03 June 2021

Sakit Hati di Flores dan Bagaimana Perempuan Menentukan Pilihan

Debur ombak masih terdengar sampai ke kamar rumah sakit. Ujang tergeletak. Di perantauan, tak ada sanak saudara yang menjenguk. Kawan pun tiada. Hanya Tahir yang pernah mengunjungi, pegawai yang bertugas menghidupkan diesel di stasiun radio.

Di Flores. Di tempat yang begitu jauh dari Bandung, kampung halamannya, Ujang tak berdaya. Raganya sehat. Tapi kalbunya hancur. Tak pernah ia sangka sebelumnya, kebosanan menyeretnya pada jentaka.

Baru tujuh bulan Ujang berdinas di Kantor Jawatan Telepon di sebuah kota kecil. Karena masih bujangan, ia tinggal di rumah kepala kantor. Di rumah itu, seorang perempuan muda yang bersama anak kecil, selalu terlihat diam dan murung. Tak bisa diajak ngobrol. Kian mencekik rasa kesepian Ujang.

Apakah akan selamanya hidup seperti ini? Apakah hidup sekadar untuk kerja? Apa artinya terus menerus bekerja jika hidup serba membosankan?” ungkapnya.

Barangkali stereotip orang Sunda melekat pada dirinya: tak betah merantau.

Keadaan berubah ketika Halus—nama perempuan itu—mulai bisa diajak bicara. Nyatalah penyebabnya, kenapa dia selama ini hanya diam dan murung.

Alkisah, ketika orang tuanya betugas di Makassar, Halus masih SMP. Di usia remaja itu dia mulai berpacaran. Berahi terlampau berjompak: Halus hamil. Pasangan remaja itu dinikahkan, keluar dari sekolah. Belum siap berumah tangga, mereka akhirnya bubar. Halus pindah ke Flores membawa jabang bayi.

Sekali waktu, Ujang, Halus, dan anaknya, main ke pesisir. Kota gelap dan sepi. Tapi hati Ujang mulai terang dan ramai. Benih cinta tumbuh. Sekarang, setiap hari adalah jejentik waktu penuh semangat. Ada alasan kenapa dia bekerja, demi Halus dan anaknya yang ia kandung sejak masih belia.

Gayung bersambut. Keduanya kian erat, sebelum badai itu tiba.

Tarmidi, kenalan Ujang sesama orang Sunda, belum lama menduda. Ia bertugas sebagai Kepala Lalulintas Jalan di kota Ende. Mula-mula Tarmidi hanya bermaksud main ke kediaman Ujang. Namun lama kelamaan, dia justru kerap bercengkerama dengan Halus.

Perempuan itu mulai pindah haluan. Ujang dijejali alasan bahwa perjaka itu tak pantas mendapatkan seorang janda seperti dirinya. Padahal, Ujang sudah jauh-jauh hari mengatakan bahwa status itu bukan masalah bagi dirinya. Namun Halus telah mengambil keputusan: dia merasa setara dengan Tarmidi yang seorang duda, alih-alih dengan Ujang. Maka terjadilah gerhana itu.

“Saudara, jika punya kekasih, jangan sampai membawa orang lain ke tengah medan percintaan,” ungkap Ujang dalam hati.

Lalu hari pun berganti. Sakit mulai mendera. Beberapa kali pemeriksaan dokter, tak ada penyakit yang mengkhawatirkan raganya. Namun Ujang tetap belum pulih. Begini rupa nasib memperlakukannya: jauh dari puak, kekasih diambil orang.

Di satu sisi, kisah ini tak adil bagi Ujang. Tetapi di sisi lain, penulis membela salah satu tokohnya yang lemah, yaitu Halus. Ya, setelah dicampakkan dari sekolah, bercerai dengan suami masa SMP-nya, Halus tak punya banyak pilihan selain diam di rumah bersama anak dangan masa depan membayang begitu gelap. Sampailah dia di sebuah persimpangan dan menentukan pilihannya sendiri.

Dulu, ketika menulis esai tentang roman Atheis karangan Achdiat Karta Mihardja, saya menemukan satu pertanyaan. Ya, di kalangan pembaca, sempat timbul pertanyaan yang menghubungkan Achdiat dengan Hasan, tokoh utama Atheis. Achdiat dan Hasan berasal dari daerah yang sama, yaitu Garut. Apakah Achdiat tengah menceritakan dirinya melalui Hasan?

Dichtung und Wahrheit (Khayal dan Kenyataan),” kata Achdiat.

Dalam bukunya yang lain, Kesan dan Kenangan yang terbit pada 1960, ia menjelaskan lagi prinsipnya dalam menulis.

“Pengamatan dan pengendapan pedoman bagiku dan fantasi adalah pencipta utama. Karenanya segala yang kulukiskan dalam buku ini bersifat Dichtung und Wahrheit atau Khayal dan Kenyataan. Sampai di mana Dichtung dan sampai di mana Wahrheit-nya, itu adalah rahasia pengarang sendiri. Tapi baiklah kukatakan, bahwa tiada ‘Hakikat’ yang bertentangan dengan ‘Kenyataan’, dan tiadalah ‘Khayal’ kreatif yang tidak mengubah-ngubah, mematut-matut fakta dan kenyataan sampai kepada inti pokoknya,” terang Achdiat.

Apip Mustopa (kelahiran Limbangan, Garut, 23 April 1938)--pengarang Bogoh ka Randa yang mengisahkan Ujang, pernah bekerja di Kantor Postel dan sempat ditugaskan ke Ende. Apakah cerita Ujang adalah kisah tentang dirinya?

Pembaca tentu berhak mempersetan hal itu, sebagaimana Achdiat berhak berkata “Dichtung und Wahrheit”. (irf)

No comments: