjadi di Jakarta. Kota-kota lain dengan jumlah penduduk antara 1 hingga 2 juta jiwa seperti Palembang, Surabaya, Medan dan Bandung tidak memiliki transportasi publik yang berarti, selain angkot kecil, kotor berkarat dan bis yang kotor dan bau.

Tentu saja semua ini sudah direncanakan: produsen mobil diberikan lisensi untuk memproduksi mobil model lama dari Jepang dan menjualnya dengan harga gila-gilaan (mobil di Indonesia dijual antara 50-120 persen lebih mahal daripada di Amerika Serikat), kemudian memaksa penduduk Indonesia – yang termasuk paling miskin di Asia Timur – untuk membeli mobil pribadi. Mobil yang pertama dibawa masuk, lalu  sepeda motor yang lebih berbahaya, fatal untuk lingkungan hidup dan sama sekali tidak efisien. Di kota-kota besar di Cina dan banyak kota Asia lainnya sepeda motor sudah dilarang masuk ke kota.

Pejabat pemerintah dan wakil rakyat di DPR diam-diam secara konsisten mendapat suap dari industri mobil. Lobi mobil ini menjadi sangat berpengaruh dan menghambat segala upaya untuk memperbaiki angkutan kereta api maupun kapal laut antar pelabuhan di Jawa, salah satu pulau yang paling padat di dunia.

Pada tanggal 14 Agustus 2011, koran Jakarta Post menulis:

Anggota Partai Demokrasi Indonesia Pejuangan (PDIP) Nursyirwan Soedjono yang juga Wakil Komisi V DPR untuk mengawasi bidang transportasi, telah lama mempertanyakan ketidakmauan pemerintah untuk mengalokasikan lebih banyak dana untuk memperbaiki jaringan rel kereta di negara ini. Mereka menyalahkan ketakberdayaan mereka pada lobi politis ‘tingkat-tinggi’ yang diatur oleh industri otomotif yang menerima keuntungan langsung dari pembangunan jalan di negara ini.

“Tidak ada tuh cerita bahwa kami [Komisi V] menolak rencana anggaran pemerintah untuk mengembangkan infrastruktur rel kereta api,” Nusyirwan mengatakan pada Jakarta Post. “Namun tampaknya ada ‘kelompok berpengaruh’ yang selalu menolak segala upaya untuk meningkatkan jasa transportasi umum, khususnya kereta api.”

Seperti di banyak masyarakat fasis yang ekstrem ataupun masyarakat feodal, kaum ‘elit’ menikmati naik mobil limosin sementara orang yang tidak punya patah kaki ketika mereka jatuh ke got karena tidak ditutup, diperkosa di kendaraan umum dan menghirup asap knalpot ketika naik angkot, atau otak mereka berhamburan di atas trotoar karena naik motor di atas trotoir yang tidak rata setelah frustasi naik motor di antara mobil dan truk yang agresif di jalanan.

Namun para pengambil keputusan di pemerintahan menikmati adanya impunitas selama beberapa dekade ini dan mereka telah mengambil hampir semua ruang publik di kota Jakarta. Dengan impunitas pemerintah selain memang tidak kompeten dan malas, mereka menjadi semakin tidak punya motivasi serta beritikad untuk menutup semua solusi jangka panjang bagi kota Jakarta.

Kita lihat saja kenyataan bahwa panjang rel kereta api di sini malah menyusut sejak masa penjajahan Belanda; Jakarta dengan penduduk lebih dari 10 juta jiwa (bahkan lebih di hari kerja) menjadi satu-satunya kota (dengan jumlah penduduk yang hampir sama) di dunia yang tidak memiliki sistem angkutan massal.

Beberapa tahun lalu ada upaya membangun dua jalur monorel walaupun bukan sistem angkutan massal yang paling efektif untuk kota Jakarta. Jalan-jalan ditutup, debu dan kotoran dimana-mana, penduduk diminta untuk bersabar dengan alasan bahwa ‘pembangunan ini untuk mereka’, namun kenyataannya tidak lah demikian, karena ternyata tujuan utama sistem transportasi ini adalah untuk mengeruk laba.

Proyek ini diberikan pada konsorsium swasta dan akhirnya, sudah dapat diduga, uang publik disalahgunakan. Pembangunan tiba-tiba berhenti, menyisakan pilar-pilar beton yang memancang di tengah jalan. Tidak ada yang dibawa ke pengadilan dari proyek yang membawa skandal ini, dan media amat disiplin untuk hanya melaporkan pernyataan resmi pemerintah, seolah-olah walaupun uang sudah lenyap tapi mereka yang bertanggungjawab tidak layak untuk diganggu hidupnya oleh penyelidikan polisi.

Supaya kita tidak hanya melihat dari satu sisi saja, memang ada pula upaya untuk menyelamatkan Jakarta, misalnya mencoba transportasi air dengan perahu di kanal-kanal yang sebenarmya sangat tercemar. Sayangnya sampah-sampah yang ada di kanal-kanal itu merusak mesin perahu, ditambah dengan bau menyengat dari kanal yang selalu dipenuhi sampah dan benda beracun sehingga ‘proyek’ ini gagal total dalam beberapa minggu saja.

Banjir Kanal Timur seharusnya bisa membawa perubahan berarti bila dilakukan dengan revolusi seluruh pendekatan pekerjaan publik yang tujuannya agar pembangunan kota Jakarta sesuai dengan standar Asia di abad ke-21. Selama beberapa dekade, Jakarta telah mengalami banjir besar; pernah 2/3 kotanya terendam banjir. Hal ini disebabkan kanal-kanal yang tersumbat, lahan hijau yang hilang dan pembangunan yang membabi-buta. Akhirnya diambil keputusan untuk membebaskan tanah dan membangun kanal bankir untuk menyalurkan air berlebih ke laut. Pada saat perencanaan, dijanjikan akan dibangun taman-taman publik atau paling tidak tempat pejalan kaki di pinggir kanal. Juga dijanjikan adanya jalur khusus untuk pengendara sepeda, tempat berolahraga, juga transportasi air, bahkan angkutan dengan tram listrik.

Bagi mereka yang masih punya harapan untuk Jakarta akhirnya dibenturkan pada kenyataan yang jauh dari apa yang dijanjikan. Di tahun 2010 dan 2011, saat pembangunan kanal masih jauh dari penyelesaian, kenyataan pahit mulai terlihat.

Kualitas konstruksi kanalnya sangatlah buruk,  bahkan sebelum pembangunan selesai, sampah telah menutup proyek kanal tersebut. Kejutan berikutnya: pemerintah mengatakan bahwa mereka memang tidak berencana untuk menyelenggarakan transportasi publik di pinggir/atas kanal itu. Seperti biasa, mereka meyakinkan publik bahwa tidak akan akan ada ruang publik disana. Di awal tahun 2012, lahan di sepanjang kanal dijadikan jalan raya (walaupun menggunakan kata jalan inspeksi) yang langsung digunakan oleh pengendara sepeda motor. Bahkan sejak sebelum selesai dengan sempurna, namun secara resmi sudah beroperasi, kanal banjir ini kelihatannya hanya akan menjadi tempat pembuangan sampah dan menambah harapan tinggi para pelobi motor/mobil.

Bayangkan berapa kilo meter ruang kota yang terbuang (meski secara resmi pemerintah menganggap proyek ini sukses)! Tidak ada sedikitpun tempat bagi pejalan kaki dan tidak ada satupun taman bermain untuk anak-anak.

Bagaimana para pejabat pemerintah bisa menghindar dari tanggung jawabnya walaupun ada bukti nyata dari perampasan hak rakyat disini? Di negara lain, hal ini bisa dianggap sebagai ‘pengkhianatan’ kepada bangsa dan negara.

Hal ini bisa terjadi karena dalam ‘demokrasi Indonesia’ tidak ada akuntabilitas. Tidak ada akuntabilitas sama sekali! Korupsi terjadi dimana-mana dan warga negara tidak memiliki mekanisme untuk mengorganisir protes (obsesi dengan jaringan sosial seperti Facebook pada umumnya hanya untuk status semata). Bahkan pembunuhan orang yang berbeda kepercayaan dengan kader kelompok agama garis keras tidak membuat masyarakat ‘berpendidikan dan kalangan menengah’ turun ke jalan untuk berdemonstrasi.

Yang terasa adalah bahwa di seluruh negara, termasuk di ibu kota, masyarakat telah putus asa sejak lama. Orang-orang menjalani hidupnya dalam kota megapolitan tanpa perlu menuntut, memprotes atau berkeluh-kesah.

Masalahnya, di Indonesia berkeluh-kesah, menuntut atau berdemo jarang atau sama sekali tidak membawa hasil. Surat-surat yang ditujukan kepada wakil rakyat di DPR tidak dijawab, bahkan banyak yang tidak dibuka, sementara surat ke media massa dimuat hanya jika isinya berada dalam batas-batas yang tidak tertulis namun tersirat ‘Proyek’ tidak terbuka untuk didebat (karena melibatkan banyak uang dan ada pembagian uang jarahan tersebut antara pemerintah dan perusahaan swasta dengan aturan dan formula yang telah mereka sepakati bersama) dan tidak diberikan jalan untuk masyarakat bisa intervensi karena akan ada resiko merusak sistem yang ada. Rakyat hanya sesekali diberi informasi tentang apa yang akan dibangun, kapan dan di mana.  Jika ada uang yang raib – hal yang amat sering terjadi – tidak ada konsekuensi yang ditanggung pelaksananya. Jika rencana ‘berubah’ atau jika jadwal tidak terpenuhi, tidak ada yang dipaksa bertanggungjawab.

Indonesia adalah contoh dimana diktator bisa dipilih melalui pemilihan umum yang dilangsungkan secara periodik (para pemilih dapat memilih dengan bebas antara satu kandidat korup dengan kepentingan bisnisnya dengan kandidat lain yang juga korup dengan kepentingan bisnis yang lain) dan memimpin dengan dikontrol dan disponsori oleh kepentingan Barat serta sama sekali tidak ada kekuasaan yang diberikan pada rakyat.

Jika ada penumpang yang jatuh karena lantai kereta api yang berkarat dan meninggal atau mereka yang jatuh di lubang galian proyek,  jangankan dapat kompensasi, dapat permohonan maafpun tidak.

Ketika diminta untuk membandingkan Indonesia dengan Cina, Profesor Dadang M Maksoem, mantan pengajar di University Putra Malaysia (UPM) yang sekarang bekerja untuk pemerintah daerah Jawa Barat, memberikan jawaban dengan berapi-api: “Sederhana saja: mereka [orang Cina] berkomitmen untuk melakukan yang terbaik untuk negara mereka. Pendidikan disana tidak seperti di sini. Bagaimana sih kok pemerintah tidak bisa memberikan transportasi publik yang layak? Rakyat dipaksa untuk untuk membeli sepeda motor mereka sendiri untuk mengangkut diri mereka sendiri dan mereka dipaksa untuk membahayakan jiwa mereka di kondisi lalu-lintas yang parah. Sekarang kemacetan lalu-lintas ada di mana-mana. Entah apa yang bisa saya katakan. Orang-orang disini itu bodoh, idiot, mati otak, atau rakus Sih? Pilih saja jawabannya!”

Tapi jawaban seperti ini bukan yang ditampilkan di media populer di Barat. Secara resmi Barat memuja Indonesia. Bagaimana tidak: penguasa dan elit Indonesia yang taat pada mereka berani mengorbankan rakyat, pulau-pulau, bahkan ibukota mereka sendiri untuk kepentingan dan keuntungan perusahaan-perusahaan multi-nasional dan penguasa dunia. Perusahaan asing dan pemerintah mana yang tidak menghargai kemurahan hati penguasa dan elit Indonesia ini?

Tapi marilah kita kembali ke masalah transportasi publik lagi.

Pada masa pemerintah dan swasta merencanakan proyek pembangunan monorel (atau setidaknya ini yang mereka katakan pada masyarakat), kota ini mulai membangun apa yang disebut ‘busway’ atau jalur khusus bus, yaitu proyek yang awalnya adalah kesalahan dalam memahami konsep transportasi publik di kota Bogota yang terletak nun jauh di Kolombia, Amerika Selatan.

Alih-alih membangun sistem transportasi kereta api massal yang bisa mengangkut jutaan penumpang setiap harinya, Jakarta ‘membangun’ jalur busway yang mengambil dua jalur dari jalur yang sudah ada di jalan-jalan utamanya, kemudian mengoperasikan kendaraan bus sempit dimana para penumpang duduk menyandar dinding sambil menghadap satu sama lain. Setiap bus hanya punya satu pintu untuk penumpang naik dan turun. Halte dan jalan masuk ke halte dibuat dari logam yang mudah berkarat dan sekarang pelat lantainya sudah banyak yang lepas dan meninggalkan lubang di jalan masuk itu. Hampir semua pintu otomatis di halte sudah tidak beroperasi dengan baik dan akhirnya ada orang yang terdorong ke jalan hingga meninggal atau luka parah.

Seperti moda transportasi lain di Jakarta, sistem ini tidak dirancang untuk meningkatkan hajat hidup orang banyak, dalam hal ini untuk mengurangi kemacetan dan mengangkut berjuta orang secara aman dan nyaman. Busway dirancang sebagai proyek untuk memperkaya perusahaan yang memiliki saham dan para pejabat yang korup.

Sistem busway tidaklah efisien, tidak memperhatikan keindahan dan tidak mempersatukan kota – malahan lebih memecah-belahnya. Hampir tidak ada tempat pejalan kaki di dekat halte busway. Penumpang yang sampai di halte busway harus beresiko kehilangan nyawanya untuk menyeberang jalan untuk sampai ke tempat tujuan atau naik angkutan umum lain.

Bahkan ketika halte busway dibangun di dekat stasiun kereta, perencana kota menjamin bahwa tidak ada jalan langsung ke sana. Selama beberapa dekade, para penguasa Jakarta telah memastikan tidak adanya interkoneksi antara moda transportasi, termasuk dengan stasiun kereta peninggalan jaman Belanda. Kota ini hampir tidak memiliki tempat pejalan kaki, hampir tidak ada tempat penyeberangan di bawah tanah (hanya ada satu di seluruh kota yaitu dekat stasiun Kota yang pembangunannya membutuhkan waktu beberapa tahun) yang menghubungkan stasiun dengan jalan raya. Dan kenyataannya Jakarta tidaklah memiliki banyak jalan raya – kebanyakan dari jalan raya ini hanyalah replika buruk dari jalanan di pinggiran kota Houston: dengan jalan tol (layang atau bukan), tidak ada tempat pejalan kaki dan fasilitas-fasilitas yang dipisahkan oleh pagar-pagar, tidak langsung bisa diakses dari jalanan. 

Kebodohan dalam perencanaan kota ini hanya bisa disamai oleh ketidakcerdasan pembangunan negara secara keseluruhan – Jakarta adalah sebuah contoh dunia kecilnya. Contohnya, untuk putar-balik di jalanan saja, seseorang harus berkendara satu kilometer atau lebih dan hal ini tentunya menambah kemacetan, konsumsi bahan-bakar dan polusi. Kota ini dirancang sedemikian rupa sehingga orang harus naik mobil hanya untuk menyebrang jalan karena memang hampir tidak ada tempat pejalan kaki dan sarana penyebrangan yang memadai. Sarana transportasi di kota ini berjalan sendiri-sendiri. Tidak ada interkoneksi. Rakyat dipaksa untuk mengemudikan mobil atau skuter murah yang semakin populer belakangan ini (warga lokal menyebutnya motor) untuk kemudian membusuk di tengah kemacetan yang legendaris. Hal ini bisa terjadi karena pelobi mobil mampu menyuap pemerintah dan hasilnya adalah ketidakmauan pemerintah untuk membangun jaringan transportasi publik yang efisien.

Sangat jelas terlihat bahwa ada banyak kepentingan ekonomi yang terlibat. Untuk dapat menganalisa Indonesia, penting untuk diingat bahwa pertimbangan dan prinsip moral yang ‘normal’ sudah menghilang dari kamus para penguasa.

Sekelompok kecil pengusaha dan politisi telah menjarah sebagian besar sumber daya alam negara ini; mereka menghancurkan banyak hutan tropis dan mengubah negara kepulauan ini menjadi bencana bagi lingkungan hidup. Mayoritas penduduk Indonesia tidak pernah mencicipi keuntungan dari kerusakan yang terjadi di negara mereka.

Penduduk Jakarta tak terkecuali. Kota ini dibangun ‘bukan untuk rakyat’, sebagaimana dikatakan oleh seniman Australia George Burchett pada saat mengunjungi kota ini lebih dari dua tahun lalu.

Penduduk yang tidak mendapatkan informasi yang benar menjadi apatis setelah melewati kampanye cuci-otak pro-bisnis selama beberapa dekade. Setelah tidak ada lagi pemikiran kritis di kota ini, hasilnya adalah tidak ada bioskop yang khusus memutar film-film seni, tidak ada teater permanen, tidak ada media yang berorientasi sosial ataupun galeri yang memamerkan tragedi Indonesia melalui seni, sampai sekarang ini. Yang terjadi malah milyaran sampah sosial berterbangan dari satu unit  Blackberry ke unit lainnya ketika kaum elit saling mengobrol dan mendengarkan musik pop jaman dulu atau memuaskan diri dengan makanan Barat dan Jepang murahan. Memang tidak banyak hal lain yang dapat dilakukan di kota ini. Di satu sisi kota ini hampir hancur karena sudah diselimuti asap beracun dan punya banyak sekali kawasan kumuh yang ada di antara berbagai mall raksasa dan perkantoran. Tidak ada lagi air bersih di kanal-kanalnya yang dulu mengalir deras – yang tinggal hanya racun.

Yang paling menakutkan di kota ini adalah sepertinya tidak ada tempat lagi bagi manusia. Manusia menjadi tidak relevan. Anak-anak juga jadi tidak relevan: tidak ada tempat bermain dan taman untuk mereka. Kalau kita bandingkan dengan kota Port Moresby yang miskin, ibu kota Papua Nugini ini memberikan fasilitas yang jauh lebih baik kepada warganya.

“Persetan dengan bantuanmu!” teriak Presiden Sukarno kepada duta besar Amerika Serikat di depan publik lebih dari  setengah abad yang lalu. Pembalasan yang kejam segera datang. Setelah kudeta yang disponsori oleh AS and rejim fasis berkuasa hingga hari ini, Jakarta telah berubah menjadi tempat dengan motto “Persetan dengan rakyat!”

“Saat saya pulang ke Jakarta, saya tidak ingin keluar rumah”, kata Nabila Wibowo, seorang putri diplomat Indonesia. Dia memutuskan untuk tinggal di Portugal setelah masa tugas ibunya berakhir. “Tidak ada budaya di sini, tidak ada konser, tidak ada musik yang asik.Bahkan saya tidak bisa berjalan kaki atau pergi dengan aman dan nyaman di dalam kota. Tidak ada tempat pejalan kaki. Akhirnya, saya hanya pulang sebentar saja, mengunci diri di dalam kamar dan membaca buku.”

Sekarang ‘katanya’ kota ini akan membangun MRT, kereta bawah tanah yang diharapkan memiliki dua trayek saat selesai dibangun. Proyek ini sudah tertunda selama beberapa dekade, namun kalaupun akhirnya berjalan, banyak analis termasuk beberapa professor dari ITB (Institut Teknologi Bandung) yang takut untuk membayangkan hasilnya, mengingat track record aparat pemerintah kota dan kualitas proyek lainnya di negara ini.

Kelihatannya dapat dipastikan bahwa uang yang dialokasikan untuk proyek ini akan disalahgunakan lagi. Di Indonesia, hampir pasti tidak ada mekanisme untuk menjamin transparansi dan pengawasan yang tak berpihak. Tentunya hal ini sangatlah kontras jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di negara lain seperti India di mana kereta bawah tanah New Delhi dibangun sesuai rencana dan menghabiskan uang dibawah anggaran.

Tampaknya banyak orang di Indonesia yang berbakat dalam penyalahgunaan uang publik. Dalam hal ini, Indonesia nomor satu.

Dan rakyat juga tidak serius menuntut untuk menghentikan kegilaan ini. Hingga kini rakyat sudah terbiasa hidup susah, mati dini karena polusi, tinggal di perkampungan kumuh tanpa air bersih dan sanitasi dasar, atau duduk berjam-jam di kemacetan. Mayoritas penduduk Jakarta belum pernah ke luar negeri dan oleh karenanya mereka  tidak tahu bahwa ‘ada alternatif dunia lain’, bahwa sebenarnya ada kota-kota yang dibangun untuk rakyat. Kaum elit yang suka pergi ke luar negeri tahu benar tentang hal ini, namun mereka memilih untuk tidak mengatakannya.

Kita selalu lihat ada lingkaran setan: proyek baru diumumkan, kemudian diluncurkan, dan akhirnya berantakan setelah banyak dompet oknum-oknum terisi padat. Rakyat tidak diberi apapun tapi mereka pun tidak menuntut apa-apa. Tapi bukannya memang dari dulu sudah seperti ini? Mungkin berbeda sedikit disana dan sedikit disini dari jaman penjajahan Belanda dulu. Meskipun demikian, sebelum meninggal penulis besar Indonesia Pramoedya Ananta Toer mengatakan pada saya bahwa “situasi waktu dulu tidak pernah seburuk sekarang”.

Mereka yang tahu atau seharusnya tahu apa yang ada di balik layar adalah mereka yang terlibat atau tidak mau berhadapan dengan kenyataan.

Pada bulan Februari 2012 saya bertanya pada Ibu Ririn Soedarsono, profesor di perguruan tinggi terkenal ITB, apakah proyek MRT memiliki kemungkinan untuk selesai.

“Kami akan mulai membangun MRT tahun ini,” ujarnya. “Pada akhir tahun 2013, tahap pertama akan selesai. Secara teknis harusnya tidak ada masalah. Namun saya tidak tahu bagaimana iklim politik pada saat itu…”

2013? Bahkan di negara-negara yang teknologinya berkembang seperti Jepang, Cina atau Chile, satu jalur kereta bawah tanah dapat memakan waktu 4 hingga 10 tahun pembangunan, tergantung pada situasi daerahnya. Tapi mungkin saja saya salah tangkap mengenai definisi ‘tahap pertama’.

Sebetulnya angkutan kereta api di Jakarta masih lebih baik daripada di Nairobi. Banyak gerbong kereta yang memiliki alat pendingin karena walaupun bekas tapi diimpor dari Jepang. Namun kelihatannya  kereta-kereta ini cenderung menua secara cepat karena kurangnya perawatan: satu tahun saja di Jakarta dan kereta berusia 30 tahun asal Jepang yang datang dalam kondisi sempurna akan berakhir dengan pintu rusak, kursi tersayat dan sistem pendingin udara yang tersumbat kotoran.

“Kami naik kereta dua kali seminggu,” jelas Ibu Enny dan Ibu Susie dari Bogor. “Kami jarang naik di hari kerja, terutama di jam-jam padat. Hampir tidak ada tempat untuk berdiri. Buat kami perempuan, sebetulnya naik kereta pas jam padat amatlah menakutkan, apalagi ketika para penumpang berebut memasuki gerbong.”

Namun demikian, keunggulan sistem kereta api di Jakarta (yang disebut-sebut sebagai ‘keajaiban kapitalis dan demokrasi’) dari Nairobi (sebagai ibu kota dari salah satu negara paling miskin di dunia) mungkin tidak akan bertahan lama. Di awal tahun 2013 Nairobi sudah bersiap untuk memperbaharui jaringan rel kereta api lamanya dan menambah jalur modern yang pertama, diikuti dengan yang kedua di tahun 2014. Stasiun-stasiun keretanya akan memiliki tempat parkir, toko-toko dan fasilitas modern, serta akan menghubungkan area yang ditempati oleh kelas menengah dan bawah.

