Saya tidak menyukai mereka yang touring memakai motor. Maksudnya mereka yang selalu membawa led glow stick alias tongkat nyala yang diacung-acungkan untuk mengusir pengendara lain agar memberi jalan kepada rombongannya. Atau yang kerap menyalakan klakson supaya pengguna jalan lain berkendaranya lebih menepi. Siapa anda-anda ini sebenarnya? Tidak pernah menjadi kandidat presiden kok berani-beraninya mengusir orang di jalanan. Saya golput seumur hidup karena tak sudi memberikan suara kepada mereka yang hanya akan memblokade jalan dengan bantuan aparat. Soal perjalanannya silahkan saja nikmati, toh saya pun kerap melakukannya.
Sekali ini, seminggu pasca lebaran 1437 H, saya bersama
kawan-kawan Komunitas Aleut pergi ke Maribaya dan Subang via perkebunan
Bukanagara. Motor matic mengusai, dan sebelum berangkat (malas) dijejali teknik
berkendara rombongan. Bukan apa-apa, teori-teori itu akan menguap jika tak ada
kesadaran berkelompok. Saya jarang di depan, persoalannya sederhana: tidak terlalu
hapal jalan. Mengantarkan kawan ke Sadang Serang saja nyasar ke Supratman dan
Ahmad Yani. Paling belakang pun jarang, sebab saya bukan penghitung motor yang
baik.
Kalau saya tak keliru, kemarin itu mula-mula bergerak dari
Solontongan, Laswi (melewati mulut jalan Talaga Bodas tentu saja), Sukabumi,
Supratman, Katamso, Pahlawan, Cikutra, Cigadung, Buniwangi, Maribaya, Cikawari,
dan selanjutnya saya tak hapal. Tak terasa rombongan sudah tiba di jalanan makadam
yang konon diambil dari nama penggagasnya yaitu John Loudon McAdam. Makadam
adalah jalan yang terbuat dari batu pecah yang diatur padat lalu ditimbuni
kerikil, meski rata-rata kerikilnya sudah tidak ada.
Barangkali saya telah puluhan kali melewati jalan makadam,
tapi sekali ini kondisinya amat menantang: licin berlumut dan pasca ditimpa
hujan. Ban belakang terus membuang ke kanan-kiri. Oleng kapten. Dalam bahasa seseorang
yang dibonceng di belakang (ya iyalah di belakang masa di depan): bannya
bergoyang. Sebuah pernyataan yang rawan dipelesetkan. Di beberapa tanjakan kawan-kawan
membantu mendorong, dan bertemu dengan dua pengendara lain yang hendak ke
Subang. Mereka sudah bapak-bapak, berpenampilan tidak terlalu semenjana, dan
merokok Djarum Coklat. Sementara perkampungan masih jauh, sebuah kondisi yang berbahaya
jika tiba-tiba merindukan kamu, eh kopi.
Sepanjang jalanan licin itu pemandangan dikuasai hamparan
perbukitan, tebing curam, dan hutan homogen seperti di film Modus Anomali. Saya
membayangkan Rio Dewanto muncul dari balik hutan, pura-pura dikejar padahal
datang untuk membunuh: Joko Anwar kadang-kadang memang mengerikan. Pasukan boncengers
yang kehabisan nyali memilih berjalan kaki sambil menenteng helm pinjaman. Tiba
di sebuah perkampungan, saya membeli Magnum, bukan es krim tentu saja. Lalu para
penganut Tuhan 9 cm berlomba menyalakan api. Di sebuah lembah yang hijau gemah
ripah loh jinawi, rombongan berpapasan dengan pengendara motor yang aduhai:
perempuan berkerudung manis agraris. Seorang kawan menyebutnya sebagai “mutiara
tersembunyi di lembah berbatu”: sebutan puitis yang kemudian tak berarti
apa-apa setelah kami sadar di sini tidak ada dua sejoli yang berakhiran “mart”.
Hari sudah semakin siang ketika seorang kawan bertanya
kepada penduduk, “Bu, di sini ada warung nasi?” Dari suara yang keluar, saya
mendengar getaran lapar. “Ga ada di sini mah, nanti paling di Cupunagara,
kira-kira sejam lagi dari sini,” jawab si ibu. Dan kawan itu mengemasi kembali
perutnya. Kekalahan ditambali oleh beberapa potong biscuit, wafer, dan sekerat
roti. Lapar adalah teman retia, eh setia makhluk hidup. Hari ini tunai besok
datang lagi. Begitu terus-menerus sampai hayat berdiri di tubir akhir. Sebuah kesetiaan
yang kadang tak bisa ditandingi oleh relasi kehidupan manusia.
Kabut mulai melindungi hutan hujan tropis yang rapat. Tak jarang
aliran air jernih melintas di jalan. Ya, air itu selalu menerbitkan keinginan
untuk mandi dan ngeueum: berlama-lama
merendam tubuh dalam dingin dan kesegaran yang hakiki adalah semacam tetirah
dari air perkotaan yang bau besi dan kadang hitam pekat. Air telah bersalin
rasa dan rupa, dijejali hasrat manusia, dikelola PDAM, dan kita harus
membayarnya.
Lalu kami pun tiba di Cupunagara, di sana ada perkebunan
Bukanagara dan Jalan Pedati peninggalan Hofland dan Raden Rangga Martayuda. Tugu
peringatannya berdiri di tengah lapang, dikelilingi bukit dan beberapa rumah
pegawai perkebunan. Pabrik teh pun tidak jauh, hanya sepelemparan batu dari
tugu, tapi harus kuat melemparnya agar sampai di atap pabrik itu. Saat kami
menjerat riwayat dengan bidikan kamera, seorang kawan bercelana sontog pergi ke
perkampungan untuk memastikan kehadiran warung nasi. Dan syukurlah, kali ini tak
lagi menelan kekalahan.
Penjual nasi itu adalah pasangan setengah baya beserta anak perempuannya
yang masih muda. Mereka ramah dan pembaca kode yang baik. Saat kami bilang “air
tehnya enak”, tak lama si ibu datang membawa seteko penuh. “Lalabnya mantap
gini ya”, tak lama ia datang membawa senampan sayuran segar baru petik dari
kebun. Saya tadinya mau bilang “tak ada anak gadis ya di sini mah”, tapi urung,
takut ia membawa anak perempuannya ke hadapan. Kode-kode sederhana yang
diterjemahkan dengan sederhana, namun bagi sebagian orang kadang sulit untuk
dicerna. Tapi adakalanya kode-kode itu memang harus dibunuh sampai mati, dan
diganti dengan berterus terang secara elegan.
Makan siang selesai, lalu perjalanan dilanjutkan. Kami akan
melewati daerah yang belum lama tertimpa musibah longsor. Sebuah kengerian
menunggu di depan. “Ke Cisalak paling 17 km lagi. Jalannya relatif enak tak ada
tanjakan yang curam. Hanya saja kalau turun hujan harus agak cepat dan
hati-hati. Longsor kemarin memakan enam korban, dan jalanan sempat tertutup
selama dua bulan,” ujar bapak penjual nasi. Deg! Duh Gusti paringono
keselametan.
Dan benar saja, di daerah yang dikatakan bapak tadi, seorang
kawan menghitung ada sekira 23 lebih titik bekas longsor mematikan itu. Pohon-pohon
tumbang dan batu berserakan di pinggir jalan. Di tengah hutan, hujan mulai
turun, kecemasan mulai menggunung. Ya, cemas yang tak bisa disembunyikan dari
wajah orang yang saya bonceng di belakang: goresnya terlampau kentara. Kawan-kawan
menepi dan memakai jas hujan. Air dan lumpur bekas longsor membuat jalan makadam
menampilkan wataknya yang bengis: bebatuan, kerikil, dan lumpur licin
menghadang. Motor yang saya tunggangi terjatuh dua kali, tepat di bawah titik
longsor yang menganga.
Saya percepat laju, pontang-panting menghindari bahaya yang
setiap saat bisa datang. Yang duduk di belakang tak bersuara, barangkali dalam
hatinya tengah komat-kamit berdoa. Dan yang dikhawatirkan itu akhirnya datang:
sebuah pohon tumbang melintang menghalangi jalan! Beberapa detik sebelum saya
melintas, dan beberapa detik pula setelah seorang kawan melaluinya. Tak lama
sebuah truk datang dari arah yang berlawanan. Sopirnya kemudian turun membawa
tambang untuk menarik pohon tersebut. Saya dan kawan-kawan membantu
menyingkirkan batang besar itu.
Setelah selesai dan bisa kembali melanjutkan perjalanan--masih
dalam kepungan hujan, saya langsung teringat sebuah adegan di film “The Curious
Case of Benjamin Button” arahan sutradara David Fincher. Ada sebuah adegan
tentang takdir waktu. Perbedaan dua menit menjadi begitu penting bagi orang
yang tertabrak mobil. Ketika seseorang tertimpa musibah, hal itu belum tentu
terjadi jika ia mempercepat atau memperlambat dua menit langkahnya. Peristiwa begitu
presisi dalam satuan waktu. Ia punya takdirnya masing-masing. Dalam kasus saya,
dua kali terjatuh adalah gerak memperlambat langkah, dan akhirnya terhindar
dari pohon yang tumbang tadi. Saya bergidik membayangkan jika seandainya tak
terjatuh dua kali.
Selalu ada pelangi setelah badai, begitu kata orang-orang. Jalanan
kemudian berangsur membaik. Aspal terhampar tanpa bopeng di sekujurnya. Di kejauhan
atap rumah penduduk Cisalak mulai terlihat, juga hamparan sawah dan langit
biru. Kami akhirnya sampai di jalan provinsi dan mulai mengemasi jas hujan. Perjalanan
selanjutnya menuju Bandung tak begitu menantang selain hujan ternyata turun
lagi dengan deras. Di sebuah tempat istirahat seorang kawan bilang, “Ngaleut
seperti ini yang terpenting bukan tentang titik tujuan, tapi perjalanannya itu
sendiri.” Lalu jalanan mulai gelap dan kabut turun begitu pekat. Kami kembali
ke Bandung, ke kota yang bukan hanya soal geografis, tapi juga kemacetan. Dan perasaan,
tentu saja. [irf]
Foto : Ridwan Hutagalung
Foto : Ridwan Hutagalung
No comments:
Post a Comment