“Pernahkah terselip keinginan pada
diri kita, betapapun kecilnya, untuk kembali ke masa lampau, menghidupinya lagi
seperti masa kini?”
Itu adalah kaki-dashi atau kalimat mula-mula cerpen
pertama dari lima cerpen yang terbuhul dalam buku bertajuk Rumah Tusuk Sate di Amsterdam Selatan karangan Joss Wibisono yang
diambil dari judul salah satu cerita. Ya, Amsterdam menjadi jantung hampir semua
lakon. Peristiwa dan kenangan masa lampau kota ini digali dan ditatah menjadi
hamparan kisah.
Joss menulis relasi asmara, budaya, dan sejarah. Hampir
sekujur ceritanya dilengkapi dengan keterangan referensi dan catatan kaki. Ia
membaca karya Marco Entrop, Loe de Jong, Harry Poeze, Friso Roest, Jos Scheren,
Peter Meijwes, dll. Referensi bacaan membuat ceritanya kaya, namun catatan kaki
yang menjelaskan banyak istilah dalam bahasa Belanda kadang mengganggu arus
deras membaca.
Cerita pertama dibuka oleh Kura-kura Sungai Kamo yang lirih. Kenangan asmara masa lalu
tiba-tiba hidup kembali menjelang sebuah pertemuan yang tak bermakna apa-apa,
selain menegaskan bahwa hubungan telah berakhir dan tak bisa diulangi lagi. Joss
menguncinya dengan sebuah liukan yang berjejak pada fakta bahwa Belanda adalah
negara yang melegalkan hubungan sejenis.
Kisah pasangan sejenis, meski latarnya Batavia,
kembali muncul pada cerpen Rijsttafel
versus entrecote:
“Kusambut ajakannya dan kami adalah
satu-satunya pasangan dansa sejenis sore itu. Lieven terlihat kaget dan senang,
maklum selama ini selalu kutolak ajakan tampil intim di tempat umum. Tapi ah, sepi
pengunjung telah mengusir malu yang selama ini membelenggu. Apalagi sore sudah
berlalu, malam telah luruh meliputi Batavia.” (hal 71)
Dalam Terbalut
Songket di Kyoto, Joss mencoba menggali sejarah tentang karya-karya Suwardi
Suryaningrat aka Ki Hajar Dewantara dan sebuah kisah di sekitar pendudukan
Jepang di Nusantara. Di ujung cerpen tersebut ia menceritakan seorang lelaki
Jepang yang jatuh hati kepada lelaki Jawa. Sulur yang digunakan mula-mula
tentang pertemuan dua orang mahasiswa di Amsterdam: berkenalan, akrab, dan
jatuh hati. Si perempuan orang Indonesia, yang lelaki orang Jepang. Ketika
kakek si lelaki meninggal, sebuah songket menutupi kakinya, lalu mengalirlah
riwayat sang kakek ketika bertugas di Palembang.
Di sebuah tulisan yang diunggah oleh suarakita.org—portal berita LGBT,
bertitimangsa 26 September 2012, Joss menceritakan sejarah disahkannya
perkawinan sejenis di Belanda, tepatnya pada 1 April 2001.
Sejarah pembunuhan massal dan diskriminasi yang
dilakukan Hitler menjadi latar lahirnya ide perkawinan sejenis di Belanda.
Saksi Yehova, Gipsy, dan kelompok homoseksual, adalah korban pembunuhan Nazi
selain orang-orang Yahudi. Tragedi itu menjadi batu tapal sejarah perjuangan
anti diskriminasi di Belanda, termasuk di dalamnya hak-hak homoseksual.
Salah satu pelopor perkawinan sejenis di Belanda
adalah seorang muslim keturunan Ambon yang bernama Umar Santi. Ia adalah
anggota Partai Buruh yang merupakan salah satu partai yang tergabung dalam
kabinet “Ungu”: gabungan dari tiga partai
yang semuanya tidak termasuk dalam partai berbasis agama.
Invasi Nazi ke Belanda yang kemudian berkelindan
dengan munculnya aspirasi anti diskriminasi yang salah satunya melahirkan
perkawinan sejenis, dalam cerpen yang lain Joss mengaitkannya dengan pergerakan
kaum muda Indonesia dalam perjuangan menentang para pemurni ras Arya tersebut.
Berbeda dengan empat cerpen lainnya yang memakai EYD,
pada Rumah Tusuk Sate di Amsterdam
Selatan, Joss memakai ejaan Suwandi. Mulanya saya menyangka bahwa hal itu
dimaksudkan untuk penyesuaian dengan periode yang menjadi latar kisah, yaitu
tahun 1940, ketika Nazi mulai menginvasi Belanda dan Indonesia mulai mendekati gerbang
kemerdekaan.
Namun kemudian dugaan saya bergeser. Di laman pribadi Lambertus
Hurek—editor
berita di harian Radar Surabaya, ada satu tulisan Joss ketika berkorespondensi
dengan Hurek, ia menjelaskan ketertarikannya kepada ejaan Suwandi. Menurutnya,
ejaan Suwandi adalah sebuah bentuk nasionalisme yang seimbang. Di satu sisi,
ejaan tersebut adalah bentuk koreksi terhadap ejaan Van Ophuijsen, yang artinya
hendak menjauh dari hal-hal yang berbau Belanda, namun di sisi lain ejaan
tersebut tak bisa lepas sepenuhnya dari pengaruh asing.
“Inilah nasionalisme jang menarik bagi
saya. Bukan nasionalisme jang pitjik, karena anti asing dan
mengunggul-unggulkan jang Indonesia, tetapi nasionalisme jang djuga menghargai
pentingnja pengaruh asing,” tulis Joss.
Selain itu, Joss menambahkan bahwa hadirnya EYD (Ejaan
Yang Disempurnakan) berakibat pada tidak tertariknya generasi muda pada
bacaan-bacaan lama yang memakai ejaan Suwandi. Hal ini, menurutnya, menutup
gerbang sejarah dari pemilik sejarah itu sendiri.
Terlepas dari dugaan-dugaan saya terkait pemilihan
Joss untuk memakai ejaan Suwandi, cerpen ini membawa pembaca untuk mengingat
kembali kisah para pemuda Indonesia yang turut aktif menentang pendudukan Nazi
di Belanda.
Irawan Soedjono adalah seorang mahasiswa Universitas
Leiden yang aktif menerbitkan De Bevrijding—surat kabar anti fasis. Bersama
pasukan bawah tanah Barisan Mahasiswa Indonesia, ia juga ikut angkat senjata
melawan Nazi. 13 Januari 1945 Irawan tewas ditembak pasukan Jerman ketika
berusaha melarikan diri sambil membawa mesin stensil. Penggalan kisah inilah
yang diceritakan ulang oleh Joss dalam Rumah
Tusuk Sate di Amsterdam Selatan dan Salam
Perkenalan Spesial.
Jika ditarik sebuah simpul, lima cerpen Joss Wibisono
di buku ini memperlihatkan perhatiannya kepada tiga hal: sejarah pergerakan
mahasiswa di Belanda, isu pasangan sejenis, dan bahasa. Ia yang tinggal di
Belanda lebih dari 20 tahun dan sempat bekerja di salah satu radio pemerintah
Belanda, seperti hendak membuat kenang-kenangan untuk negeri yang lama
ditinggalinya itu. Kumpulan cerpen ini sejenak mengingatkan saya pada laku Budi
Darma yang menulis buku Orang-orang
Bloomington, dan Umar Kayam dengan Seribu
Kunang-kunang di Manhattan.
Joss menghirup udara negeri Kincir Angin, lengkap
dengan dinamika sosial dan warna warni sejarahnya. Setelah puluhan tahun di
Belanda, lewat buku ini, ia hendak menceritakan beberapa hal yang menjadi
perhatiannya. [irf]
1 comment:
Terima kasih atas resensi jang sungguh simpatik ini, mas. Tidak sangka anda begitu awas pada perkembangan kepenulisan saja. Sudahkah batja novel pendek "Nai Kai: sketsa biografis" jang terbit beberapa bulan setelah kumpulan tjerpen ini?
Post a Comment