Perusahaan-perusahaan konstruksi dari Cina membangun jalan raya, jalan layang dan proyek infrastruktur lainnya di Afrika Timur. Mereka juga membangun tempat pejalan kaki, rel kereta api dan dalam dua tahun mereka berencana untuk membangun jalan kereta api ke Bandara Internasional Jomo Kenyatta di Nairobi. Bandara Sukarno Hatta di pinggiran Jakarta yang dulu megah sudah menunggu selama beberapa dekade untuk dihubungkan dengan jalan kereta api ke Jakarta, namun sejauh ini baru mendapatkan tambahan jalur jalan tol saja.

Beberapa pertanyaan logis dari yang dipaparkan diatas adalah: Mengapa Indonesia bisa jauh tertinggal dari kota-kota seperti Kairo, Nairobi, Johannesburg dan Lagos ataukah ada hal lain yang terjadi? Mungkinkah kaum elit Indonesia mengorbankan puluhan bahkan ratusan juta orang hanya untuk keuntungan mereka sendiri? Mereka sudah pernah melakukan itu sebelumnya, apakah mungkin mereka melakukannya lagi?

Sekarang ini apa yang banyak kita lihat di sepanjang rel kereta api adalah anak-anak kecil dan balita yang setengah telanjang bermain dengan sampah dan gorong-gorong terbuka. Di sini sampah dibakar di ruang terbuka karena Jakarta tidak memiliki sistem pembuangan sampah komprehensif. Pengumpulan dan pengurusan sampah adalah hak publik, oleh karenanya tidak menciptakan laba dan tidak menyenangkan pejabat. Hanya segelintir penduduk Jakarta memiliki akses atas air yang benar-benar bersih, dan hanya 30 persen yang dapat sanitasi dasar.

Hidup di sepanjang jalan kereta api ini sudah seperti hidup di neraka, dengan gerbong-gerbong yang terus menerus lewat dari satu stasiun ke stasiun lainnya.

Membaca apa yang ditulis mass media Indonesia yang ahli dalam seni mengelabui akan membuat anda bahwa Jakarta sudah punya sistem perkereta-apian dan hanya perlu sedikit penyempurnaan. Bahkan Anda dapat menemukan semacam peta dari ’sistem’ transportasi itu di internet. Tapi cobalah datang ke stasiun, coba naik keretanya, dan coba interkoneksinya, maka anda akan berpikir ulang apakah sebenarnya sistem ini ada dan mencukupi sebagai salah satu pilihan angkutan massal.

Beberapa masalah yang saya temui antara lain: Tidak ada jadual dan informasi yang disediakan dan mudah dimengerti penumpang; Petugas yang kurang tanggap, lamban dan tidak efisien dalam penjualan tiket secara manual. Tidak mudah untuk dapat sampai ke peron yang dituju. Padahal orang-orang yang menggunakan kereta api adalah mereka dari kelas menengah Indonesia.

Harus dicatat, ini adalah kelas menengah yang didefinisikan secara lokal, menggunakan angka-angka dari Bank Dunia dan pemerintah Indonesia: menurut mereka, kelas menengah adalah mereka yang hidup lebih dari US$2 (atau sekitar Rp. 18.000) per hari. Menurut mereka ini berlaku bahkan di kota yang merupakan salah satu kota paling mahal di Asia Timur.

Menurut batasan di atas, mayoritas penduduk kota Jakarta berasal dari ’kelas menengah’. Namun kalau kita lihat kenyataannya, sebagian besar dari mereka hidup di lokasi yang di belahan dunia lain disebut sebagai ’kawasan kumuh’. Kawasan dimana mereka tidak memiliki akses terhadap air bersih dan hidup dalam kondisi kebersihan yang tak layak.

Banyak orang dari ’kelas menengah’ ini naik ke atap kereta karena mereka tidak mampu membayar harga tiket; beberapa orang tersengat listrik setiap tahunnya, beberapa lainnya meninggal karena terjatuh. Untuk mencegah mereka naik ke atas, pemerintah yang baik hati mulai membangun bola-bola beton yang digantung di atas jalur kereta api untuk menghancurkan kepala mereka yang naik di atas atap kereta api, kadang-kadang petugas merazia mereka dengan menyemprot mereka dengan cat, bahkan dengan kotoran manusia. Beberapa stasiun, termasuk Manggarai, menempelkan kawat berduri di atap rel sehingga orang-orang yang mencoba melompat ke atap akan tersayat.

Herry Suheri – penjual rokok di Stasiun Manggarai masih berpikir bahwa orang-orang tidak akan takut dengan upaya pencegahan yang drastis tersebut: ”Masih ada saja orang yang naik ke atap kereta ekonomi, apalagi saat jam-jam padat. Bukan hanya untuk tumpangan gratis, tapi karena jumlah kereta yang ada tidak mencukupi untuk penumpang yang harus sampai ke rumah atau ke tempat kerja.”

Sistem kereta api, ’dareah penghijauan’, ’rencana perbaikan kota’ – semua palsu, hanya ada di angan-angan. Kenyataan yang ada amatlah brutal namun jelas: Jakarta tidak bisa dikategorikan dalam definisi kota apapun. Kota ini adalah sebuah laboratorium, sebuah eksperimen fundamentalisme pasar. Binatang percobaannya adalah masyarakat. Mereka sedang dipelajari: seberapa besar ketidaknyamanan yang dapat mereka tahan, seberapa banyak lingkungan tak sehat yang masih bisa mereka hadapi, dan seberapa banyak pemandangan buruk  dikota ini yang akhirnya dapat membuat mereka melarikan diri?

Saat ini, lebih baik buat kita untuk tidak menggantungkan harapan pada kota Jakarta. ’Kota besar yang paling tidak layak untuk ditinggali di Asia-Pasifik’ ini tidak akan jadi lebih baik dalam waktu dekat ini, juga mungkin tidak dalam jangka waktu yang lama. Tidak akan ada perubahan di bawah pemerintahan sekarang ini. Tidak di bawah rejim ini.

Di Amerika Latin, kelompok sayap kanan dulu meneriakkan: ”Jakarta akan datang!” untuk menakut-nakuti pemerintahan sayap-kiri di Chile dan di berbagai tempat lain di dunia. Namun Jakarta sekarang ada di sini, dalam kondisi prima sebagai monumen keberhasilan kapitalisme yang tidak terkontrol; sebuah monster, sebuah peringatan, dan contoh kasus bagi mereka yang ingin tahu seberapa besar keserakahan dan keegoisan kaum elit. [ ]

*Artikel ini dimuat di buletin berita Amerika Serikat, Counter Punch, dengan judul ”The Perfect Fascist City: Take a Train in Jakarta”, edisi 17-19 Februari 2012.

Ditulis oleh Andre Vltchek
Diterjemahkan oleh Fitri Bintang Timur
Disunting oleh Rossie Indira

Andre Vltchek adalah seorang penulis novel, analis politik, pembuat film dan jurnalis investigatif. Dia hidup dan bekerja di Asia Timur dan Afrika. Buku non-fiksi terakhirnya ”Oceania” menggambarkan neo-kolonialisme Barat di Polinesia, Melanesia dan Mikronesia. Penerbit Pluto di Inggris akan menerbitkan buku kritiknya atas Indonesia (”Archipelago of Fear”) di bulan Agustus 2012. Dia dapat dihubungi lewat situs internetnya di http://andrevltchek.weebly.com/

Fitri Bintang Timur adalah peneliti, penulis dan penikmat tulisan bagus. Dia menyepi dari Jakarta selama sepuluh bulan setelah lima tahun lebih naik kereta api di kota itu. Ia akan kembali suatu hari nanti. 

Rossie Indira adalah penulis dan konsultan. Buku terakhirnya ’Surat Dari Bude Ocie’ diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas. Buku tentang perjalanannya ke 10 negara ASEAN akan selesai tahun ini. Dia dapat dihubungi lewat situs internetnya di http://rossie-indira.weebly.com/

Sumber foto: metro.sindonews.com

18 September 2017

Skandal Korupsi Pejabat Agama di Wilayah Bandung




Oleh: Ariyono Wahyu Widjajadi

Pada 1910, Surat Kabar Mingguan (SKM) Medan Prijaji telah memasuki tahun penerbitan yang keempat. Sejumlah perubahan dilakukan. Di antaranya pergantian Redaktur Biro Perwakilan Priangan yang sebelumnya dijabat R. Djojo Sepoetro (pensiunan Demang Mester Cornelis) digantikan oleh Raden Ngabehi Tjitro Adhi Winoto. Nama terakhir sebelumnya bekerja sebagai Kepala Redaktur "Pewarta Hindia".

Biro Perwakilan Priangan ini beralamat di kantor N.V. Medan Prijaji yang terletak di Alun-Alun Bandung, menempati gedung bekas kantor kadaster. Sedangkan yang bertindak sebagai Kepala Redaktur S.K.M. Medan Prijaji saat itu adalah R.M. Tirto Adhi Soerjo yang berkantor di Bogor. Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam S.K.M. Medan Prijaji ini diumumkan dalam edisi No.1 tahun keempat yang diterbitkan pada tanggal 8 Januari 1910.

Medan Prijaji adalah salah satu surat kabar penting dalam sejarah Indonesia. Diinisiasi oleh Tirto, Medan Prijaji dengan lekas menjadi surat kabar terkemuka karena terhitung berani menyuarakan kepentingan publik di hadapan struktur birokrasi kolonial Hindia Belanda. Tirto menjadikan Medan Prijaji sebagai pengawal kepentingan publik dan tak segan-segan menghantam aparat birokrasi.

Aksi-aksi pembelaan lewat media yang telah dilakukan Tirto itu merupakan wujud jurnalisme advokasi, dan Tirto adalah orang Indonesia pertama yang melakukannya, bahkan sejak ia masih bekerja untuk Pembrita Betawi pada kurun 1901 hingga 1903. Tirto juga orang Indonesia pertama yang memiliki dan menerbitkan media sendiri, yakni Soenda Berita, selepas undur diri dari Pembrita Betawi. Setelah Soenda Berita, Tirto menggagas penerbitan Medan Prijaji dan Soeloeh Keadilan pada 1907.

Dua koran inilah yang lantas menegaskan pilihan jurnalistik Tirto, yakni memberikan pembelaan warga lewat tulisan, dan jika diperlukan disediakan pula bantuan hukum untuk korban penindasan, tidak hanya oleh pemerintah kolonial tapi juga golongan penindas lainnya. Ruang pengaduan pembaca bahkan menjadi salah satu kekuatan utama Medan Prijaji.

Tidak hanya menghajar pejabat-pejabat Eropa, Medan Prijaji juga tidak segan mengkritik pejabat-pejabat bumiputera. Salah satunya, namun relatif jarang dibicarakan, adalah soal dugaan korupsi dana kas Masjid Raya Bandung.

Dana Kas Masjid yang Dipotong dari Bawah

Setelah menduduki jabatan sebagai Redaktur Biro Perwakilan Priangan, R. Ng. Tjitro Adhi Winoto langsung membuat laporan tulisan yang sangat mengejutkan. Dalam laporan investigatif yang dimuat dalam Medan Prijaji No. 3 tanggal 22 Januari 1910, Tjitro Adhi Winoto menurunkan berita mengenai penyelewengan dana kas Masjid Agung Bandung. Tahun 1910, Bandung sedang dilanda wabah kolera. Di tengah suasana itulah Medan Prijaji  -- melalui tangan Tjitro-- menurunkan laporannya.

Penghulu Bandung memperoleh informasi bahwa telah terjadi kecurangan yang dilakukan oleh beberapa naib dan juru tulis zakat di beberapa onderdistrik (distrik bawahan). Berdasarkan keterangan awal bahwa telah terjadi tindakan korupsi, Kepala Penghulu lantas melakukan pemeriksaan pada distrik-distrik bawahannya. Akhirnya diketahui adanya tindak penyelewengan di sebuah distrik berinisial P.S.

Tindakan penggelapan ini dilakukan dengan cara merobek lembaran buku catatan (register) cerai, rujuk dan nikah yang menjadi tanggung jawab naib. Setidaknya dua lembar buku catatan yang dirobek (artinya: dihilangkan) memuat 100 nomor perkara laporan cerai, rujuk dan nikah. Besarnya kerugian yang ditimbulkan perilaku curang ini kurang lebih sebesar f 200 karena untuk setiap perkara nikah pasangan pengantin harus membayar sebesar f2.

Menyusul temuannya itu, Kepala Penghulu kemudian memeriksa catatan distrik-distrik bawahan Bandung lainnya. Ia juga memeriksa bawahan-bawahannya di Masjid Agung Bandung, karena tidak mungkin akan terjadi penyelewengan jika tidak ada permufakatan jahat antara naib pencatat keuangan distrik bawahan dengan petugas pencatat di Masjid Agung Bandung.

Kecurigaan awal telah terjadinya penggelapan didasarkan pada semakin menurunnya jumlah dana kas masjid. Padahal telah terdapat aturan ketat dari Asisten Residen saat itu dalam mengatur dana kas masjid.

Menurut peraturan tersebut, berbagai dana setoran yang diserahkan oleh distrik-distrik bawahan Kabupaten Bandung dimasukkan ke dalam brankas di sebuah bank. Kunci brankas tersebut masing-masing dipegang oleh Kepala Penghulu, Bupati dan beberapa pimpinan Dewan Komite, untuk mempersulit terjadinya pembobolan.

Di awal tulisannya Tjitro pun mengutip mengenai peraturan dana kas masjid yang bertujuan untuk menjelaskan kepada publik yang masih beranggapan bahwa dana keuangan masjid seluruhnya dipegang oleh Kepala Penghulu. Sehingga mudah terjadi tindak penggelapan dana.

Terjadi Pada Masa Hasan Mustapa 

Dalam tulisan yang membuat malu institusi yang sama-sama berada di lingkungan Alun-alun Bandung, Tjitro tidak menyebutkan siapa nama Kepala Penghulu Bandung saat peristiwa memalukan tersebut terjadi. Namun berdasarkan tahun kejadian kasus tersebut, yaitu 1910, orang yang sedang menduduki posisi Hoofd Penghulu Bandung adalah Haji Hasan Mustapa.

Hasan Mustapa menjadi Kepala Penghulu Bandung sejak 9 September 1895 hingga 1818. Sebelumnya ia menjabat sebagai Hoofd Penghulu Aceh 1893-1895. Kepala Penghulu yang namanya melegenda di Bandung karena beberapa tindakannya yang dianggap nyeleneh ini memang memiliki syarat khusus saat dirinya akan ditempatkan di Aceh atas rekomendasi sahabatnya, Christian Snouck Hugronje. Salah satu permintaan khusus tersebut adalah jika posisi kepala Penghulu Bandung kosong, Hasan Mustapa menginginkan dirinya dipindahkan dari Aceh ke Bandung.
Namun kejadian yang membuat malu itu bukanlah yang pertama terjadi di masa kepemimpinan PHH Mustapa yang juga dikenal sebagai sastrawan Sunda terkemuka ini. Hasan Mustapa juga pernah mendapat teguran dari Asisten Residen mengenai penggunaan dana kas (baitul mal) Masjid Agung.

Teguran dari Asisten Residen itu kemudian dituliskan oleh Hasan Mustapa dalam salah satu bukunya yang terkenal membahas adat kebiasaan orang Priangan dan Sunda yaitu "Bab Adat-adat Urang Priangan jeung Sunda Lianna ti Eta" (1913). Sedangkan isi teguran dari Asisten Residen itu adalah: "Pihak gubernemen sudah dapat laporan, bahwa selama bulan puasa di masjid Kaum Bandung, orang cuma pesta-pesta saja."

Ada problem pemahaman kebudayaan di sini. Yang dimaksud Asisten Residen dengan "pesta-pesta" tadi bukanlah pesta-pesta macam di Kamar Bola atau Gedung Societet. Yang terjadi sebenarnya adalah penyediaan, atau suguhan, makanan berbuka puasa yang disediakan oleh Masjid Agung. Sekarang hal itu lazim disebut "takjil".

Selain itu, ada juga makanan teman ngopi bagi mereka yang melakukan tadarusan di Masjid Agung Bandung, biasanya setelah salat tarawih. Istilah untuk makanan tersebut adalah "jajabur" (di beberapa daerah, misalnya di Cirebon, disebut "jaburan"), yaitu makanan berupa kue-kue dan makanan yang manis-manis. Penyediaan makanan tadi menggunakan dana khusus yang sudah ditentukan. Sebenarnya banyak pula makanan yang merupakan kiriman dari rumah-rumah di sekitar masjid.

Menurut Haryoto Kunto dalam bukunya Ramadhan di Priangan, dana khusus tadi didapat dari setoran zakat hasil bumi (in natura) yang melimpah. Adapun barang zakat hasil bumi yang disetorkan ke kas Masjid Agung saat itu, berdasarkan buku karya Hasan Mustapa yang berjudul Buku Leutik Jadi Pertelaan Adatna Jalma-jalma di Pasundan (1916) terdiri dari padi, kopi dan hasil bumi lain, seperti jagung, ketela dan kelapa.

Sedangkan Asisten Residen hanya berpatokan pada Surat Sekretaris Gubernemen yang Pertama No. 1893 bertanggal 4 Agustus 1893 tentang "Aturan Kas Mesjid, Zakat Dan Fitrah". Surat itu berisi:

"Dimana telah menjadi adat, bahwa sebagian dari pada uang zakat dan fitrah itu harus dimasukkan ke dalam kas mesjid, maka pemerintah harus mengawasi dengan keras, baik tentang hal itu ada peraturan yang tertulis, baik pun tidak, supaya barang atau uang itu hanyalah dipakai buat keperluan agama Islam saja dan supaya isi kas itu jangan lebih daripada keperluan agama di tempat itu."

