27 October 2017

Nashar Memasrahkan Hidupnya untuk Melukis


“Habiskanlah seluruh waktu hidupmu untuk melukis. Kalau cari uang, carilah sekadarnya saja, selebihnya serahkan hidupmu untuk seni lukis,” ujar Affandi, maestro seni lukis kelahiran Cirebon.

Dalam diri Nashar, pelukis yang berkali-kali dibilang tidak berbakat oleh Sudjojono (seniman Lekra), sikap hidup itu terpatri dan melembaga dalam dirinya, dipegang erat dan dibawanya sampai lampus. Khalayak seni rupa mengenal Nashar sebagai seorang pelukis dengan konsepsi Tiga Non dalam berkarya: nonestetik, nonkonsep, dan nonteknik. Karena itu -- pada masanya -- lukisannya jarang laku. 

Tapi apa pedulinya? Bagi Nashar melukis adalah bernapas.

“Aku melukis siang-malam. Memang meletihkan sekali, tapi aku tak peduli. Perasaan seperti sedang berburu, tapi tidak tahu apa yang diburu,” tulisnya dalam salah satu surat malam bertitimangsa 1968.

Dalam buku Mengenang Hidup Orang Lain yang isinya kumpulan obituari, Ajip Rosidi menjelaskan, “Dia melukis terus, melukis apa yang dia suka menurut cara yang dianggapnya sendiri paling baik, tanpa mempedulikan apakah lukisannya akan dibeli orang ataukah tidak, disukai orang ataukah tidak. Bagi Nashar melukis adalah kebutuhan hidup seperti bernapas. Kalau tidak dilakukan dia merasa pegal-pegal dan ngilu seperti dia tulis dalam salah satu surat-surat malamnya.”

Masa remaja, ketika Jepang masuk dan keadaan menjadi gawat, Nashar berhenti sekolah. Tepatnya diberhentikan oleh ayahnya. Ia kemudian disuruh menjaga toko ayahnya. Kerjanya hanya menyapu lantai, membersihkan kursi-kursi dan meja-meja. Sesekali menerima telepon. 

Ia merasa bosan. Amat bosan. Ia mencoba mengadu kepada pamannya, mengutarakan keinginannya untuk sekolah lagi, namun pamannya menggeleng.

“Aku tidak bisa berbuat apa-apa karena ayahmu terlalu keras dan tidak pernah mau mendengarkan kata orang, sekalipun oleh orang yang paling dekat seperti aku ini,” kata pamannya.

Dalam beberapa catatannya yang dihimpun di buku Nashar oleh Nashar, ia memberi contoh tentang betapa keras ayahnya. Sesekali Nashar membaca koran, namun dengan perasaan takut, sebab bentakan ayahnya selalu terngiang: “Anak kecil tidak boleh membaca koran!” 

Sikap keras itu tidak hanya dirasakan Nashar. Menurut Nashar sendiri, ibunya mengalami kelemahan saraf karena sikap ayahnya yang terlalu keras.

Nashar dilahirkan pada 3 Oktober 1928 di Pariaman, Sumatera Barat. Sejak kecil ia sudah dibawa orangtuanya merantau. Pada masa pendudukan Jepang, orangtuanya tinggal di Jakarta. Karena keadaan semakin gawat, ia sekeluarga kemudian pindah ke Yogyakarta. Di kota inilah Nashar mulai berkenalan luas dengan para pelukis.

Hasrat menjadi pelukis sebetulnya timbul ketika ia masih berada di Jakarta. Ketika ia tengah mengantuk menjaga toko ayahnya, tiba-tiba seorang kawannya yang bernama Taufik lewat, dan kawannya itu ternyata tengah belajar melukis. Detik itu pula, mungkin karena bosan yang terlampau mendera, Nashar menyatakan keinginannya untuk ikut belajar melukis.

Tempat belajar melukis Nashar dan kawannya dipimpin Sudjojono yang oleh murid-muridnya dipanggil Pak Jon. Mulanya Nashar tidak berani masuk ke sanggar lukis tersebut, ia hanya melihat kawannya belajar dari luar. Baru pada hari ke sembilan ia beranikan diri menemui Sudjojono.

“Cobalah bawa ke sini gambar-gambar kau yang di rumah, supaya saya bisa lihat,” ujar Sudjojono kepadanya.

Esoknya ia bawa beberapa gambarnya ke sanggar. Sudjojono menggeleng-gelengkan kepala sambil berkata, “Kau tidak punya bakat, Nas. Tapi cobalah bikin lagi,” ujarnya.

Dengan perasaan tidak menentu, Nashar pulang ke rumahnya dan segera menggambar lagi. Esoknya ia bawa lagi ke sanggar, dan jawaban Sudjojono sama seperti hari sebelumnya. Sama persis. Presisi di setiap kata, “Kau tidak punya bakat, Nas. Tapi cobalah bikin lagi.”

Pada kesempatan lain, Sudjojono berkata kepadanya, “Nas, lebih baik kau bekerja kantoran saja, atau mendaftar menjadi Heiho karena untuk menjadi pelukis harus punya bakat. Kau tidak punya bakat.”

Ucapan Sudjojono itu terus-menerus menimbulkan keberanian baginya untuk menggambar dan menggambar lagi. Meski di satu sisi kalimat “Kau tidak punya bakat, Nas” mematahkannya, namun di sisi lain kalimat “Tapi cobalah bikin lagi” mendorongnya untuk tak patah arang.

Apalagi setelah beberapa kali bolak-balik ke sanggar dan tetap dianggap tak berbakat, akhirnya Sudjojono berkata, “Kau memang tidak punya bakat, tapi kau boleh coba-coba ikut berlatih di sini.”

“Aku yang telah berulang kali datang menunjukkan kesanggupanku menggambar dan selalu ditolak oleh Sudjojono dengan alasan aku tidak punya bakat, tentu saja atas kesempatan yang diberikannya kepadaku itu, aku merasa bangga dan merasa menang atas perjuanganku, paling tidak perasaan itu untuk diriku sendiri. Aku merasa ada sebuah pintu terbuka untuk hari depanku,” tulis Nashar.

Di Yogyakarta, Nashar bertemu dengan Moh. Sahid, kawan belajar melukis ketika masih di Jakarta. Lewat kawannya inilah ia kemudian bergaul dengan Affandi. Ia juga bertemu dengan A. Wakidjan, Zaini, dan Trubus, kawan-kawannya yang sama-sama belajar melukis pada Sudjojono. Sementara dengan para pelukis senior, ia bertemu dengan Hariyadi S. Suromo, Surono, Sudarso, dan lain-lainnya.
Minggat dari Rumah dan Tinggal Nomaden
Karena sifat ayahnya keras, Nashar minggat dari rumah. Ia kemudian nomaden. Meski bukan seorang pamong atau guru sekolah Taman Siswa, namun Nashar pernah tinggal di Jalan Garuda 66, Jakarta—tempat tinggal guru-guru Taman Siswa yang sudah berkeluarga. Ia tinggal di rumah Sutiksna, salah seorang pamong yang tiap hari Ahad rumahnya digunakan sebagai tempat melukis para anggota GPI (Gabungan Pelukis Indonesia).

“Palukis Nashar meskipun bukan pamong, entah mengapa, tinggal di situ juga, kalau malam, ia menggelar tikar di ruang makan keluarga Sutiksna,” tulis Ajip dalam otobiografinya Hidup Tanpa Ijazah: Yang Terekam dalam Kenangan.

Nashar juga pernah tinggal cukup lama bersama Ajip Rosidi. Meski usia keduanya terpaut 10 tahun—Ajip lebih muda, namun mereka mempunyai kecocokan dalam berkawan. Hal ini pula yang kemudian membuat keduanya terbuka dan tidak saling perhitungan.      

Ajip berkisah, bahwa banyak kawannya yang sering berkunjung ke rumahnya di Kramatpulo, kadang-kadang mereka menginap di atas tikar di lantai, dan kalau ngobrol sampai larut malam. Nashar malah kemudian tinggal di rumahnya, tidur menggelar tikar atau di atas ranjang bergantian dengan Ayatrohaedi (adik Ajip) dan Karsita (kerabat Ajip dari pihak ayah).

Sekali waktu ketika Ajip dan istrinya memutuskan untuk pindah ke Jatiwangi, Majalengka, rumah yang ia sewa tetap diperpanjang. Hal itu dimaksudkan untuk tempat tinggal Ayatrohaedi yang masih sekolah di SMA Muhammadiyah dan untuk keperluannya kalau sekali-kali ke Jakarta. Nashar juga terus tinggal di situ bersama Ayatrohaedi.
Ketika akhirnya Ajip Rosidi tidak memperpanjang sewa rumahnya yang di Kramatpulo, Nashar kemudian tinggal bersama pelukis Alimin di rumah petak di kawasan Setiabudi yang baru dibuka.

