Dalam beberapa tahun ini, status rumah di kampung hendak dijual, tapi sampai sekarang belum juga laku. Seperti dialami banyak keluarga lain, menjual peninggalan orang tua yang paling subur dijejaki dan dirimbuni kenangan sering kali bukan dorongan ekonomi, melainkan kehidupan yang sudah berlain-lainan.
Dalam keluarga guru seperti kami,
mesti terseok-seok soal biaya, merantau untuk sekolah hampir niscaya. Dan
sebagaimana diramalkan, jalan sekolah adalah juga jalan untuk tak pernah benar-benar
kembali ke kampung halaman.
Maka begitulah akhirnya. Orang tua
pergi satu-persatu, juga saudara. Yang masih diberi hayat, satu-persatu membangun
keluarga, menjalani hari-hari di rumah, alamat, masalah, dan kesibukan masing-masing.
Rumah masa kecil dan remaja akhirnya
kosong, berdebu, mulai keropos, dan sunyi. Siapapun, barangkali, dalam situasi
seperti ini, akan muncul tarik-menarik antara kewajiban pembagian harta waris
dan kenangan yang mengentak-entak.
Saya mulai meninggalkan rumah untuk
sekolah di kota lain saat Jakarta mendidih. Pak Tua sudah tak dapat dukungan.
Mahasiswa bergolak di jalanan. Kerusuhan membara. Reformasi pecah. Kadang saya
lupa, mulai kapan saya merantau, padahal tinggal ingat saja 1998: persalinan bayi
harapan yang 32 tahun sebelumnya diredam Orde Baru.
Masa-masa muda, maksudnya usia 20-an
dan 30-an telah lewat beberapa tahun. Lingkar pertemanan kian mengecil. Kesibukan
makin mengimpit. Waktu bergerak begitu cepat di linikala media sosial, juga
pada keseharian. Buku menumpuk, terus dibeli, sementara membaca sudah amat
jarang. Menulis? Setali tiga uang, blog hampir disinggahi laba-laba.
Dua hari lagi Ramadan tiba. Seperti
tahun-tahun sebelumnya, bulan ini selalu menarik-narik ingatan ke masa kecil,
padahal saya tahu jarak dan waktu sudah begitu berkhianat.
Empat hari ini kerja libur. Dorongan
menulis muncul lagi. Saya tahu konsistensi adalah barang mahal, tapi
mulai jua mencatat.
Jika suatu hari nanti rumah di kampung akhirnya
terjual, kesedihan itu masih bersisa. Hati yang rawan sesekali pasti akan
datang. Bagaimanapun, orang tak bisa dicerabut dari akarnya. Tempat masa kecil
dan remaja akan selalu menjadi negeri dongeng.
Meminjam dari Aan Mansyur, pada akhirnya, “kenangan adalah satu-satunya masa depan yang tersisa”. [ ]
No comments:
Post a Comment