22 June 2021

Menjadi Pengantin lewat Kematian


Sejauh saya membaca karya-karya fiksi berbahasa Sunda, sangat jarang yang mengangkat tema krisis kejiwaan kaum remaja. Dan sekali ini saya menemukan tema itu yang ditulis oleh Deden Abdul Aziz setebal 56 halaman. Buku tipis ini saya beli di “toko buku” Laris di Pasar Dayeuhkolot, Kab. Bandung.

Kenapa toko buku saya kasih tanda kutip? Sebab sebetulnya hanya toko ATK. Sejumlah novel remaja dan beberapa roman berbahasa Sunda, yang semuanya tipis-tipis, sangat sedikit.

Pangantén (pengantin) terbit pertama kali tahun 2003. Latar kisah di Kota Bandung. Gaya penulisan dan pemilihan kosakata disesuaikan dengan bahasa pergaulan kontemporer. Mak tak heran cerita ini banyak memakai bahasa Sunda sehari-hari atau bahasa Sunda loma, bahkan menjurus kasar. Juga banyak disisipi bahasa Inggris sebagai penekanan bahwa lakon ini adalah tentang remaja.

Adalah Rinrin, tokoh utama yang hidup berdua dengan ibunya yang ia panggil Emih. Hubungan keduanya cenderung bebas dan demokratis. Ibu-anak ini sama-sama perokok dan sesekali menenggak minuman beralkohol. Tak saling mengganggu privasi masing-masing. Meski Rinrin jarang pulang, Emih tak ambil pusing. Baginya, anak perempuannya itu sudah dewasa, sudah dapat menentukan pilihannya sendiri.

Namun relasi mereka tak berarti kering. Keduanya kerap terlibat dalam obrolan intim dan lama, sembari merokok dan minum martini. Sekali waktu, Rinrin mengutarakan keinginannya pada Emih: ingin menikah.

“Sama siapa?”

“Sudah ada pasangannya?

Pertanyaan-pertanyaan itu tak mampu dijawab oleh Rinrin. Keinginan Rinrin memang sejatinya tidak berangkat dari landasan sederhana, ihwal pernikahan biasa. Namun berpangkal dari krisis kejiwaannya yang rumit.

Ia perempuan tomboi, atau setidaknya lebih sering bergaul dengan laki-laki daripada dengan perempuan. Rinrin muak dengan lingkungan pertemanan perempuan yang menurutnya: “babarengan jeung batur papada awéwé leuwih pikacuaeun, sarébu kali pikageuleuheun.”       

Sebaliknya, meski banyak bergaul dengan laki-laki, sebetulnya dia juga menyimpan kebencian yang sama. Simak pengakuannya, “Naon anu pangdipikasieunna ku awéwé, mahluk nu mémang sabenerna, kanyatanana lemes, lemah? Ngadéngé omongan nu sugal garihal, ningali batur nu sasama awéwé deui diobrolkeun bari dijejeléh, ngadéngé lalaki tingsaruit atawa ngahéotan awéwé bari tingcakakak teu uni. Cua. Ngéwa, jero-jerona mah, teu rido.”

Di tengah situasi perang batin seperti itulah Rinrin jatuh cinta pada Gumilang yang ia panggil Iyang, kawannya. Sejumlah alasan ia kemukakan kenapa suka kepada kawannya itu. Intinya, menurut dia, laki-laki lebih sportif, simple, dan tak suka banyak bacot. Contohnya dalam memperlakukan sesama jenisnya yang doyan gibah.

“Lalaki mah tara ngumbar kagoréngan baturna, sanajan éta kagoréngan téh nampeu. Lamun aya lalaki nu boga biwir siga awéwé, resep nyaritakeun kagoréngan batur, tong nungguan sapoé dua poé, harita kénéh gé pasti dijarauhan. Lalaki mah umumna tara loba unak-anik. Simple,” ungkapnya.

Sebagaimana dirinya, Iyang juga ternyata mengalami krisis kejiwaan. Ujungnya dia tewas overdosis di Cipanas, setelah sebelumnya mengatakan bahwa dia ingin menikah.  

Sepeninggal Iyang, Rinrin semakin jarang pulang. Ia lebih sering tinggal di kontrakan kawan laki-lakinya, Ben, yang juga kawan Iyang. Atau di parténon di Jalan Solontongan—tongkrongan tempat ia dan kawan-kawan laki-lakinya menghabiskan waktu.

Namun, belakangan tongkrongan itu hanya kerap disinggahi oleh Rinrin dan Suminar—perempuan baru dalam lingkungan laki-laki. Mula-mula hubungan keduanya dingin. Rinrin merasa terganggu, merasa ruang privasinya dijarah orang. Seiring waktu, hubungan itu berangsur baik, bahkan keduanya semakin erat dan tenggelam dalam petualangan sebagai pengutil.

Dan lagi-lagi hubungan itu tak berlangsung lama. Suatu hari Suminar curhat kepada Rinrin bahwa dirinya tengah mengandung. Namun ia tak mau menyebutkan siapa yang telah menghamilinya. Yang terjadi kemudian: Suminar meninggal setelah menjalani aborsi. Rinrin semakin terbenam dalam kesepian. Sebelum meninggal, sebagaimana Iyang, Suminar juga mengungkapkan bahwa dirinya akan kawin.

Kisah ini juga dipungkas, lagi-lagi, oleh kematian. Kali ini Rinrin yang ingin menikah dan menjadi “pengantin”.

“Urang maké baju bodas. Makuta keretas. Karémbong sutra kayas. Digantélan roncé malati nyacas. Urang tulus jadi pangantén. Hawar-hawar sora nu ngaderes Yasin. Sora nu sumegruk. Urang didangdanan. Geus kumpul kabéh, gerentes haté! Tinggal hiji. Tinggal hiji deui. Tapi naha Emih dianggoan hideung-hideung? Éh, kapan urang keur dirapalan.”

Selama membaca Pangantén, saya teringat cerita-cerita yang ditulis Haruki Murakami. Cerita-cerita yang juga tentang krisis kejiwaan para remaja di Jepang. Maka setelah menamatkan buku ini, saya membaca kembali Dengarlah Nyanyian Angin. (irf)

No comments: