Menara Kembar Masjid Agung |
Tah ieu alun-alun
Eta jalan Dalem Kaum
Palih ditu Cikapundung
Mana ari Masjid Agung?
---Deni A. Fajar
Adalah hari Ahad bertarikh 25 Januari
2015 yang sedang dirahmati sinar matahari, yang menandai bahwa Ngaleut tidak lagi berjalan dari rute ke
rute, melainkan fokus di satu objek dan sekitarnya, demi menggali informasi
yang lebih dalam, melebihi dari sekadar pemaparan beberapa orang.
Mula-mula tim saya duduk di dekat
pintu masjid. Koordinasi sebentar sebelum akhirnya menyebar. Kemudian dua orang
menuju ke ruang sekretariat, dan tiga orang berkeliling menyusuri sudut-sudut
masjid sambil sesekali melakukan wawancara dengan beberapa pengunjung.
Kang Atang Wahyudin selaku bagian
tata usaha, yang kami temui di ruang sektretariat memberikan sembilan lembar
kertas, berisi tentang sejarah dan perkembangan Masjid Agung dari masa ke masa.
Lengkapnya saya sajikan di bagian akhir
dari catatan ini.
Pelataran Masjid Agung |
Sebetulnya yang pertama menerima
kami adalah seorang laki-laki paruh baya. “Bapak mah bagian kebersihan, sama
Kang Atang aja ya, dia lebih tahu tentang sejarahnya,” tutur Pak Haji Nabhan,
yang namanya kami ketahui belakangan.
Kang Atang kemudian menerima kami
dengan ramah. Pengurus masjid yang “baru” bertugas selama 10 tahun itu dengan
antusias menjawab beberapa pertanyaan yang kami ajukan. “Saya mah termasuk baru, tuh Pak Haji yang lama mah,
udah 20 tahun lebih di sini, “ tuturnya. Meskipun ada beberapa poin pertanyaan
yang terkait dengan dibukanya alun-alun baru—yang sengaja dibekali oleh Koordinator Aleut, namun karena
komunikasi yang terbangun begitu cair, maka hal itu dimanfaatkan untuk menggali
soal-soal lain yang lebih luas.
Dampak dari dibukanya Alun-alun
yang baru, yang berumput sintetis itu, ternyata menambah jumlah jamaah shalat
dan juga menambah jumlah uang kencleng.
Dari semula rata-rata perbulan hanya 12 juta, namun sekarang bisa mencapai
angka 20 juta perbulan.
Dana operasional Masjid Agung
pertahun idealnya 4 sampai 5 milyar, namun dana yang ada hanya berjumlah 1
milyar yang bersumber dari hibah Pemprov, serta total shodaqoh pertahun yang
berjumlah rata-rata 600 juta. Kekurangan tersebut dapat disiasati dengan
membuat skala prioritas pada setiap kegiatan.
Catatan Kegiatan Harian |
Rekam harian jumlah jamaah yang
sholat lima waktu dicatat dalam sebuah form. Di dalamnya tercantum juga petugas
imam dan muadzin, serta kegiatan majlis ta’lim. Dari sana dapat dilihat perkembangan
jumlah jamaah setiap hari, jumlah per waktu shalat, dan jumlah jamaah yang
mengikuti kegiatan di majlis ta’lim.
Waktu saya melihat jadwal majlis ta’lim
yang menempel di dinding kantor sekretariat, Kang Atang menambahkan, “Di sini mah segala organisasi ada. Muhammadiyah,
Persis, NU, dan yang lain ada semua. Hanya
Ahmadiyah sama ISIS aja yang ga boleh,” ujarnya sambil tersenyum. Totalnya ada
40 majlis ta’lim yang mengadakan kegiatan di Masjid Agung.
Unit Pelayana Jamaah |
Selain majlis ta’lim, di Masjid
Agung ada beberapa unit pelayanan jamaah, yaitu; UPZ (Unit Pengelola Zakat),
KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji), Koperasi, dan Remaja Masjid. Khusus
untuk Koperasi, semula mempunyai sebuah warung di bagian depan masjid, namun
karena untuk memberi contoh kepada para PKL, maka warung itu ditutup. Sekarang
koperasi yang berjalan adalah koperasi simpan pinjam.
Untuk masalah kebersihan, karena
sejak dibuka alun-alun yang baru PKL sudah sangat sedikit, maka permasalahan
ini pun sedikit berkurang. Hanya saja
kesadaran yang masih kurang dari pengunjung masjid, masih menjadi PR yang belum
sepenuhnya terselesaikan. Dalam kaitannya dengan ritul ibadah shalat, kehadiran
para pengunjung memang cukup mengganggu, apalagi suka ada beberapa anakyang berlari-lari sambil main bola. Untuk mengatasi masalah ini, pengurus
secara berkala menghimbau lewat pengeras suara agar pengunjung lebih tertib.
Sayangnya suara yang keluar dari pengeras itu terdengar kurang jelas.
Foto-foto di dalam masjid |
Pengunjung masjid yang semula
lebih banyak di pelataran, kini beralih memenuhi bagian dalam masjid, meskipun
di pelataran pun masih ada. Dan di dalam masjid ada beberapa hal yang dinilai
kurang pantas dilakukan oleh pengunjung, misalnya : memakai rok pendek, atau
membagikan selebaran tentang seminar menangkap peluang penghasilan.
Berdasarkan keterangan dari Kang
Atang, ternyata tanah yang di atasnya berdiri kantor Satpol PP yang berada di Jl.
Dalem Kaum adalah tanah milik Masjid Agung. Pihak pengurus masjid berharap
bahwa tanah itu bisa kembali digunakan untuk keperluan masjid, prioritasnya
untuk kantor sekretariat dan pusat layanan informasi. Namun entah kenapa sampai
saat ini pun hal itu belum juga terselesaikan.
Mengbal heula lur meh jagjag! |
Dulu syiar dan gema dakwah dari
Masjid Agung dapat disimak melalui pesawat “Radio Megaria” di gelombang 91,3
FM. Ke depan, dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada jamaah, Masjid Agung
rencananya akan dilengkapi dengan Poliklinik, Station Radio, dan sarana
penunjang lainnya.
Ada sedikit cerita unik dari
“menara kembar” ini, baik dari penuturan Pak Haji, maupun Kang Atang, keduanya
bercerita bahwa di Masjid Agung ini ada beberapa jamaah “fanatik” yang kalau
hari Jum’at, mereka bela-belain
datang dari Lembang, Padalarang, dan Cicalengka, demi untuk sholat Jum’at di
masjid Agung. “Kalau saya tanya, jawaban mereka mah : reugreug bisa jumaahan di sini teh,” terang Kang Atang. Selain soal
jamaah jum’atan, ternyata ada juga jamaah dari Tangerang yang kalau berkurban
selalu menitipkan hewan kurbannya di Masjid Agung.
Ada yang ngasih ini di dalam masjid |
Selain itu, bedug yang biasa
dibunyikan setiap kali mau shalat lima waktu, ternyata mempunyai variasi
pukulan dan nada yang berbeda-beda, disesuaikan dengan shalat yang akan
dilaksanakan. Artinya bunyi bedug untuk sholat subuh, dzuhur, ashar, maghrib,
isya, dan bahkan sholat Jum’at; semuanya berbeda.
Keberadaan masjid, termasuk di
dalamnya Masjid Raya, memang sangat vital bagi masyarakat Priangan, yang dari
dulu sudah dikenal taat dalam menjalankan Agama Islam--hal ini sempat diperkuat
dengan pendapat tentang penyebaran Wali Songo, yang hanya menempatkan satu
wakilnya di Jawa Barat, yaitu Sunan Gunung Djati. Konon penempatan satu wali
ini berdasar pada sudah menyebarnya Agama Islam di Jawa bagian Barat, berbeda
dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur; yang masing-masing di tempati oleh tiga dan
lima wali.
Daftar Hadir Petugas Masjid |
Di masa-masa awal, Bupati Bandung
sebagai kepala pemerintahan, adalah juga yang secara institusional menjadi
pengelola Masjid Agung. Sedangkan operasionalnya dipegang oleh seseorang yang
menjabat sebagai Penghulu Bandung, atau yang sekarang lebih dikenal dengan
Ketua DKM. Penghulu Bandung berwenang mengatur tata tertib dan kemakmuran
masjid. Dalam pelaksanaannya dibantu oleh staf petugas yang diangkat dan
diberhentikan oleh Penghulu yang bersangkutan, jumlahnya sekitar 40 orang.
Beberapa tugas pembantu Penghulu Bandung itu adalah menjadi imam, khatib,
muadzin, muroqi, dll.
Berikut adalah Penghulu Masjid
Agung Bandung dari masa ke masa :
1) Penghulu
Rd. KH. Zainal Abidin
2) Penghulu
K. Nasir
3) Penghulu
K. Hasan Mustofa
4) Penghulu
K. Rusdi
5) Penghulu
K. Abdul Kodir
6) Penghulu
K. Siddiq
7) Penghulu
K.R. Hidayat
8) Penghulu
K. Muhammad Kurdi
9) Penghulu
KH. Tamrin
10) Penghulu
KH Tb. Saleh
11) Penghulu
KH. Dachlan
12) Penghulu
KH. Moh. Yahya
13) Penghulu
KH. Rd. Totoh Abdul Fatah
Pada perkembangannya, staf Ketua
DKM secara jumlah semakin meningkat. Hal ini seiring dengan kian bertambahnya
jumlah jamaah. Kiwari pengurus Masjid Raya dibagi menjadi dua kelompok; yaitu
karyawan dan non karyawan. Yang karyawan adalah mereka yang tidak mempunyai
pekerjaan lain selain mengurus Masjid Raya (jenis pekerjaannya lebih ke
operasional, sumber gaji dari APBD Provinsi), sedang yang non karyawan adalah
mereka yang cukup sibuk dengan pekerjaan di luar Masjid Raya (lebih ke soal
kebijakan).
Berdasarkan hasil musyawarah para
ulama, yang dipimpin oleh KH. R. Totoh Abdul Fatah, posisi kiblat Masjid Agung
adalah 25 derajat ke arah utara dan khatulistiwa. Adapun peserta penentuan arah
kiblat terdiri dari 12 ulama, yang terdiri dari :
1) KH.
Mh. Sudja’I dari Pesantren Cileunyi
2) KH.
R. Ahmad Al-Hadi dari Pesantren Sukamiskin
3) KH.
O. Burhanudin dari Pesantren Cijaura
4) KH.
R. Moh. Jahja dari Wakil Ketua Pengadilan Agama Bandung
5) KH.
Mch. Dachlan Kepala Jawatan Pengadilan Tinggi Agama Propinsi Jawa Barat
6) KH.
Ali Utsman dari Jl. Pangarang, Bandung
7) KL.
Sasmita dari Jl. Nakula, Bandung
8) KA.
Iping Zainal Abidin dari Jl. Moh. Toha, Bandung
9) K.
Moh. Salmon dari Jl. Saledri, Bandung
10) K.R.
Moh. Jahja dari Jl. A. Yani, Bandung
11) KH.
R. Moh. Kosim Perwakilan Departemen Agama Kota Bandung
12) K.
Isa Maftuh Staf Perwakilan Departemen Agama Kota Bandung
Arah Kiblat Masjid Agung |
***
Waktu saya bertanya ke Kang
Atang, apakah pengurus punya semacam buku saku yang di dalamnya dimuat tentang
sejarah Masjid Agung, beliau menjelaskan bahwa saat ini sedang disusun sebuah
buku tentang Masjid Agung yang berjudul “Syiar dari Menara Kembar” (lihat lagi
judul catatan ini). Sementara buku itu belum selesai, maka pihak pengurus
menyiapkan tulisan ringkas tentang sejarah Masjid Agung, yang sewaktu-waktu
bisa di-print out jika ada yang
memintanya.
Berdasarkan catatan ringkas dari
pengurus masjid itulah, berikut adalah sejarah Masjid Agung Bandung yang
sekarang bernama Masjid Raya Provinsi Jawa Barat. Semoga bisa melengkapi
informasi tentang sejarah Masjid Agung yang telah ada dan beredar di masyarakat
:
Masjid Raya Bandung Provinsi Jawa
Barat, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Masjid Agung Bandung, dibangun
pada tahun 1800-an. Ada dua pendapat ihwal kapan tepatnya masjid ini didirikan.
Pendapat yang pertama menyebutkan
bahwa Masjid Agung didirikan pada tahun 1812. Bangunan awal masjid ini berupa
panggung tradisional, bertiang kayu, berdinding anyaman bambu, beratap rumbia,
serta terdapat sebuah kolam besar untuk keperluan mengambil air wudhu. Kolam
ini pun dimanfaatkan juga sebagai sumber air untuk memadamkan kebakaran di
daerah sekitar Alun-alun Bandung pada tahun 1825.
Masjid Agung 2014 |
Sedangkan pendapat lain
menyatakankan bahwa pendirian Masjid Agung adalah pada tahun 1810, bersamaan dengan pembangunan Pendopo Kabupaten
Bandung yang diresmikan pada tanggal 25 September 1810. Jika melihat pola
pembangunan pusat kota yang ada di Priangan, khususnya pada masa Hindia
Belanda, memang posisi antara Masjid Agung dan Pendopo Pemerintahan selalu
berdekatan, dan mungkin pembangunannya pun dilakukan pada waktu yang sama.
Bangunan Masjid Agung mengalami
beberapa perubahan. Sejak didirikannya, masjid ini telah tigabelas kali
dirombak; delapan kali di abad ke-19, dan lima kali pada abad ke-20.
Pada tahun 1826 bangunan Masjid
Agung diganti dengan kontruksi kayu. Kemudian di tahun 1850 secara berangsur
dirombak lagi dengan meningktakan kualitas bangunan. Atas prakarsa Bupati R.A.
Wiranatakoesoemah IV atau Dalem Bintang (1846-1874), masjid Agung diganti lagi dengan
tembok batu-bata dan atau genting. Selain itu, di sekeliling masjid pun
dibangun pagar tembok bermotif sisik ikan (seperti pagar Pendopo Kota Bandung
sekarang) setinggi kurang lebih dua meter. Motif ikan tersebut adalah gaya ornamen
khas Priangan.
Penambahan Waktu Shalat di Daerah |
Tahun 1900 atap Masjid Agung
berubah menjadi tumpang susun tiga, yang kemudian dikenal dengan sebutan “Bale Nyungcung”. Selain itu halamannya
pun luas, dan berpintu gerbang. Meskipun masjid belum dilengkapi dengan menara,
namun sudah ada mihrab, pawestren, bedug, kentongan, dan kolam.
Berdasarkan rancangan arsitek
Maclaine Pont, pada tahun 1930 Masjid Agung dilengkapi dengan sepasang menara
pendek tumpang susun di kanan dan kiri bangunan, dan dilengkapi pula dengan serambi
(pendopo) depan.
Di sekitar Konferensi Asia
Afrika, yaitu pada tahun 1955, Masjid Agung mengalami perombakan total. Atap tumpang
susun tiga yang sudah dipakai sejak tahun 1850 diganti dengan atap bergaya
Timur Tengah, yaitu model atap bawang. Sebutan “Bale Nyungcung” pun perlahan mulai menghilang. Tak hanya itu, dua
menara pendek pun dibongkar dan digantikan dengan sebuah menara tunggal yang
letaknya di halaman depan masjid sebelah selatan. Serambi diperluas, ruang
panjang di kiri dan kanan masjid (pawestren)
digabungkan dengan bangunan induk.
Serambi kanan masjid, pada tahun
1967, ruangannya ditambah. Hal ini sehubungan dengan berdirinya Madrasah
Diniyah, Taman Kanak-kanak, dan Poliklinik YAPMA. Setahun sebelumnya, yaitu di tahun
1965, akibat tiupan angin kencang, atap masjid Agung mengalami kerusakan.
Kepala Perwakilan Departemen
Agama Propinsi Jawa Barat, R.H.A. Satori, pada tahun 1969 berinisiatif untuk
merintis perubahan dan perbaikan Masjid Agung. Rencana tersebut dituangkan ke
dalam bentuk maket. Setelah Solihin GP dilantik menjadi Gubernur Jabar, maka
rencana tersebut dimatangkan dan direalisasikan, serta beliau langsung yang
memimpin proses penyelesaiannya.
Himbauan dari Pengurus Masjid |
Dalam pelaksanaannya, proses
perubahan dan perbaikan Masjid Agung diperkuat dengan terbitnya SK Gubernur
Jabar, tanggal 1 Mei 1972 No. 106/XVII/Dirt.Pem./SK/72, yang didasari atas
hasil musyawarah semua unsur yang ada di Jawa Barat.
SK tersebut berisi tentang
Pembangunan Masjid Agung Bandung dan Pengangkatan Personalia Pembangunan Masjid
Agung Bandung. Berikut susunannya :
Ketua Direksi : H. Jahja
Wakil Ketua Direksi : Ir. Karman
(Kepala DPU Jawa Barat)
Perencana Pembangunan :
1) Ir.
Adjat Sudradjat
2) Prof.
Dr. Sjadali
3) Ir.
Noe’man
4) Ir.
Luthfi
Para Arsitek :
1) Ir.
Slamet Wirasendjaja
2) Ir.
Raswoto
3) Ir.
Saharti
4) Ir.
Toni Suwandito
Buletin Masjid Agung |
Rencana tersebut baru dapat
dimulai pada tanggal 3 April 1971. Tahap pertama menghabiskan biaya sekitar Rp
20.000.000,- yang digunakan untuk pembuatan menara dan jembatan yang
menghubungkan Masjid Agung dengan Alun-alun. Pembangunan tersebut selesai pada
tanggal 4 Januari 1972.
Setelah tahap itu selesai,
kemudian dilakukan pembongkaran bangunan lama yang hasil bongkarannya
disalurkan kepada masjid-masjid yang ada di Kota Bandung. Di atas bangunan lama
yang telah dibongkar tersebut kemudian dibangun masjid baru.
Pada tahap kedua, berdasarkan SK
Gubernur Jawa Barat No.234/A-V/16/SK/72 tentang Peletakan Batu Pertama
Pemabangunan Masjid Agung Bandung, maka pada tanggal 19 Juni 1972 dilakukan
peletakan batu pertama oleh Gubernur Jawa Barat dan Pangdam VI Siliwangi.
Masjid yang baru dibuat berlantai
dua. Tempat shalat utama dan ruang kantor menempati lantai dasar, sedangkan
lantai dua digunakan sebagai mezanin
tempat shalat yang berhubungan langsung dengan serambi luar. Kedua tempat
tersebut dihubungkan oleh jembatan beton ke tepi Alun-alun di sebelah barat.
Satu hal yang disayangkan adalah bahwa jembatan penghubung tersebut hampir
menutupi semua tampilan bagian muka masjid. Di bawah permukaan tanah (basement)
difungsikan sebagai tempat pengambilan air wudhu.
Biaya total pembangunan Masjid
Agung Bandung yang selesai pada tanggal 1 Oktober 1973, diperoleh dari sumber
sebagai berikut :
1) Sumbangan
Presiden Republik Indonesia sebesar Rp 15.000.000,-
2) Sumbangan
Menteri Dalam Negeri sebesar Rp 5.000.000,-
3) Sumbangan
dana Nikah, Talak, Ruju’ (Departemen Agama) sebesar Rp 42.000.000,-
4) Sumbangan
dari simpanan Calon Jamaah Haji sebesar Rp 22.000.000,-
5) Sumbangan
dari APBD Prop. Jabar 1972/1973 sebesar Rp 90.000.000,-
6) Sumbangan
dari Pemda Kotamadya Bandung sebesar Rp 14.000.000,-
7) Sumbangan
dari Perencana sebesar Rp 3.000.000,-
Informasi yang Disampaikan di Buletin |
Masjid baru tersebut berada di atas tanah wakaf, dan
ditambah dengan tanah hasil pembelian Pemda Kotamadya Bandung seluas +/- 2.464
M2,menghabiskan
biaya sebesar Rp 135 juta. Jamaah yang dapat ditampung di Masjid baru +/- 5000
(di lantai bawah), dan +/- 2000 di lantai atas. Di dalamnya terdapat pula
perpustakaan, ruang kantor, dan tempat wudhu.
Memasuki tahun 1980-an kondisi masjid Agung seolah
“terisolasi”. Hal ini disebabkan karena adanya tembok tinggi yang diberi
ornamen dari batu granit di depan dinding muka Masjid, serta pintu gerbang
besi. Dengan kondisi seperti itu membuat masjid seperti tertutup untuk umum. Hal
yang mungkin bisa menarik perhatian warga barangkali hanya puncak menara.
Puncak tersebut diganti menjadi model kubah yang menyerupai bola dunia, dan
terbuat dari rangka besi. Rangkaian lampu-lampu kecil dililitkan di rangka besi
puncak menara tersebut dan dinyalakan pada malam hari.
Tahun 2001 terbit SK Walikota Bandung Nomor 023 Tahun 2001
tanggal 11 Januari 2001 tentang Panitia Pembangunan Masjid Agung. SK tersebut
diterbitkan dengan niat untuk mengembalikan citra Masjid Agung yang terlihat
semakin suram.
Rada diaos heula lur! |
Hasil dari pembangunan tersebut adalah lantai masjid yang
semakin diperluas. Hal ini karena jalan yang semula ada di depan masjid
(sebelah barat masjid) dihilangkan, dan bahkan memakan sebagian alun-alun. Kubah
beton berdiameter 30 m dibangun untuk menggantikan atap model joglo. Selain
itu, di atas bangunan masjid yang semula lahan alun-alun pun dihiasi dengan dua
kubah yang masing-masing berdiameter 25 m.
Yang paling menarik adalah dengan dibangunnya menara kembar
yang kita kenal sekarang, yang masing-masing mempunyai ketinggian 81 meter. Semula
menara ini hendak dibangun dengan ketinggian 99 meter yang dimaksudkan sebagai
simbol Asmaul Husna (nama-nama Allah), namun dengan mempertimbangkan keamanan
lalu-lintas udara, akhirnya angka yang diijinkan hanya 81 meter. Tapi jika
dihitung dari pondasi yang memiliki ketinggian 18 meter, total ketinggian
menara tersebut tetap 99 meter.
Pada rencana dan perjalanannya, menara kembar tersebut
bukan hanya berfungsi untuk kepentingan spiritual, namun juga dimanfaatkan
untuk kepentingan komersial, telekomunikasi, dan objek wisata.
Salahsatu Sudut Pelataran Masjid |
Karena Provinsi Jawa Barat belum mempunyai masjid Raya,
maka Gubernur Jabar waktu itu, yaitu H.R. Nuriana mengadakan pertemuan dengan
panitia pembangunan. Dari pertemuan itulah, atas saran dari Drs. H. Tjetje
Soebrata, SH., MM selaku Wakil Ketua Pemabangunan, digagaslah untuk mengubah
nama Masjid Agung Bandung menjadi Masjid Raya Bandung Jawa Barat. Perlu
diketahui bahwa penamaan masjid memang terkait dengan tingkatan di level
wilayah dan pemerintahan.
Masjid Nasional (Istiqlal) : Tingkat Negara
Masjid Raya : Tingkat Provinsi
Masjid Agung : Tingkat Kota dan Kabupaten
Masjid Besar : Tingkat Kecamatan
Masjid Jami : Tingkat Kelurahan
Setelah Pemda Jabar dan Pemkot Bandung sepakat ihwal
penggantian nama tersebut, maka pada tanggal 4 Juni 2003 nama masjid yang
semula Masjid Agung Bandung, diganti dan diresmikan menjadi Masjid Raya Bandung
Provinsi Jawa Barat. [ ]
Tim Ngaleut
Masjid Raya Bandung :
1) Deris
Reinaldi
2) M.
Taufik N.
3) Irfan
Teguh Pribadi
4) Kukun
Kusnandar
5) Syamsul
Arifin
Foto :
1) Arsip Irfan Teguh Pribadi
2) Arsip Deris Reinaldi
Foto :
1) Arsip Irfan Teguh Pribadi
2) Arsip Deris Reinaldi
No comments:
Post a Comment