20 June 2021

Melancong ke Situ Cileunca di Pangalengan


Sejak Jumat saya cuti. Lima hari, sisa tahun 2020. Ya, di kantor saya cuti tahunan bisa diakumulasi ke tahun berikutnya. Pandemi menggila lagi. Seharian hanya di rumah: baca buku, menulis, dan membersihkan rantai sepeda. Berhari-hari cuaca Bandung terus mendung. Sore hujan deras. Besoknya mendung lagi.

Ahad datang. Saya memanaskan motor. Lalu tancap gas ke selatan, ke Pangalengan. Jalanan sepi. Kabut. Udara sebenar dingin. Kurang dari satu jam sudah sampai di Situ Cileunca, tak jauh dari bundaran Pangalengan.

Warung-warung sepi dan dingin. Sarapan terbaik adalah mie rebus, gorengan, cabe rawit, dan dipungkas oleh Gudang Garam Filter. Tapi saya sudah berhenti merokok. Hanya uap dingin yang berembus dari mulut, seperti di film-film Barat.   

Saya datang ke Situ Cileunca dengan pikiran yang dijauhkan dari soal-soal sejarah. Entah pemberontakan PETA Cileunca, ataupun perahu Belanda yang tenggelam di perairan itu. Hanya sunyi yang mengepung. Namun sesekali ditebas suara motor yang melintas.

Satu dua remaja lari-lari kecil di pinggir situ, mengejar-ngejar sehat alias olah raga. Seorang remaja putri duduk termenung sembari berjemur, tanpa kawan. Tiga bapak-bapak pesepeda gunung melintas. Sepasang kekasih jalan santai sambil membidikkan kamera hp ke banyak sudut.

Empat orang atlet kano sedang berlatih di kejauhan. Sementara “perahu turis” tengah bersandar: pengemudinya sarapan. Dua orang remaja dekil setengah mengendap-ngendap, mencari pojok yang pas buat merokok. Saat asap sigaret mereka mengepul, saya teringat lagi masa-masa jaya ketika merokok pada suhu udara rendah begitu nikmat. Lima tahun lalu, juga di sisi Situ Cileunca.

Pukul delapan pagi sinar mentari nyaris tak terasa. Hangat sedikit, sisanya gigil. Tak jauh sari situ, tepatnya di perkampungan yang terletak di bawah, orang-orang tengah menjemur kopi. Aromanya menguar dan tercium bau masam, barangkali arabika. Dua ekor anjing berkejaran. Masih di bawah, satu dua motor semenjana menggilas jalanan butut.        

Sebuah jembatan panjang membelah situ. Menghubungkan dua kampung, dapat dilalui motor. Temboknya berwarna merah, sementara bilah-bilah yang menyambungkan tembok berwarna putih, bukan besi tapi pipa plastik yang biasa dipakai untuk saluran air. Jelas kurang aman.  

Kiwari, masyarakat semakin tak kreatif. Konon jembatan itu dinamai “jembatan cinta”. Di mana-mana begitu. Tempat wisata dipenuhi tulisan “love”. Kembang dibentuk hati, bambu dibentuk hati, rumput dibentuk hati, kawat dibentuk hati. Alih-alih keren, yang nyata adalah kumuh.

Berkali-kali motor melintas di jembatan itu. Jarak dipangkas, ekonomi lebih cepat berdenyut. Saya kira, jembatan ini lebih cocok dinamai Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Ya, warga tak usah lagi memutar. Antar kampung lebih cepat terhubung.

Sedap sekali berjalan di pinggir Situ Cileunca: sepi, dingin, sedikit hangat, pandangan jauh ke perbukitan dan gunung-gunung. Juga awan, membentuk sedemikian rupa, serupa kapas beterbangan. Ketika mentari kian hangat, saya duduk berlama-lama di tembok, di pinggir situ. Diam. Hanya diam. Melihat kemilau air. Sementara istri meloncat-loncat seperti sedang olah raga. Dia menyebutnya peregangan.

Saat-saat seperti itu seperti sering terjadi delapan tahun lalu, saat saya masih bekerja di Pulogadung. Pagi-pagi membelah Jakarta. Duduk di mikrolet, Homicide di telinga. Macet, copet, klakson, debu, panas, umpatan, semuanya tak menggoyahkan. Saya anteng mendengarkan rima-rima cepat dan pampat.

Di Cileunca yang tenang, tidak ada bebek kayuh. Tak ada pedagang keliling. Tak ada ormas di area parkir. Tak ada sales Jenius. Tak ada bocah dekil penjaja tisu. Juga tak ada pengamen.

Matahari rakus memandikan punggung dengan cahayanya. Saat mulai terasa terik, saya beranjak.

Pandemi kembali menggila. Belasan tetangga terinfeksi. Rumah sakit penuh. Pasar tumpah diliburkan. Saya kembali mengurung diri. (irf)   

4 comments:

budak kang entang said...

alhamdulillah euy,
atoh pisan macana ieu mah (tos robih status pan) hehee,. tos aya anu nuju "peregangan" ayeuna mah,.

Irfan Teguh said...

Hahah.. alhamdulillah mang haji tos aya rencang anyeuna mah :)

Kumaha kabar sarehat?

budak kang entang said...

alhamdulillah sae, mugia we urang bandung oge sing sarehat sadayana nya

Irfan Teguh said...

Amin..amin.. urang silih duakeun bae nyak