Selanjutnya Nashar tinggal di Balai Budaya. Ia selalu melukis pada malam hari. Kalau lelah mendera, ia tidur dekat lukisannya di atas sehelai tikar atau kertas koran sebagai alas di atas tegel yang dingin.

“Pelukis itu hidupnya tak bisa berpisah dari cahaya matahari. Tapi coba lihat Nashar, sekarang sudah pukul sebelas lewat, dia masih tidur!” ujar Sudjojono sekali waktu.

“Nashar dunia wisma. Tinggal di ruang-ruang budaya di Jakarta. Ada artikel yang menulis Nashar si pelukis miskin,” ujar Jeffrey Hadler (sejarawan dari University of California, Barkeley) dalam sebuah diskusi tentang Nashar di ruang pertemuan dekanat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas pada 22 Juli 2014, dikutip oleh laman padangkita.com.

Sebagai salah satu kawan dekatnya, Ajip Rosidi berkomentar bahwa menurutnya Nashar adalah contoh yang monumental tentang dedikasi seniman terhadap keseniannya.

“Demi kesenian, Nashar bersedia mengurbankan apa saja: kesenangan duniawi, hidupnya sendiri, keluarganya... semua tak dia pedulikan, karena dia ingin memusatkan pengabdiannya pada melukis. Belasan tahun lamanya setelah bercerai dengan isterinya dia tinggal di Balai Budaya,” tulis Ajip.
Menikah dan Golok di Malam Pertama
Meski hidup dengan serba kekurangan, namun keinginan berumah tangga siapa yang bisa membendung? Begitu pula yang terjadi pada Nashar. Di usianya yang sudah lewat 30 tahun, sekali waktu ketika sudah tinggal bersama pelukis Alimin, Nashar menemui Ajip Rosidi dan mengutarakan rencananya untuk menikah.

“Dia dengan bangga menceritakan bahwa dia menemukan calon istrinya dengan cara yang luar biasa,” tulis Ajip.

Ajip menambahkan, menurut penuturan Nashar, ada seorang wanita tua tetangganya di Setiabudi, sering bertanya kepada Nashar dan Alimin ihwal mengapa mereka belum juga menikah. Nashar bergurau menjawab, “Belum ketemu calon yang cocok.” Wanita itu lalu menawari akan mencarikan calon yang cocok.

“Mereka akan datang satu demi satu dipertemukan dengan Nashar dan Alimin. Mereka akan pura-pura lewat depan rumah, sedang Nashar dan Alimin melihat dari dalam. Kalau ada yang cocok, baru akan diajak berkenalan. Maka Nashar dan Alimin yang bagaikan pangeran yang akan memilih puteri setiap hari duduk melihat ke luar memperhatikan wanita yang disuruh pura-pura lewat oleh wanita tua itu,” tulis Ajip.   

Setelah lama memilih, akhirnya Nashar ketemu yang cocok: janda, mantan istri seorang tukang becak.

Selain Ajip Rosidi, pernikahan Nashar juga dihadiri oleh Toto Sudarto Bachtiar (penyair kelahiran Cirebon) dan Wakidjan (pelukis). Menjelang salah asar, mereka pamit pulang. Ajip pulang ke rumah Dodong Djiwapradja untuk suatu keperluan. Sebelum subuh, pintu rumah Dodong diketuk dengan keras. Karena Ajip tidur di kamar depan, maka ia yang membukakan pintu.

Ketika pintu dibuka, Nashar berdiri di baliknya. Setelah diajak masuk, ia lalu bercerita bahwa iparnya bertengkar dengan ayahnya sampai mengamuk dan menenteng golok: menantang ayahnya berkelahi. Dalam suasana genting seperti itu, istri Nashar berbisik agar ia pergi menyelamatkan diri menuju Jakarta. Karena tahu Ajip menginap di rumah Dodong, maka ia menuju ke sana.

“Jadi, lu belum melaksanakan malam pertama, dong!” kata Ajip bergurau.

“Habis takut kena golok!” ujar Nashar sambil tersenyum kecut.

Sepanjang yang diketahui Ajip, Nashar tak pernah kembali ke rumah istrinya tersebut.
Tuna Uang dan Pencarian Diri
Selalu kekurangan uang, itulah hidup Nashar. Kondisi ini tentu hadir, salah satunya, dari sikapnya terhadap lukisan yang tidak dijadikan sebagai barang dagangan, melainkan sebagai jalan hidup, kebutuhan dasar yang mesti dipenuhinya. 

Menurut Jeffrey Hadler, yang menulis buku tentang Minangkabau, Nashar memang tak suka menjual lukisannya. Jika ia butuh uang, ia lemparkan ke mahasiswa untuk membeli lukisannya berapa pun duit adanya.

Sementara Ajip Rosidi, baik dalam otobiografinya (Hidup Tanpa Ijazah), maupun dalam buku kumpulan suratnya (Yang Datang Telanjang: Surat-surat Ajip Rosidi dari Jepang 1980-2002), menuturkan relasi kedekatan antara Nashar dengan dirinya sampai ke masalah keuangan.

Agar Nashar bisa terus melukis, selama di Jepang Ajip kerap mengirim uang kepada Nashar. Sebaliknya, jika Ajip sedang libur ke Indonesia ia sering membawa lukisan Nashar yang dianggapnya menarik hati. Suatu saat Ajip beberapa kali memimpikan kawan-kawannya yang telah meninggal. Dan Ajip teringat akan kematian. Lalu ia menulis surat dari Osaka untuk Nashar bertitimangsa 15 Januari 1992.

Inti dari surat itu adalah ajakan Ajip kepada Nashar untuk saling mengikhlaskan ihwal uang dan lukisan yang selama ini terkait di antara keduanya.  

“Teringat akan urusan kita berdua. Memang selama ini antara kita berdua tak pernah ada perhitungan. Gua kebetulan punya rejeki, dapat mengirimkan uang sekadarnya (hampir) saban bulan kepadamu. Dan kalau gua melihat ada lukisanmu yang menarik, gua ambil. Gua kira baik lu maupun gua sama-sama ikhlas. Karena dasarnya bukan mau jual-beli,” tulis Ajip di salah satu alinea.

Menurut Ajip, Nashar pun setuju dengan ajakannya. Bahkan Nashar berkata, “Lu ambil saja lukisan gua semua, gantungkan di dinding rumah lu!”

13 April 1994, Nashar meninggal di Jakarta di tengah kondisi keuangan yang sulit. Ia meninggalkan jejak sikap yang barangkali kontroversial. Namun jika menilik lagi catatan-catatannya di buku Nashar oleh Nashar, sidang pembaca akan bisa melihat dan mungkin meraba pedalaman kalbunya.

Melukis bagi Nashar bukan soal menuangkan cat di atas kanvas, namun lebih dalam dari itu. Ada pergolakan, kegelisahan, renungan, dan pencarian diri yang paling tersembunyi. Semuanya ia lakukan di titian waktu yang berparade dan berderap, dilumuri ragam peristiwa yang berkali-kali menghunjam jiwanya.     

Dalam kumpulan surat-suratnya yang dibukukan, tepatnya surat keenam belas ia menulis: “Apa yang paling dalam yang tersembunyi dalam jiwa, tak mungkin bisa dipikirkan. Dan rasa-rasanya, pikiran tak mungkin bisa menjangkaunya. Menurut pendapatku, sesuatu yang jauh tersembunyi dalam jiwa itulah yang bisa dianggap ‘diri’ manusia yang sebenarnya.” (tirto – irf/zen)

Tayang pertama kali di tirto.id
tanggal 21 Oktober 2017

24 October 2017

Melarung Bro di Nantalu (Oleh: Martin Aleida)


Tak pernah kami perkatakan bagaimana nanti kami menjemput ajal. Kami sadar, pertanyaan itu di luar jangkauan kodrat kami untuk menjawabnya. Tetapi, niat kami sudah teguh. Kalau kami mati, kami ingin dikuburkan di daratan Nantalu, di hulu sungai ini, di mana hutan tak mengenal tepi. Kami merasa tak nyaman dengan pekuburan umum, yang membuat kami terus-menerus merasa dikejar-kejar perasaan bersalah, karena membiarkan orang tua kami menjalani istirahat penghabisan dengan ancaman banjir dan limbah rumah tangga yang amis.
Angan-angan kami adalah sebuah istirahat kubur yang damai di bawah langit biru di lingkungan hutan hujan. Betapa bahagianya kami nanti dari dalam liang lahad bisa menyaksikan air yang menderu tak habis-habisnya, berebutan jatuh meluncur membasuh tebing. Akangkah nikmatnya menyaksikan hablur air yang deras menghanyutkan jutaan kiambang buih ke Selat Malaka, meninggalkan jejak pelangi di pucuk-pucuk pohon.
Tetapi, apa mau dikata, cita-cita yang sudah berusia lebih setengah abad itu hanyut sudah. Sekarang aku berdiri seorang diri di tubir sungai ini, di Nantalu. Hati terluka, karena apa yang dulu telah bulat kami tancapkan sebagai niat tinggal angan-angan hampa belaka. Paling tidak untuk Bro, kawanku….
Dulu, ketika baru balig, tak pernah kami bayangkan bahwa kematian tidak selamanya harus berakhir di liang persegi panjang di sebidang tanah. Agama yang kami anut tidak memungkinkan khayal kami untuk berpikir tentang akhir hayat seperti itu. Yang tidak memerlukan tanah barang sejengkal pun sebagai kuburan. Dan bahwa dengan panasnya tungku krematorium, tulang dan daging seonggok jasad bisa tinggal hanya segumpal debu. Namun, justru jalan kematian yang berapi seperti itulah yang telah ditempuh Bro, setelah dia mengembara berpuluh tahun di dua daratan benua.
Sendirian aku di tepi sungai ini. Di kakiku air berkecipak berlomba ke muara. Di tanganku telentang cawan seputih gading. Di dalamnya tertumpuk jasad Bro yang hanya tinggal abu, seujung tajuk bunga kamboja banyaknya. Dari Prancis, anaknya, Suilien, memohon agar aku berkenan melarung abu ayahnya itu di sungai ini, di tumpah darahnya ini. Suilien tak bisa datang. Bukan karena tak ada waktu untuk sang ayah. Masalahnya, dia membayangkan betapa dia takkan kuasa menahan getirnya perasaan melihat mulut-mulut yang mencibir, yang ditujukan kepadanya. “Cis najis, cucu berdarah iblis….” Begitulah mungkin umpat semua mata begitu menyaksikan kedatangannya.
Suilien ingat bagaimana jasad atoknya, ayah dari ayahnya, 45 tahun lalu, dibiarkan dingin membatu, sampai-sampai cairan tubuhnya sudah merembes dari celah kuku. Lalat dan belatung mengerubung, tapi tak ada warga yang mau merapat. Tak ada yang ridho menguburkannya baik-baik, dengan doa, walau hanya selenting. Dendam yang sesat telah menjadikan orang tua itu lebih hina daripada ikan patin yang terapung membusuk. Padahal, dia yang terbujur itu bukanlah pembangkang Tuhan. Dia pernah menjadi anggota parlemen, berulang-ulang naik kapal laut untuk menunaikan ibadah haji. Tetapi, di mata mereka yang telah merampas pedang dari tangan Tuhan, jasadnya tak layak dimakamkan, karena anaknya dipercaya jadi dalang pembantaian para jenderal.

Beberapa tahun sebelum peristiwa berdarah yang menjungkirbalikkan jalannya sejarah negeri ini, Bro dan istrinya bertolak memenuhi undangan ke Tiongkok. Dia mendapat tawaran yang baik, menjadi guru Bahasa Indonesia di sana. Malang, hanya sekejap dia menikmati hidup sebagai seorang guru besar. Ajakan penyair Boejoeng Saleh melalui puisi pendeknya, “Datanglah ke Tiongkok/tengok hari esok,”hanya menemukan kenyataan seperti tuba di dasar gelas. Revolusi Kebudayaan melanda Tiongkok. Bukan cuma kaum komunis yang dicap jadi borjuis di negeri itu saja yang jadi sasaran. Juga orang-orang Indonesia yang menjadi tamu perayaan hari jadi Republik Rakyat Tiongkok. Mereka tak bisa kembali ke kampung, kecuali siap untuk ditangkap dengan tuduhan terlibat persekongkolan membantai para jenderal.

Bro dan kawan-kawannya disingkirkan dari kota. Sama dengan kaum komunis lokal, yang dituduh terjangkit penyakit borjuis dan harus dicuci otaknya, Bro juga menemukan nasib yang tak kalah buruk. Bersama kawan-kawannya, dia digiring ke pedesaan. Dia dipaksa melakukan kerja badan, bertani, sebagai hukuman untuk gaya hidup yang dicap berleha-leha ala tuan tanah selama ini. Bro yang semasa kecil di kota kami ikut mengejek dan melempari apek, yaitu Cina tua dan papa yang sedang membuang kotoran manusia ke sungai, sekarang nyahok. Dia dipaksa memungut kotoran manusia untuk disiramkan ke tanaman sebagai pupuk, semacam pembenaran terhadap petuah Ketua Mao bahwa pabrik pupuk terbesar di dunia ada di perut manusia.

Akhirnya, Bro berniat melarikan diri, dan dia menemukan jalan untuk menyingkir dari siksaan berkepanjangan. Melalui perjalanan darat beribu kilometer, yang tak pernah dia bayangkan, sampailah dia di Paris. Di kota itu dia bertemu dengan seorang kawan yang juga tak bisa pulang ke Jakarta, kecuali siap ditangkap, disiksa, dan dibunuh.

Museum yang mengagumkan, restoran-restoran dengan bangunan antik yang menggiurkan, menyaksikan Bro dan kawan-kawan yang bertubuh kecil itu, menyeret-nyeret kaki, luntang-lantung mencari jalan untuk bertahan hidup. Didorong angin musim panas, terkadang tubuh Bro yang gembor kelihatan sempoyongan seperti layang-layang putus tali teraju. Sambil berjalan, hernianya kerap kumat. Untung di Paris. Orang-orang di sini takkan melirik pisak celananya yang menjendol sebesar kelapa. Di kota kami, penyakit itu akan menjadi olok-olok. Akan ada orang yang iseng, membeli jeruk purut, dibubuhi garam, diperas, dan ditiupkan jampi dari kejauhan, bikin kantong buah pelir membengkak, gatal tak karuan.

Pada sebuah daun pintu, di sebelah gereja tua, harap-harap cemas dua sahabat sepenanggungan itu mengetuk dengan kepala merunduk. Bolak-balik beberapa kali bertemu dengan pengurus perkumpulan yang berkantor di sebelah gereja itu, akhirnya mereka memperoleh pinjaman untuk mendirikan restoran masakan Indonesia. Turis rupa-rupa bangsa, yang mencari-cari makanan eksotis, menemukan yang mereka buru di situ. Mereka yang dikejar-kejar pemerintah Indonesia menjadikan restoran yang taplak mejanya berwarna merah itu sebagai pusat temu kangen. Buat pejabat dari Jakarta, kecuali seniman, yang mampir di Paris, restoran tersebut adalah tujuan yang harus dihindari. Seperti ada wabah lepra di situ.

Restoran bertaplak merah itu menarik perhatian Jio, teman Bro ketika masih di Jakarta. Jio yang tak tahan menanggung siksa membelot menjadi interogator terhadap para tahanan politik yang adalah kawan-kawannya sendiri. Dia pelukis, dan dialah yang memberikan ilham jahat kepada penguasa militer, bahwa di pedestal, di atas tempat patung Dirgantara akan ditempatkan, yang lancip berdiri diperempatan Pancoran, Jakarta, adalah patung pencungkil mata. Untuk membangkitkan amarah masyarakat terhadap pembunuhan jenderal, koran-koran yang berada di bawah kontrol militer, yang bernafsu untuk menjatuhkan Soekarno dengan membantai para pendukungnya, melansir berita bahwa para jenderal, setelah dibunuh, dimutilasi dalam seribu potong. Dicungkil matanya. Patung pencungkil mata itu buktinya.

Sebelum meninggal karena dibunuh kencing manis, Jio berniat memata-matai restoran bertaplak merah itu. Tak sulit buatnya. Kekuasaan dekat ketiaknya. Duit, apalagi. Dia pun terbang ke Paris. Bro kaget ketika melihat Jio sudah berdiri di depan hidungnya. Nama Jio dan seluruh kelakuannya sudah lama jadi bahan cemooh di kalangan mereka yang terdampar di Eropa. “Apakah sudah sejauh ini tugas yang diterima kawan ini…?” tanya Bro di dalam hati.

Tenang, dengan keramahan setengah hati, dia melayani tamu istimewanya hari itu. Yang tidak bisa dia patuhi adalah ketika Jio ingin menginap di apartemennya. “Apakah sebagai interogator dan intel, tugasnya termasuk memenggal kepalaku selagi tidur?” teriak Bro di dalam hati.

“Ingat kau,” tiba-tiba dia berbicara dalam nada tinggi, tak tahan membendung amarah. “Ini bukan Kota Paris, sarang lonte di Senen, Jakarta. Ini Paris, ibu kota negara di mana hukum jadi ukuran peradaban. Ini bukan negaramu, negara hukuman…!” Sebagai warga negara Prancis, Bro tentu tak bisa disentuh seorang pendurhaka semacam Jio.

Bro adalah sebuah perjalanan hidup yang tidak biasa, yang tiada tara. Bertahun menetap di Beijing. Dihinakan Revolusi Kebudayaan. Kehilangan istri di sini. Melompati Tembok Besar, melarikan diri ke Eropa. Berpuluh tahun hidup bukan dari buku, tetapi dari ulekan sambal di dapur.

Semasa anak-anak, kami sepengajian. Kuingat benar, tiga kali kami tamat membaca Alquran. Tiga kali pula diupah-upah berbarengan. Tapi, ah…. Lututku lemas. Empat tahun sebelum Bro jatuh terduduk dan tak bangun-bangun lagi di restoran bertaplak merah itu, agama yang sama-sama kami yakini ternyata dia tinggalkan. Ke mana pun pergi, sebentuk salib perak menggantung pas di tentang jantungnya. Apakah perjalanan hidup yang kelabu, yang dia tempuh berpuluh tahun, sama menyiksanya dengan yang dialami kawan-kawannya di tahanan dan di pulau pembuangan Indonesia, di mana para penceramah agama dan Pancasila menyumpahi mereka sebagai komunis, biang kufur?! Membuat iman si pesakitan guncang?!

“Seberat apa pun cobaan, pantang kami menyerahkan iman.” Itu kata penyair Aceh, sahabat Bro, begitu mendengar kabar terakhir tentang dirinya. Pengusung salib sejati Bro juga tidak. Dia bersahabat dengan seorang pendeta Buddha yang sama-sama ditindas komunis radikal di Tiongkok tempo hari. Cahaya persahabatan itulah yang di kemudian hari mengilhami Bro dalam mengatasi kemusykilan ketika akan menuliskan wasiat kepada anaknya, dengan jalan bagaimana dia akan kembali kepada pencipta-Nya. Sebab, dia ingin jasadnya yang sudah ditinggalkan rohnya—ibarat rumah yang sudah kosong—tidak hanya berada di Paris, tetapi juga ada di Amsterdam, Beijing, Berlin, dan Nantalu. Bro memilih jalan kematian seorang Buddhis: kremasi.

Bro telah menulis beberapa buku kenang-kenangannya semasa dia masih berada di Indonesia. Dalam bayanganku, Bro tentulah akan menulis sebuah buku dengan kisah yang merenggut perhatian, juga simpati, apabila dia menceritakan perjalanan hidupnya di daratan jauh. Dan menumpahkan pengakuan bagaimana kepercayaan, juga iman, telah menjadi permainan yang lapuk dalam sebuah perjalanan hidup yang buruk dan tak pernah dia mimpikan.

Di Nantalu, ya, di Nantalu, nama yang bermakna “yang kalah,” air terus berpendar berkecipak menciumi tebing. Tinggi-tinggi kuangkat cawan berisi sejumput abu Bro. “Tuhan, siapa pun Kau, terimalah kawanku ini. Dia orang baik-baik, sebagaimana yang telah kau tentukan bagi jalan hidupnya.” Lututku ngilu. Aku membungkuk dalam-dalam, membenamkan cawan perlahan ke pusaran air. Bro lenyap dalam sekejap. Aku percaya, kawanku itu sedang berenang-renang ke surga… [ ]

Tayang di Jawa Pos edisi 12 Desember 2010

Pusara (Oleh: Yovantra Arief)

Apalagi yang luput untuk diceritakan? Gelas-gelas kosong, isak tangis surut, pelayat beringsut meninggalkan rumah duka dan ayat-ayat suci menguap di udara. Jenazah masih berbaring kaku, asing dari keajaiban.
Suasana berkabung dengan air mata dan doa-doanya terlalu menyedihkan. Aku memandang Togar, teman lamaku sejak kecil, dari kejauhan. Dia setengah mati menahan diri untuk tidak menangis. Padahal dia berhak untuk itu. Kami berdua dan adiknya; Ranto, yang menjadi jenazah sekarang, tak pernah luput satu sama lain semenjak kecil. Aku pun mestinya menangis, tapi tidak. Tuhan—dan Anda juga nanti—tahu aku adalah orang yang menyedihkan. Tidak perlu air mata untuk membuktikan itu.
Para pelayat mulai surut; tinggal keluarga inti, beberapa kerabat dekat dan kekasih yang ditinggal pergi. Aku meminta diri. Togar mengerti lalu mengantar sampai ke pintu. Jabat tangan kami berlanjut jadi pelukan erat. Aku merasakan cairan hangat merembes di punggungku. Samar sebuah isak lolos dari pengawasannya, kemudian dia melepas lengannya dariku dengan wajah seperti yang selalu kulihat: air muka keras dengan keangkuhan yang khas serta segaris senyum yang jarang luput dipasang. “Sering-sering main ke sini,” katanya. “Pasti,” jawabku. Kami saling bertukar salam dan dia kembali menyelinap dalam kesedihannya.
Aku berbalik menelusuri jalan pulang. Pukul dua. Fajar tinggal beberapa jam lagi. Purnama masih bergelayut di mana dia semestinya berada. Begitu pucat, begitu pasi. Begitu mati. Aku terus melangkah tanpa menoleh ke arah rumah duka untuk terakhir kalinya. Aku tidak bisa kembali melihat kesedihan itu. Tidak setelah air mata Togar merembes di punggungku. Aku tidak pernah menyambanginya lagi setelah malam itu.
Mungkin kematian bukanlah hal yang menyenangkan untuk memulai sebuah cerita, tapi sebuah cerita tetap harus dimulai dengan cara apa pun itu. Yang barusan kau baca bukanlah kematian pertama dan, aku bisa memastikan, bukanlah yang terakhir yang pernah bersentuhan denganku. Enam bulan setelahnya, kakek meninggal. Nenek benar-benar terpukul dan nampak kehilangan sebagian besar porsi kehidupannya. Satu tahun kemudian, beliau menyusul. Sebelum kusadari, aku mulai menandai waktu dengan kepergian orang-orang di sekelilingku. Mungkin aku terkesan terlalu muram; terlalu melebih-lebihkan, tapi seperti sudah kubilang sejak awal, pada dasarnya aku memang orang yang menyedihkan.
***
Selepas kuliah aku mulai mengendus rupiah sebagai freelance graphic designer. Nama yang kedengarannya cukup upbeat—mungkin karena ditulis dalam cetak miring—tapi biar aku luruskan terlebih dahulu: kemilau graphic design nyaris hanya sebatas nama. Sebagian lulusan sekolah graphic design terdampar menjadi pengusaha jasa printing kelas menengah dan sebagian besar ilmu yang dibayar dengan harga mahal tersesat tak tersalurkan. Sebagian lain bekerja mati-matian untuk memenuhi tuntutan industri kemasan sekaligus harus berhadapan dengan klien keras kepala, pesaing picik dan perlombaan dengan waktu.

Lama-kelamaan kau akan kelelahan dan ketika rasa lelah itu merongrong batok tengkorakmu, fakta yang tak terelakkan menendang bokongmu: kreativitas yang awalnya kau harapkan akan membantu mendaki tangga karier tak membawamu ke mana-mana. Kreativitas hanya kemampuan membongkar-pasang idiom-idiom klise lawas dari tempat sampah untuk menghasilkan sesuatu yang—nampaknya—baru. Yang benar-benar kau butuhkan adalah kecerdasan sosial.
Secara finansial mungkin pekerjaan ini tidak terlalu memuaskan, tapi tidak ada lagi yang bisa aku lakukan. Aku juga butuh makan dan orangtuaku tidak bisa terus-terusan memanggul tanggung jawab itu. Bekerja adalah hal yang semestinya dilakukan selepas kuliah. Untuk itulah orang rela membuang uang demi pendidikan. Semua orang tahu: lahir, sekolah, kerja, menikah, punya anak, kerja lagi, dan akhirnya, mati.
Hari-hari berlalu. Banyak cerita yang luput. Lima tahun setelah pemakaman Ranto aku berusia dua puluh enam dengan pekerjaan tetap dalam media massa. Wanita datang-pergi, dua tahun ini bernama Asri. Satu tahun lebih muda, cerdas, manis, dan punya senyum menawan ala iklan pasta gigi.
***
Kematian menghadang suatu pagi. Tak diduga dan tak dikenal, bergelimpang begitu saja di tengah jalan dengan sayur-mayur, tangis bocah dan sepeda motor tua. Sebuah truk melanggar sebuah keluarga kecil yang berboncengan di atas motor di perempatan. Sang ibu hanya luka kecil, begitu juga dengan kedua anaknya—bocah laki-laki sekitar lima tahun dan gadis cilik selisih beberapa tahun lebih tua, keduanya berseragam SD. Namun tidak dengan sang bapak. Wajahnya rusak terhantam trotoar dan tubuhnya remuk tergilas roda truk. Dia tewas seketika. Puluhan orang mengerubung, polisi merapikan lalu lintas yang kusut. Beberapa orang ditagih keterangan. Sopir truk bermata merah diamankan. Aku urung bekerja hari itu.
Ibu terkejut melihat kepulanganku, hari masih pagi dan aku sudah pulang dengan awan hitam menggantung di atas ubun-ubun. Aku bilang sedikit tidak enak badan, dia percaya lalu pergi ke kamar mandi. Di atas kasur aku mereka ulang kejadian; bapak menjemput ibu di pasar lalu mengantar kedua anaknya bersekolah. Lampu lalu lintas berubah merah, tapi kedua anaknya sudah hampir terlambat. Tak ada kendaraan lewat di depan. Dia tancap gas. Lalu sopir truk: pertengkaran dengan istri membuatnya tak bisa tidur semalaman, matanya berat meski segelas kopi kental sudah disikat. Lampu kuning, dia mengusap mata dan menggeleng keras mengusir kantuk. Gas diinjak dalam karena kecepatan bisa membuatnya tetap terjaga. Sepeda motor melengang dengan suara terbatuk. Kantuk diusir panik. Rem sempat diinjak, tapi terlambat tetap terlambat.
***
Keputusan itu datang begitu saja. Mendadak menelusup masuk ke kepalaku ketika ia terpelanting di atas bantal. Aku harus keluar dari tempat ini, sangkar yang menjadi tempatku kembali sampai sekarang. Memalukan, kata orang, masih tinggal bersama orangtua. Tapi bukan itu yang jadi alasan. Kejadian di jalan beberapa hari lalu terus menghantui kepalaku. Darah di jalan, anak-anak menangisi kematian ayah di dekapan ibu mereka—begitu intim. Begitu tragis.
Seperti foto di dinding: ibu—dengan gaun merah dan rambut disisir ke belakang—di sebelah kiri; memangku adik yang tidak sempat bersiap untuk difoto, ayah mengenakan jas hitam dan sebuah kumis tipis berdiri kaku di samping ibu, aku di depannya, tujuh tahun, dengan setelan kemeja putih dan tawa lebar. Waktu membuat foto itu usang. Kenangan di dalamnya terasa berjarak. Di dalam bingkai itu aku menemukan sebuah keluarga. Begitu intim. Ketika aku mendapati diriku sendirian di meja makan untuk makan malam: begitu tragis.
Tidak ada drama ketika aku pergi karena aku tidak pergi jauh. Rumahku hanya empat puluh lima menit dari rumah. Ibu masih tertidur waktu aku mengangkut barang terakhir, adik sudah pergi kuliah sedari pagi dan ayah pun tak ada di rumah. Tempat tinggal baruku benar-benar sederhana. Satu ruang tamu, dua kamar tidur, satu kamar mandi dan satu dapur. Sedikit perabotan… paling tidak aku bisa menyebutnya rumah.
Dua tahun kemudian aku dan Asri menikah.
Hari-hari yang baru menunggu di depan sana. Aku mencintai Asri dan mungkin dia juga begitu. Kebahagiaan-kebahagiaan kecil terus menyisip dari balik selimut, kopi pagi, dan telepon di jam istirahat.
***
Suatu malam aku terbangun dengan keringat dingin. Mimpiku pasti buruk sekali, mujur aku lupa ketika terjaga. Mimpi itu masih menyisakan teror yang merayap di balik kulit. Merobek dinding tipis yang memisahkannya dari realitas dan mengintip dari celah sempit. Mengintai dengan tajam matanya yang entah, menunggu waktunya tiba. Aku tidak tahu apa. Asri tidur meringkuk memunggungiku. Tersesat dalam mimpinya sendiri. Saat seperti inilah, pembaca yang budiman, kesepian nyata-nyata menyelimuti dan kau bisa menggapai tanganmu untuk merangkulnya.
“Jatuh tertidur sungguh mengerikan,” celetuk Patricia Franchini. “Tidur memisahkan manusia. Meski kau sedang tidur bersama seseorang, kau tetap sendiri.”
Hey, siapa Patricia Franchini? Apa urusan dia di cerita ini?
Aku bangkit menuju dapur untuk sekaleng bir lalu duduk di ruang tamu. Dua pasang mata di dinding memandangiku tanpa berkedip. Tapi bukan aku benar yang mereka pandang. Tatapan itu terlempar jauh ke depan, menantang masa depan dan segala kejutan yang disimpannya tanpa bersenjata apa-apa. Mungkin tanpa senjata sama sekali pun tidak sepenuhnya benar. Keduanya membersitkan cinta. Kau bisa melihatnya dari mata Asri yang sedikit sembap karena haru. Hari pernikahan kami benar-benar melepaskan kodratku sebagai makhluk yang—pada dasarnya—menyedihkan. Sampai sekarang pun aku masih merasa asing di depan foto pernikahan kami.
Inikah jawabannya—jalan keluar dari kehilangan dan kematian yang bertubi-tubi? Tiba-tiba aku bertanya-tanya. Cintakah? Kalau benar, apakah benar aku mengalaminya?
Cintakah Ferdinand dan Mariane, Samsul Bahri dan Siti Nurbaya—cintakah strangers in the night yang begitu sendu dinyanyikan Frank Sinatra? Kalau bukan, kenapa aku menitikkan air mata untuk mereka, seperti aku menitikkan air mata ketika Asri mengatakan ‘iya’ untuk lamaranku?

Aku tidak menemukan jawabannya. Cuma ada tanah basah dan nisan dingin. Kaleng bir lolos dari genggamanku lalu menghantam ilalang. Gila, hidupku hanya perjalanan dari satu pemakaman ke pemakaman lain. Selalu tentang kematian dan kehilangan. Pikiran ini sudah cukup untuk menerormu seumur hidup.
Aku bersimpuh di depan nisan kakek. Nenek dan Ranto nampak tersenyum satu meter di bawah tanah. Dengan pengap dan belatung yang menggerogoti tubuh bagaimana mereka bisa tersenyum—seperti apa wujud tengkorak ketika sedang tersenyum?
Aku menemukan diriku terkapar. Peluh merangkak dari ujung mataku. Tak mengapa. Tak mengapa, tegasku meyakinkan diri sendiri.
Samar lagu mengalun. Sebuah tangan menuntunku untuk berdiri. Senyum pasta gigi itu menemukan pertahanan terakhirku dan meremukkannya dengan hangat. Tangan kanannya menyelinap di pinggangku dan jemari tangan kirinya menyelinap dalam jemariku.
“Sudah lama kita tidak berdansa dengan lagu ini.”
Sudah lama kami tidak berdansa dengan lagu ini. Aku bahkan sudah lupa bagaimana caranya berdansa, tapi perlahan aku menemukan ingatanku dalam setiap langkah.
Aku tidak lagi berjalan gontai dari satu pemakaman ke pemakaman lain. Aku berdansa. Kami adalah dua orang asing yang berdansa tengah malam di atas alunan strangers in the night Sinatra. Tak jauh dari kami Ferdinand dan Mariane berdansa, begitu juga Samsul Bahri dan Siti Nurbaya. Tak ada yang tahu letak cinta, tapi cinta tahu untuk siapa dia ada. Mungkin.

Senyum pasta gigi Asri melumer, tinggal partikel kristal yang berkilauan di sela deretan giginya. Begitu asing. Setelah sekian lama aku hanya jadi penonton dalam hidupku sendiri, aku baru sadar aku tidak pernah sendiri. Selalu ada tangan-tangan yang siap mengangkatku kalau aku jatuh dan aku tak pernah peduli. Aku selalu penuh dengan diriku sendiri. Aku lebih banyak menggunakan ‘aku’ kalimatku. Aku tak tahu apa pun tentang Asri. Aku tak menyisakan banyak kalimat untuk menggambarkan betapa cantik senyumnya, molek kulitnya, bagaimana matanya menyihir kata-kata sampai kehilangan makna. Tentang kesedihannya, kehilangannya… dia pantas untuk itu. Begitu juga dengan Ranto, nenek dan kakek. Ayah, ibu, adik, Togar—
Cerita ini harus ditulis ulang. Mulai dari hari pertama aku bertemu Asri. [ ]
--Tayang di Kompas edisi 3 April 2011

08 October 2017

Said Reksohadiprojo, Pamong nan Bersahaja di Taman Siswa


Oleh: Ariyono Wahyu Widjajadi

Setiap guru luar biasa akan menghasilkan murid yang luar biasa pula. Predikat itu bisa kita lekatkan pada mahaguru Ki Ageng Suryomentaram dan Ki Hadjar Dewantara, juga guru seniman-seniman belia yang moncer di Jakarta: Said Reksohadiprojo.  

Pak Said, begitu panggilan akrabnya, adalah sosok pamong (sebutan untuk guru di Taman Siswa) yang berperan sentral menjadikan Taman Siswa Jakarta sebagai tempat istimewa pada periode 1950-an. Sekolah ini jadi uang berkumpul para seniman, sastrawan, dan budayawan kala itu: S.M. Ardan, Soekanto S.A., Sobron Aidit, Misbach Jusa Biran, Sjumandjaja, dan Achmad M.S. 

Bahkan, Ajip Rosidi memutuskan untuk pindah sekolah ke Taman Siswa setelah ia banyak mendengar cerita dari Ardan dan Soekanto tentang Taman Siswa. Cerita soal hubungan antara murid dengan pamong yang dekat dan akrab, kerap mementaskan pertunjukan kesenian, dan sosok Pak Said yang memiliki pergaulan luas di kalangan seniman. 

Khususnya seniman yang pernah dididik di Taman Siswa seperti Ramadhan K.H., Asrul Sani, dan Pramoedya Ananta Toer, seperti digambarkan La Fébre dalam bukunya mengenai Taman Siswa.

La Fébre menggambarkan bagaimana Taman Siswa Jakarta pada masa pendudukan Belanda tahun 1948 telah menjadi tempat bernaung kaum seniman kiblik pendukung Republik Indonesia. Affandi yang datang ke Jakarta saat Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda dalam "Aksi Polisionil" kemudian singgah dan bermukim bersama anak istrinya di bangunan bekas garasi di komplek Taman Siswa Jakarta di Jl Garuda. 

Pelukis ini tinggal selama kurang lebih satu tahun sambil mempersiapkan keberangkatannya ke Shantiniketan Art School di India yang didirikan penyair Rabindranath Tagore. Kemudian sering singgah pula penyair Chairil Anwar ke garasi tempat Affandi bernaung. Keduanya memang berkawan baik, setahun sebelumnya Chairil memang berkunjung ke Yogyakarta, dan bekerjasama membuat poster perjuangan "Bung Ayo Bung!" yang terkenal itu. 

Affandi yang menggambar poster, Chairil yang mencipatakan slogan perjuangannya. Di Taman Siswa Jakarta-lah Affandi membuat lukisan Chairil Anwar yang menurut Nasjah Djamin tarikan kuas terakhirnya diselesaikan saat penyair Angkatan ‘45 ini menghembuskan nafas terakhir tanggal 29 April 1949. Dan, Pak Said sebagai pamong Taman Siswa Jakarta, digambarkan oleh La Fébre dalam satu halaman penuh.

Sosok Sederhana dan Amikal

Pak Said yang sederhana dan amikal memang meninggalkan kesan bagi mereka yang pernah mendapat pendidikan di Taman Siswa Jakarta. Misbach Jusa Biran, senior Ajip di Taman Siswa menulis Said sebagai, "Pamong yang saya kagumi, saya benci, saya musuhi saya cintai, saya cintai..." dalam buku Mohammad Said Reksohadiprojo di Mata Sahabatnya

Kebersahajaan Pak Said itu dapat dilihat dari pakaian yang dikenakannya. Menurut Misbach, Said berpakaian aneh, mengenakan kopiah, kemeja lengan pendek, bersarung dan tak beralas kaki. Mirip pakaian santri. Walaupun kemudian hari Said memilih mengenakan sandal dan sepatu sandal serta jas untuk acara yang lebih resmi. 

Sandal inilah yang mewakili kebersahajaan Said. Saat dilantik oleh Bung Karno sebagai Deputi Menteri P&K pada tahun 1966, Pak Said tak mengenakan sepatu tapi sandal, mengenakan jas sederhana tapi tak berdasi. Itu kali kedua ia diangkat sebagai pejabat negara oleh Presiden Sukarno setelah sebelumnya menjadi Sekretariat Kepemudaan Negara dan saat diambil sumpah hanya mengenakan celana pendek berbahan drill. 

Penyair Taufiq Ismail membuat puisi khusus dengan mengambil sandal sebagai simbol untuk menggambarkan Pak Said dalam puisinya yang berjudul "Sandal Mohammad Said Reksohadiprojo."

Ajip Rosidi mendengar anekdot tentang kesederhanaan Pak Said dari kawannya yang telah lebih dahulu bersekolah di Taman Siswa seperti Sobron dan Ardan. Suatu hari, datang seorang yang berpakaian mahal ke Taman Siswa dan menjumpai seorang berpakaian kaos oblong dan hanya bercelana pendek sedang mengurus tanaman. 

Rupanya sang tamu hendak menemui Pak Said dan bertanya kepada sosok yang dijumpainya itu menjawab, "Oh ingin bertemu Pak Said? Tunggu sebentar". 

Sosok itu kemudian masuk ke dalam bangunan sekolah dan kembali telah berpakaian kemeja katun dan celana drill yang biasa saja, sambil mengenalkan diri sebagai Pak Said.

Saat ia wafat pada 1979, Goenawan Mohamad menulis dalam Catatan Pinggir-nya, "Ada yang mengatakan sikap hidup Pak Said adalah sikap hidup yang ekstrem: seorang tokoh yang cuma bersandal, seorang anggota Dewan Pertimbangan Agung yang tak bermobil, seorang menteri (di waktu yang lampau) yang dari gedung departemennya keluar membeli rokok sendiri di tepi jalan." 

Meninggalkan Gelar Priyayi Demi Sebutan “Ki”

Pak Said yang lahir di Purworejo pada 21 Januari 1917 sebenarnya bisa saja memilih hidup mewah. Sosok yang ketika kecil bernama Bambang Sonyo Sudarmo ini merupakan cucu Bupati Semarang, R.M.T. Reksodirdjo. Ayahnya adalah R.M. Reksohadiprojo, wedana yang namanya harum sebagai pembela rakyat dan diberhentikan karena sering terlibat bentrok berbeda pendapat dengan seorang Residen Belanda. 

Sang Ayah kemudian membuka sekolah swasta di Purworejo pada tahun 1912 yang diberi nama Hollandsche Cursus de Vooruitgang. Sekolah yang membantu anak-anak ambtenar mempersiapkan diri masuk ke jenjang sekolah Belanda yang lebih tinggi ini sukses, sehingga dibuka cabangnya di beberapa kota seperti Kutoarjo, Wonogiri, Ponorogo, dan Sala. Hubungannya dekat dengan Sri Mangkunegaran VII yang masih terhitung kerabat.

Entah karena latar belakang keluarga, akhirnya Said memutuskan untuk menjadi pendidik dan mengabdikan dirinya sebagai pamong di Taman Siswa sepanjang hidupnya. Atau bisa jadi Pak Said mengikuti jejak idolanya di lingkungan Taman Siswa yaitu R.M. Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara) yang juga mencampakkan gelar kebangsawanan untuk mengabdi menjadi seorang pendidik.

Said tadinya tak belajar di lingkungan Taman Siswa. Sebagai anak priyayi, ia menamatkan pendidikan dasar di Europeesche Lagere School (ELS) pada 1929, kemudian melanjutkan sekolah menengah Hogere Burgerschool (HBS) Semarang. Tak mengherankan bila ia fasih berbahasa asing: Belanda, Inggris, Perancis, dan Jerman. 

Saat di HBS, kepandaiannya mendorong beberapa orang gurunya, terutama Nyonya Franken yang tergerak untuk membiayai Said melanjutkan ke Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundinge Hoge School) di Jakarta. Karena tak ingin berutang budi dan khawatir tak mampu membalas kebaikan, Said memutuskan berhenti kuliah pada tingkat ketiga GHS. 

Keengganan untuk menyakiti mahkluk hidup lain seperti yang diajarkan filsuf India, Krishnamurti adalah alasan lain seorang Said Reksohadiprojo untuk meninggalkan sekolah kedokteran pada tahun 1937. Lagi-lagi hal ini menjadi kesamaan dengan Ki Hajar Dewantara yang memilih keluar dari Sekolah Kedokteran Jawa (Stovia).

Menerapkan Falsafah Dasar Ki Hajar Dewantara

Selain sosok Pak Said yang sederhana dan amikal, daya pikat Taman Siswa Jakarta juga lahir dari metode pendidikan yang diterapkannya. Pada 1937, saat menganggur selepas memutuskan keluar dari sekolah kedokteran, Said diajak seorang kawannya yang bernama Adnan Dipodiputro untuk menjadi pamong di Taman Siswa Jakarta yang saat itu dipimpin oleh Ki Mangunsarkoro.

Di Taman Siswa Jakarta yang kemudian dipimpin oleh Pak Said menggantikan Ki Mangunsarkoro pada 1945. Menurut Misbach Jusa Biran, pada 1950-an kegiatan kesenian berkembang pesat di kalangan siswa sendiri. Setiap Ahad atau waktu luang di luar jam sekolah, berbagai kegiatan diselenggarakan. Mulai dari melukis, sandiwara, diskusi sastra, tari atau latihan paduan suara (koor). 

Pak Said selalu datang melihat, memberi semangat dan berdiskusi mengenai kegiatan yang dilakukan oleh siswanya. Misbach pernah berkesempatan menyelenggarakan diskusi seni rupa dengan mendatangkan pelukis S.Sudjojono atau mengundang sastrawan Iwan Simatupang sebagai pembicara. 

Sebenarnya kegiatan kesenian di lingkungan Taman Siswa Jakarta telah dimulai saat Affandi tinggal di bangunan garasi sekolah ini. Tak ingin hanya berdiam diri, Affandi dan Pak Said, serta beberapa pelukis yang bernaung di tempat yang sama, mendirikan organisasi Gabungan Pelukis Indonesia (GPI). 

Saat sekolah libur, sering diselenggarakan pameran lukisan terutama dari pelukis yang tergabung dalam GPI. Pak Said juga terkadang memberikan orderan kepada para pelukis untuk membuat lukisan tokoh-tokoh seperti H.O.S. Tjokroaminoto, Thamrin, Kartini, Cahairil Anwar, Amir Hamzah, bahkan Gandhi dan Rabindranath Tagore yang merupakan tokoh panutannya.

Dorongan untuk aktif mengambil peran menyelenggarakan kegiatan sendiri juga dialami oleh Ajip Rosidi. Saat masuk bersekolah di Taman Siswa, Ajip meneruskan kegiatan yang sudah menjadi tradisi tadi. Ajip kemudian menyelenggarakan beberapa diskusi sastra dengan mengundang penulis Soedjatmoko. 

Acara diskusi itu turut dihadiri oleh beberapa pamong, di antaranya adalah Rusman Sutiasumarga, Abdurachman Surjomihardjo dan tentu saja Pak Said. Setelah itu, Ajip kemudian menyelenggarakan diskusi sastra dengan mengundang H.B. Jassin.

Bisa juga disimak pendapat pelawak Ateng Soeripto dalam buku Kompor Mleduk Benyamin mengenai peran Perguruan Taman Siswa, Kemayoran dalam membentuk dirinya: 

"Di sini setiap anak yang mempunyai kemampuan apa saja, diberi kesempatan berkembang. Tapi kalau dikatakan secara otodidak juga benar karena di situ kita belajar kesenian secara khusus. Yang ada hanyalah fasilitas tempat serupa satu ruangan yang didalamnya terdapat gumpalan tanah dan piano, yang dapat digunakan oleh siswa yang mau bikin patung atau apa saja yang bersifat kreasi seni. Saya pun melawak di situ. Mau ada yang nonton syukur, kagak ada gak apa-apa. Ya...paling sliwer gitu aja. Tahan bantinglah di situ." 

Ateng bersama-sama dengan kawan sekolahnya di Taman Siswa, Banyamin Sueb dan Baharudin (Diding) menampilkan lawakannya saat perayaan ulang tahun Perguruan Taman Siswa yang dilangsungkan di Gedung Kesenian Jakarta tanggal 13 Juli 1958.

Pak Said juga selalu mengetahui saat tulisan siswanya dimuat di majalah dan membacakannya di muka kelas. Misbach yang mengalami kejadian saat cerpen Koesalah Toer dibacakan Pak Said di kelas sebelah, terdorong untuk melakukan hal yang sama. 

Akhirnya, setahun kemudian satu sajaknya dimuat majalah Siasat di lembaran kebudayaan "Gelanggang." Pak Said kemudian menyapanya dengan panggilan "Halo, Penyair!" sambil memujinya di hadapan teman-temannya.

Selain menyerap ajaran Ki Hadjar, Said mempelajari Voltaire, Rouseau, Kant, Hegel, Fichte,Schopenhauer, Tagore, Rama Krisna, Vivekananda, Gandhi, dan Khrisnamurti. Meski Said muslim yang taat, ia tak segan mempelajari inti ajaran agama lain seperti Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. 

Walaupun Pak Said berorientasi ke Barat, ia tetap "orang Jawa." Ada satu semboyan yang meresap menjadi napas Pak Said dalam bertugas sebagai pendidik, yaitu ajaran dari Ki Ageng Suryomentaram: "Mamayu hayu salira, mamayu hayu bangsa, mamayu hayu manungsa." Untuk kebahagiaan perorangan, untuk kebahagian bangsa dan untuk kebahagiaan manusia seluruhnya. (tirto - arw/msh)

Tayang pertama kali di tirto.id
tanggal 26 September 2017

04 October 2017

Gentaro Ose dan Jiwa-jiwa di Akhir Masa Pendudukan Jepang


“...Kedua anakmu sekarang tinggal dengan kami. Ibumu dan kedua orang kakak perempuanmu senang dengan kehadiran mereka sebagai ganti dirimu. Michiko tidak pernah lagi kembali dari Tokyo. Bulan yang lalu kedua kakakmu pergi ke sana ingin menyusulnya dan membawanya pulang. Ternyata dia sudah betah tinggal di Tokyo, menjadi selir seorang jendral di Kementerian Peperangan. Anggaplah dia sudah mati. Pada kedua anakmu telah saya katakan bahwa ibunya sudah mati, dan di altar keluarga kita telah kami pasang plakat namanya, agar anak-anak itu percaya, namun tetap menghormati ibunya. Sudah sejak sebulan ini setiap hari kami harus masuk ke lobang perlindungan, karena hampir setiap hari ada serangan udara dari pesawat sekutu. Mungkin dalam waktu dekat ini kami harus mengungsi ke luar kota...”  

Setelah membaca surat itu, Gentaro Ose, Letnan Satu yang menjadi komandan di kamp interniran Teratak Buluh, Kampar Kanan, Riau, hanya tertawa. Perang telah usai. Tiga hari sebelumnya Tenno Heika (Kaisar Jepang) telah membacakan pengumumam menyerahnya Dai Nippon. Ia hanya menunggu kedatangan tentara sekutu yang akan melucuti senjata dan memulangkannya ke negeri asal. Dalam situasi seperti itu, bayang-bayang masa lalu kembali bermunculan.

Ose sebetulnya tak ingin jadi tentara, apalagi dianggap pahlawan. Ia sudah puas dengan kehidupannya: istri yang dicintainya, dan pekerjaannya di perusahaan kontruksi bangunan di Osaka. Namun Michiko, istrinya, selalu mendesak.

“Suami teman-temanku semuanya telah mendaftar,” ujar istrinya.

“Supaya negeri bisa jalan, harus ada yang jadi militer, jadi petani, pegawai, serta kuli bangunan seperti saya,” kata Ose berseloroh.

Istrinya yang biasanya lembut, kali ini kelihatan keras. Ia mengutarakan kegundahannya ihwal suami teman-temannya yang pergi berperang membela negeri. Mereka kemudian berdebat. Hari ke hari. Tak ada lagi ketenangan di dalam rumah tangganya. Akhirnya setelah Ose memutuskan mendaftar menjadi tentara, barulah ketenangan muncul kembali.  

“Apa pun yang terjadi atas dirimu, Sayang, aku akan tetap setia. Aku mengharapkan kau kembali sebagai pahlawan, namun kalau terjadi sesuatu, aku akan merawat anak kita sebaik-baiknya,” ujar istrinya.

Dan ya, dengan surat di tangan kiriman dari ayahnya, Ose lagi-lagi tertawa mengingat hal itu. Tawa pahit, getir, dan kosong.

Ketika Ose dan beberapa perwira lain dipanggil ke markas besar di Pekanbaru untuk mendengarkan pengumuman menyerahnya Jepang, suasana kekalahan sudah terasa. Mereka tidak dijemput seperti biasanya. Setengah jam mereka berjalan kaki menuju markas besar, melalui tengah-tengah kota kecil Pekanbaru, dan terasa lama sekali. Mereka tidak berkata-kata, sementara hari sudah gelap. Mereka berjalan seperti orang kebingungan memperhatikan kota yang sunyi. Mereka bahkan tidak dapat berjalan dalam rombongan. Masing-masing dengan kecepatannya sendiri, dengan pikirannya sendiri. Masing-masing merasa sendirian. Kesunyian.

Sementara di Teratak Buluh dan seantero Riau lainnya, situasi mulai galau. Orang-orang menerka ihwal kesudahan perang. Ada yang mengatakan berdamai, ada yang mengatakan Amerika menyerah, ada pula yang mengatakan Jepanglah yang menyerah. Masyarakat menanti kepastian ini dengan amat melelahkan.

Di kamp interniran, Ose dilayani oleh Satiyah—perempuan asal Desa Mersi, Purwokerto, Jawa Tengah. Suaminya, Alimin, telah meninggal. Guru sekolah Angka Loro itu menghembuskan napas terakhirnya setelah tahu bahwa Satiyah kerap memacu berahi dengan Misran—laki-laki kampung yang pernah mencoba memperkosanya.

Ihwal Satiyah akhirnya jatuh berkali-kali ke pelukan Misran, tak dapat dipisahkan dari sulitnya kehidupan di zaman Jepang. Kebutuhan sehari-hari susah, terutama beras. Jepang memeriksa setiap kereta api, menggeledah barang-barang. Situasi sulit membuat masyarakat cerdik, serdadu Jepang dikelabui. Usaha “haram” ini berkembang subur, dan Satiyah menceburkan diri di dalamnya.

Misran tetap mengintai dan tak pernah sekali pun melupakan jeratnya. Bajingan tengik yang sudah lama memberahikan Satiyah itu menjadi informan Kenpei-tai (polisi militer), dan suatu hari ia mencokok Satiyah dengan ancaman.

“Kalau kamu tidak mengaku, suamimu saya seret ke kantor,” ujarnya.

Satiyah tak berdaya. Ia mengkhawatirkan Alimin, namun dengan biaya yang mesti dibayar oleh tubuhnya sendiri. Misran menyeretnya ke sebuah perladangan dan membawanya ke sebuah gubuk tinggal. Di bawah ancaman, dadanya mulai diraba, dan terjadilah yang mula-mula. Hari-hari berikutnya ancaman tak surut, dan Satiyah berulang melayani Misran, sampai akhirnya Alimin tahu.

Pendudukan Jepang terus berlanjut, Satiyah mengadu nasib ke perantauan, dan akhirnya terseret ke Sumatera, hendak bekerja untuk Jepang. Untung tak tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, dalam perjalanan di kapal, Satiyah diperkosa Sersan Kiguchi—kawan sekaligus atasan Ose.

Kini di Teratak Buluh, Ose memperlakukannya dengan lembut, yang mengingatkannya pada almarhum suami tercinta, Alimin. Satiyah telah jatuh hati, jika saja Ose hendak tidur dengannya, ia akan sepenuh rela melayaninya. Namun seperti juga dirinya, Ose punya persoalan keluarga Tokyo, yang membuat Letnan Satu itu hanya bermuram durja.

Hari-hari sebelum Jepang menyerah, di kamp interniran yang padat oleh kerja, bentakan, dan dera kelelahan, orang-orang Belanda mulai merencanakan melarikan diri. Dua kubu terbentuk, antara yang setuju kabur dan sebaliknya. Di tengah orang-orang Belanda itu ada satu orang Romusha asal Jawa, Kliwon namanya. Pasca pembuatan jalur kereta api Muaro Sijunjung-Pekanbaru, ia diperbantukan di kamp tersebut.

Karena dianggap bukan musuh, Kliwon relatif lebih leluasa keluar masuk kamp. Ia bergaul dengan warga sekitar kamp dan menaksir Lena—anak gadis seorang haji kaya raya yang pada akhirnya berhasil ia rayu dan gauli. Kliwon ikut berencana untuk melarikan diri bersama orang-orang Belanda.  

Lena tak menghendaki Kliwon ikut kabur, namun ia tak dapat mencegah. Akhirnya ia diam-diam pergi mendahului para tawanan kamp interniran ke jalur pelarian Kliwon dan orang-orang Belanda, sementara di rumah, ayahnya bingung—ada seorang pedagang yang hendak melamar anak gadisnya. 

Ketika Ose memimpin para serdadu Jepang menyanyikan Kimigayo, Kliwon dan para tawanan mulai melarikan diri. Meski mereka telah kalah, namun Ose dan serdadu yang lain tidak terima jika tawanan melarikan diri.

“Kejar mereka, tangkap dan bawa ke sini. Kalau perlu, tembak di tempat,” perintah Ose sambil ia pun ikut dalam rombongan.

Pasukan bergerak mengejar tawanan. Kliwon dan orang-orang Belanda sudah tiba di satu titik tempat Lena menanti. Kedua orang yang sudah terpaut asmara itu saling berkeras: Kliwon menyuruh Lena pulang, namun perempuan itu menolak. Sementara serdadu Jepang semakin mendekat. Tak lama, dengan senjata api dan bayonet terhunus, mereka pun sampai di tempat para tawanan sempat berhenti.

Para tawanan berhasil lari, namun Kliwon, Lena, dan seorang Belanda masih tertahan di tempat semula.

“Tembak!” Teriak Ose.

Ketiga orang itu pun roboh diterjang timah panas.

Di hari-hari terakhir sebelum Ose dan Satiyah berpisah—setelah urusan para tawanan dianggap selesai, mereka duduk berhadap-hadapan. Satiyah berkeras agar ia bisa ikut dengan Ose, namun tak bisa.

“Jangan ikut saya, Satiyah-san. Purang kampung saja (orang Jepang susah melafalkan huruf ‘r’), jadi orang baik-baik, jaga anak-anak baik-baik. Jangan ikut saya,” ujar Ose.

Satiyah menangis. Ose menangis. Keduanya terisak sambil berhadap-hadapan. Saling tatap. Lalu berciuman. Ciuman penghabisan, ciuman perpisahan. Ya, ciuman-ciuman sedih. Namun, perlahan menjadi ciuman hangat membara. Keduanya mulai terengah-engah.

“Masta,” (panggilan Satiyah untuk Ose) bisik Satiyah lirih, “mari tidur sama saya.”

Teks fiksi yang mengabadikan periode pendudukan Jepang yang singkat di Indonesia, bisa jadi memang sedikit, dan kisah di atas adalah salah satunya: Dan Perang pun Usai. Roman satu-satunya dari Ismail Marahimin ini berhasil menjadi pemenang kedua sayembara mengarang roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1977. Karya penulis kelahiran Medan, 23 April 1934 ini juga mendapat penghargaan The Pegasus Prize for Literature—penghargaan yang diberikan oleh Mobil Oil Corporation untuk karya sastra suatu bangsa yang dianggap bermutu, oleh sebab itu layak diperkenalkan ke suluruh dunia.

“Dia membuat saya benar-benar menjadi penulis!” Ujar Helvy Tiana Rosa—sastrawan pendiri organisasi kepenulisan Forum Lingkar Pena, mengungkapkan kesannya terhadap dosennya tersebut. Di kalangan para alumni Universitas Indonesia, penulis yang wafat pada tahun 2008 itu terkenal karena metode belajarnya di mata kuliah Penulisan Populer.

“Kalau anda lulus mata kuliah ini, itulah modal hidup Anda!” Begitu ungkapan yang beredar di sebagian alumni UI.

Ketika memenangkan perhargaan dari Dewan Kesenian Jakarta, Ismail Marahimin sudah berusia 43 tahun, sebuah angka yang tidak muda lagi jika dibandingkan dengan para penulis lain yang menulis novel pertamanya di usia yang relatif masih muda. Sebagai contoh, novel pertama Merari Siregar terbit sebelum usianya 25 tahun, atau Ajip Rosidi yang novel pertamanya terbit sebelum ia genap berusia 20 tahun.

“Saya bukan orang yang tekun di bidang ini. Saya baru menulis kalau kebetulan lagi masa paceklik,” ujar Ismail Marahimin seperti dikutip laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dari Berita Mobil tahun 1984.

Nugroho Notosusanto—koleganya di Universitas Indonesia, masih di laman yang sama mengomentari Dan Perang pun Usai.

“Masa penjajahan Jepang telah meninggalkan pengalaman yang tragis. Namun, para jurnalis dan sejarawan telah menerangkan dan menganalisa masa itu atau beberapa segi dari masa itu dengan pendekatan makro, sedangkan Ismail Marahimin dengan novelnya telah menyentuh kehidupan rakyat kecil di sekitarnya sehingga menggambarkan kehidupan manusia yang sesungguhnya,” ujarnya.

Jejak pendudukan Jepang di Sumatera dan penderitaan para pekerja paksa yang mengerjakan pembuatan rel kereta api dari Muaro Sijunjung sampai Pekanbaru—yang juga menjadi salah satu latar novel ini, direkam oleh Henk Hovinga dalam The Sumatra Railroad: Final Destination Pakan Baroe, 1943-1945.

Kengerian dan penderitaan yang ditulis dalam buku yang diterbitkan oleh KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal Land-en Volkenkunde)  tahun 2010 ini sekilas dapat dilihat dari prolog dan judul-judul bab di dalamnya: The Forgotten Drama, The road to oblivion, Railway through the mud, Beating and starch, Maggots with Sambal, The shadow of death, Slaving in the gorge, The golden spike, Waiting for freedom, dan Silent witnesses.   

“Seperti ada jalur-jalur rel, jadwal dan skenario yang ketat yang mengatur seseorang agar berada pada suatu tempat pada suatu waktu tertentu, untuk bertemu dengan seseorang lain yang akan membawa kebahagiaan, bencana atau hanya untuk berpisah kembali selama-lamanya, dan untuk sekadar meninggalkan ingatan dan kenangan,” tulis Ismail Marahimin terkait nasib manusia yang ada dalam karyanya. [irf]