Sejak tanggal 30 April 2006 ketika meninggalnya Mas
Pram---sedikit banyak bagaimanapun hal ini sangat memengaruhi saya. Rasanya
satu lagi tempat persinggahan, satu lagi pelabuhan-tambat, pelabuhan istirahat
saya lepas ke laut bebas. Dan saya tak bisa menggapainya. Orang-orang itu sudah
pergi dan tidak akan kembali.
Ketika saya datang pertama kali ke Jakarta, setiap pagi
dari jam 06.00 sampai 09.00 saya olahraga jalan kaki dari kediaman saya dekat
Kelapa Gading menuju Jalan Pemuda. Biasanya itu memakan waktu satu jam. Saya
menuju rumah Joebaar Ajoeb. Dan kami ngobrol. Adakalanya diskusi sengit.
Adakalanya sedikit kasar dan sedikit maki, tapi tetap pegang kendali. Kami
tetap saling ramah, saling terbuka, dan jujur.
Adakalanya Ajoeb mengajak saya ke rumah Pram yang
letaknya tak jauh dari Jalan Pemuda. Di rumah Pram lebih ramai lagi dan makanan
bertambah banyak ragamnya. Apabila kami makan pergi ke rumah Ajoeb, itu artinya
kami harus beli sendiri. Ngewarung! Habis dia sama dengan saya. Sama-sama duda!
Pembicaraan jadi ramai terkadang saling ejek-mengejek, tetapi penuh humor dan
sehat.
Kata Pram, “Si Sobron ini makin progresif orangnya. Mau
tahu apa tandanya? Coba lihat itu perutnya! Maju ke depan, ke arah buncit. Itu
kan progressif, toh?” kami semua tertawa lepas.
Kalau sudah hampir jam 10.00 di rumah Ajoeb mulai banyak
tamu yang datang. Ketika itulah saya sudah boleh minta diri dan pulang ke Kayu
Putih Utara, ke rumah ponakan saya. Joebaar Ajoeb selalu banyak tamunya, baik
dari dalam maupun luar negeri. Anak-anak muda berdarah segar, lincah, cerdas,
cekatan, ada aktivis LSM, pada datang ke Ajoeb. Mereka selalu membawa berbagai
problem.
Juga tidak jarang para wartawan, ilmuwan, sejarawan dari
Amerika, Jepang, dan Australia selalu datang ke rumah Ajoeb yang sangat
sederhana itu. Mereka membawa pertanyaan dan segala apa saja yang mereka ingin
tahu. Pada umumnya mereka puas akan jawaban yang bersifat diskusi. Artinya
keterangan yang diberikan bukan semata-mata dari Ajoeb sendiri.
Saya pernah bilang, Ajoeb adalah gunung tinggi sekaligus
teluk yang dalam. Gunung tinggi adalah tempat timbunan awan. Sedangkan teluk
yang dalam adalah tempat berlabuhnya berjenis perahu dan kapal. Itulah dia,
Ajoeb. Tempat orang banyak bertanya, mau tahu, mau cari informasi, ada yang mau
diperoleh.
Dari tahun 1993 sampai meninggalnya Joebaar Ajoeb pada
1997, setiap tahun ketika saya datang di Jakarta, saya akan selalu ke rumah
Ajoeb. Kami tertawa, bergurau, berdiskusi. Kami bisa bertengkar, selalu saling
memerhatikan, dan menyayangi. Tidak hanya sekali-sekali memaki!
Namu, setelah Ajoeb meninggal, daerah persinggahan saya
berubah. Bukan lagi di Jalan Pemuda, tetapi di rumah Mas Pram. Tak terasa waktu
berjalan terus. Mas Pram lebih banyak sakitnya dan usianya pun sama sekali
tidak muda lagi. Tapi semangatnya tak pernah uzur. Yang uzur adalah badan raganya. Banyak yang saya dapatkan dari Mas Pram. Sesudah
Mas Pram meninggal, saya bingung mau ke mana lagi.
Oya, saya masih ingat, dulu saya juga tidak hanya ke
rumah mereka saja. Saya juga ke rumah Mas handoyo. Tapi dia kini sudah
menggunakan kursi roda. Sakit. Dulu saya ke rumah Rivai Apin di Jalan Malabar.
Tidak lama lalu Rivai yang kami panggil Pai itu meninggal. Tadinya kami juga ke
rumah Pak HR Bandaharo dan Pak Bakri Siregar. Keduanya kini sudah meninggal.
Akh… Saya tersentak kaget sendiri. Saya
sedang di atas bukit dekat rumah saya.
Dulu masih begitu banyak daerah persinggahan, masih
begitu banyak gunung tinggi dan teluk yang dalam dan luas. Tetapi kini rasanya
sudah semakin mengecil. Sudah semakin mengering dan pantainya sudah semakin
landai. Dan saya dalam hati terisak-isak sendiri. Mau ke mana saya sesudah ini?
Sudah begitu kekeringan tempat persinggahan. Sudah begitu landai pantai yang
dulu sangat bagus, sangat menarik dan asyik. Kini tak tahulah saya. Barangkali
memang begitulah adat dunia dalam kehidupan ini.
Sobron Aidit
Paris, 4 Mei 2006
No comments:
Post a Comment