Yang pertama, saat
didesak oleh istrinya, alih-alih mengaku malah bersumpah yang mengerikan.
“Sok bapa, ngaku wé,
da Ema mah tos rido,” kata istrinya.
“Teu, Bapa mah teu rumasa
nyandung, mun Bapa ngabohong tujuh turunan Bapa kabéh tumpur!”
Yang kedua sumpahnya
tak kalah mengerikan. “Daék hulu sagedé pedes!” katanya menyangkal bahwa
dirinya telah berpoligami.
Barangkali mama
memang mengatakan yang sebenarnya, atau mungkin hanya cocoklogi, tapi yang
pasti apa yang nyata terjadi seperti berkaitan dengan sumpah-sumpah itu.
Yang pertama,
kehidupan anak-anak dan cucu-cucunya tak kunjung reda dilanda malang. Derita
beruntun seperti badai tak hendak berlalu. Kematian tragis, jatuh miskin, kecanduan
narkoba, dll.
Sementara yang kedua,
entah kenapa, beberapa anaknya tumbuh dengan kepala yang ukurannya tidak biasa, lebih kecil dari manusia pada umumnya. Yang ini malah saat anaknya dari istri
kedua telah besar, sengaja mencari saudara-saudara kandungnya sebapak lain ibu.
Saat mereka dipertemukan, haru membuncah. Nyata bahwa sumpah bapaknya dusta
belaka.
Novel Absur (2018)
karya Hanna Djumhana Bastaman yang diterbitkan Pustaka Jaya kurang lebih
menceritakan hal yang sama, yakni berpoligami tanpa izin atau sepengetahuan
istri pertama.
Kata “absurd” dalam KBBI
bermakna “tidak masuk akal; mustahil”. Pemilihan kata ini sebagai judul kiranya
karena pola penceritaan alur mundur yang memakai gaya baru, yakni menceritakan
pengalaman orang lain dengan menggunakan tokoh yang lain pula. Dalam novel ini
konteksnya adalah laku bapak di masa lalu, dijalani oleh sang anak di masa kini—meski
hanya dalam mimpi.
Sekali waktu, Aam Ramdani
bermimpi bertemu dengan seseorang yang disebut sebagai adiknya. Padahal di
kehidupan nyata dia tak punya adik, karena merupakan anak bungsu dari sembilan
bersaudara. Penasaran dengan mimpi itu, dia akhirnya menemui kakak-kakaknya
yang hanya tersisa dua orang.
Kedua kakaknya
sama-sama menginformasikan bahwa Aam memang anak bungsu alias tak punya adik.
Namun, dua bulan setelahnya, salah satu kakaknya mengatakan bahwa dia ingat
satu peristiwa saat dulu bapaknya yang terserang penyakit gatal dan tak
sembuh-sembuh, sempat berobat lama di Cijamblang.
Omih nama kakak Aam
yang bercerita itu mengatakan bahwa dulu saat ia berkunjung ke kampung tempat
bapaknya diobati secara tradisional, dia melihat seorang perempuan yang sedang
mengandung.
“Tah, basa keur
ngariung ngobrol katingal gigireun bumi aya awéwé keur sasapu. Sigana keur
kakandungan. Kadéngé Mang Lebé naros ka Bapa lalaunan ‘béjakeun?’ cenah bari
imut, ‘Entong’ waler Bapa. Téh Één karérét jebi saeutik. Saterusna mah uplek
deui ngalobrol bari ngaropi,” kata Omih kepada Aam.
“Boa, boa bener Bapa
téh kagungan garwa deui basa keur lalandong téa...” kata Aam.
“Beralasan
ceuk abdi mah. Kahiji, Bapa [harita] can pati sepuh, paling-paling gé 50 atawa
awal 60-an. Sahandapeun umur abdi anyeuna. Kadua, aya sataunna teu mulih-mulih
bari Ema gé carang angkat ka ditu kawantu dorésa di jalanna. Sing émut Bapa téh
putrana aya salapan tangtos anjeunna pameget normal. Malah boa rohaka. Ari katiluna,
mun enya ogé aya istri nu ngurus anjeunna tangtu ngaraos ragab, sabab lain
muhrim. Apan sakitu nyantrina Bapa mah. Panghadé-hadéna ditikah...,” sambung
Aam.
Setelah obrolan itu
pikiran Aam tetap terpaut pada mimpinya, ihwal bertemu adik yang misterius itu.
Di usia yang sudah
tak muda lagi, Aam kerap terbangun malam hari, salat tahajud, dan zikir sambil
menunggu waktu Subuh. Suatu hari, saat zikir menanti Subuh, dia tertidur
sembari tetap duduk dan bermimpi melakoni segala apa yang pernah dijalani bapaknya
saat dulu berobat di Cijamblang. Dalam mimpinya dia berperan sebagai sang bapak
yang berpoligami. Nah, novel ini hampir seluruhnya menceritakan lakon tersebut.
Di luar hal itu,
novel ini memotret hal lain yang berkaitan dengan zaman menak. Yakni satu
golongan yang karena dianggap berdarah biru sehingga banyak mendapat kemudahan
akses terhadap harta dan jabatan. Bagaimana misalnya Bapa-nya Aam tak mendapat
kesulitan sama sekali selama berobat. Oleh saudaranya, juga sesama menak, dia
disediakan segala kebutuhannya. Bahkan cukup mudah untuk menikahi wanita lain
yang usianya bertaut jauh dengan dirinya.
Saya yakin cerita ini
juga menggambarkan keadaan sang pengarang—sesuatu yang oleh sebagian orang
ditentang, mereka anti untuk mengait-ngaitkan karya dengan kehidupan pribadi
pengarang.
H.D. Bastaman lahir
di Padaherang yang sekarang masuk wilalah Kabupaten Pangandaran. Dia anak
bungsu dari sembilan bersaudara. Bapaknya seorang pengsiunan halipah (khalifah)—pejabat
(menak) di era Belanda yang berkaitan dengan urusan agama Islam.
Dengan latar keluarga
seperti itu tentu saja dia paham bagaimana kehidupan menak sehari-ini. Maka tak
heran jika di sejukur cerita dia lancar menggambarkannya.
Jika di mula catatan
ini ada kisah tentang rakyat biasa yang berpoligami dan salah seorang berhasil
menyembunyikan kelakuannya terhadap istri-istri pertama mereka, apalagi bagi seorang
menak. Mudah saja bukan? [irf]
No comments:
Post a Comment