Salahsatu hal yang kerap saya syukuri adalah bahwa ibukota Indonesia tidak jadi pindah ke Bandung. Puji Tuhan untuk krisis ekonomi dunia yang membuat Belanda keteteran dalam dana. Anggaplah kantor pusat Pos, Telkom, dan Kereta Api sebagai pemerataan tak sengaja dari sebuah musibah rencana. Zaman yang bergegas—tak perlu jadi ibukota negara-- kini menyeret Bandung menjadi kota yang—seperti juga Jakarta, ringkih dengan segala persoalan kontemporernya. Tapi karena skalanya belum terlalu luas, dan eskalasi konflik sosial masih tidak terlalu tinggi, maka saya masih bisa menyisakan beberapa rindu pada kota ini.
Tapi lihatlah Jakarta. Rindu macam apa
yang bisa nyangkut di kota itu? Kanal-kanal
program televisi diolah di Jakarta, lalu mengusai langit Nusantara. Gosip-gosip
rumahtangga dianggap risalah mulia sehingga mesti tersebar di segenap tumpah
darah. Jurnalis saling tuduh tentang siapa yang bermental “korang kuning”, tapi
kita tahu bahwa berita bocah malang Angeline disajikan sedemikan rupa layaknya
infotainment-infotainment teman ibu-ibu rumahtangga haus hiburan. Di tv, ulangtahun
dan persoalan Jakarta dibahas berulang-ulang, ngana pikir orang-orang di provinsi lain butuh tahu? Toh, satu
gerbong kereta api bernuansa Jakarta pun tak berarti apa-apa buat orang-orang di
Atambua, yang untuk makan pun susah.
Logika berpikir ibukota yang serba
terpusat telah membuat orang-orang tv mabuk kleyengan.
Dia lupa—sekadar contoh--bahwa di TVRI Cibaduyut-Bandung, tak peduli sehebat
dan seseru apa pun pertandingan olahraga yang tengah berlangsung di SEA Games
Singapura kemarin, jika sudah pukul 16.00 WIB, acara harus segera diganti
dengan berita berbahasa Sunda. Daerah punya kuasa, sebab di langit Bandunglah
saluran itu mengudara. Preman Pensiun
adalah contoh telanjang, bagaimana cerita ini sangat di nanti warga Bandung
sebab sedikit-banyak mewakili kondisi budaya kota.
Cara Jakarta memperlakukan daerah
ibarat peraturan yang memaksa PNS sehingga tak bisa menolak budaya seragam. Padahal
ayam negeri itu rentan sakit massal, dan tak ada sisi otentik.
Berbondong-bondong anak muda mengikuti seleksi idola demi dunia gebyar yang
kerap cepat berlalu. Mereka dibaiat
di Jakarta dengan lampu sorot kamera, lalu lima menit setelah itu mereka sudah
merasa menjadi selebritis. Sementara di berbagai pelosok daerah, para pelaku
kebudayaan yang gigih terseok dengan idealisme tinggi, namun kurang gizi.
Akan tak baik jika sumpah serapah ini
saya teruskan, lagi pula barangkali Jakarta sebetulnya tidak punya salah, hanya
kebetulan saja dia menjadi ibukota negara. Di titik ini wacana pemindahan
ibukota mesti dibakar lagi, kasihan Jakarta sudah letih. Dia butuh istirahat
untuk meredakan penistaan yang telah dan tengah berlangsung selama
berabad-abad. Tidak mudah memang, namun saya percaya pada semangat hijrah. Bukankah
air yang mengalir tidak akan busuk daripada dia tergenang?
Tapi yang mula-mula harus diubah
adalah cara berpikir. Bukankah adil itu harus sudah sejak dalam pikiran? Nusantara
kerap disebut sebagai bentang kain centang perenang yang dirajut untuk kemudian
menjadi satu, bersatu; bukan segalanya berkumpul di Jakarta. Hal itu tak akan
berarti apa-apa jika slogan hanya berhenti sebatas ludah. Ibukota negara yang
mudah-mudahan nanti baru, jangan lagi mengulang seperti Jakarta. Sebab jika
terperosok lagi pada lubang yang sama, bersiaplah untuk menjadi keledai. [ ]
No comments:
Post a Comment