Sejauh saya membaca karya-karya fiksi berbahasa Sunda, sangat jarang yang mengangkat tema krisis kejiwaan kaum remaja. Dan sekali ini saya menemukan tema itu yang ditulis oleh Deden Abdul Aziz setebal 56 halaman. Buku tipis ini saya beli di “toko buku” Laris di Pasar Dayeuhkolot, Kab. Bandung.
Kenapa toko buku saya kasih tanda
kutip? Sebab sebetulnya hanya toko ATK. Sejumlah novel remaja dan beberapa
roman berbahasa Sunda, yang semuanya tipis-tipis, sangat sedikit.
Pangantén (pengantin) terbit
pertama kali tahun 2003. Latar kisah di Kota Bandung. Gaya penulisan dan
pemilihan kosakata disesuaikan dengan bahasa pergaulan kontemporer. Mak tak
heran cerita ini banyak memakai bahasa Sunda sehari-hari atau bahasa Sunda
loma, bahkan menjurus kasar. Juga banyak disisipi bahasa Inggris sebagai
penekanan bahwa lakon ini adalah tentang remaja.
Adalah Rinrin, tokoh utama yang hidup
berdua dengan ibunya yang ia panggil Emih. Hubungan keduanya cenderung bebas
dan demokratis. Ibu-anak ini sama-sama perokok dan sesekali menenggak minuman
beralkohol. Tak saling mengganggu privasi masing-masing. Meski Rinrin jarang
pulang, Emih tak ambil pusing. Baginya, anak perempuannya itu sudah dewasa,
sudah dapat menentukan pilihannya sendiri.
Namun relasi mereka tak berarti
kering. Keduanya kerap terlibat dalam obrolan intim dan lama, sembari merokok
dan minum martini. Sekali waktu, Rinrin mengutarakan keinginannya pada Emih:
ingin menikah.
“Sama siapa?”
“Sudah ada pasangannya?
Pertanyaan-pertanyaan itu tak mampu
dijawab oleh Rinrin. Keinginan Rinrin memang sejatinya tidak berangkat dari landasan
sederhana, ihwal pernikahan biasa. Namun berpangkal dari krisis kejiwaannya
yang rumit.
Ia perempuan tomboi, atau setidaknya
lebih sering bergaul dengan laki-laki daripada dengan perempuan. Rinrin muak
dengan lingkungan pertemanan perempuan yang menurutnya: “babarengan jeung batur papada awéwé leuwih pikacuaeun, sarébu kali
pikageuleuheun.”
Sebaliknya, meski banyak bergaul
dengan laki-laki, sebetulnya dia juga menyimpan kebencian yang sama. Simak pengakuannya, “Naon anu pangdipikasieunna ku
awéwé, mahluk nu mémang sabenerna, kanyatanana lemes, lemah? Ngadéngé omongan
nu sugal garihal, ningali batur nu sasama awéwé deui diobrolkeun bari dijejeléh,
ngadéngé lalaki tingsaruit atawa ngahéotan awéwé bari tingcakakak teu uni. Cua.
Ngéwa, jero-jerona mah, teu rido.”
Di tengah situasi perang batin
seperti itulah Rinrin jatuh cinta pada Gumilang yang ia panggil Iyang, kawannya. Sejumlah alasan ia kemukakan kenapa suka kepada kawannya itu. Intinya,
menurut dia, laki-laki lebih sportif, simple,
dan tak suka banyak bacot. Contohnya dalam memperlakukan sesama jenisnya yang
doyan gibah.
“Lalaki mah tara ngumbar kagoréngan baturna, sanajan éta
kagoréngan téh nampeu. Lamun aya lalaki nu boga biwir siga awéwé, resep
nyaritakeun kagoréngan batur, tong nungguan sapoé dua poé, harita kénéh gé
pasti dijarauhan. Lalaki mah umumna tara loba unak-anik. Simple,” ungkapnya.
Sebagaimana dirinya, Iyang juga
ternyata mengalami krisis kejiwaan. Ujungnya dia tewas overdosis di Cipanas,
setelah sebelumnya mengatakan bahwa dia ingin menikah.
Sepeninggal Iyang, Rinrin semakin
jarang pulang. Ia lebih sering tinggal di kontrakan kawan laki-lakinya, Ben,
yang juga kawan Iyang. Atau di parténon di Jalan Solontongan—tongkrongan tempat
ia dan kawan-kawan laki-lakinya menghabiskan waktu.
Namun, belakangan tongkrongan itu
hanya kerap disinggahi oleh Rinrin dan Suminar—perempuan baru dalam lingkungan
laki-laki. Mula-mula hubungan keduanya dingin. Rinrin merasa terganggu, merasa ruang
privasinya dijarah orang. Seiring waktu, hubungan itu berangsur baik, bahkan keduanya
semakin erat dan tenggelam dalam petualangan sebagai pengutil.
Dan lagi-lagi hubungan itu tak
berlangsung lama. Suatu hari Suminar curhat kepada Rinrin bahwa dirinya tengah
mengandung. Namun ia tak mau menyebutkan siapa yang telah menghamilinya. Yang
terjadi kemudian: Suminar meninggal setelah menjalani aborsi. Rinrin semakin
terbenam dalam kesepian. Sebelum meninggal, sebagaimana Iyang, Suminar juga
mengungkapkan bahwa dirinya akan kawin.
Kisah ini juga dipungkas, lagi-lagi,
oleh kematian. Kali ini Rinrin yang ingin menikah dan menjadi “pengantin”.
“Urang maké baju bodas. Makuta keretas. Karémbong sutra kayas.
Digantélan roncé malati nyacas. Urang tulus jadi pangantén. Hawar-hawar sora nu
ngaderes Yasin. Sora nu sumegruk. Urang didangdanan. Geus kumpul kabéh,
gerentes haté! Tinggal hiji. Tinggal hiji deui. Tapi naha Emih dianggoan
hideung-hideung? Éh, kapan urang keur dirapalan.”
No comments:
Post a Comment