30 June 2015

Satrio Piningit dan Kaum Oposan

Sejak era reformasi bergulir yang ditandai dengan lengsernya pucuk pimpinan Orde Baru, media tiba-tiba rajin menulis ihwal Satrio Piningit. Tokoh ini tentu saja lahir dari literatur Jawa namun mampu mengusai isu nasional. Tersebutlah seorang sakti mandraguna yang saking saktinya sampai bisa memprediksi tentang akan datangnya seorang pemimpin yang cerdas, jujur, dan tingkah lakunya lurus dan benar.

Pasca amuk massa 1998, masyarakat rindu dengan pemimpin yang digadang-gadang hendak datang sebagai penyelamat kehidupan yang terlanjur sudah remuk. Ekonomi hancur, hukum doyong berderak-derak, pergaulan sosial memanas dengan konflik, dan lain-lain. Maka isu Satrio Piningit menemui titik didihnya yang paling massif.

Isu yang sangat empuk ini kemudian digoreng oleh media dengan cukup brutal. Dengan kalkulasi keuntungan yang menggoda dan tenaga pemberitaan yang bergenit-genit dengan tema dan materi, maka banjir deraslah kabar tentang pemimpin keren ini. Bagaimana tidak, Orde Baru yang waktu kerusuhan itu sah untuk dilekatkan kepadanya nama-nama busuk, bajingan, dan bangsat, adalah pembanding yang sempurna untuk melahirkan siapa saja yang dianggap lebih mulia untuk diangkat menjadi Satrio Piningit.

Namun karena peta politik yang terjadi kemudian masih jalan di tempat, maka setidaknya sampai Mas Bambang menyelesaikan jatahnya memimpin negeri ini selama 10 tahun rampung, kabar Satrio Piningit agak adem ayem. Ketika penguasa Cikeas beres-beres administrasi, isu pemimpin setengah dewa ini kembali meruyak.

Tak ada yang lebih terkenal melampaui wong Solo yang konon tukang dagang kayu. Dia digadang-gadang sampai menyentuh titik yang paling mencengangkan. Bayangkan, tiga palagan dia menangkan dengan ketangguhan yang tiada banding. Pertempuran di Solo, Jakarta, dan Nasional dia sudahi dengan keunggulan gilang-gemilang. Bangkai-bangkai para pesaing politiknya hanya bisa menelan empedu pahit.

“Pahlawan” yang lahir itu kemudian membibitkan pendukung yang luar biasa gemuk secara jumlah, dan garang secara tingkah. Para fansboy ini menyerupai laskar-laskar di zaman revolusi. Kanal-kanal daring berdenyut dengan para pembela jika sang pahlawan ada yang menghina. Sampai pada batas tertentu fenomena ini sangat menyebalkan. Celakanya kasus serupa kemudian mulai bergulir di beberapa daerah—Bandung contohnya, dan bahkan menginfeksi beberapa pejabat BUMN dan Para Menteri.    

Orang-orang yang secara manajemen, sikap, dan kebijakan bagus, lalu kemudian berhasil menduduki jabatan-jabatan publik; di sini, di tumpah darah ini, kok ya tiba-tiba dijadikan kaya selebritis. Mereka seolah-olah ma’sum alias terpelihara dari dosa dan kesalahan. Pada kondisi seperti ini ruang untuk kritik sangat minim atau bahkan nihil. Orang-orang dipaksa larut dalam situasi pengkutuban antara kawan atau lawan.

Gempita pemimpin yang digambarkan mendekati ideal ternyata membuat masyarakat lupa, bahwa junjunannya itu tetap membutuhkan kaum oposan, para petarung dengan sengatan yang tajam agar dia tidak lena. Di ruang-ruang publik yang sehat, seyogyanya tetap terbangun diskusi yang masuk akal dan egaliter.  Jika ini tidak terbangun, maka jangan heran jika para pemimpin yang diidamkan itu sangat bersemangat dalam membantah setiap kritikan, berkobar-kobar memaparkan keberhasilan demi menihilkan suara miring.


Konon pemimpin mencerminkan masyarakat yang dipimpinnya. Jika pemimpinnya ga selo, kurang woles, maka kira-kira begitulah masyarakatnya. Kritik dan otokritik memang membutuhkan hati yang lapang, kedewasaan mental yang baik, dan piknik jiwa yang cukup. Ketika pra kondisi itu tidak terpenuhi, maka frasa “kurang piknik” kemudian dilekatkan. Di titik ini, Satrio Piningit dan para fansboy kiranya mesti berbanyak rekreasi, agar bisa menganggap kaum oposan bukan semata setan. [ ]   

No comments: