Saat seseorang menginjak usia 40, dia merasa segalanya telah terlambat. Tapi ketika dia sampai di usia 60, sangkaannya ternyata keliru. Tak ada kata telat, hari demi hari bisa diraih dengan banyak hal: olahraga, menulis, membaca, mengunjungi kawan, dan tentu saja menghisab diri sendiri.
Agustus 2024, setelah sekitar 22 tahun tinggal di Bandung,
saya akhirnya kembali ke Sukabumi. Dari jendela bus MGI, setiap pemandangan
yang berlarian hanya menggoreskan sepotong lirik, “dikantun montél katineung,
paanggang muntang kamelang.”
Setelah ditinggalkan dua dekade lebih, tak banyak yang
tersisa di Sukabumi. Satu di antara yang masih tercecer dalam ingatan dan
kenangan adalah Masjid An Nuur di Kebonjati. Ia terletak di kawasan yang
dipotong Jalan Siliwangi dan Jalan R.A. Kosasih (Ciaul).
Tahun 1999, setelah delapan bulan tinggal di rumah Pak
Yusuf Kholidi di daerah jalan cagak, Cibaraja, seorang kawan mengajak saya
untuk pindah ke Masjid An Nuur. Rano Rofiuddin Al Mubarok nama kawan itu.
“Di belakang masjid ada ruangan cukup luas, tempat
anak-anak asal Jampang mondok, pindah saja ke sana. Gratis, asal aktif
memakmurkan masjid,” kira-kira begitu ia sampaikan.
Setelah pamit, saya menyewa angkot dan membawa lemari
kecil tempat menyimpan beberapa lembar pakaian.
Lalu dimulailah rutinitas baru. Setelah salat Subuh
berjamaah, mendengarkan kuliah subuh di tengah rasa kantuk yang masih tersisa
jadi kewajiban. Saat langit di timur kian memerah, kuliah subuh selesai dan
bersiap antri untuk mandi. Sore hari setelah salah Asar berjamaah, semua
“santri” berkumpul di ruang samping masjid dan membaca terjemahan Sahih Muslim
secara bergantian. Ya, hanya membacanya.
Berikutnya saya agak lupa, entah selesai Magrib atau bakda
Isya, Kang Wawan, guru kami, biasanya akan menyampaikan nasihat-nasihat atau
teguran atas “pelanggaran” sehari-hari.
Kisah Tiga Gang
Untuk sampai ke Masjid An Nuur, setidaknya ada tiga gang
yang biasa saya lewati, yakni Gang Munajat, Gang H. Mukhtar, dan Gang H.
Marzuki. Ketiganya serupa rajah yang hendak berjejak di ingatan.
Di mulut Gang Munajat, setidaknya warsa 1999-2001,
terdapat ibu tua penjual lotek, jika tak salah seporsi harganya 4.000 rupiah.
Di dekatnya, tepatnya di trotoar Jalan R.A. Kosasih, bapak tua berjualan
gorengan, harga satunya hanya 500 rupiah. Keduanya kerap saya beli sebagai
teman nasi.
Dibekali uang 100.000 rupiah perbulan (untuk makan, ongkos
angkot, biaya tugas sekolah, dll), makan dengan empat biji gorengan adalah hal
yang jauh dari buruk. Bila sesekali membeli lotek, yang terbayang justru
delapan biji gorengan yang disia-siakan.
Pilihan yang cukup berat.
Lewat Gang Munajat pula saya sering mendatangi lapak
penjual koran. Tak jauh dari 1998, saat keran pers dibuka selebar-lebarnya,
banyak tabloid baru dan lawas bermunculan, di antaranya Tekad dan Abadi,
keduanya tabloid politik.
Setelah titik didih reformasi sedikit bergeser, saya mulai
membeli majalah Sabili dan Tarbawi. Sebetulnya, kedua majalah ini
juga tak bisa dilepaskan dari reformasi. Sabili gencar meliput konflik
berdarah di Maluku, sementara Tarbawi lahir dari lingkungan kelompok
Tarbiyah/Partai Keadilan—waktu itu belum ditambahkan kata “Sejahtera”.
Sekarang, lapak itu masih ada, tapi penjualnya luput.
Konon dia beralih jadi pengendara ojek online. Zaman memang tak bisa
dilawan.
Bila malam, di sebelah tempat lapak penjual koran muncul
penjual bandros. Lapak jualannya berupa kursi pendek memanjang, si penjual
duduk di atas dingklik. Selain menikmati bandros, pembeli juga bisa memesan
kopi, susu, teh, atau kopi susu. Sekarang (2025) harga segaris bandros 10.000
rupiah, entah dulu, saya lupa lagi.
Sebetulnya bandros yang paling terkenal di Sukabumi dari
dulu hingga sekarang adalah bandros Atta di Jalan Gudang, tapi karena
pembelinya selalu ramai, saya segan.
Dari pinggir Jalan R.A. Kosasih, setiap kali keluar dari
Gang Munajat, saya sesekali mengarahkan pandangan ke timur, ke arah Bandung,
kota impian bila masa SMA telah usai.
Gang kedua, yakni Gang H. Mukhtar, terletak di pinggir SD Negeri Pintukisi, Jalan Siliwangi. Dulu jalan ini dua arah, sekarang direkayasa jadi satu arah, para pengendara hanya boleh melintas dari arah utara. Di sebuah belokan sebelum Masjid An Nuur, terdapat rumah Alm. Farid Hardja. Ia meninggal pada Desember 1998, beberapa bulan sebelum saya pindah ke An Nuur.
Di belakang “pondok” Masjid An Nuur terdapat rumah Mama
Arafah. Entah siapa nama aslinya, yang jelas seorang haji pemilik penyewaan
peralatan pernikahan dan rias pengantin bernama Arafah. Belakangan, dia membuka
bisnis serupa di Jalur Lingkar Selatan Sukabumi.
Lewat Gang H. Mukhtar saya biasanya pergi ke sekolah. Melintasi
Jalan Siliwangi, Jalan Ahmad Yani, Jalan Otista, lalu menunggu angkot nomor 25
trayek Ramayana-Terminal Jubleg di dekat pintu perlintasan kereta api. Angkotnya
warna hitam, pagi-pagi selalu ramai oleh anak-anak SMANSA.
Lewat gang ini pula, pada malam hari selepas Isya, saya
terkadang membeli lontong sayur di daerah Kota Paris, di seberang gereja. Dulu
cukup heran, karena lontong sayur ditambahi serundeng halus dari kelapa.
Sekarang, setelah kembali ke Sukabumi, ternyata semua lontong sayur di kota ini
memang selalu dibubuhi serundeng.
Gang ketiga, Gang H. Marzuki, masih terletak di Jalan
Siliwangi, tapi sekaligus terletak di ujung Jalan R.E. Martadinata. Di
sebelahnya terdapat Radio NBS FM yang sampai sekarang masih eksis.
Sesekali, jika malam telah sempurna menutup malam, saya
membeli mie goreng yang dijual di depan kantor NBS FM. Menu bawaannya selalu
pakai empedal (ampela) ayam, cita rasanya manis, mirip Chinese Food. Dan
seperti lontong sayur, ternyata seluruh mie goreng di Sukabumi cita rasanya
sama.
Di gang ini terletak rumah Pak Baehaqi, Ketua Yayasan An
Nuur. Beliau meninggal tak lama setelah saya mulai “mondok” di Masjid An Nuur.
Ia wafat dini hari, sekitar pukul 01.00. Bersama beberapa orang guru dan kawan,
saya ikut memandikan jenazahnya. Saat itu, anak-anaknya masih di perantauan.
Di gang ini pula rumah seorang kawan terletak, yaitu rumah
Firman Darmawan alias Pimpim, kawan semasa SMA, meski kami tak pernah sekelas.
Di sebelahnya, ada rumah Candra, bocah SMP yang rajin salat berjamaah di Masjid
An Nuur.
Sebagai catatan, Sukabumi pada tulisan ini mengacu kepada
Kota Sukabumi, sebuah wilayah yang hanya diisi oleh tujuh kecamatan, bukan
Kabupaten Sukabumi yang memiliki 47 kecamatan.
Nasyid dan Anak-Anak Jampang
Wilayah Jampang meliputi beberapa kecamatan di Kabupaten
Sukabumi dan Kabupaten Cianjur. Di era kolonial, wilayah ini terkenal sebagai
salah satu tempat berburu banteng para pembesar Belanda. Secara umum, Jampang
dibagi menjadi tiga kewedanaan, yakni Jampang Kulon, Jampang Tengah, dan
Jampang Wetan.
Ibu kota Jampang Tengah bernama Bojonglopang, sementara
ibu kota Jampang Wetan adalah Sukanagara. Berbeda dengan dua wilayah itu, ibu
kota Jampang Kulon sama dengan nama kewedanaannya, yaitu Jampang Kulon. Namun
dulu sebenarnya ibu kota Jampang Kulon itu bernama Cicurug Pamerangan.
Informasi tersebut terdapat dalam buku Mulangkeun Panineungan: Dumasar Pangalaman-pangalaman Sajati
nu Cumantél Kana Haté,
Nyangkaruk dina Kalbu, Kumacacang dina Implengan karya Muchtar
Affandi.
Anak-anak Jampang
yang tinggal di Masjid An Nuur Kebonjati berasal dari sejumlah kecamatan, yakni
Surade, Sagaranten, dan Jampang Kulon. Nama yang paling akhir disebut adalah
kampung halaman saya. Sekolah kami berbeda-beda: SMP An Nuur, SMA Muhammadiyah,
SMANSA, SMK Muhammadiyah, SMK AMS, dan SMKN 1 Sukabumi.
Kang Wawan, guru
kami, konon mantan pemain band, atau setidaknya pernah main band bersama
kawan-kawannya semasa kuliah di Unwim Jatinangor. Setelah kembali ke Sukabumi,
dia sepertinya bergaul dengan Jamaan Tabligh yang mengharamkan musik. Maka,
ketika kami tinggal di Masjid An Nuur, segala macam musik dilarang, kecuali
nasyid yang saat itu sangat booming seiring bergairahnya dakwah Islam di
kampus-kampus sekuler dan sekolah.
Waktu itu masih era
kaset pita. Kaset-kaset saya yang non-nasyid semua kena razia, di antaranya
Noin Bullet album Bebas (1999), Jun Fang Gung Foo album Naga 2000
(1999), /rif album Nikmati Aja (2000), dan sebuah kaset rekaman kabaret
untuk lomba kesenian antarkelas di SMANSA—kehilangan kaset yang ini sampai
sekarang masih saya sesali, pasalnya ia diproduksi oleh banyak kawan-kawan di
rumah Herlan Jaelani di daerah Ciaul. Saat berita kehilangan ini saya
sampaikan, tentu saja mereka kecewa.
Meski demikian, meski
dikekang peraturan yang terasa meringkus, pada akhirnya hampir setiap hari
mendengarkan nasyid bisa menjadi obat kesepian. Kelak, saat jauh dari Sukabumi
dan teringat hari-hari di Masjid An Nuur, saya selalu memutar nasyid-nasyid itu
di Youtube.
Seperti musik pada
umumnya, nasyid juga terbagi atas beberapa genre. Warsa 1998-2000 saat konflik
agama memanas di Maluku, Izzatul Islam mengeluarkan nomor-nomor bertema jihad
yang membakar. Grup nasyid yang didirikan pada 1994 sebelumnya telah
mengeluarkan album Seruan (1994), Ramadhan (1995), dan Untuk
Sebuah Cita (1996). Setelah tiga tahun berlalu, akhirnya mereka
mengeluarkan album Kembali (1999).
Perhatikan narasi
pembukanya:
“Hari ini manusia
kehilangan eksistensi, cita-cita tanpa orientasi, visi tanpa ideologi, raga
bergerak tanpa jiwa, tanpa rasa. Menapaki hari-hari dengan payah yang kian
bertambah, dunia menguasai jiwa, kemuliaan luruh bersama tetes-tetes peluh
kehinaan. Manusia jatuh pada lembah nadir kenistaan, dan kematian hati kian
mendekat, dan kemuliaan jiwa kian sulit melekat. Sebuah seruan harus
dilantunkan untuk kembalikan kehormatan diri, umat, dan agama yang lama
tercabik dihinakan. Seruan yang tetap lantang dikobarkan, dari kami Izzatul
Islam.”
Album ini terdiri
dari 10 nasyid. Saat mendengarkan nasyid nomor 5 yang berjudul “Kami Harus
Kembali”, pikiran langsung melayang ke konflik berdarah di Maluku yang tak bisa
dilepaskan dari persoalan politik. Berikut potongan liriknya:
“Berkobar Tinggi
Panaskan bumi
Membakar ladang dan
rumah kami
Darah syuhada
mengalir suburkan negeri
Tiada kata lagi… kami
harus kembali
Siapa dituduh siapa
menuduh
Mulut lancang asal
berbicara
Kami mujahid bukan
perusuh
Berjuang pertahankan
agama
Tanah lahir kami…
akan tetap dibela.”
Jika Izzatul Islam
mengobarkan semangat jihad, lain lagi dengan Suara Persaudaraan, The Zikr,
Raihan, Snada, The Fikr, Justice Voice, Harmony Voice, Alif, dan Gradasi. Semuanya
mewarnai hari-hari masa SMA.
Beberapa album mereka
hampir berbarengan dengan kemunculan album band-band ska, Dewa 19 album Bintang
Lima (2000), Padi album Lain Dunia (1999), Rage Against The Machine
album The Battle of Los Angeles (1999), Korn album Follow the Leader
(1998), Limp Bizkit album Significant Other (1999), Reza Artamevia album
Keabadian (2000), Biohazard album New World Disorder (1999), dan Pas
Band album Psycho I.D (1998).
Album-album band dan
solo itu saya dengarkan di rumah Rahman Sidik, Herlan Jaelani, dan Ari Saptono.
Karena tentu saja di An Nuur mereka sangat dilarang.
***
Saya mulai meninggalkan
Sukabumi tahun 2002. Setelah menganggur setahun di kampung akhirnya mulai kuliah
di Bandung, tepatnya di Ciwaruga. Sebetulnya tinggal di Kota Kembang tidak benar-benar
22 tahun, karena sebelum kembali ke Sukabumi pada 2024, saya pernah juga
tinggal beberapa tahun di Jakarta. Tapi entah kenapa tahun-tahun di Jakarta terasa
kurang berkesan, padahal semuanya berkesinambungan dalam membangun riwayat.
Belum lama ini saya
menemukan akun IG Masjid An Nuur Kebonjati dan melihat satu unggahan acara yang
pembicaranya tertulis Ustaz Acil. Deg! Bukankah ini Acil bocah yang dulu sering
berlari-lari di masjid bersama tiga orang kakaknya: Rizal, Iqbal, dan Abduh? Sekarang
dia juga sudah tampil sebagai khatib saat salat Iduladha di Lapangan Tenis Bunut.
Waktu benar-benar
berkelebat. Saat saya dan Rano duduk di bangku SMA, Acil bahkan belum masuk SD.
Kata orang Sunda, “Da hirup ngan sakolépat, diudag-udah balébat.”
Rano sekarang tinggal
di Selabintana, anaknya lima, yang paling besar tengah kuliah di Karawang. Dia
aktif sebagai kader PKS. Waktu saya memesan kacamata ke rumahnya, waktu seolah
berhenti. Wajah dan perawakannya tak berubah. Juga humornya. Masih seperti
dulu, saat kami masih sama-sama menjaring matahari di Masjid An Nuur Kebonjati. [irf]
No comments:
Post a Comment