28 July 2025

Nu Harayang Dihargaan: Darpan dan Cerita-Cerita dari Utara

Dalam pengantar buku kumpulan cerpen ini, Duduh Durahman menyinggung soal komposisi nama pengarang, yakni Darpan Ariawinangun. Menurutnya, gabungan kedua nama itu secara kebiasaan bertolak belakang, karena menggabungkan nama yang lumrah dipakai rakyat jelata dengan nama menak.

Nama Darpan, tambahnya, sederajat dengan nama Salhiam, Mang Uham, atau Kang Nurhayi. Sementara Ariawinangun betul-betul nama ningrat. Lain itu, kata Duduh, pengarang kiwari jarang yang memakai nama yang berbau priyayi.

Namun di sejumlah bukunya, pengarang hanya menyantumkan Darpan—nama merakyat itu—tanpa menambahkan nama belakang. Saat menamatkan 15 cerpen dalam buku ini, kiranya tepat jika dia hanya memakai nama Darpan, karena seluruh cerita yang ia reka menggambarkan kehidupan rakyat jelata dengan segala kemalangan dan kepahitannya dalam melakoni hidup.

Darpan lahir pada 4 Mei 1970 di Sungai Ula, Cibuaya, pesisir Karawang. Berbeda dengan sejumlah pengarang Sunda yang lebih senior darinya, yang kebanyakan berasal dari wilayah Priangan, Darpan orang utara. Bahasa Sunda yang ia pakai pun terdapat beberapa perbedaan dengan dialek Priangan. Meski demikian, di bagian akhir buku ini terdapat keterangan “Bahasa Wewengkon”, yakni kosakata yang dipakai Darpan dan mungkin tidak biasa atau jarang didengar orang orang Sunda dari wewengkon/wilayah lain di Jawa Barat.

Sebagai orang pesisir, tak heran jika beberapa cerpennya mempunyai latar kehidupan nelayan dan petambak. Laut, pantai, dan muara menjadi tempat sehari-hari sejumlah tokohnya, bukan sekadar tempat rekreasi seperti misalnya dalam novel Rajapati di Pananjung (1985) karangan Ahmad Bakri.       

Rajapati, Isu Lingkungan, dan Politik

Pada 2010, seorang kawan menulis cerpen yang dimuat di majalah Manglé. Ia menyudahi kisahnya dengan rajapati atau pembunuhan. Menurutnya, pilihan itu diambil karena ia ingin akhir yang fantastis.

Sejauh pembacaan saya terhadap cerpen-cerpen Sunda, rajapati memang beberapa kali muncul di penghujung kisah. Polanya sama, pengarang mula-mula membangun konflik yang eskalasinya kian menanjak, lalu menempatkan tragedi pembunuhan di bagian akhir yang dimaksudkan sebagai klimaks. Awalnya mungkin pembaca tak akan mengira demikian, tapi jika lama-kelamaan akan terbiasa dan mampu memprediksinya.

Cerpen-cerpen Darpan pun tak lepas dari rajapati. Motifnya rupa-rupa. Berseteru dengan anak sendiri gara-gara berbeda pendapat dalam merespons permasalahan sosial yang timbul akibat korupsi perangkat desa dalam cerpen “Taleus Ateul”. Protes dan frustasi akibat proyek pembangunan menggusur kampung dalam cerpen “Peuting nu Hareudang”. Dan cemburu karena istri ditiduri tetangga dalam “Si Ato Miara Jago”.

Selain dalam “Peuting nu Hareudang” yang menceritakan hilangnya sebuah kampung karena pembangunan pabrik, isu lingkungan dan ekonomi juga muncul dalam cerpen “Layung Geus Ririakan”—orang tua yang pendengarannya sudah buruk yang kehilangan sawah karena dijual oleh anaknya kepada orang-orang kaya, dan “Helikopter”—para petambak penghasilannya mulai berkang akibat pencemaran air.

Sedangkan isu politik selain muncul dalam cerpen “Teleus Ateul”, juga hadir dalam “Cikopi Sagelas”—rakyat jelata yang terhindar dari tekanan/sandra politik aparat desa karena anaknya berbeda pilihan dalam pemilihan lurah. Di pengujung kisah, Mang Karma, rakyat kecil itu akhirnya bisa kembali merasakan kehidupan yang tenang tanpa paksaan dan kesenangan semu yang sempat diberikan pemerintah desa.

“Nya ieu dunya aing. Dunya sagelas cikopi isuk-isuk, bari bébas mikir pigawéeun poé ieu. Henteu dipapaksa ku batur, henteu kudu sieun ku batur. Ah, naha aing salila ieu kaparabunan ku nu teu puguh? Ninggalkeun dunya aing nu sakieu bébas merdékana? Kétang aya hikmahna, aing jadi nyaho talajak hiji-hijina jelema. Mangsabodo, saha nu rék jadi lurah minggu hareup,” kata Mang Karma.

Cerpen lain yang juga memakai tema politik adalah “Nu Luas Ninggalkeun” dan “Patung jeung Hayam”. Meski cerpen “Nu Harayang Dihargaan” memang cukup menonjol sehingga dipilih jadi judul buku ini, yang menurut Duduh Durahman dalam pengantarnya mempunyai kesan “ngagalura, keras jeung kasar, unsur dramatikna kuat... carpon anu pangneundeutna, tapi pepel,” tapi menurut saya pribadi “Patung jeung Hayam” adalah cerpen yang gaya penceritaannya paling unik.

Dalam “Patung jeung Hayam” Darpan begitu tapis menggugat arti kepahlawanan yang pada umumnya hanya berhenti pada simbol. Diceritakan bagaimana pembangunan sebuah patung pahlawan memakan banyak biaya sehingga melebihi dari anggaran semestinya. Akibatnya, warga sekitar patung “katempunan”. Harta benda mereka yang tak seberapa dipakai untuk mendukung pembangunan patung tersebut. Bahkan seekor ayam warga pun akhirnya dirampas.

Lain itu, para pejabat dari kota yang melakukan perjalanan dinas ke desa untuk mengontrol dan memeriksa pembangunan patung kerap minta dilayani dengan berlebihan, salah satunya minta “ayam”.

Kumpulan 15 cerpen ini seluruhnya memotret nasib rakyat kecil yang hidupnya tak putus dirundung malang. Suara Darpan adalah suara wong cilik pesisir utara Jawa Barat dengan segala persoalannya. [irf]

No comments: