07 June 2015

Bung, Saya Hendak Menulis Bandung

Agak getir sebetulnya, kami—saya dan Bung Ali Zaenal, sore itu di bilangan Senayan dalam rehat selepas berburu buku, untuk pertama kalinya kopi darat; justru setelah media sosial yang menghubungkan kami gulung tikar. Ya, pasca Multiply tak aktif lagi, di tengah dua gelas kopi dan asap tembakau, kami ngobrol-ngobrol ringan; dari dunia buku, penulisan, sampai si kulit bundar.

Kawan saya ini sudah melahirkan beberapa buku, sementara catatan saya tercecer di blog. Barangkali ini persoalan berpikir. Bagaimana pun, tulisan yang dipublikasikan lalu dibandrol dengan sejumlah harga, mestilah menyajikan pemikiran atau setidaknya mempunyai cara bertutur yang sistematis, terstruktur, dan terukur. Berbeda dengan blog, meskipun disajikan juga untuk publik, namun karena tidak berbayar, maka cenderung lebih longgar. Di titik ini, saya kira kami berjarak.

Namun karena sama-sama mengakrabi aksara, dan –waktu itu saya masih tinggal di Jakarta, maka dari perbincangan sore itu lahirlah semacam kesepakatan; kami hendak berkolaborasi dalam sebuah laman daring menuliskan kehidupan sehari-hari di Jakarta.

Pada Seno Gumira Ajidarma, saya pikir kami punya kemiripan; karib dengan beberapa bukunya dan kerap mengutip kata-kata “sakti”-nya. Lagi pula, Seno pun seorang yang dekat dengan kehidupan Jakarta. Inilah simpul yang saya prediksi. Namun bagi saya sendiri, seekor serangga telah masuk ke telinga dan tak hendak keluar, persis seperti terperangkap dalam sebuah toples tertutup. Serangga itu adalah sehimpun ucap dari seorang sutradara lokal, “Jakarta yang kacau namun selalu puitis.”  

Ketika menyepakati tema dan menulis pengantar untuk laman daring ini, ada kesombongan tersirat yang terlambat saya sadari. Saya seolah hendak selamanya tinggal dan beranjak tua di Jakarta. Siapa yang bisa melawan waktu? Pada pusarannya, ternyata dari pertemuan sore itu, tak sampai satu tahun; saya hijrah ke Bandung.

Dari letak geografis yang berjauhan, bagaimana mungkin saya bisa menghirup kehidupan Jakarta? Lupakan media mainstream, di sini para kontributornya kerap mengeluh ihwal berita yang ketat dalam penyaringan; tak berdaya jual jangan harap bisa tayang! Saya menghadapi jalan yang majal.

Maka dari keadaan demikian, Bung Ali kemudian mengundang kawan-kawan yang lain untuk ikut menulis di laman ini. Saya sepakat saja, bukankah itu langkah yang produktif? Dan ihwal produktifitas, baiknya saya kenang sepotong cerita tentang Pramoedya Ananta Toer yang mengubah kolam renang menjadi kolam ikan. Karena tak betah melihat sepetak tanah hanya dipakai untuk bersenang-senang, maka tempat berenang cucu-cucunya itu kemudian dipenuhi ikan mas.

Jika tak silap, tulisan terakhir saya di laman ini berjudul “Enam Alinea Untuk Alina”. Dan ya, itu bukan kehidupan di Jakarta, melainkan di Bandung. Saya memotret suasana sekerat sore di Jalan Asia-Afrika yang ramai oleh pengunjung. Lama setelah mengunggah tulisan itu, saya kemudian berpikir, menimbang, dan memutuskan; saya hendak menulis Bandung!

Bandung di sini saya tafsirkan dengan luas, artinya jika suatu saat saya hijrah lagi ke kota entah, maka tanah yang menadah itulah yang akan saya tuliskan kehidupannya. Sederhana saja, anggaplah ini sebuah ejawantah dari kredo “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Kiranya Bung Ali berkenan, juga kawan-kawan yang lain. Dan di atas segalanya, mari seduh lagi kopi dan angkat gelas tinggi-tinggi; kita berjalan di atas rel produktif yang tak pernah sudah. Semoga. [ ]

No comments: