24 November 2023

Leila Khaled dalam Linimasa Gerakan Perlawanan Palestina

Perhatian dunia tersedot ke Palestina, khususnya Jalur Gaza, sejak Hamas dan gerakan perlawanan lainnya melakukan serbuan ke permukiman Israel pada 7 Oktober 2023. 

Serangan ini adalah respons terhadap sejumlah penangkapan dan penganiayaan yang dialami warga Palestina di Tepi Barat. Namun secara umum ini adalah akumulasi perlawanan terhadap penjajahan Israel yang telah berjalan 75 tahun sejak Nakba 1948.

Beberapa faksi pergerakan terlibat dalam serbuan bertajuk Taufan Al-Aqsa. Ini bisa diidentifikasi dari sejumlah video dan foto yang beredar di linimasa. Selain Brigade Al Qassam yang merupakan sayap militer Hamas, turut pula Brigade Saraya Al Quds (Jihad Islam Palestina) dan Brigade Abu Ali Mustafa (PFLP).

Keberadaan mereka bisa diidentifikasi dari warna ikat kepala. Hijau milik Hamas, hitam milik Jihad Islam, dan merah PFLP. Sementara Brigade Syuhada Al Aqsa yang merupakan sayap militer Fatah biasanya memakai ikat kepala berwarna kuning. Namun dalam beberapa footage ikat kepala warna ini tak pernah terlihat. Barangkali mereka hanya bergerak di Tepi Barat dan sekitarnya.  

Leila Khaled, tokoh yang ditulis Sarah Irving dalam buku ini berasal dari PFLP (Popular Front for the Liberation of Palestine) yang berhaluan Marxis-Leninis. Ia pernah terlibat dalam pembajakan pesawat secara beruntun pada 1969 dan 1970. Aksi yang ia lakukan pada usia pertengahan 20 tahunan ini berhasil menarik perhatian dunia.

Dalam linikala perlawanan Palestina terhadap Israel yang anggap saja dimulai sejak 1948, gerakan berideologi nasionalis, sekuler, dan komunis lebih dulu muncul daripada kelompok islamis. 

Bersama Fatah, PFLP pernah bergabung dengan PLO (Palestine Liberation Organisation). Namun saat Yasser Arafat (pemimpin PLO) memutuskan untuk menempuh jalan diplomasi (selain militer), PFLP yang kala itu dipimpin George Habash akhirnya keluar. 

Baru pada tahun 1980-an kelompok islamis dibentuk. Jihad Islam berdiri pada 1981. Sedangkan Hamas didirikan pada 1987 berbarengan dengan Intifada I. Kedua kelompok inilah yang kiwari paling kuat dan paling banyak terlibat dalam pertempuran di front Gaza.

Kisah Leila Khaled jadi menonjol pada zamannya, selain karena memang berani dan nekat, juga ternyata pola pemberitaan terhadap perempuan tak ubahnya apa yang terjadi hari-hari ini di sejumlah media daring.

Leila Khaled disebut sebagai kembaran Audrey Hepburn--model terkenal kala itu. Ia disebut sebagai pemberontak muda, menawan, dan lantang. Apalagi saat ia tampil di Reuters dengan memeluk senapan Kalashnikov di depan sebuah pesawat yang segera menjadi foto ikonik. 

Penyebutan dia sebagai kembaran Audrey Hepburn, singkatnya pembajak pesawat nan cantik, tak ubahnya dengan penyebutan tukang jamu cantik, tukang gorengan seksi, dan sejenisnya, yang muncul setelah gambar dan videonya berseliweran alias viral.

Dan selayaknya Che Guevara, sosok perlawanan Leila Khaled juga akhirnya terjebak dalam dua garis yang saling tarik-menarik: teladan dan selebritis. Ini sangat disadari oleh Sarah Irving yang menuliskannya di pengujung lembar Pendahuluan:

“Bagaimanapun, untuk banyak orang, Leila Khaled tetaplah figur yang menawan, memukau, dan mengundang inspirasi. Dalam dunia yang dijejali reality show televisi, X-Factor, dan American Idol, hal ini mendatangkan tantangan tersendiri. Bagaimana merayakan seseorang yang karismatik dan istimewa seraya menghindar dari kultus selebritis?" 

Jika ditarik pada konteks Gaza ini, sosok Leila Khaled bisa menawarkan sejumlah pertanyaan kritis tentang keterlibatan perempuan dalam gerakan perlawanan Palestina yang kiwari terkesan amat maskulin--meskipun pada pertukaran tawanan tanggal 24 November 2023 tampak seorang pejuang perempuan dari Brigade Al Qassam.

Di luar hal itu, pada akhirnya buku ini, sebagaimana ditulis Irving, "Mencoba untuk menapaki garis batas yang tipis itu (antara dewa/malaikat dan manusia/orang yang terikat pada ruang dan waktu),” pungkasnya. [irf]

No comments: