Sejak era
reformasi bergulir yang ditandai dengan lengsernya pucuk pimpinan Orde Baru,
media tiba-tiba rajin menulis ihwal Satrio Piningit. Tokoh ini tentu saja lahir
dari literatur Jawa namun mampu mengusai isu nasional. Tersebutlah seorang
sakti mandraguna yang saking saktinya
sampai bisa memprediksi tentang akan datangnya seorang pemimpin yang cerdas,
jujur, dan tingkah lakunya lurus dan benar.
Pasca amuk massa
1998, masyarakat rindu dengan pemimpin yang digadang-gadang hendak datang
sebagai penyelamat kehidupan yang terlanjur sudah remuk. Ekonomi hancur, hukum
doyong berderak-derak, pergaulan sosial memanas dengan konflik, dan lain-lain. Maka
isu Satrio Piningit menemui titik didihnya yang paling massif.
Isu yang
sangat empuk ini kemudian digoreng oleh media dengan cukup brutal. Dengan kalkulasi
keuntungan yang menggoda dan tenaga pemberitaan yang bergenit-genit dengan tema
dan materi, maka banjir deraslah kabar tentang pemimpin keren ini. Bagaimana tidak,
Orde Baru yang waktu kerusuhan itu sah untuk dilekatkan kepadanya nama-nama
busuk, bajingan, dan bangsat, adalah pembanding yang sempurna untuk melahirkan
siapa saja yang dianggap lebih mulia untuk diangkat menjadi Satrio Piningit.
Namun karena
peta politik yang terjadi kemudian masih jalan di tempat, maka setidaknya
sampai Mas Bambang menyelesaikan jatahnya memimpin negeri ini selama 10 tahun
rampung, kabar Satrio Piningit agak adem
ayem. Ketika penguasa Cikeas beres-beres administrasi, isu pemimpin
setengah dewa ini kembali meruyak.
Tak ada yang
lebih terkenal melampaui wong Solo yang konon tukang dagang kayu. Dia digadang-gadang
sampai menyentuh titik yang paling mencengangkan. Bayangkan, tiga palagan dia
menangkan dengan ketangguhan yang tiada banding. Pertempuran di Solo, Jakarta,
dan Nasional dia sudahi dengan keunggulan gilang-gemilang. Bangkai-bangkai para
pesaing politiknya hanya bisa menelan empedu pahit.
“Pahlawan”
yang lahir itu kemudian membibitkan pendukung yang luar biasa gemuk secara
jumlah, dan garang secara tingkah. Para fansboy ini menyerupai laskar-laskar di
zaman revolusi. Kanal-kanal daring berdenyut dengan para pembela jika sang
pahlawan ada yang menghina. Sampai pada batas tertentu fenomena ini sangat
menyebalkan. Celakanya kasus serupa kemudian mulai bergulir di beberapa daerah—Bandung
contohnya, dan bahkan menginfeksi beberapa pejabat BUMN dan Para Menteri.
Orang-orang yang
secara manajemen, sikap, dan kebijakan bagus, lalu kemudian berhasil menduduki
jabatan-jabatan publik; di sini, di tumpah darah ini, kok ya tiba-tiba dijadikan kaya selebritis. Mereka seolah-olah ma’sum
alias terpelihara dari dosa dan kesalahan. Pada kondisi seperti ini ruang
untuk kritik sangat minim atau bahkan nihil. Orang-orang dipaksa larut dalam
situasi pengkutuban antara kawan atau lawan.
Gempita pemimpin
yang digambarkan mendekati ideal ternyata membuat masyarakat lupa, bahwa
junjunannya itu tetap membutuhkan kaum oposan, para petarung dengan sengatan
yang tajam agar dia tidak lena. Di ruang-ruang publik yang sehat, seyogyanya
tetap terbangun diskusi yang masuk akal dan egaliter. Jika ini tidak terbangun, maka jangan heran
jika para pemimpin yang diidamkan itu sangat bersemangat dalam membantah setiap
kritikan, berkobar-kobar memaparkan keberhasilan demi menihilkan suara miring.
Konon pemimpin
mencerminkan masyarakat yang dipimpinnya. Jika pemimpinnya ga selo, kurang woles,
maka kira-kira begitulah masyarakatnya. Kritik dan otokritik memang membutuhkan
hati yang lapang, kedewasaan mental yang baik, dan piknik jiwa yang cukup. Ketika
pra kondisi itu tidak terpenuhi, maka frasa “kurang piknik” kemudian
dilekatkan. Di titik ini, Satrio Piningit dan para fansboy kiranya mesti
berbanyak rekreasi, agar bisa menganggap kaum oposan bukan semata setan. [ ]
No comments:
Post a Comment