Kesalahpahaman pemerintah kolonial dalam melihat adat kebiasaan penggunaan dana kas masjid, yang pada dasarnya dipicu oleh ketidakmampuan memahami adat dan kebiasaan setempat, coba diperbaiki dengan keluarnya Bijblad No. 1892 dan No. 6200 yang berbunyi:

"Menurut kejadian yang terdengar oleh Tuan Besar Gubernur Jenderal maka nyatalah bahwa amtenar Eropa acapkali salah mengerti tentang sifatnya dan maksudnya uang dan barang yang dikumpulkan oleh Bumiputera yang beragama Islam, baik derma itu diberikan dengan kehendaknya sendiri, maupun dengan paksaan sedikit; dari sebab itu kadang-kadang amtenar Eropa itu membuat aturan yang berlawanan dengan maksud uang dan barang itu, sedang sebaliknya kerap kali diadakan pengawasan yang kurang cukup atas banyaknya pungutan yang diminta oleh ulama dari rakyat yang beragama Islam begitu pula atas pembagian peroleh itu dan atas urusannya." (Mohammedaans Indlandse Zaken).

Kekayaan Para Pejabat Agama Bandung 

Besarnya penghasilan pejabat keagamaan saat itu, yang terdiri dari Kepala Penghulu, Penghulu, naib, amil, khatib dan modin, dijelaskan oleh Nina Lubis dalam bukunya Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Gaji Kepala Penghulu saat itu adalah sebesar f 135.  Besarnya gaji tersebut masih ditambah dengan penghasilan khusus bagi pejabat keagamaan yang  berbentuk  uang, berbentuk barang komoditas pertanian (in natura) serta dalam bentuk tenaga kerja.

Penghasilan berupa uang yang terdiri dari uang ipekah, yaitu uang untuk mengurus perkawinan, uang waris yang diambil sebesar 10% dari jumlah harta waris yang dibagikan dan uang pajak perhiasan emas yang besarnya 2 real emas atau 20 real perak.

Penghasilan yang bukan berupa uang (in natura) di antaranya adalah zakat hasil sawah yang berupa padi. Walaupun pada awalnya zakat ini bersifat sukarela namun seiring berjalannya waktu sifatnya berubah menjadi keharusan. Selanjutnya adalah penghasilan dalam statusnya sebagai amil zakat dari zakat fitrah hasil ladang yang dibayarkan setiap akhir Ramadhan maupun berupa zakat ternak yang populer di Bandung berupa hewan kerbau (munding).

Menurut kesaksian Andries de Wilde, pemilihan zakat kerbau ini untuk mencegah pembegalan yang sering terjadi di awal abad XIX saat kondisi keamanan wilayah Bandung masih rawan kejahatan. Setidaknya jika zakat dalam bentuk hewan ternak berupa kerbau tidak akan mudah dibawa begitu saja oleh pencoleng dibandingkan dengan zakat dalam bentuk uang.

Selain berbentuk uang dan barang pertanian dan peternakan, pejabat kegamaan juga memperoleh penghasilan dalam bentuk tenaga manusia. Biasanya mereka yang melakukan pernikahan diwajibkan untuk bekerja dalam jangka waktu tertentu sebagai pajak pernikahan.

Pendapatan khusus tadi dikumpulkan dari berbagai distrik bawahan suatu kabupaten. Pengumpulan dilakukan petugas amil yang melaporkan pada juru tulis zakat yang memberikan laporannya pada penghulu distrik. Kemudian penghulu distrik memberikan laporan pencatatan pada kepala penghulu di ibukota kabupaten.

Masing-masing pejabat keagamaan memperoleh persentase tertentu sesuai dengan jabatan yang diembannya. Menurut Nina Lubis pembagian pendapatan zakat padi sepertiga bagian diberikan untuk petugas pengairan, naib, amil dan juru tulis distrik. Sedangkan dua per tiga sisanya dibagikan pada kepala penghulu, kalipah dan juru tulis zakat kabupaten. Bahkan dari dana tersebut ada bagian yang diperuntukan kepala pesantren, khatib dan modin kabupaten, fakir miskin dan tamu kabupaten serta tamu distrik.

Mencuri di Institusi yang Mestinya Suci

Haryoto Kunto kurang lebih menyatakan hal yang sama dengan Nina Lubis mengenai pembagian dana zakat yang berupa uang, hasil bumi dan kerbau. Menurutnya 90% dana yang terkumpul dimasukan dalam dana kas masjid agung. Sedangkan 10% sisanya dibagikan untuk kepala penghulu dua pertiga bagian, sisanya untuk petugas amil.

Sedangkan menurut R. Ngabehi Tjitro Adhi Winoto dalam tulisannya di Medan Prijaji, sisa dana yang masuk ke kas Masjid Agung Bandung hanya sebesar 5%. Dana kas yang disetorkan tersebut adalah dana setelah dipotong untuk pendapatan golongan Kaum yang mengurusi bidang keagamaan. Sedikitnya dana yang masuk ke dalam kas masjid membuat keuangan baitul mal menjadi kurang kuat.

Hal tersebut masih diperparah penyelewengan yang dilakukan oleh naib di distrik bawahan Bandung. Sehingga dana kas Masjid Agung Bandung semakin hari semakin berkurang. Besarnya penghasilan pejabat keagamaan yang didukung oleh aturan yang ketat yang dibuat oleh pemerintah kolonial nyatanya tidak menjamin intstitusi suci ini lepas dari masalah korupsi.

Jika coba melihat pada kondisi saat ini yang terjadi tidaklah berbeda dengan masalah uang kas Masjid Agung Bandung tadi. Sebutlah korupsi dana Al-Quran dan korupsi dana haji di Kementerian Agama yang bahkan menyeret nama pemimpin departemen yang mengurusi agama di negeri ini. Fenomena ini membuktikan bahwa kelakuaan miring bisa dilakukan oleh siapa pun, termasuk oleh mereka yang bekerja di institusi-intitusi keagamaan. (tirto.id - arw/zen)

Tayang pertamakali di tirto.id
tanggal 3 Juli 2017