25 June 2015

Jakarta Harus Segera Istirahat


Salahsatu hal yang kerap saya syukuri adalah bahwa ibukota Indonesia tidak jadi pindah ke Bandung. Puji Tuhan untuk krisis ekonomi dunia yang membuat Belanda keteteran dalam dana. Anggaplah kantor pusat Pos, Telkom, dan Kereta Api sebagai pemerataan tak sengaja dari sebuah musibah rencana. Zaman yang bergegas—tak perlu jadi ibukota negara-- kini menyeret Bandung menjadi kota yang—seperti juga Jakarta, ringkih dengan segala persoalan kontemporernya. Tapi karena skalanya belum terlalu luas, dan eskalasi konflik sosial masih tidak terlalu tinggi, maka saya masih bisa menyisakan beberapa rindu pada kota ini.

Tapi lihatlah Jakarta. Rindu macam apa yang bisa nyangkut di kota itu? Kanal-kanal program televisi diolah di Jakarta, lalu mengusai langit Nusantara. Gosip-gosip rumahtangga dianggap risalah mulia sehingga mesti tersebar di segenap tumpah darah. Jurnalis saling tuduh tentang siapa yang bermental “korang kuning”, tapi kita tahu bahwa berita bocah malang Angeline disajikan sedemikan rupa layaknya infotainment-infotainment teman ibu-ibu rumahtangga haus hiburan. Di tv, ulangtahun dan persoalan Jakarta dibahas berulang-ulang, ngana pikir orang-orang di provinsi lain butuh tahu? Toh, satu gerbong kereta api bernuansa Jakarta pun tak berarti apa-apa buat orang-orang di Atambua, yang untuk makan pun susah.

Logika berpikir ibukota yang serba terpusat telah membuat orang-orang tv mabuk kleyengan. Dia lupa—sekadar contoh--bahwa di TVRI Cibaduyut-Bandung, tak peduli sehebat dan seseru apa pun pertandingan olahraga yang tengah berlangsung di SEA Games Singapura kemarin, jika sudah pukul 16.00 WIB, acara harus segera diganti dengan berita berbahasa Sunda. Daerah punya kuasa, sebab di langit Bandunglah saluran itu mengudara. Preman Pensiun adalah contoh telanjang, bagaimana cerita ini sangat di nanti warga Bandung sebab sedikit-banyak mewakili kondisi budaya kota.

Cara Jakarta memperlakukan daerah ibarat peraturan yang memaksa PNS sehingga tak bisa menolak budaya seragam. Padahal ayam negeri itu rentan sakit massal, dan tak ada sisi otentik. Berbondong-bondong anak muda mengikuti seleksi idola demi dunia gebyar yang kerap cepat berlalu. Mereka dibaiat di Jakarta dengan lampu sorot kamera, lalu lima menit setelah itu mereka sudah merasa menjadi selebritis. Sementara di berbagai pelosok daerah, para pelaku kebudayaan yang gigih terseok dengan idealisme tinggi, namun kurang gizi.

Akan tak baik jika sumpah serapah ini saya teruskan, lagi pula barangkali Jakarta sebetulnya tidak punya salah, hanya kebetulan saja dia menjadi ibukota negara. Di titik ini wacana pemindahan ibukota mesti dibakar lagi, kasihan Jakarta sudah letih. Dia butuh istirahat untuk meredakan penistaan yang telah dan tengah berlangsung selama berabad-abad. Tidak mudah memang, namun saya percaya pada semangat hijrah. Bukankah air yang mengalir tidak akan busuk daripada dia tergenang?


Tapi yang mula-mula harus diubah adalah cara berpikir. Bukankah adil itu harus sudah sejak dalam pikiran? Nusantara kerap disebut sebagai bentang kain centang perenang yang dirajut untuk kemudian menjadi satu, bersatu; bukan segalanya berkumpul di Jakarta. Hal itu tak akan berarti apa-apa jika slogan hanya berhenti sebatas ludah. Ibukota negara yang mudah-mudahan nanti baru, jangan lagi mengulang seperti Jakarta. Sebab jika terperosok lagi pada lubang yang sama, bersiaplah untuk menjadi keledai. [ ] 

No comments: