Debur ombak masih terdengar sampai ke kamar rumah sakit. Ujang tergeletak. Di perantauan, tak ada sanak saudara yang menjenguk. Kawan pun tiada. Hanya Tahir yang pernah mengunjungi, pegawai yang bertugas menghidupkan diesel di stasiun radio.
Di Flores. Di tempat yang begitu jauh
dari Bandung, kampung halamannya, Ujang tak berdaya. Raganya sehat. Tapi kalbunya
hancur. Tak pernah ia sangka sebelumnya, kebosanan menyeretnya pada jentaka.
Baru tujuh bulan Ujang berdinas di
Kantor Jawatan Telepon di sebuah kota kecil. Karena masih bujangan, ia tinggal
di rumah kepala kantor. Di rumah itu, seorang perempuan muda yang bersama anak
kecil, selalu terlihat diam dan murung. Tak bisa diajak ngobrol. Kian mencekik
rasa kesepian Ujang.
“Apakah akan selamanya hidup seperti ini? Apakah hidup sekadar
untuk kerja? Apa artinya terus menerus bekerja jika hidup serba membosankan?”
ungkapnya.
Barangkali stereotip orang Sunda
melekat pada dirinya: tak betah merantau.
Keadaan berubah ketika Halus—nama perempuan
itu—mulai bisa diajak bicara. Nyatalah penyebabnya, kenapa dia selama ini hanya
diam dan murung.
Alkisah, ketika orang tuanya betugas
di Makassar, Halus masih SMP. Di usia remaja itu dia mulai berpacaran. Berahi
terlampau berjompak: Halus hamil. Pasangan remaja itu dinikahkan, keluar dari
sekolah. Belum siap berumah tangga, mereka akhirnya bubar. Halus pindah ke
Flores membawa jabang bayi.
Sekali waktu, Ujang, Halus, dan
anaknya, main ke pesisir. Kota gelap dan sepi. Tapi hati Ujang mulai terang dan
ramai. Benih cinta tumbuh. Sekarang, setiap hari adalah jejentik waktu penuh
semangat. Ada alasan kenapa dia bekerja, demi Halus dan anaknya yang ia kandung
sejak masih belia.
Gayung bersambut. Keduanya kian erat,
sebelum badai itu tiba.
Tarmidi, kenalan Ujang sesama orang
Sunda, belum lama menduda. Ia bertugas sebagai Kepala Lalulintas Jalan di kota
Ende. Mula-mula Tarmidi hanya bermaksud main ke kediaman Ujang. Namun lama
kelamaan, dia justru kerap bercengkerama dengan Halus.
Perempuan itu mulai pindah haluan. Ujang
dijejali alasan bahwa perjaka itu tak pantas mendapatkan seorang janda seperti
dirinya. Padahal, Ujang sudah jauh-jauh hari mengatakan bahwa status itu bukan
masalah bagi dirinya. Namun Halus telah mengambil keputusan: dia merasa setara
dengan Tarmidi yang seorang duda, alih-alih dengan Ujang. Maka terjadilah
gerhana itu.
“Saudara, jika punya kekasih, jangan sampai
membawa orang lain ke tengah medan percintaan,” ungkap Ujang dalam hati.
Lalu hari pun berganti. Sakit mulai
mendera. Beberapa kali pemeriksaan dokter, tak ada penyakit yang
mengkhawatirkan raganya. Namun Ujang tetap belum pulih. Begini rupa nasib
memperlakukannya: jauh dari puak, kekasih diambil orang.
Di satu sisi, kisah ini tak adil bagi
Ujang. Tetapi di sisi lain, penulis membela salah satu tokohnya yang lemah,
yaitu Halus. Ya, setelah dicampakkan dari sekolah, bercerai dengan suami masa
SMP-nya, Halus tak punya banyak pilihan selain diam di rumah bersama anak
dangan masa depan membayang begitu gelap. Sampailah dia di sebuah persimpangan
dan menentukan pilihannya sendiri.
Dulu, ketika menulis esai tentang
roman Atheis karangan Achdiat Karta
Mihardja, saya menemukan satu pertanyaan. Ya, di kalangan pembaca, sempat
timbul pertanyaan yang menghubungkan Achdiat dengan Hasan, tokoh utama Atheis. Achdiat dan Hasan berasal dari
daerah yang sama, yaitu Garut. Apakah Achdiat tengah menceritakan dirinya
melalui Hasan?
“Dichtung
und Wahrheit (Khayal dan Kenyataan),” kata Achdiat.
Dalam bukunya yang lain, Kesan dan Kenangan yang terbit pada
1960, ia menjelaskan lagi prinsipnya dalam menulis.
“Pengamatan dan pengendapan pedoman
bagiku dan fantasi adalah pencipta utama. Karenanya segala yang kulukiskan
dalam buku ini bersifat Dichtung und
Wahrheit atau Khayal dan Kenyataan. Sampai di mana Dichtung dan sampai di mana Wahrheit-nya,
itu adalah rahasia pengarang sendiri. Tapi baiklah kukatakan, bahwa tiada ‘Hakikat’
yang bertentangan dengan ‘Kenyataan’, dan tiadalah ‘Khayal’ kreatif yang tidak
mengubah-ngubah, mematut-matut fakta dan kenyataan sampai kepada inti pokoknya,”
terang Achdiat.
Apip Mustopa (kelahiran Limbangan,
Garut, 23 April 1938)--pengarang Bogoh ka
Randa yang mengisahkan Ujang, pernah bekerja di Kantor Postel dan sempat
ditugaskan ke Ende. Apakah cerita Ujang adalah kisah tentang dirinya?
No comments:
Post a Comment