Siapa cinta Bandung
Harus lulus ilmu ingatan
---Eddy D.
Iskandar
Di Kota
Bandung, sekarang ini, barangkali taman kota sedang menjadi panglima hiburan. Semenjak
Wali Kota dijabat oleh Ridwan Kamil, taman-taman baru bermunculan, dan yang
lama dihidupkan kembali. Sebut saja dari mulai Taman Pasupati (Taman Jomblo),
Taman Film, Taman Musik, Taman Superhero, Taman Fotografi, Taman Hewan, Taman
Lansia, Taman Panatayuda, sampai dengan Taman Balai Kota.
Dalam
menyelami sejarah kota, kita seringkali dibantu oleh mereka yang rajin
mendokumentasikan perjalanan kota. Arsip-arsip kota, baik yang dibukukan,
maupun yang tercecer di lembar-lembar koran, mulanya adalah sebuah kerja sunyi
para pendokumentasi yang penuh kewaskitaan. Cinta dan minat mereka yang besar
adalah jalan panjang dalam menjaga ingatan.
Pada kesempatan
ini, saya hendak mencatat Taman Balai Kota dan sekitarnya. Minangka sebagai sebuah kerja kecil dalam rangka mempelajari ilmu
ingatan.
***
Pada tanggal
1 April 1906, Gubernur Jenderal J.B. van Heutz menetapkan status Kota Bandung
yang semula adalah ibu kota Kabupaten Bandung, ditingkatkan menjadi Gemeente (Pemerintah Kota). Maka Kota
Bandung pun resmi terlepas dari Kabupaten Bandung. Karena hal inilah, Kota
Bandung pun dituntut untuk mempunyai gedung pemerintahan sendiri yang berpusat
di Gemeente Huis atau Balai Kota. Pada
perjalanannya Balai Kota mempunyai sebuah taman, yang kini dikenal dengan nama Taman Balai Kota.
Sejarah
seputar Balai Kota Bandung dan tamannya bisa ditemui di beberapa buku tentang
Kota Bandung. Salah satunya adalah di buku Gementee
Huis karangan Sudarsono Katam, yang diterbitkan oleh Kiblat Buku Utama.
Taman Balai
Kota berada di dalam komplek Balai Kota Bandung. Semenjak taman ini dirapikan
dan dipercantik dengan berbagai ornamen baru, jumlah pengunjung pun semakin
bertambah. Mayoritas pengunjung adalah remaja dan anak-anak. Mereka
memanfaatkan taman ini untuk latihan menari, main bola, pacaran, foto-foto,
atau sekadar duduk-duduk di bangku taman.
Satu hal
yang paling terkenal di Taman Balai Kota adalah keberadaan patung badak putih. Hewan
ini dipilih konon karena dulu di Bandung banyak terdapat badak. Sebagai
tambahan informasi, Rumah Sakit Hasan Sadikin dulu bernama Rumah Sakit Ranca Badak, bahkan di salah satu jendelanya masih
terdapat sisa sebuah gambar badak.
Di bawah
patung badak putih terdapat kolam ikan yang dilengkapi dengan air mancur. Di
badan patung tertulis tentang larangan mengambil ikan di kolam dengan cara apa
pun. Di sekitar kolam ada beberapa bangku yang sering dimanfaatkan oleh para
pengunjung untuk bersantai sambil ngobrol.
Naon hubunganna lauk emas jeung Bandung? |
Tak jauh
dari patung badak, kini terdapat juga patung ikan mas yang berjumlah lima ekor.
Entah apa pertimbangannya sehingga heman ini dipilih untuk “menemani” si badak
putih. Selintas pikiran saya tertuju ke patung ikan besar di alun-alun Cisaat,
Sukabumi. Patung itu dipilih karena di Cisaat ada sebuah daerah yang terkenal
sebagai produsen ikan mas, yaitu Cibaraja. Artinya pembuatan patung ikan mas
masih ada kaitannya dengan suatu daerah setempat. Namun entah kalau yang ada di
Taman Balai Kota Bandung ini.
Di sebelah
patung ikan, di kiri dan kanannya, berjajar tiga pilar berwarna putih yang
kemungkinan besar berfungsi sebagai penerangan di waktu malam. Bergeser sedikit
ke arah Utara, tertulis dengan rapi : “Taman Balai Kota”.
Yang tak
kalah “nge-hit” adalah dengan dibuatnya gembok
duriat—saya lebih senang menyebutnya begitu (gembok cinta) tempat para
pasangan, terutama anak-anak muda, mengaitkan gembok yang terkunci di terali
yang berbentuk kotak. Anak kunci itu kemudian dibuang ke kolam dekat patung
badak putih. Di hampir setiap gembok tertulis nama pasangan yang mencoba
mengabadikan cintanya.
Duriat dikonci ku gembok |
Di atas
terali kotak itu tertulis “LOVE” berwarna merah, yang sempat menjadi
perbincangan hangat di media sosial karena dianggap menjiplak. Fenomena gembok
cinta ini memang sudah merambah banyak tempat, di antaranya Korsel dan Prancis,
yang kemudian menular ke Bandung. Selain itu, tanaman bunga berbagai warna ikut
pula mempercantik Taman Balai Kota.
Di sebelah selatan
terdapat patung se-dada Raden Dewi Sartika yang terlihat kusam. Patung pelopor pendidikan
untuk perempuan Priangan ini nampak kurang terawat. Di bawahnya ada plakat
peresmian oleh Wali Kota pada masanya, yaitu Wahyu Hamijaya.
Sebagaimana
taman-taman yang lain, Taman Balai Kota pun konon dilengkapi dengan wifi, namun
entah saya belum pernah mencobanya. Himbauan untuk membuang sampah pada
tempatnya terpasang di beberapa sudut taman. Hal ini dibarengi juga dengan
ketersediaan tempat sampah yang relatif cukup banyak.
Keran Air Minum |
Sebuah
terobosan sempat dilakukan oleh pemkot bagi para pengunjung taman, dengan
dibuatnya keran air siap minum. Namun entah kenapa tidak lama setelah
diluncurkan, fasilitas ini kemudian tidak berfungsi. Harian terbesar di Jawa
Barat pernah memuatnya di sebauh edisi ihwal berita ini. Informasi yang
disajikan koran tersebut adalah karena adanya gangguan pada rangkaian listrik
yang terhubung dengan keran air tersebut. Entah sekarang apakah sekarang sudah
diperbaiki atau belum.
Kebutuhan
akan air minum memang cukup besar, apalagi bagi anak-anak dan remaja yang
mayoritas beraktifitas fisik seperti menari dan main bola, yang tentunya akan
cepat membutuhkan air untuk menggantikan cairan tubuh yang keluar. Namun
sepanjang yang saya perhatikan, tidak ada satu orang pun yang minum langsung
dari keran tersebut. Artinya ada dua kemungkinan; fasilitas itu rusak, atau
pengunjung bawa minum sendiri.
Gazebo |
Di tengah
taman terdapat sebuah gazebo yang dulu digunakan sebagai tempat duduk dan
bersantai. Sekarang gazebo tersebut dipasangi teralis dan pintu, serta dikunci.
Artinya tidak bisa digunakan lagi oleh pengunjung taman. Entah apa alasannya
sehingga tempat ini menjadi tertutup untuk umum.
Batas taman
di sebelah timur adalah aliran kanal Cikapayang yang airnya cukup bersih,
meskipun alirannya kecil dan tidak terlalu deras. Kanal ini dibatasi oleh pagar
besi yang memanjang, namun sayang ada dua pagar yang kondisinya rusak, sehingga
cukup membahayakan jika ada anak kecil yang main di sekitarnya.
Patung Raden Dewi Sartika |
Di timur
aliran Cikapayang adalah Jl. Merdeka yang dibatasi oleh trotoar, yang kini
trotoar tersebut sedang dipercantik dengan pagar, bunga, dan lampu maung yang keren. Lampu itu berbeda
dengan lampu taman yang ada di dalam. Antara Taman Balai Kota dengan trotoar
disambungkan oleh sebuah jembatan yang melintas di atas kanal Cikapayang.
Kemudian ada juga jembatan penyeberangan yang melintas Jl. Merdeka.
Semenjak
taman-taman kota ramai dikunjungi masyarakat, beberapa tembok di pinggir jalan
“dihiasi” kata-kata sindiran sebagai bentuk kritik kepada pemerintah, yang
tidak menyediakan toilet di dalam taman. Salah satunya yaitu yang terdapat di
Jl. Perintis Kemerdekaan, tak jauh dari Gedung Indonesia Menggugat. Hal ini
sebagai fakta bahwa masyarakat tidak “lelap” hanya dengan fasilitas umum yang
didayagunakan, namun mereka juga tetap menyimpan daya kritis sebagai bukti
cintanya kepada kota.
Kayanya sih buat penerangan |
Syukurlah di
Taman Balai Kota kini tersedia fasilitas toilet dan sekaligus musholla,
meskipun pengerjaannya belum selesai dan belum bisa digunakan, namun ini
membuktikan bahwa pemerintah merespon dengan cukup cepat aspirasi yang
berkembang di masyarakat.
Taman Balai
Kota dikelilingi oleh Jl. Merdeka di sebelah timur, Jl. Wastukancana di barat,
Jl. Aceh di utara, dan Jl. Perintis Kemerdekaan di selatan. Di ke empat jalan
tersebut disedikan jalur khusus untuk pengendara sepeda, meskipun sebenarnya
tetap jalan yang sama dengan para pengendara mobil dan sepeda motor. Jalur
tersebut hanya dibatasi oleh sebuh garis putih dan dipertegas dengan beberapa
gambar sepeda di dalam jalur tersebut. Dari segi keamanan--apalagi jika
dihadapkan dengan kesadaran berkendara yang masih minim, tentu jalur khusus
sepeda ini masih jauh dari optimal.
Jalur sepeda |
Jalur sepeda
tersebut dibuat untuk mendukung program “Jum’at Bersepeda” yang diluncurkan
oleh pemkot, maka tak heran jika di halaman Balai Kota terdapat tempat parkir
sepeda. Seperti parkiran untuk mobil, tempat parkir sepeda pun dilengkapi
tulisan khusus untuk para “inohong” seperti Kepala Dinas.
Satu hal
yang patut diperhatikan untuk para pengendara mobil adalah, mobil yang tidak
memiliki tanda lulus uji emisi, dilarang parkir di komplek Balai Kota. Namun
pada pelaksanaan kontrolnya; apakah berlaku ketat atau sebaliknya, memang perlu
pengamatan dan informasi yang lebih lanjut.
Masjid Al Ukhwuwah |
Di sebelah
barat terdapat Masjid Al Ukhuwwah yang berfungsi selain untuk sholat lima
waktu, juga untuk sholat Jum’at para pegawai Balai Kota dan masyarakat sekitar.
Di lahan masjid itu dulunya berdiri sebuah loji gerakan Freemasonry yang
bernama St. Jan, atau dalam lidah Sunda menjadi Setan. Us Tiarsa dalam kenangan masa kecilnya sempat
menulis :
“Nu disebut Gedong Sětan těh, gedong leutik
peuntaseun Gedong Papak (Balěkota) beulah kulon. ěta gedong wangunna mah teu beda ti gerěja. Ceuk kolot mah
saban poě, rěk beurang rěk peuting peuting, rěa julig nyiliwuri, sětan marakayangan, jeung
jin kapir ti mana ti mendi ngadon carurak-curak di dinya.”
Namun
kemudian beliau mengetahui nama dan fungsi gedung tersebut yang sebenarnya,
ternyata berbeda dengan apa yang beliau dengar dari orangtuanya :
“Kakara běh dieu nyaho yěn ěta gedong (loji) těh baheulana tempat kaom
těosofi karumpul. Ngaran gedongna těh Saint Jan.”
Tangganya terlalu curam |
Masjid Al
Ukhuwwah dan Balai Kota dihubungkan oleh sebuah jembatan penyeberangan yang
anak tangganya curam. Jangankan untuk penyandang difabel, untuk manusia normal pun
anak tangga itu cukup mengkhawatirkan. Mungkin karena itulah, kini di dekat
gerbang masuk Balai Kota sebelah barat dibuat zebra cross yang dilengkapi dengan tombol penyeberangan. Setiap
pejalan kaki yang mau menyeberang cukup memijat tombol tersebut, nanti lampu
merah dan sirine akan menyala untuk menghentikan para pengendara.
Namun ada
saja hal ironi yang menyertai, zebra
cross itu ternyata berujung pada sebuah tembok. Persis seperti zebra cross
yang di Jl. Aceh, dulu sebelum ada pemberitahuan dari masyarakat, zebra cross tersebut berujung pada
sebuah pagar. Atau seperti halte angkot di Jl. Pasirkaliki, mulanya halte itu
persis menghadap pagar, jadi kalau mau naik angkot harus naik pagar dulu. Juragan
sehat?
***
Jembatan di Cikapayang |
Taman Balai
Kota secara umum telah memenuhi kebutuhan masyarakat akan ruang publik untuk
interaksi sosial, yang selama ini kurang diperhatikan. Suksesi kepemimpinan
memang banyak mendorong akan pemenuhan kebutuhan ini. Hal ini tentu—bagi
pemkot, adalah panen pujian yang dituai dari masyarakat, terutama yang tersaji
di media sosial populer. Namun walau bagaimana pun, ruang publik ini tetap
menyisakan sejumlah kekurangan yang secepatnya perlu dibenahi. Agar ke depan, tempat
berkumpul masyarakat yang murah meriah ini lebih genah-merenah-tumaninah. [irf]
Lampu Maung |
Trotoar di Jl. Merdeka sedang dipercantik |
Kedah lulus uji emisi |
Latihan nari dulu biar kekinian |
Omat runtah piceun kana tempatna lur! |
Foto : Arsip Irfan TP
2 comments:
Alus wa, jadi pengen jalan kaki lagi di bandung....
Hehehe....geus lawas pisan eta euy pangalaman teh
Post a Comment