02 July 2025

Absur: Rahasia Lelaki Tua yang Penyakitan

Saat saya masih kecil, setidaknya ada dua cerita yang disampaikan mama soal orang yang berpoligami tapi tak mau mengaku kepada istri pertamanya. Dua orang pelaku poligami ini masih terhitung saudara, bahkan tetangga.

Yang pertama, saat didesak oleh istrinya, alih-alih mengaku malah bersumpah yang mengerikan.

“Sok bapa, ngaku wé, da Ema mah tos rido,” kata istrinya.

“Teu, Bapa mah teu rumasa nyandung, mun Bapa ngabohong tujuh turunan Bapa kabéh tumpur!”

Yang kedua sumpahnya tak kalah mengerikan. “Daék hulu sagedé pedes!” katanya menyangkal bahwa dirinya telah berpoligami.

Barangkali mama memang mengatakan yang sebenarnya, atau mungkin hanya cocoklogi, tapi yang pasti apa yang nyata terjadi seperti berkaitan dengan sumpah-sumpah itu.  

Yang pertama, kehidupan anak-anak dan cucu-cucunya tak kunjung reda dilanda malang. Derita beruntun seperti badai tak hendak berlalu. Kematian tragis, jatuh miskin, kecanduan narkoba, dll.

Sementara yang kedua, entah kenapa, beberapa anaknya tumbuh dengan kepala yang ukurannya tidak biasa, lebih kecil dari manusia pada umumnya. Yang ini malah saat anaknya dari istri kedua telah besar, sengaja mencari saudara-saudara kandungnya sebapak lain ibu. Saat mereka dipertemukan, haru membuncah. Nyata bahwa sumpah bapaknya dusta belaka.

Novel Absur (2018) karya Hanna Djumhana Bastaman yang diterbitkan Pustaka Jaya kurang lebih menceritakan hal yang sama, yakni berpoligami tanpa izin atau sepengetahuan istri pertama.

Kata “absurd” dalam KBBI bermakna “tidak masuk akal; mustahil”. Pemilihan kata ini sebagai judul kiranya karena pola penceritaan alur mundur yang memakai gaya baru, yakni menceritakan pengalaman orang lain dengan menggunakan tokoh yang lain pula. Dalam novel ini konteksnya adalah laku bapak di masa lalu, dijalani oleh sang anak di masa kini—meski hanya dalam mimpi.

Sekali waktu, Aam Ramdani bermimpi bertemu dengan seseorang yang disebut sebagai adiknya. Padahal di kehidupan nyata dia tak punya adik, karena merupakan anak bungsu dari sembilan bersaudara. Penasaran dengan mimpi itu, dia akhirnya menemui kakak-kakaknya yang hanya tersisa dua orang.

Kedua kakaknya sama-sama menginformasikan bahwa Aam memang anak bungsu alias tak punya adik. Namun, dua bulan setelahnya, salah satu kakaknya mengatakan bahwa dia ingat satu peristiwa saat dulu bapaknya yang terserang penyakit gatal dan tak sembuh-sembuh, sempat berobat lama di Cijamblang.

Omih nama kakak Aam yang bercerita itu mengatakan bahwa dulu saat ia berkunjung ke kampung tempat bapaknya diobati secara tradisional, dia melihat seorang perempuan yang sedang mengandung.

“Tah, basa keur ngariung ngobrol katingal gigireun bumi aya awéwé keur sasapu. Sigana keur kakandungan. Kadéngé Mang Lebé naros ka Bapa lalaunan ‘béjakeun?’ cenah bari imut, ‘Entong’ waler Bapa. Téh Één karérét jebi saeutik. Saterusna mah uplek deui ngalobrol bari ngaropi,” kata Omih kepada Aam.

“Boa, boa bener Bapa téh kagungan garwa deui basa keur lalandong téa...” kata Aam.

Beralasan ceuk abdi mah. Kahiji, Bapa [harita] can pati sepuh, paling-paling gé 50 atawa awal 60-an. Sahandapeun umur abdi anyeuna. Kadua, aya sataunna teu mulih-mulih bari Ema gé carang angkat ka ditu kawantu dorésa di jalanna. Sing émut Bapa téh putrana aya salapan tangtos anjeunna pameget normal. Malah boa rohaka. Ari katiluna, mun enya ogé aya istri nu ngurus anjeunna tangtu ngaraos ragab, sabab lain muhrim. Apan sakitu nyantrina Bapa mah. Panghadé-hadéna ditikah...,” sambung Aam.

Setelah obrolan itu pikiran Aam tetap terpaut pada mimpinya, ihwal bertemu adik yang misterius itu.

Di usia yang sudah tak muda lagi, Aam kerap terbangun malam hari, salat tahajud, dan zikir sambil menunggu waktu Subuh. Suatu hari, saat zikir menanti Subuh, dia tertidur sembari tetap duduk dan bermimpi melakoni segala apa yang pernah dijalani bapaknya saat dulu berobat di Cijamblang. Dalam mimpinya dia berperan sebagai sang bapak yang berpoligami. Nah, novel ini hampir seluruhnya menceritakan lakon tersebut.

Di luar hal itu, novel ini memotret hal lain yang berkaitan dengan zaman menak. Yakni satu golongan yang karena dianggap berdarah biru sehingga banyak mendapat kemudahan akses terhadap harta dan jabatan. Bagaimana misalnya Bapa-nya Aam tak mendapat kesulitan sama sekali selama berobat. Oleh saudaranya, juga sesama menak, dia disediakan segala kebutuhannya. Bahkan cukup mudah untuk menikahi wanita lain yang usianya bertaut jauh dengan dirinya.

Saya yakin cerita ini juga menggambarkan keadaan sang pengarang—sesuatu yang oleh sebagian orang ditentang, mereka anti untuk mengait-ngaitkan karya dengan kehidupan pribadi pengarang.

H.D. Bastaman lahir di Padaherang yang sekarang masuk wilalah Kabupaten Pangandaran. Dia anak bungsu dari sembilan bersaudara. Bapaknya seorang pengsiunan halipah (khalifah)—pejabat (menak) di era Belanda yang berkaitan dengan urusan agama Islam.

Dengan latar keluarga seperti itu tentu saja dia paham bagaimana kehidupan menak sehari-ini. Maka tak heran jika di sejukur cerita dia lancar menggambarkannya.

Jika di mula catatan ini ada kisah tentang rakyat biasa yang berpoligami dan salah seorang berhasil menyembunyikan kelakuannya terhadap istri-istri pertama mereka, apalagi bagi seorang menak. Mudah saja bukan? [irf]


No comments: