Sejak Jumat saya cuti. Lima hari, sisa tahun 2020. Ya, di kantor saya cuti tahunan bisa diakumulasi ke tahun berikutnya. Pandemi menggila lagi. Seharian hanya di rumah: baca buku, menulis, dan membersihkan rantai sepeda. Berhari-hari cuaca Bandung terus mendung. Sore hujan deras. Besoknya mendung lagi.
Ahad datang. Saya memanaskan motor.
Lalu tancap gas ke selatan, ke Pangalengan. Jalanan sepi. Kabut. Udara sebenar
dingin. Kurang dari satu jam sudah sampai di Situ Cileunca, tak jauh dari
bundaran Pangalengan.
Warung-warung sepi dan dingin. Sarapan
terbaik adalah mie rebus, gorengan, cabe
rawit, dan dipungkas oleh Gudang Garam Filter. Tapi saya sudah berhenti merokok.
Hanya uap dingin yang berembus dari mulut, seperti di film-film Barat.
Saya datang ke Situ Cileunca dengan
pikiran yang dijauhkan dari soal-soal sejarah. Entah pemberontakan PETA
Cileunca, ataupun perahu Belanda yang tenggelam di perairan itu. Hanya sunyi
yang mengepung. Namun sesekali ditebas suara motor yang melintas.
Satu dua remaja lari-lari kecil di pinggir situ, mengejar-ngejar sehat alias olah raga. Seorang remaja putri duduk termenung sembari berjemur, tanpa kawan. Tiga bapak-bapak pesepeda gunung melintas. Sepasang kekasih jalan santai sambil membidikkan kamera hp ke banyak sudut.
Pukul delapan pagi sinar mentari
nyaris tak terasa. Hangat sedikit, sisanya gigil. Tak jauh sari situ, tepatnya
di perkampungan yang terletak di bawah, orang-orang tengah menjemur kopi.
Aromanya menguar dan tercium bau masam, barangkali arabika. Dua ekor anjing
berkejaran. Masih di bawah, satu dua motor semenjana menggilas jalanan butut.
Sebuah jembatan panjang membelah
situ. Menghubungkan dua kampung, dapat dilalui motor. Temboknya berwarna merah,
sementara bilah-bilah yang menyambungkan tembok berwarna putih, bukan besi tapi
pipa plastik yang biasa dipakai untuk saluran air. Jelas kurang aman.
Kiwari, masyarakat semakin tak
kreatif. Konon jembatan itu dinamai “jembatan cinta”. Di mana-mana begitu.
Tempat wisata dipenuhi tulisan “love”. Kembang dibentuk hati, bambu dibentuk
hati, rumput dibentuk hati, kawat dibentuk hati. Alih-alih keren, yang nyata
adalah kumuh.
Berkali-kali motor melintas di
jembatan itu. Jarak dipangkas, ekonomi lebih cepat berdenyut. Saya kira, jembatan
ini lebih cocok dinamai Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Ya, warga tak usah
lagi memutar. Antar kampung lebih cepat terhubung.
Saat-saat seperti itu seperti sering
terjadi delapan tahun lalu, saat saya masih bekerja di Pulogadung. Pagi-pagi
membelah Jakarta. Duduk di mikrolet, Homicide di telinga. Macet, copet, klakson,
debu, panas, umpatan, semuanya tak menggoyahkan. Saya anteng mendengarkan
rima-rima cepat dan pampat.
Di Cileunca yang tenang, tidak ada bebek
kayuh. Tak ada pedagang keliling. Tak ada ormas di area parkir. Tak ada sales Jenius.
Tak ada bocah dekil penjaja tisu. Juga tak ada pengamen.
Matahari rakus memandikan punggung
dengan cahayanya. Saat mulai terasa terik, saya beranjak.
Pandemi kembali menggila. Belasan
tetangga terinfeksi. Rumah sakit penuh. Pasar tumpah diliburkan. Saya kembali
mengurung diri. (irf)
4 comments:
alhamdulillah euy,
atoh pisan macana ieu mah (tos robih status pan) hehee,. tos aya anu nuju "peregangan" ayeuna mah,.
Hahah.. alhamdulillah mang haji tos aya rencang anyeuna mah :)
Kumaha kabar sarehat?
alhamdulillah sae, mugia we urang bandung oge sing sarehat sadayana nya
Amin..amin.. urang silih duakeun bae nyak
Post a Comment