31 October 2018

Haji Empan



Dalam waktu beberapa minggu, kabar duka datang berturut-turut dari kampung. Belum lama Gajih, kawan saya sejak SD pergi selama-lamanya, kini giliran Haji Empan yang meninggal. Paman berkabar lewat WA.

Haji Empan masih saudara. Saudara jauh barangkali. Istrinya adalah sepupu mama. Para orangtua mungkin saja merasa sebagai saudara dekat, tapi bagi saya sebagai generasi yang lebih muda, hal-hal seperti itu terasa kurang sebagai sebuah pengalaman. Saya mengingat Haji Empan justru lewat mesin fotocopy.

Dulu, setahu saya, Haji Empan adalah orang pertama di kampung yang mempunyai mesin pengganda itu. Sedari SD, bapak yang seorang guru sering menyuruh saya memfotocopy pelbagai teks yang terkait dengan pekerjaannya.

Jarak rumah dengan warung fotocopy Haji Empan kira-kira satu kilometer. Saya mencapainya dengan berjalan kaki. Pernah juga memakai sepeda saat sepeda tua warisan kakak pertama diperbaiki dengan jok yang tetap dibiarkan terbuka tanpa alas busa, hanya per besi yang kerap mengganggu bokong.

Karena satu-satunya, maka di tempat forocopy itu kerap bertemu dengan guru-guru yang hendak memperbanyak teks-teks entah. Sebagai bocah, saya cukup tersiksa dengan tipe warung Haji Empan, sebab tak satu pun menjual makanan ataupun minuman. Ya, selain jasa fotocopy, warung tersebut hanya menjual alat tulis kantor dan beberapa perlengkapan otomotif.

Kalau sedang mengantri, saya duduk pada sebuah bangku di depan warung yang menghadap jalan, dan di baliknya tampak bukit. Orang-orang menyebutnya Pasir (bukit) Pogor. Di sesela gangguan suara motor dan mobil yang melintas, saya selalu membayangkan rumah Mang Sanud yang berada di bukit itu.

Mang Sanud adalah kawan sejalan Mang Supri yang kedua merupakan petugas kebersihan alias pengangkut sampah legendaris di kampung saya. Mang Sanud perawakannya bongkok, sedangkan Mang Supri tegap. Keduanya perokok. Hanya saja rokok Mang Supri agak menyeramkan, sebab beraroma kemenyan.

Saat saya membayangkan rumah Mang Sanud yang berada di Pasir Pogor dan antrian telah habis, Haji Empan selalu membuyarkan lamunan.

“Cép, badé motokopi naon?” ujarnya.    

Saya pun terperanjat.

Selain mesin fotocopy, tersedia juga mesin laminating tempat orang-orang melapisi KTP, Ijazah, NEM, dan lain-lain dengan plastik yang direkatkan secara kencang. Bapak pun melakukan hal yang sama.

Kini Haji Empan telah tiada. Juga Mang Sanud dan Mang Supri. Yang masih tersisa hanya kenangan. (irf)      

17 October 2018

Gajih Telah Pergi



Sekolah kami berhadap-hadapan. Saya di SDN Jampangkulon 2, dia di SDN Jampangkulon 4. Kedua sekolah ini pernah terlibat pertikaian gara-gara sepakbola di halaman kedua bangunan sekolah yang memanjang. Genteng banyak yang pecah dihajar bola. 

Guru menghukum kami dengan mewajibkan mengganti genteng yang pecah itu dari rumah. Maka pagi-pagi sejumlah anak SD seperti tukang bangunan karena masing-masing menjingjing genteng.

Salah seorang “musuh” saya yang sekolah di SDN Jampangkulon 4 adalah Dudi yang biasa saya panggil dengan sebutan “Gajih” karena badannya gempal. Gajih adalah lemak sapi yang kerap dijadikan campuran nasi goreng. Sementara dia memanggil saya “Areng” yang artinya arang karena kulit saya hitam dan badan kering meranggas.

Saya tidak tahu, entah mulai kapan kami jadi akrab. Waktu terjadi “perang” bola pun sebenarnya kami sudah berkawan. Agak aneh sebetulnya, sebab kami tidak pernah satu sekolah, dari SD sampai SMA, bahkan pilihan sekolah agama pada sore hari pun tidak pernah sama.

Kiranya kami berkawan dari saling ejek, saling mengolok-olok. Tapi kalau ketemu, sejak kecil, kami akrab, bercanda saling tukar tawa. Dia hampir seumur hidup tinggal di kampung, orangtuanya salah satu orang berada di desa kami. Setelah dewasa ia menikah dengan seorang kawan saya waktu kelas 6 SD. Mereka berumahtangga dengan disangoni sejumlah toko untuk membiayai hidup.

Saya mulai kelas 1 SMA merantau dan sampai sekarang tak tinggal lagi di kampung. Setiap kali pulang dan melewati rumahnya, lalu kebetulan dia tengah duduk di pinggir jalan, saya selalu berteriak, “Gajih!”

Dalam kendaraan yang terus melaju, terdengar samar ia menjawab, “Heh siah Areng!”

Setahu saya, kata “Gajih” memang hanya dilontarkan oleh saya, begitu juga sebaliknya, kata “Areng” yang ditujukan kepada saya hanya dia seorang yang melontarkannya.

Belakangan, saya dengar dia bergiat di komunitas motor trail di kampung. Kerap menyambangi hutan, pantai, perdesaan, dan tempat-tempat antah berantah lainnya. Selain itu, ia juga aktif di organisasi Pemuda Anshor yang dimotori oleh anak bungsu ajengan yang ditinggal di Kecamatan Cimanggu.

Beberapa tahun ke belakang ia dan istrinya menunaikan ibadah haji. Sepulang dari tanah haram, kawan-kawan yang lain memanggilnya Haji Dudi. Sementara saya tak mengubah panggilan: tetap “Gajih”. Itulah panggilan yang murni, saya kira. Tak ada embel-embel haji di depannya, bahkan nama aslinya pun jarang saya sebut. Ia bagaimana pun adalah kawan saya sejak kecil, dan panggilan-panggilan “aneh” hanya akan membuat kami berjarak.

Selasa, 16 Oktober 2018, Abu, kawan saya sebangku selama sembilan tahun memberi kabar: Haji Dudi meninggal dunia diserang stroke.

“Peuting jam 11 di RS Jampangkulon,” katanya.

Sesaat saya terdiam, mengenang lagi waktu yang tercecer di belakang. Selamat jalan Gajih. (irf)

16 September 2018

Paman Martil (2) - Pramoedya Ananta Toer



Melihat tiga orang yang kuat-cukup makan itu sekaligus Paman Martil menyesali dirinya, karena tidak bersiap-siap dengan pertahanan. Padanya hanya ada sebuah martil.

“He, mengapa diam saja? Kecut?” dan belum sampai ia menghabiskan kata-katanya, dua kali ayunan cambuk karet telah menghamtam  mukanya.

Ia rasai darah asinnya mengalimantang menepi lidahnya. Ia rasai dunia berputar penuh bintik-bintik putih, hijau, putih, ungu yang cemerlang. Dan sebelum ia dapat melihat dengan jelas, tendangan-tendangan sepatu berat telah menghunjam kaki dan punggungnya. Ia rasai segala perasaan yang tidak menyenangkan. Nafasnya terasa macet di dalam kerongkongan, dan kerongkongan itu panas terbakar. Kuning-kuning pancawarna itu kini beterbangan dengan cepat dan berkeliling.

Sarekat Hijau ini sedang mencoba merenggutkan belenggu imperialis dari tanganku,” pikirnya.

Ia rebah di tanah. Pukulan-pukulan itu dirasainya sakit lagi. Dan matanya sudah tidak berguna, tak bisa melihat lagi. Namun dalam rejangan itu ia masih mendengar sayup-sayup:

“Kapok tidak lu jadi komunis? Kapok tidak?”

Ia menelani ludahnya yang asin.

Ia bangun waktu matahari telah tenggelam, tapi ia tak dapat melihat sesuatu pun. Lampu itu tidak menyala, minyak tak ada. Waktu tangannya mulai meraba-raba, ia dapat meraba dua kepala bocah itu merungkupinya. Dan mereka sudah tertidur, tanpa makan sejak pagi.

Waktu ia mendahak dengan keras ia dengar dari depan rumahnya suara tawa, kemudian menyusul komentar:

“Satu-satu,Til!”

Segera ia dapat mengingat suara tetangga di ujung sana yang telah ia martil kakinya.
Anak-anak yang tertidur berbantalkan tubuhnya pada terbangun. Dengan tangannya yang kasar ia usap-usap kepala mereka.

“Mari naik ke ambin, Paman, kami tak kuat mengangkat.”

Paman Martil berdiri, tetapi segera rubuh kembali. Kini ia rasai seluruh anggotanya berdenyut dan menolak disuruh bergerak. Ia tertawa mengejek tubuhnya yang kalah kena pukulan itu:

“Uh-uh, mestinya kau membantu aku, daging, tulang, syaraf. Dalam keadaan begini aku butuh bantuanmu…”

“Kami mencoba membantu, Paman, tapi tak bisa.”

“Uh-uh,” Paman Martil mencoba sekali lagi berdiri. Ia berdiri terhuyung-huyung, kemudian rebah di ambin.

Anak-anak itu menolong menaikkan kakinya ke atas.

“Uh-uh. Tidurlah lagi. Hari ini kita tidak makan,” dan itu bukanlah kata-katanya yang pertama kali.

“Orang situ tadi datang mengambil semua perkakas.”

“Biarlah, memang kepunyaannya.”

“Yang punya rumah datang, bilang, kita harus pergi dari sini.”

“Biarlah, memang dia punya rumah.”

“Paman tak bisa betulkan sepatu lagi sekarang. Kita takkan punya rumah lagi sekarang, Paman.”

“Jangan pikir itu. Apa Paman selalu bilang, belajar baca-tulis yang benar. Sudah bisa belum?”

“Sudah, Paman.”

“Kuncilah pintu depan itu.”

“Mengapa mereka siksa Paman? Apa salah Paman?”

“Salahku? Brrr,” ia tidak meneruskan hanya berkamit-kamit tak nyata kemudian terdiam. Tapi tiba-tiba suaranya meledak-ledak: “Dengar. Selama anjing-anjing Belanda itu masih dilahirkan Tuhan di atas bumi kita, kini kita tidak akan pernah aman. Kita tidak akan pernah aman!” Napasnya terengah-engah.

Ia terdiam lagi waktu telapak tangannya yang kasar itu meraba dada si bocah, dan menangkap detakan jantung bocah itu yang kejar-mengejar.

“Anjing Belanda.”

“Ya. Anjing Belanda. Cepat-cepatlah pandai, bukan pandai dari Belanda, jadilah pandai, belajarlah dari bumi ini dari orang-orang yang mencintai kita, dari orang-orang yang melawan anjing-anjing Belanda. Uh-uh, tak tahu aku apa mesti bilang.”

Dalam waktu sebulan berjalan itu hampir saban hari pemilik rumah datang untuk mengusirnya. Paling akhir Paman Martil mengeluarkan martilnya dan mengayun-ngayunkannya di mata pemilik rumah. Mengancam:

“Bilanglah sekali lagi! Anjing Belanda keparat. Ayoh bilang, biar kau rasai martil ini menggiling bola matamu yang mata duitan itu!”

Ia lihat pemilik rumah itu menggigil.

“Siapa suruh kau datang kemari buat usir aku?”

Dengan tangan menggigil ia menuding ke arah ujung petak sana.

“Keparat. Orang-orang seperti kau ini bikin dunia jadi neraka saja. Pergi!”

Begitulah dari tukang sepatu Paman Martil merosok menjadi bukan tukang sepatu. Sekarang, sebagai orang rumahan ini terancam menjadi orang gelandangan pula. Kalau di dunia ini tak ada dua orang bocah yang tak ketahuan rahim yang melahirkannya, ia bisa menguli, tinggal di rumah majikan, mendapat makan di sana. Tapi bocah tanpa rahim ini ikut menjadi beban tambahan. Kadang-kadang ia mengutuk rahim yang berkepentingan.

Ia tahu anak-anak itu sekarang mencari makan untuknya. Ia tahu betul anak-anak itu hanya hanya dengan jalan meminta-minta dapat memberinya makan. Ia malu menelan nasi yang dibawa mereka pulang dan disodorkan kepadanya. Tapi dalam sebulan ini kesehatannya belum pulih sama sekali.

Kemudian “Mariana Proletar” datang pada suatu malam sunyi. Anak-anak sudah tidur nyenyak pada waktu itu, dan sekeliling rumah tiada bunyi. Tempat “Mariana Proletar” telah diisi oleh orang lain limabelas hari yang lalu.

“Jadi,” bisik “Mariana Proletar”, “kita jadi berontak.”

Ia mengeluarkan sepucuk Vickers yang telah berisi peluru dengan tidak kurang dari 100 peluru cadangan.

“Nah, ini buat kau. Hati-hati, tunggu kalau isyarat sudah diberikan.”

“Apa isyaratnya?”

“Kalau di empat tempat, empat penjuru, malah hari, ada rumah terbakar, itulah tandanya. Aku akan datang membawa kau.”

Tanpa menunggu jawaban, “Mariana Proletar” melompat pergi ke dalam kegelapan.

Paman Martil terlongok-longok dengan Vickers pada tangannya. Waktu ia menyadari, bahwa di tangannya ada senjata api yang berbahaya segera ia berdiri dan menyembunyikannya di atas kayu penglari. Dan sekarang ia merasa begitu berkecil hati, senjata yang sudah lama diimpikannya itu—ia tak mengerti menggunakannya.

Tak pernah seperti sekarang ini ia merasa begitu tergantung pada “Mariana Proletar”. Tak pernah ia merindukannya seperti sekarang ini.

“Mariana Proletar!” “Mariana Proletar!”

Dan waktu mentari pagi telah memulai dinas hariannya, dan anak-anak telah bangun, ia masih juga timbul tenggelam antara dua perasaan: girang karena telah memiliki impiannya, dan kecil hati karena tidak bisa menggunakannya. Sebentar kemudian timbul geram lama, dendan terhadap mereka yang tekah buang dan bunuhi pemimpin-pemimpinnya. Dahulu aku hanya dengan martil, sekarang dengan senjata api. Aku akan belah jantung mereka dengan peluru! Jangan permainkan kami.

Waktu anak-anak hendak pergi mencari makan untuk hari itu ia kembali menegur:

“Kalian sudah belajar baca-tulis?”

Bocah-bocah itu menghampirinya, dan dengan manja duduk di tanah pada kakinya.
Sebenarnya Paman Martil tak perlu menanyakan lagi. Mereka telah dapat baca-tulis—bocah-bocah di bawah sepuluh tahun itu.

Tapi hari ini semangat Paman begitu tingginya.

“Apa klas kalian?” ia menguji bocah itu.

“Proletar.”

“Betul.”

“Mengapa kita sengsara?”

“Karena diperas Belanda melalui anjing-anjingnya.”

“Tepat.”

“Berani kalian melawan Belanda dan anjing-anjingnya?”

Kedua anak itu terdiam mengawasinya. Dan Paman Martil berbisik hati-hati, seperti mendongengi mereka bagaimana seorang jembel tiba-tiba bisa berubah menjadi pangeran:
“Berani. Bilang: berani! Dengar—hanya dengan melawan, Belanda dan anjing-anjingnya bisa dikalahkan. Hanya dengan melawan, jembel-jembel itu bisa jadi pangeran. Hanya dengan melawan, orang bisa jadi komunis!”

Tiba-tiba ia terdiam, mengawasi kedua bocah yang tak ketahuan rahim siapa yang melahirkannya itu.

“Mengapa kalian terdiam? Ulangi—ha-nya-de-ngan-me-la-wan.”

“Hanya dengan melawan—“

“—kita menang.”

“—kita menang.”

“Bagus. Itu cukup buat hari ini.”

“Tapi dulu kita kalah,” seorang di antaranya memprotes.

Paman Martil tertawa terbahak.

“Kita kalah, katanya,” serunya kemudian. “Kita kalah, kalah melawan Sarekat Hijau. Kalah! Adakah kita lantas jadi Sarekat Hijau karena kalah?” Paman Martil menggeleng-geleng. 

“Tidak. Ibarat kita ini baru lahir, masih bayi, mereka—Belanda dan anjing-anjingnya itu—sudah dewasa, sudah lebih dulu lahir. Tentu saja kita mula-mula kalah, kalah, kalah terus, kalah lagi. Kalau tidak kuat kita tentu sudah lebur. Tapi kita berdiri lagi, melawan lagi, melawan lagi, melawan lagi. Akhirnya mereka menjadi lemah karena kita melawan terus, tapi kita menjadi kuat karena melawan terus. Dengan melawan… dengan melawan…” 

Paman Martil terdiam. Dengan pandang kosong ia mengawasi lobang pintu.

Ya, ia terkenang pada Karta. Dia sudah coba membuat lagu itu: Dengan melawan, dengan melawan. Ah, tukang kaleng itu. Belum lagi dua baris lagunya selesai, sebutir peluru telah menembusi pinggangnya dan menerobosi jantungnya. Setengah tahun yang lalu, waktu dia membuka pidato propaganda di stasiun Senen, di bawah gerbong. Tukang kaleng itu yang telah mendidiknya, menggemblengnya, mengajarinya, dan menjadikannya kader komunis.

Dan ia mau gembleng dua bocah itu untuk setia pada klasnya, untuk mengenal musuh-musuhnya, untuk mencintai lawan-lawan musuhnya.

(BERSAMBUNG)

15 September 2018

Paman Martil (1) - Pramoedya Ananta Toer



Waktu itu orang sudah pada pulang sembahyang Magrib. Dan datanglah ia ke rumah dengan girangnya. Tentu bukan karena dapat mbolos sembahyang Magrib ia girang. Tapi itu—habis kerja demikian, dapatlah ia berdiskusi. Dia: Paman Martil.

Dia senang dipanggil Paman Martil. Entah berapa puluh kali saja orang menanyakan padanya: “Mengapa sih dipanggil Paman Martil?”

Dan ia suka menceritakan kisahnya.

Pernah sekelompok pemuda, yang menunggu dibetulkan sepatunya di bawah pohon asam, bertanya curiga, “Kan kepalanya tak ada memper-mempernya dengan martil?”

Dan berceritalah dia dengan relanya.

“Begitulah. Memang orangtuaku almarhum besar cita-citanya, dididiknya aku buat jadi ulama besar. Milikilah kunci sorga, kata beliau almarhum, biar kau bisa buka-tutup pintunya, tapi lebih penting lagi, biar semua yang kau cintai dapat kau masukkan ke sana. Begitulah ceritanya.”

Tentu saja orang semakin curiga. Aaah!

“Ya, betul. Tetanggaku begitu juga. Dia juga bercita-cita anaknya jadi kiai besar. Anak itu jadi bandit besar. Mati di pegantungan, di depan gedung-bicara. Tetanggaku yang lain begitu juga. Anak itu kemudian jadi sipir penjara. Kabarnya sehari-harinya kerjanya cuma menggebuki orang hukuman. Huh, belum mati sudah jadi raja neraka!”

“Dan kau sendiri. Paman Martil?”

“Aku sendiri? Aku sendiri, ha-ha, aku sendiri sih punya cita-cita sendiri.”

“Cita-citanya tentu punya pabrik martil, barangkali.”

“Begitulah kira-kira. Pendeknya… cita-citaku kepingin jadi tukang sepatu.”

“Hubungannya dengan martil itu? Kan Paman memang jadi tukang sepatu?”

“Iya, ceritanya sekarang aku ini tukang sepatu, tukang betulkan sepatu, ha, itu lebih tepat. Sepatu, huh! Waktu aku kecil… siapa pula pakai sepatu?! Wedana pun cuma pakai sandal—uh, selop, maksudku. Sepatu waktu itu kira-kira samalah dengan payung mas bupati. Payung di atas, sepatu di bawah. Kalau di atas ada payung mas, ha, di bawahnya tentu ada sepatu. Kalau di bawah, ha, di atasnya belum tentu ada payung mas. Itu sudah masuk ilmu hitung yang pelik waktu itu.”

“Apa pula hubungannya dengan ilmu hitung, Paman Martil?”

“Masa tidak dapat menebak? Itulah yang dinamai ilmu-hitung zaman. Ada payung mas, ada kekuasaan. Ada sepatu, ada uang. Aku tidak butuh kekuasaan, aku butuh uang buat makan. Jadi kupilih sepatu sajalah. Jadi aku belajar bikin sepatu. Bercita-cita jadi tukang sepatu. Nyatanya 20 tahun jadi tukang sepatu, cuma martil saja yang aku punya. Barangkali dengan martil itu juga aku mati.”

Cerita itu begitu terkenal. Orang tidak bosan-bosan mendengarnya. Setiap diceritakan kembali ada saja tambahannya yang baru. Penutupnya selalu gelak-tawa.

Dan memang Paman Martil hanya punya martil itu saja. Bengkel kelilingnya ia sewa dari seorang janda. Janda itu menerimanya sebagai warisan orang yang 40 tahun lamanya memiaranya, dan memberinya 3 orang anak—seorang singkeh dari Honan.

Begitulah sore itu ia pulang dengan gembiranya. Begitu ia masuk ke dalam rumahnya, begitulah janda itu masuk pula meminta sewa bengkel keliling itu—dua picis! Kalau si janda sudah pergi, menyusul masuk dua orang sahabatnya—dua anak lelaki kecil, entah dari mana datangnya, entah rahim siapa yang melahirkannya, dan itu berarti waktu itu untuk makan malam telah tiba.

Paman Martil sudah tak ingat lagi bagaimana mulanya anak-anak itu hidup dengannya. Rasanya sudah lama sekali mereka telah menjadi bagian dari hidupnya. Mereka makan sambil mengabarkan pengalaman masing-masing sehari itu. Tapi malam itu Paman Martil tak begitu ramah.

Jam setengah sembilan ia menyuruh anak-anak kecil itu tidur. Dan ini berarti Paman Martil akan pergi.

Mereka tinggal di sebuah petak bambu. Di ujung sebelah sana tinggal seorang dengan bininya. Tak ada yang tahu apa kerjanya. Paman Martil tinggal di bagian tengah. Janda pemilik bengkel keliling tinggal di ujung sana lagi. Di sebelah kirinya tinggal Mang Tomang, tukang soto yang selalu membuang dahak. Bertambah tidak laku sotonya, bertambah banyak dahak keluar dari kerongkongannya. Atau mungkin juga sebaliknya. Di sebelah kanannya tinggal Mirjan dengan keluarganya, seorang setengah baya yang lebih suka menamai dirinya “Mariana Proletar”. Sepanjang hari nyanyian itu saja yang keluar dari kerongkongannya.

Dan ke rumah “Mariana Proletar”lah malam ini Paman Martil pergi, seperti banyak malam pada minggu-minggu terakhir ini. Hafallah sudah para tetangga, bila ayam jantan mulai berkeruyuk, dan terdengar deham, kemudian disusul dengan seruan pelan “hidup!” dan jawaban “roda bagian atas akan segera ke bawah, Paman!” itu Paman Martil pulang ke petaknya dan mulai mendengkur dengan puasnya.

Tapi Subuh ini Paman Martil tak sempat mendengkur. Baru saja ia merebahkan badan di samping anak-anak, yang tidak ketahuan rahim siapa yang melahirkannya itu, pintu petaknya telah ditendang orang dari luar.

Dalam muraman pelita minyak ia lihat sebuah sepatu serdadu toblos menjebol pintu kajangnya.

Tentu bukan begitu cara langganan minta dibetulkan sepatunya. Jelas itu bukan sepatu langganan. Secepat kilat tangannya meraba satu-satunya harta bendanya yang tersimpan selalu di balik kemejanya: martil. Ia melompat menghampiri pintu yang menderak menggeletar di bagian atasnya. Dan sebelum sepatu serdadu itu ditarik dari jebolan pintu, martil itu telah melayang memukulnya dengan sekeras-kerasnya.

Ia dengar lengkingan tinggi menggeletarkan udara subuh hari. Lengkingan tinggi itu meraung lari. Tapi jebolan pintu itu tetap menganga hitam di depannya. Dengan diam-diam ia dengarkan lengkingan itu. Ia dengar bunyi sosok tubuh menubruk pintu di ujung petak yang sana. Kemudian sunyi senyap. Tapi tidak lama. Sebentar kemudian terdengar pintu petak-petak lain terbuka. Dan waktu ia menengok ke belakang, dilihatnya kedua orang bocah itu berdiri ketakutan, berpegangan tangan memandanginya.

Paman Martil tiba-tiba menyadari keadaannya. Martil segera disembunyikannya di balik kemejanya.

“Tidur lagi. Tidak ada apa-apa,” katanya setengah memerintah.

Anak-anak itu naik kembali ke atas ambin.

Ia dengar orang-orang samping-menyamping bercakap-cakap. Ia mendengarkan sebentar, ia pun keluar mendapatkan “Mariana Proletar”. Tapi belum sampai ia masuk ke petak tetangganya, “Mariana Proletar” telah menarik tangannya dan berbisik:

“Nampaknya tetangga sana itu begundal Sarekat Hijau. Hati-hati.”

Ia didorong keluar, dan dengan sempoyongan sebentar ia menuju ke petaknya kembali.

Waktu matahari telah mengganggang bumi, baru ia menggapai-gapai bangun. Segera ia mengenang-ngenang siapa nian yang mempunyai sepatu serdadu hitam bergigi paku itu. ia tak berhasil. Hanya serdadu punya sepatu semacam itu. Tukang sepatu seperti dia tidak pernah membetulkannya. Di tangsi ada tukang sepatu khusus.

Siang itu “Mariana Proletar” mengirimkan istrinya, membisikkan supaya ia pindah ke tempat lain saja, sesegera mungkin.

Seperti singa betina terluka ia meraung kesakitan:

“Pindah? Seluruh Sarekat Hijau boleh dituang kemari. Paling-paling aku mampus!”

Istri “Mariana Proletar” buru-buru berusaha menyumbat mulutnya. Tapi secepat itu Paman Martil mengelakkan diri dan menambahi raungannya:

“Pemimpin kita sudah ajarkan: kita harus berjuang. Kita harus binasakan kapitalisme-imprealisme dan anjing-anjingnya. Kalau kita kalah…”

Kembali nyonya “Mariana Proletar” mencoba mendiamkannya. Kembali ia tak berhasil. Dua orang bocah itu merangkuli kedua belah kakinya. Tapi Paman Martil menjadi semakin kesakitan dan meneruskan raungannya:

“…kalau kita kalah, kita cuma kehilangan belenggu kita. Tak bakal rugi apa-apa! Lihat bocah-bocah ini, ibunya sendiri, mereka pun tak tahu! Keparat! Keparat kapitalisme yang bikin dunia begini rupa. Ayoh, maju semua anjing-anjing Sarekat Hijau!”

Tak ada yang lebih tepat bagi nyonya “Mariana Proletar” daripada segera lari dari rumah itu. Dan jam itu para tetangga melihat suami-istri “Mariana Proletar” pergi meninggalkan petaknya. Tak ada yang tahu ke mana.

“Aku tunggu mereka di sini. Di sini!” dengus Paman Martil. Pada kedua bocah itu ia memberi uang dan menjatuhkan perintah, “Belikan aku koran! Seperti biasa.”

Hari itu ia tidak memikul bengkel kelilingnya. Martil sepatu itu terasa memukuli hatinya.

Memang beberapa hari ini ia gelisah saja. Separoh dari penghasilannya dalam sehari selalu buat pembeli koran. Dan apa kata koran itu: salah seorang pemimpinnya yang baru pulang dari Singapura dan menginjakkan kaki di Meester Cornelis telah ditangkap Belanda, diseret ke penjara Pekalongan. Kemarin dulu ia dengar dari “Mariana Proletar” pemimpin itu telah dibunuh wedana PID Semarang. Sukirman, mati dengan kemaluan hancur habis dimartili.

Ia menitikkan air mata mendengar berita itu.

“Satu lagi pemimpin kita tewas. Tapi mengapa kau menangis?”

Paman Martil meraba martil pribadinya di balik kemeja.

“Kau pernah mengenal dia?”

Paman Martil Menggeleng.

“Kau sangat mencintai dia.”

Paman Martil tidak menjawab. Dia hanya bangkit berdiri dan pulang ke petaknya, menimang-nimang martilnya, dan berkomat-kamit seperti santri mendoa:

“Biar aku punya martil saja, dengan dia aku harus bisa binasakan mereka!”

Sekarang ini ia ingin belajar apa kata koran tentang salah seorang pemimpinnya itu. Tetapi anak-anak itu pulang tanpa membawa koran. Uangnya hilang di jalanan.

“Goblok!” dengusnya. “Ayo sini, belajar baca-tulis!” ia memerintah dengan kasarnya.
Kedua anak itu menjadi ketakutan.

“Mengapa takut? Kau harus cintai orang seperti aku, semua sahabatku. Kau harus benci pada kontra-revolusi musuh-musuh kita. Apa yang mesti ditakuti? Ayo belajar.”

Tetapi Paman Martil tidak mengajar mereka, hanya tercenung-cenung seperti kehilangan sesuatu yang tak dapat diingatnya kembali.

“Satu demi satu pimpinan kita ditangkap, dibunuh. Di desa-desa kawan-kawan kita disiksa, dianiaya, dirampok, digantung, ditembak…” waktu dilihatnya kedua orang bocah itu mengawasinya dan sama sekali tidak melihat pada pelajarannya, ia seka mukanya, kemudian menunduk dan berbisik:

“Jangan bodoh! Belajar baik-baik, ya. Kalau Paman Martil tidak ada lagi, paling sedikit kalian sudah bisa baca-tulis dengan baik. Bacalah.”

“Mengapa Paman Martil akan tidak ada lagi?” seorang bertanya.

“Ssst. Nanti, kalau sudah pandai baca tulis, kalian akan tahu. Karena itu kalian mesti pintar beli koran. Simpan koran itu baik-baik, bacai nanti kalau kalian sudah besar, nanti kalian tahu.”

Paman Martil membuang mukanya, berdiri, berjalan ke belakang, ke arah kamar mandi kolektif. Sekiblatan ia melihat tetangga tanpa kerja di sana itu, cepat masuk ke dalam rumah terpincang-pincang.

“Sudah aku sangka,” pikirnya, “memang dia orang dari Sarekat Hijau: dia pikir, kalau badannya gede mesti menang, segera, cepat, menurut rencana. Hii, tunggu dulu, mas.”

Waktu ia sudah selesai di kamar mandi dan masuk ke dalam petaknya kembali, ia lihat tiga orang sudah berada di ruang kerjanya. Seorang yang bertubuh tinggi dengan kedua belah tangannya sedang mencekal leher kedua bocah itu dan siap hendak mengadu kepala mereka. Seorang yang pendek gemuk dengan kakinya menendang-nendangi semua barang di dalam rumah. Pipa celananya yang terangkat memamerkan sepatu tinggi bertelapak tebal.

Seorang menghampirinya sambil mengayunkan cambuk karet—cambuk polisi—menegur:

“Til! Sini, kau komunis keparat!”

(BERSAMBUNG)

30 January 2018

Dari Ciletuh ke Ujunggenteng ke Jalan Lain ke Citambur



“Goblog anjing!”

Kalau ada yang berminat mengumpulkan dan menghitungnya, saya kira dua kata di atas akan keluar sebagai modus atau frekuensi terbanyak dalam kumpulan data makian, malam itu, di Solontongan yang penuh dengan serapah saat Persib bertanding melawan PSM dalam lanjutan Piala Presiden 2018. Perlengkapan sudah oke. Sambil menunggu kawan yang motornya dihunjam entah di daerah Cicaheum, kami menyaksikan permainan Persib yang semenjana, seperti biasa.

Malam bergerak menuju dingin. Kira-kira pukul sembilan, rombongan mulai berjalan menuju Jalan Cijagra, seorang kawan tak punya bensin. Beberapa motor punya beberapa kemungkinan: tak hafal jalan, melamun, atau remnya kurang baik, sehingga mereka terus melaju menuju komplek Batununggal, padahal seharusnya putar balik di Jalan Waas. Sepanjang Jalan Sukarno-Hatta begitu saja, tak ada yang istimewa. Di Cimahi seorang kawan sudah menunggu, menunggangi motor kuning, beliau dokter. Dan perjalanan dilanjutkan.

Padalarang, Rajamandala, lancar saja. Citatah diteror mobil-mobil raksasa. Motor bergerak di seselanya, menyelinap di tengah horor jalanan. Memasuki Cipatat kecepatan mulai meninggi. Tiba di Ciranjang saya teringat bubur ayam “geksor”, alias begitu gek duduk langsung ngagolosor semangkuk bubur. Ya, itu betul-betul ada di Ciranjang. Nikmat betul kiranya kalau menyantap semangkuk bubur ayam di tengah dingin hembusan angin yang menghajar sepanjang perjalanan. Namun keinginan itu segera lupa, karena lihatlah kami terus melaju ke arah Cianjur kota.

Dekat monumen kitri, ada persimpangan jalan baru, itulah dia lingkar luar Cianjur yang kalau siang berfungsi untuk menghindari kemacetan kota. Kami menempuh jalan itu. Tak ada penerangan jalan selain lampu kendaraan dan beberapa kerlip lampu rumah yang masih jarang. Hamparan sawah berkuasa, padahal sedang gelap. Saya tahu karena pernah melintas jalan itu ketika siang.

Di ujung jalan kami berbelok ke kiri, menuju persimpangan Pasir Hayam. Dekat sentiong ada jalur kereta api yang kami potong dengan santai karena ular besi tak sedang melintas. Warungkondang dihajar kecepatan tinggi. Beberapa saat sebelum keluar Cianjur ada persimpangan menuju Gunung Padang, kami hanya menunjuknya. Setelah tikungan Gekbrong yang dihiasi batu baterai raksasa nan legendaris, persis sebelum Sukaraja, kami berhenti di sebuah warung berjaringan gurita: numpang pipis dan hal-hal lain yang ada dalam sebuah istirahat.

“Di Sukaraja kita mulai cari penginapan.” Oke. Sampai mulut Jalan Ahmad Yani di pusat Kota Sukabumi, penginapan belum dapat. Lanjut mencari ke Degung, Cipelang, Bhayangkara, dan Otista, tapi penginapan belum ada yang cocok untuk menampung belasan orang kecapean dan kedinginan. Hujan turun mengundang gigil. Menjelang pukul tiga pagi kami memutuskan untuk bermalam di musala sebuah SPBU di Jalan R.H. Didi Sukardi, tak jauh dari SMAN 1 Sukabumi, sekolah aduhai tiada banding.

Kadang-kadang azan adalah alarm terbaik. Dan begitulah, kami terbangun karena beberapa orang harus salat Subuh. Ngantuk masih berkuasa, tapi apa boleh bikin, perjalanan masih panjang. Hujan kembali membasuh bumi. Sebelum meninggalkan Kota Sukabumi, rehat dulu di warung gorengan untuk sekadar sarapan. Langit gelap, di kejauhan kabut menyelimuti perbukitan entah. Saya menghabiskan satu mie rebus, lima gorengan, segelas kopi jagung, dan berbatang-batang rokok.

Dari Jalan Pelabuan II sampai Cikembar, kondisi jalan mengecewakan, bopeng di hampir sekujurnya. Kemacetan memperlambat arus lalu lintas di sebuah ruas jalan depan pabrik, sebelum simpang Batalton Infanteri 310 Kidang Kancana. Warungkiara dan setelahnya cukup lancar. Kami lalu berbelok ke kiri, melintas jembatan Bagbagan dan rehat sebelum Simpenan. Dua orang kawan yang menunggangi satu motor masih di belakang, mereka berangkat pagi hari dari Bandung. Sementara dua orang lagi yang salah satunya tuna helm telah bergabung sejak malam.

Sebelum belok Bagbagan ada yang mencoba membawa kabur mahasiswi UPI ke arah Cisolok dengan seolah-olah lupa. Untung ada sweeper pilih tanding yang berhasil mengejar. Percobaan penculikan gagal.  

Pantai Loji tak jauh lagi, dan tujuan kami ke situ, tapi kiranya harus jalan-jalan dulu ke perkebunan teh yang mantap, rupanya kami salah jalan dan harus putar balik. Tumpahan tanah merah cukup bikin khawatir, sebab saya pernah terjatuh di ruas jalan Pangalengan bersama vokalis The Clown akibat tumpahan tanah merah. Akhirnya sampai juga di pantai Loji, kami berhenti dekat kelenteng yang mempunyai ratusan anak tangga, membayangkannya saja saya sudah letih. Sebagian kawan menapaki jenjang itu, saya memilih duduk di warung sambil memandang hamparan air laut yang coklat seperti bajigur.

“Nyasar ka Cikidang.” Begitulah informasi dari seorang kawan yang berangkat pagi-pagi dari Bandung. Saya tertegun. Membayangkan alangkah indahnya menyusuri perkebunan kelapa sawit. Berdua saja tak ada yang lain.

Tawar-menawar ikan sebentar, memasaknya lama, sampai kami tertidur. Terbangun lagi ikan sudah matang. Tanpa cuci muka dan cuci yang lain-lain saya langsung santap siang. Sambal cobek dan sambal kecap memeriahkan suhu pantai yang panas. Rasa pedas menempel di bibir, keringat membasahi muka membuat saya seolah-olah habis wudu tanpa handuk.

“Yuk yuk yuuuk…” adalah bunyi merdu sebagai tanda untuk segera melanjutkan perjalanan. Jalan baru terhampar di depan, menghubungkan Loji dengan Ciletuh. Pemandangannya seperti di lukisan-lukisan Jelekong atau gambar kalender bank swasta. Berkelak-kelok, turun-naik, aduhai sekali, tahu-tahu bensin habis. Di sebuah tanjakan amat curam, motor seorang kawan mogok naik. Terpaksa yang diboncengnya pindah motor untuk kemudian pindah lagi ke tempat semula yang dalam bahasa Sunda bermakna dipulung deui.

Hujan amat labil, pasang surut seperti laut. Beberapa kawan mengeluhkan aktivitas buka pasang jas hujan. Setelah tangki bensin kembali penuh, kami semakin dekat ke Ciletuh. Di Puncak Darma tukang parkir seperti penjual papan dada di pagi hari UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri—saya pernah gagal). Ramai belaka, seolah-olah lahan parkir itu milik mereka, dan pemandangan yang menghampar di bawahnya adalah warisan nenek moyang yang tak terbantahkan, bikin malas betul.

Lalu turunan curam dan berhenti di sebuah jembatan yang di bawahnya mengalir deras jutaan kubik Ovaltine, sebagian menganggapnya Milo. Di kejauhan nampak curug Cimarinjung. Motor-motor besar melintas. Motor-motor kecil melintas. Manusia berbeda sejak dari motor. Satu dua gambar dijerat, kemudian menuju Panenjoan yang berangin kencang, bergemuruh, bikin susah menyulut rokok. Teluk Ciletuh dan perkampungan di sana, jauh di bawah kami yang memandangnya dari sebidang tanah dekat tukang kopi. Ada penggembala domba, dombanya masih pakai kalung yang berbunyi “klotok..klotok..”

Hari semakin sore, langit muram seperti wajah karyawan menunggu gajian. “Kita menuju simpang Waluran.” Itu saya yang ngomong ke rombongan. Oke. Motor melaju kencang. Pada sebuah pertigaan kami belok ke kanan, ternyata itu menuju ke Ciracap bukan Waluran. Gehu pedas dan ayam goreng tepung membantu menambal energi sambil bertanya arah menuju Ujunggenteng. “23 kilo lagi,” kata penjual gehu. Saya memberi isyarat ke kawan-kawan dengan mengacungkan dua jari lalu tiga jari. Mereka menyangkanya Ujunggenteng tinggal 2 sampai 3 kilometer lagi. Dan itu salah belaka.

Di pertigaan Garasi rombongan belok kanan, melewati simpang Minajaya, jembatan Cikarang, simpang Jaringao, perkebunan Asaba Land, dan markas Satuan Radar 216 TNI AU di Cibalimbing. Aroma gula kelapa menguar di tengah hujan deras. Petugas berseragam gading menghentikan laju, meminta biaya masuk pantai Ujunggenteng, 8.000 rupiah per motor. Ketika kami menyiapkan uang, sebuah mobil berplat B coba dihentikan petugas, namun hanya membunyikan klakson dan pergi tanpa meninggalkan uang sepeser pun.

Deru ombak mulai terdengar, bersahutan dengan gemuruh angin. Ujunggenteng mirip kota mati. Jalanan berlubang, berkubang. Seorang lelaki menawarkan penginapan dari pinggir jalan. Kami terus berjalan ke arah Cibuaya. Sebelum belokan ke Pangumbahan, sebuah motor mendekat: seorang bapak dan anak.

“Cari penginapan ya?” ujarnya. Informasi Cibuaya menghambur, tentang maling motor, begal, perkelahian, dan kematian. Sebelumnya seorang kawan merekomendasikan sebuah penginapan, namun kemudian kami abaikan karena mengantisipasi kengerian. Setelah tawar-menawar harga, kami dibawa ke sebuah rumah bilik tanpa penerangan.

“Sebentar ya, saya urus dulu listriknya,” kata lelaki itu. Siang mulai dijemput malam, hujan turun, angin semakin kencang, listrik mati. Dari teras bilik saya melihat alam tengah mengamuk.

“Keueung kieu nyak,” ujar seorang kawan. Mukanya gelap seperti malam. Beberapa orang bergantian mandi, sebagian lagi berkumpul di teras. Kopi dan gorengan datang, lebur dalam tawa kekuda-kudaan.

Duapuluh satu tahun yang lalu Ujunggenteng tak semenyeramkan ini. Medio 1997, saya bertiga dengan kawan main ke Ujunggenteng pakai sepeda. Waktu itu masih sekolah di Madrasah Tsanawiyah. Dari Jampangkulon berangkat sekitar pukul 05.17 wib. Akbar di depan, saya di tengah, Abu tercecer di belakang: dalam remang pagi ia seperti siluman trenggiling yang kedinginan.

“Tong gancang teuing euy, tiris,” teriaknya. Tiba di Ujunggenteng kami sarapan bala-bala di sebuah warung, yang sekarang warungnya mungkin sudah tidak ada. Pukul 12.17 wib kami kembali ke Jampangkulon, kali ini giliran saya yang tertinggal. Saya tak kuat mengayuh menaklukkan tanjakan. Tapi itu dulu, sekarang yang lemah di tanjakan beda lagi, ada dua orang. Tak perlulah saya sebutkan namanya di sini. Tapi kalau penasaran silakan tanya saja ke Pak Alexxx dan Gistha.

Lupakan dulu masa lalu, karena lihatlah, sekarang malam sudah mulai larut, diintai para penjaga motor yang katanya akan membantu keamanan, atau barangkali sebaliknya. Saya pindah ke dalam, rebahan berbantal tas milik Kang Novan yang basah. Ya, bagaimana tidak, tas dimasukkan ke dalam kantong sampah, tapi tidak diikat, jadilah ia semacam penampungan air hujan yang paripurna.

Tengah malam ada sedikit keributan, listrik korslet, beberapa charger hp dan kamera lumpuh. Esoknya berebut antrian kamar mandi. Dingin memang, tapi badan sudah pada bau ajag, jadi apa boleh bikin. Habis mandi saya pergi ke warung mencari rokok dan bensin. Dapat setengah Garfit yang sudah lama, batangnya dilumuri noda menguning yang kalau badan tidak sedang dalam kondisi prima akan menyebabkan batuk kering tak sudah-sudah.

Motor mulai dipanaskan, hujan mulai turun lagi. Terberkatilah mereka yang punya boncengan. Bagi yang sendirian, nasib adalah kesunyian masing-masing. Rombongan melaju ke arah Surade, mengisi tangki bensin di Pasiripis, dan berbelok ke kanan di Cibarehong. Lalu melewati jembatan Cikaso dan menghajar jalanan Tegalbuleud yang mulus sebelah. Sesekali aroma gula kelapa datang lagi. Kiri kanan jalan dihiasi kebun karet dan padi huma yang sudah menguning.

Sebelum masuk Agrabinta terdengar suara radio. Di tengah hujan, Waas FM mengudara: menerima telpon, membacakan WA, dan memutar lagu. Radionya di Batununggal, penelponnya di Tegalbuleud dan Jampangkulon, lalu kirim-kirim untuk alumni SMA 1 Rantauprapat. Bebas. Yang penting tidak mengantuk di jalan.

Agrabinta si jalan tiada ujung. Perkebunan karet dan sengon berkejaran di sisi jalan. Saya dan beberapa kawan sempat tekor. Jalanan mulus meliuk-liuk. Ini kali kedua melintasi perkebunan Agrabinta: yang pertama dalam siang terik menyengat ubun-ubun, kali ini dalam gigil tak berkesudahan. Di warung yang sama sepeti tahun lalu kami berhenti. Makan siang istimewa dengan rebung dan jengkol. Aip membayar utang, Akay merindukan pemilik kamera moriless, dan Enji mengingat-ngingat sebuah nama tempat di grup WA.

Habis Agrabinta masuk Sindangbarang, berbelok ke kiri ke arah Tanggeung dan Sukanagara. Sesekali melewati tebing yang dirimbuni pepohonan tua. Bibi Lung sempat berhenti di tenda penjual durian. Saya sudah menaruh harapan, tapi harus mengemasinya lagi. Rombongan berhenti di jembatan Cisawer yang di bawahnya terdapat batu-batu bolong bentukan alam.

Memasuki Tanggeung saya teringat Rosidi, anggota SARBUPRI (Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia) tahanan politik Orba yang ikut mengerjakan pembuatan ruas jalan Tanggeung-Pagelaran. Beliau kini sudah meninggal, meninggalkan banyak istri, anak, cucu, dan cicit yang akur. Persaudaraan yang selalu diusahakan oleh Rosidi semasa hidupnya. Membaca kisah Rosidi alias “Arjuna dari Cikawung” membikin hati rawan sekaligus hangat.

Kemudian masuk Koleberes dan Pasirkuda. Beberapa kawan kembali membeli bensin. Kabut sudah nampak di kejauhan. Memasuki Pagelaran dingin semakin menusuk. Saya melihat tiga curug, dua besar dan satu kecil. Curug Citambur semakin jelas, membelah tebing hijau tua yang terlihat seperti monster. Rombongan berhenti berjajar di pinggir jalan dekat warung bertuliskan iklan XL, hendak mengambil gambar. Tiba-tiba tumila bergerak gesit ke depan, menjerat gambar, dan tak menyadari bahwa posisinya merusak frame kamera rombongan, seolah-olah ia berminat untuk dilempari botol Kratingdaeng berisi bom Molotov.

Dari Pegelaran bergerak terus ke arah Sinumbra. Di ujung jalan beton dihadang tanjakan curam berlumpur, beruntung sudah dilumuri sekam. Kami berhenti sebentar dekat musala untuk sekadar menghabiskan batang terakhir sebelum dihajar hawa dingin perkebunan teh. Suhu turun. Kabut menebal. Sebenar tebal. Jarak pandang kurang dari lima meter. Kami mengatur posisi terkait dengan penerangan jalan. Sorot lampu terlihat jelas menembak kabut yang berkuasa.

Kabut. Angin. Dingin. Gelap. Tangan kebas. Tanpa rokok. Saya khawatir ada kawan yang tumbang.

Kabut.

Kabut.

Kabut.

Dalam remang bedeng Sinumbra mulai terlihat. Saya merindukan cuanki, tapi rombongan tidak berhenti. Di simpang Sinumbra-Rancabali rombongan terbagi dua, saya masuk kelompok pertama di depan. Di dekat pemadian air panas kelompok pertama berhenti hendak menunggu kelompok kedua. Namun yang ditunggu tak kunjung datang. Saya beli Super setengah, Rp 12.000. Kalau di Jalan Kliningan tinggal tambah lagi Rp 2.000 sudah dapat Siganture sebungkus. Tapi biarlah, demi kehangatan. Tiba-tiba Rizka menerima telpon, ada kabar kalau Agus kedinginan dan rombongan berhenti di warung.

“Siapa yang nelpon, Riz?”

“Delvi”

Saya tertegun sebentar. Delvi kan di Pontianak. Tapi buru-buru sadar kalau di grup WA ternyata tersiar kabar cukup genting. Nurul kemudian menelpon Tegar, dan dinyatakan kondisi aman terkendali. Kami berjalan lagi menuju Ciwidey. Kabut mulai tak terlihat.

Di pemberhentian terakhir dekat SPBU, Ervan pusing dan tak bisa ditanya. Roman mukanya seperti tak dikasih uang jajan selama dua minggu. Rambut acak-acakan. Sampai kelompok kedua datang dan tertawa kekuda-kudaan, Ervan masih diam membisu.

“Mau langsung diantar pulang ke rumah, Van?” tanya Mang Hevi.

“Enggak Mang, ke kedai aja,” jawabnya.

Oke. Berangkat lagi.

Soreang menjelang. Ketika melewati Gedung Sabilulungan, Aip menunjuk gedung tersebut lalu mengangkat jempol. Artinya kira-kira, “Dadang Naser mantap!”

Di dekat SMAN 1 Margahayu berhenti lagi, menghubungi Upi untuk memastikan kunci kedai. Upi sedang di Cikutra dan akan segera meluncur ke kedai. Syuram, Minggu malam di Cikutra. Apakah beliau sedang nongkrong di permakaman? Entahlah.

Kopo lancar lalu masuk Sukarno-Hatta. Di sini Nurul dan Ana belok ke kiri, pulang ke Cimahi. Ya, Ana pulang bareng dengan Nurul, bukan Gistha, bukan Akay, bukan Agus, bukan Tegar, bukan pula Hamdan yang sedang rajin-rajinnya berburu kucing.

Setiap kali pulang ngaleut alam ke daerah selatan, dan pulangnya sudah sampai di Sukarno-Hatta, semua yang bawa motor seperti yang sakit perut hendak lodom. Semuanya tancap gas, tak terkecuali saya. Leuwipanjang, Moch. Toha, Cijagra, masuklah ke Jalan Buahbatu. Kliningan, Karawitan, dan Solontongan.

Ketika kawan-kawan pulang satu-persatu dan membuat kedai semakin sepi, saya melihat bayang wajah muram. Ada kesedihan. Ada kesunyian. Seperti kaum Nuh yang tak diajak naik ke kapal, hanya meninggalkan dia dan sepi.

Siang ini Bibi Lung datang membawa batagor. Chacha turut serta, berkisah kesan-kesannya selama dibonceng Gistha. Tak usahlah saya ceritakan ulang di sini, nanti saja di grup WA. Sebelum mandi saya teringat lagi makian di Jum’at malam yang penuh serapah itu, ketika Persib akhirnya ditekuk PSM dan tak lolos ke babak berikutnya:

“Goblog anjing!” [irf]