Ketika mereka tampil terakhir kali dan menghancurkan alat-alat musiknya di Kineruku, saya masih di depan monitor tabung di bilangan Pulogadung.
Berkat Jakartabeat, saya berkenalan dengan Elevation Records dan tahu ada grup asal Palembang ini. Nahas, saat mulai mendengarkan lagu-lagunya, Semakbelukar mengumumkan bahwa mereka bubar dan tak akan pernah reuni.
"Musik hanya membuat ramai, tak membuat kami damai," kira-kira begitu alasannya.
Padahal, bagi pendengar seperti saya, lagu-lagu Semakbelukar justru membuat sebaliknya. Apalagi suara David Hersya terdengar meliuk-liuk bak seorang muazin. Syairnya apalagi, seperti petitih. Sekilas akan langsung teringat Gurindam 12 Raja Ali haji.
Seperti juga Taufiqurrahman, pemilik Elevation Records, saya menyukai suara akordeon yang mereka mainkan dalam sejumlah lagunya. Sayang, bagaimanapun, kiwari, Semakbelukar telah bubar. David Hersya, mantan vokalis, di chanel Youtube-nya sesekali masih membuat syair yang seolah digumamkan, juga menekuni soal-soal mesin motor matic.
Suatu malam, saya memutar sebuah album Semakbelukar di Jl. Solontongan. Pengunjung kedai tampak mengernyitkan dahi. Barangkali ia pikir ini album nasyid yang tak pantas diperdengarkan di warung kopi. Lalu album itu saya ganti dengan Float. Tengah malam, saya baru bisa mendengarkan "lagu-lagu nasyid" ini:
1. Be (re)ncana
"Terlahir dan terasingkan tak lantas menjadi duka
2. Gita Cempala
"Cempala mulut dengan penggering
3. Hina Dina
4. Dendang Lalai
5. Mekar Mewangi
"Kau mekar seperti bunga
6. Berlayar di Daratan
7. Sejuk Matahari & Lebah
8. Antologi bagian 1
9. Antologi bagian 2
No comments:
Post a Comment